SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Saturday, October 12, 2013

كان وأخواتها


 كان وأخواتها
I.                  PENDAHULUAN
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي جعل العلم أرفع الصّفات الكماليّة. وأشهد أنّ محمّدًا عبده ورسوله خصَّةُ الله تعالى بجميع كمالات العبوديّة.
Kalam merupakan salah satu ibarat penilaian pada diri seseorang, nampak baguskah atau bahkan tak nampak bernilai sama sekali, karena memang cerminan kepribadian terkadang lebih tersirat dalam sebuah untaian lisan mutakallim. Bertolak dari hal tersebut, Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna dengan segala apa yang telah Dia firmankan untuk para umatnya lantaran Al-Qur’an Al-Karim yang tak diragukan lagi akan keafsahan dan keindahannya. Kita sebagai umat islam tentulah sangat dituntut untuk bisa memahami isi dari Al-Qur’an tersebut, tak lepas dari itu ilmu nahwu merupakan salah satu kunci dari solusinya.
Pada makalah kali ini akan di uraikan masalah seputar kaana dan saudara-saudarnya, yang merupakan salah satu dari Awaamilul an-nawasikh ibtida’, yaitu amil-amil yang merusak susunan mubtada’ dan khobar. Amil-amil ini adakalanya yang berupa huruf dan adakalanya yang berupa fi’il. Yang terdiri dari huruf yaitu maa (ما) beserta saudara-saudaranya, laa (لا) yang menunjukkan nafi bagi jenis, dan inna beserta saudara-saudaranya. Sedangkan yang berupa fi’il adalah kana dan saudara-saudaranya, af’alul muqarabah, dzanna beserta saudara-saudaranya. Dan yang akan kita bahas kali ini adalah seputar Kana dan saudara-saudaranya yang merupakan salah satu dari awamil nawasikh yang berupa fi’il.

II.               RUMUSAN MASALAH
A.    Pemahaman Tentang Kaana dan Saudara-saudaranya
B.     Pengelompokan Kaana dan Saudara-saudaranya
C.     Hukum-hukum pada Isim dan Khobarnya Kaana
D.    Keistimewaan-keistimewaan Kaana

