SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, September 22, 2013

ADA' WA TAHAMMUL AL-HADITS



ADA' WA TAHAMMUL AL-HADITS


A.    ARTI PROSES ADA’ WA TAHAMUL AL-HADITS
1.      Ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadits kepada orang lain.[1]
2.      At-Tahammul adalah menerima dan mendengarkan suatu periwayatan hadits dari seorang guru dengan  menggunakan beberapa metode tertentu.[2]
B.     SYARAT MUTAHAMMIL DAN MU’ADDI
1.      Syarat mutahammil
Ada dua syarat bagi mutahammil al-hadits, sebagai berikut:
a.       Tamyiz
Terdapat banyak perbedaan mengenai batasan umur bagi mutahammil hadits. Namun yang pasti, seorang mutahammil hadits harus sudah mumayyiz, yaitu saat di mana ia bisa membedakan antara kebaikan dan kejelekan. Ke-tamyiz-an tidak dapat ditentukan dengan umur, karena setiap orang mendapatkan predikat tamyiz pada usia yang berbeda-beda.
b.      Berakal sehat[3]
2.      Syarat muta’addi
Syarat-syarat  orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
a.       Islam
b.      Baligh
c.       Bersifat adil (‘adalah)
Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya harga diri.
d.      Dlobit
Dlobit ialah memiliki daya ingat yang kuat (dlobtu ash-shodr) atau memiliki dokumen yang valid (dlobtu al-kitab). Ia hafal dan ingat akan hadits yang didapat sejak menerima hadits tersebut, hingga ia meriwayatkannya kepada orang lain.[4]
 
C.    8 METODE PTH+PERBEDAAN MASING-MASING
1.      As-Sima’ (min lafdzi syekh)
Yakni cara penerimaan hadits dengan cara mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan didikte maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari tulisannya. Menurut jumhur, cara penerimaan hadits ini memiliki nilai yang tertinggi daripada cara yang lainnya.
Shighat:
a.      حَدَّثَنَا (seseorang telah menceritakan kepada kami)
b.      أَخْبَرَنَا (seseorang telah mengabarkan kepada kami)
c.       أَنْبَأَنَا (seseorang telah memberitakan kepada kami)
d.      سَمِعْتُ فُلانًا (saya telah mendengar seseorang)
e.       قَالَ لَنَا فُلانًا (seseorang telah berkata kepada kami)
f.       ذَكَرَ لَنَا فُلانًا (seseorang telah menuturkan kepada kami)
2.      Al-Qira’ah (‘ala syekh)
Yaitu cara penerimaan hadits dengan cara membacakan hadits di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain. Sedangkan sang guru menyimaknya, baik sang guru hafal maupun tidak (yaitu dengan cara memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya).
Shighat:
a.      قَرَأْتُ عَلَيْه (aku telah membacakan dihadapannya)
b.      قُرِئَ على فُلانٍ وأَنَا أَسْمَعُ (dibacakan oleh seseorang (dihadapan guru) dan saya mendengarkannya)
c.       حّدَّثَنا أو أَخْبَرَنا قِراءَةً عليه (seseorang telah mengabarkan atau menceritkan kepadaku dengan cara pembacaan (di hadapan guru))
3.      Al-Ijazah
Yaitu cara penerimaan hadits dengan cara seorang guru memberikan ijin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya.
Shighat:
a.      أجاز لفلان (beliau telah memberikan ijazah kepada si fulan)
b.      حدثنا إجازة (beliau telah menceritakan kepada kami secara ijazah).
c.       أخبرنا إجازة (beliau telah mengabarkan kepada kami secara ijazah).
d.      أنبأنا إجازة (beliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
4.      Al-Munawalah
Yaitu seorang guru memberikan kepada muridnya sebuah naskah atau kitab asli, atau salinannya yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[5]
Ada dua bentuk munawalah, yaitu munawalah yang disertai dengan ijazah (perintah untuk meriwayatkan), dan munawalah yang tidak diertai dengan ijazah.
Shighat:
a.      ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ (seorang guru telah memberikan naskahnya kepadaku)
b.      ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ ﻭﺇﺠﺎﺯﻨﻲ (seorang guru telah memberikan naskahnya kepadaku dengan disertai ijazah)
c.       ﺤﺩﺜﻨﺎ ﻤﻨﺎﻭﻟﺔ (seorang guru telah menyampaikan riwayat kepadaku secara munawalah)
d.      ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﻤﻨﺎﻭﻟﺔ ﺇﺠﺎﺯﺓ (seorang guru telah menyampaikan berita kepadaku secara munawalah disertai ijazah)
5.      Al-Kitabah
Yakni seorang guru hadits menuliskan hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang tertentu. Orang yang menulis hadits dapat saja guru itu sendiri atau orang lain atas permintaan guru tersebut, sedang orang yang diberi hadits ketika hadits itu ditulis dapat saja di hadapan guru tersebut atau berada di tempat lain.[6]
Ada dua bentuk kitabah, yaitu kitabah yang disertai dengan ijazah (perintah untuk meriwayatkan), dan kitabah yang tidak diertai dengan ijazah.
Shighat:
a.      ﻜﺘﺏ ﺍِﻠَﻲَّ ﻓﻼﻥٌ (seorang guru hadits telah menulis sebuah hadits kepadaku).
b.      ﺤﺩﺜﻨﻲ ﻓﻼﻥٌ ﻜﺘﺎﺒﺔً (telah menyampaikan riwayat kepadaku melalui koresponden).
c.       ﺃﺨﺒﺭﻨﻲ ﻓﻼﻥٌ ﻜﺘﺎﺒﺔً (telah menyampaikan kabar berita kepadaku melalui koresponden).
6.      Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri, dengan tidak mengatakan agar si murid meriwayatkannya.
Shighat:
أَعْلَمَنِيْ فُلانٌ قالَ حَدَّثَنا (seseorang telah memberitahukan kepadaku: “Telah berkata kepada kami...”)[7]
7.      Al-Wasiyah
Yaitu pesan seseorang guru di saat mendekati ajalnya atau ketika hendak bepergian, dengan  sebuah kitab supaya diriwayatkan.
Shighat:
a.      أوصى إلي فلان بكتاب (fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab).
b.      حدثني فلان وصية (fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).[8]
8.      Al-Wijadah
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak seperiode dengannya, baik dengan lafadz sama’, qira’ah maupun selainnya dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut.
Shighat:
a.      ﻭﺠﺩﺕُ ﺒﺨﻁِّ ﻓﻼﻥٍ (aku telah menemukan tulisan seorang guru hadits).
b.      ﻗﺭﺃﺕُ ﺒﺨﻁِّ ﻓﻼﻥٍ ﻜﺫا (aku telah membaca hadits tulisan seorang guru).[9]




[1] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003).
[2] H. Mudasir, Ilmu Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
[3] Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah, .
[4] Ibid.
[5] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musythalahul Hadits (Bandung: PT. al Ma’arif, 1995), .
[6] H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), .
[7] Fatchur Rahman, Op. Cit.,.
[8] H. Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. I, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1999),.
[9] Fatchur Rahman