III.           PEMBAHASAN
A.    Pemahaman Tentang Kana dan Saudara-saudaranya
ترفع كان المبتد اسما والخبر ۝ تنصبه ككان سيِّداً عمر
“Kana merafa’kan mubtada’ sebagai isimnya, dan khabarnya di nasabkan olehnya seperti “Kana sayyidan ‘Umar”.[1]
Seperti yang telah di jelaskan dalam nadhom al-fiyyah diatas, bahwa ketika kana ataupun saudara-saudaranya memasuki susunan mubtada’ dan khabar, maka dia akan merafa’kan mubtada’ yang kemudian menjadi isimnya (kaana), dan menashabkan khobar yang kemudian menjadi khobar darinya (kaana).[2] Dalam hal ini mubtada’ menjadi fa’ilnya kaana secara majaz.[3] Sedangkan khobarnya menjadi maf’ulnya kaana secara majaz.[4]
Saudara-saudaranya Kaana ialah:
a.             ظَلَّ (bermakna menggambarkan hal yang diberitakan terjadi pada siang hari).
ظلَّ حسنٌ غَضْبانَ
b.             بَاتَ (bermakna menggambarkan hal yang diberitakan terjadi pada malam hari).
بات فاطمةُ مُتَدَبِّرَةً القرآنَ
c.             أضحى (bermakna menggambarkan hal yang diberitakan terjadi pada waktu dhuha).
أضحى الموظّفون مُشْتَغليْنَ[5]
d.            أصبح (bermakna menggambarkan hal yang diberitakan terjadi pada waktu pagi).
أصبحت الشجرةُ مثمرةً
e.             أمسى (bermakna menggambarkan hal yang diberitakan terjadi pada waktu sore hari).
أمستِ السماء ممطرةً
f.              ليس (bermakna untuk me-nafikan (meniadakan)
Apabila laisa diucapkan secara muthlak tanpa ikatan, maka dia akan me-nafikan waktu hal (sekarang). Contoh:
ليسَ زيدٌ قائمًا
dan jika dikaitkan dengan waktu maka maknanya di sesuaikan dengan waktu yang dimaksud.[6] Contoh:
ليسَ زيدٌ قائمًا غَدًا
g.             صَارَ (bermakna perpindahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (lit tahawwul)
صار القطنُ نسيجًا
h.             زال dan saudara-saudaranya (بَرِح، فَتِئَ، انْفَكَّ) bermakna lil istimror atau menetapkan berita terhadap subyek yang diberitakan. [7]
مازال عمرُ مجتهِدًا
 ما برحَت عائشة نشيطةً
ماانفكّ سعيدٌ كسلانَ
مافتئ فارِس حزيْنًا[8]
Zaala disini bisa beramal sebagai amil nawasikh jika memang dari mudhori’ (يزال), bukan dari mudhori’ يزول dan يزيل [9]
i.               دام artinya adalah tetap dan terus menerus.[10]
وأوْصانيْ بالصلاةِ والزّكاة مادُمْتُ حَيًّا
“Dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup”. (Maryam: 31).
Terkadang lafadh كان، أمسى، أصبح، أضحى، ظلّ، بات bermakna صار (menjadi). Contoh: كان عليٌّ طبيبًا (Ali menjadi dokter).[11]
Kaana dan saudara-saudaranya disini dinamakan af’alun naqishoh, karena tidak dicukupkannya pada lafadh marfu’ (isimnya) saja, akan tetapi masih juga butuh pada lafadh yang manshub (khobarnya). Dan sebagian diantaranya terkadang menjadi af’alut tammah, karena hanya dicukupkan dengan lafadz yang marfu’ (fa’ilnya) saja, berbeda dengan ما فتئ, زال, ليس hanya dapat diberlakukan sebagai af’alun naqishoh saja. Contoh af’alut taam:
وإن كان ذو عُسرةٍ فنظرةٌ إلى ميسَرةٍ
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan, maka beri tangguhlah sampai ia berkelapangan”. (Al Baqarah: 280).
Dan fi’il-fi’il taam tersebut adalah:
a.       كان dengan makna ([12]وجد، [13]حصَلَ)
b.      ظلّ dengan makna (دام، إستمر)
c.       بات dengan makna (أدركه الليل، نزل ليلاً، دخل مبيته)
d.      أضحى dengan makna (دخل في الضحى)
e.       أصبح dengan makna (دخل في الصبح)
f.       أمسى dengan makna (دخل في المساء)
g.      صار dengan makna (قطع، إنتقل، ضمّ، أمال)
h.      ما دام dengan makna (بقي، إستمر)
i.        ما برِح dengan makna (فارق، ذهب)
j.         ما انفكّ dengan makna (انْحلَّ، إنفصل) [14]
B.     Pengelompokan Kana dan Saudara-saudaranya
1.      Di lihat dari sisi pen-tashrifannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
a.       Yang bisa di tashrif secara sempurna
(كان، ظلّ، بات، أضحى، أصبح، أمسى، صار)
b.      Yang tidak bisa di tashrif secara tidak sempurna, hanya bisa di tashrif menjadi madhi dan mudhori’ saja.
(زال، بَرِح، فَتِئَ، انْفَكَّ)
c.       Yang tidak menerima tashrif  (ليس، دام)
Fi’il-fi’il yang menerima tashrif diantara fi’il-fi’il jenis ini, selain bentuk madhi-nya dapat beramal pula seperti fi’il madhi-nya, baik mudhori’, amar, mashdar, maupun isim fa’ilnya.[15] Contoh:
كُوْنوا قَوَّامينَ بالْقِسْطِ
“Jadilah kalian orang-orang yang benar-benar penegak keadilan” (An Nisa’: 135.)
2.      Di lihat dari sisi bisa beramalnya
a.       Bisa beramal dengan tanpa adanya syarat khusus
كان، ظلّ، بات، أضحى، أصبح، أمسى، صار، ليس
b.      Bisa beramal dengan syarat khusus
1.      (زال، بَرِح، فَتِئَ، انْفَكَّ) bisa beramal hendaknya fi’il tersebut harus di dahului dengan nafi,nahi atau do’a, baik secara lafaz, perkiraan. Contoh:
(nahi) لاتَزَلْ قائمًا
(do’a) لايَزالُ اللهُ مُحْسِنًا إليك
Contoh yang secara perkiraan:
تاللهِ تَفْتَؤُا تَذكر يوسفَ
      “Demi Allah, senantiasa kamu mengingati yusuf”
Bentuk asalnya adalah لاتفتؤا. Nafi tidaklah dibuang kecuali jatuh setelah qasam (sumpah).[16]
2.      (دام) bisa beramal hendakknya di dahului oleh maa mashdariyyah azh zharfiyyah.[17]
Maa disini dinamakan mashdariyyah karena dia menjadikan lafadh setelahnya menjadi mashdar, dan dinamakan dzorfiyyah karena olehnya dia menggantikan dari dhorof (مدّة)[18]
C.    Hukum-hukum pada Isim dan Khobarnya Kana
Semua hukum yang ada pada fa’il itu diberlakukan juga pada isimnya kana dan saudara-saudaranya. Sedangkan semua hukum yang ada pada khobarnya mubtada’ diberlakukan pada khobarnya kaana dan saudara-saudaranya, hanya saja dia (khobarnya kaana) di baca nashob.[19]
Pada hukum asalnya amil (kaana dan saudara-saudaranya), isimnya, berikut khobarnya disusun secara berurutan.[20]
a.       Dalam konteks ini, wajib mendahulukan khobar, jika pada isimnya terdapat dhomir yang kembali pada khobar, contoh:
كان في الدار صاحبها
b.      Menurut pendapat yang kuat diperbolahkan mendahulukan khobar atas daama semata, tidak maa yang muttashil dengannya, contoh:
لاأُصاحِبُك ما قائما دام زيدٌ
“Aku tidak akan menemuimu selama zaid berdiri”
c.       Khobar juga di perbolehkan mendahului zaala dan saudara-saudaranya semata, tidak maa nafi yang muttashil dengannya, hal ini dikarenakan khobar tidak diperbolehkan mendahului maa nafi. Contoh:
ما قائمًا زال زيدٌ
apabila nafi yang dipakai adalah selain maa, maka di perbolehkan mendahului atasnya.[21] Maka diperbolehkan mengucapkan:
قائما لم يكُنْ عمرٌو
d.      Diperbolehkan mendahulukan khobar atas isim dan fi’il (kana dan saudara-saudaranya), kecuali khobarnya ما زال، ما بَرِح، ما فَتِئَ، ليس، ما انْفَكَّ، ما دام.[22] Contoh:
عالمًا كان محمدٌ[23]
Dan hal yang perlu kita ketahui adalah, bahwa hukum taqdim (mendahulukan) dan ta’khir (mengakhirkan) isim dan khobar disini, diberlakukan seperti halnya hukum taqdim beserta ta’khir pada mubtada’ dan khobar, karena asalnya adalah berupa mubtada’ dan khobar.[24]


D.    Keistimewaan-keistimewaan Kaana
1.      Kaana dapat diberlaku sebagai zaidah, dengan dua syarat:
a.    Berbentuk fi’il madhi
b.   Berada diantara dua hal yang saling bergantung satu sama lain, seperti: fi’il dan fa’il, shilah dan maushul, sifat dan maushufnya, ما  dan fi’il ta’ajub, mubtada’ dan khobar.[25] Dan yang banyak terlaku, beserta dapat di-qiaskan (dapat diberlakukan sebagai patokan) adalah ketika terletak diantara ما  dan fi’il ta’ajub.[26] Dan selain itu diperbolehkan hanya atas dasar sima’i.[27] Contoh:
ماكان أصحَّ علْمَ مَنْ تَقدَّم
“Alangkah benarnya ilmu orang-orang yang terdahulu”
2.      Terkadang kaana dan isimnya dibuang, dan yang banyak terjadi jika jatuh setelah إنْ dan لوْ syartiyyah. Contoh:
الناس مَجْزيُّون بأعملهم, "إنْ خيرًا فخيرٌ" "وإنْ شرًّا فشرٌّ"
Bentuk asalnya adalah:
إن كان عملهم خيرا، فجزاؤهم خيرٌ. وإن كان عملهم شرّا فجزاؤهم شرٌّ
Dan
إلتَمِسْ ولو خاتمًا مِنْ حديدٍ
Bentuk asalnya adalah:
ولو كان ما تلتمسه خاتمًا من حديدٍ[28]
3.      Terkadang kaana dibuang tidak besertaan dengan isim dan khobarnya, dan setelah itu diganti dengan ما zaidah, yaitu ketika jatuh setelah أنْ mashdariyyah. Contoh:
أمَّا أنتَ بَرًّا فاقْتَرِبْ
“Kamu adalah orang yang baik, maka mendekatlah”
Bentuk asalnya adalah:
أنْ كُنْتَ بَرًّا فاقترب[29]
4.      Diperbolehkan membuang huruf nun pada bentuk mudhori’nya kaana yang dibaca jazm.[30] Contoh:
“Dan aku bukan (pula) seorang pezina” (Maryam: 20).        لم أكُ بَغِيًّا
Dalam hal ini Imam Syibawaih memperbolehkan pembuangan nun jika memang setelahnya tidak berupa huruf mati atau dhomir muttashil.[31] Maka tidak boleh mengucapkan: لم يك الرجلُ dan لم يكُهُ.

IV.           KESIMPULAN
Kaana dan saudara-saudaranya ظلّ، بات، أضحى، أصبح، أمسى، صار, ليس، دام، زال، برح، فتئ، انفكّ merupakan salah satu dari awaamil an nawasikh yang berupa fi’il, dan amalnya adalah ترفع الإسم وتنصب الخبر.
a.         Khusus دام harus disertai dengan maa mashdariyyah dzorfiyyah. Dan زال beserta saudara-saudaranya harus disertai dengan nafi, nahi, atau do’a.
b.         Diantara saudara-saudaranya kaana yang tidak bisa di tashrif adalah ليس، دام, selain itu bisa di tashrif semua, baik secara sempurna maupun tidak sempurna, dan pen-tashrifan selain madhi juga bisa beramal layaknya fi’il madhi-nya.
c.         Hukum taqdim beserta ta’khir pada isim dan khobarnya kaana diberlakukan seperti halnya hukum yang ada pada mubtada’ dan khobar.
d.        Kaana dan isimnya terkadang dibuang, dan kebanyakannya jika jatuh setelah إنْ dan لوْ syartiyyah. Dan  ditambahkan (zaidah) jika berada diantara dua hal yang saling bergantungan, dan kebanyakan jika berada diantara ما dan fi’il ta’ajub, dan harus dalam bentuk fi’il madhi.
e.         Kaana terkadang dibuang jika jatuh setelah أنْ mashdariyyah, dan setelah dibuang diganti dengan ما zaidah.
f.          Nun fi’il mudhori’nya kaana yang dibaca jazm boleh dibuang, jika memang setelahnya tidak berupa huruf mati atau dhomir muttashil.

V.               PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian dari penulis dalam makalah ini mengenai kaana dan saudara-saudaranya, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu nahwu yang sedang kita pelajari bersama ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah di mungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Berawal dari semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hasyiyah Al Asymawi, Semarang: Maktabah Al Alawiyyah, TT.
Al Ajurumiy, Ibnu, Taqrirat Al Ajurumiyyah, Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in, TT.
Al Baijuriy, Ibrahim, Fathu Rubbubariyyah, Semarang: Maktabah, TT.
Al Ghulayini, Musthafa, Jami’ud Durus Al ‘Arabiyyah, juz 2, Bairut: Al-Maktabah Al-‘Asriyyah, 1973.
Dahlan, Sayyid Ahmad Zaini, Mukhtashor Jiddan, Indonesia: Dar Ihya’ Kutub, TT.
Ismail, Muhammad Bakar, Qowa’idun Nahwi Bi Uslubil ‘Ashri, Kairo: Darul Manar, 2000.
Ma’arif, Syamsul, Nahwu Kilat Perpaduan antara Teori dan Praktek, Bandung: Nuansa Aulia, 2008.
Muhammad, Jamaluddin, Ibnu ‘Aqil,  Indonesia: Dar Ihya’ Kutub Al Arabiyyah, TT.
Na’mah, Fu’ad, Mulakhosh Qawaid Al Lughoh Al Arabiyyah, Damaskus: Mansyuraat Darul Hikmah, TT.
Yusuf, Thahir,  Al Mu’jam Al Mufashol fil I’rob, Bairut: Darul Kutub Al Ilmiyyah, 2000.



Silahkan bagi yang ingin download makalah di atas "كان وأخواتها" bisa lewat DI SINI