Kebanyakan dari orang yang belajar ilmu nahwu faham secara
keseluruhan mengenai kaidah-kaidah yang ada di dalamnya, akan tetapi banyak
juga diantara mereka yang belum bisa memahami nilai esensial yang terkandung didalam
setiap kaidah-kaidah hukum pada ilmu nahwu yang mereka fahami. Seseorang yang
faham akan suatu hal bisa dikatakan bahwa dia telah menguasai hal tersebut,
akan tetapi didalam mempelajari disiplin ilmu nahwu, seseorang hendaklah bukan
hanya sekedar melihat ilmu nahwu dari segi pemahaman tekstual kaidah-kaidah
yang telah sedemikian rupa disusun oleh nuhaat (para cendikiawan atau
para ulama’ nahwu), karena tidaklah asing bagi kita bahwa para ulama-ulama
nahwu telah menyusun kaidah-kaidah dalam ilmu nahwu sedemikian indahnya merupakan
para pemikir-pemikir besar yang sangat terkenal alim dan tawadhu’. Nilai
esensial yang telah merekan tanamkan didalam setiap kaidah nahwu telah mereka
dipertimbangkan secara matang-matang.
Seseorang faham secara tekstual tidak menjamin bisa memberikan
sebuah kontribusi pemahaman yang begitu baik, akan tetapi dengan memahami
secara tekstual dan setiap nilai esensial didalamnya akan menjadikan ilmu nahwu
sebagai ilmu yang indah, dan dari situlah seseorang yang mempelajari ilmu nahwu
akan memiliki kelebihan dalam memahami semua kaidah-kaidah nahwu dengan baik
dan benar sesuai yang diharapkan para ulama-ulama nahwu terdahulu.
Sebelum kita mulai belajar memahami nilai esensial dalam
kaidah-kaidah nahwu, kita dituntut untuk bisa memahami terlebih dahulu kaidah
tersebut, barulah kita bisa menelisik pesan-pesan moral apa yang telah
ditanamkan para ulama dalam kaidah-kaidah tersebut. Dalam hal ini banyak
cerminan yang terkandung didalamnya, seperti halnya bisa difahami sesuai dengan
aplikasi kita dalam kehidupan sehari-hari, politik, cinta dan sebagainya. Pada
kesempatan kali ini kita hanya akan mempelajari bersama apa itu nahwu beserta
kaidah-kaidahnya jika dihubungkan dengan aplikasi kehidupan kita sehari-hari?.
Didalam penyusunan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang terdapat pada
berbagai macam kitab-kitab nahwu hampir seluruh darinya mengawali dengan
pembahasan mengenai kalam. Yang perlu kita fahami disini adalah, bahwa kalam
banyak diartikan sebagai sesuatu yang sangat fatal bagi manusia. Mengapa
begitu? Apa yang menjadikan kalam sebagai sesuatu yang fatal bagi
manusia?
Seseorang berbicara tentunya tidaklah lepas dari yang namanya mulut
dan lidah sebagai alat untuk berbicara. Apabila kita fahami, ketika seseorang
menginginkan sesuatu pekerjaannya berjalan dengan baik dan menghasilkan hal
yang baik pula, tentulah tidak dapat dipisahkan apakah alat yang dipakainya
untuk bekerja bagus dan baik, karena ketika alat yang dipakai untuk bekerja
dalam keadaan baik dan berkualitas, tentunya hasil dari pekerjaan kita bisa
diharapkan baik pula. Maka dari sinilah kita bisa memahami mengapa para ulama
meletakkan penjelasan seputar kalam pada awal, sebelum mempelajari
kajian ilmu nahwu yang lain. Karena mereka mengharapkan agar seseorang yang
belajar ilmu nahwu senantiasa memperhatikan kualitas dari kalam yang ada
pada diri mereka masing-masing sebelum menginjak kepada pemahaman yang lebih
dalam, ketika kalam mereka dinilai sebagai kalam yang baik, maka tidak
menutup kemungkinan bahwa dia akan bisa belajar dengan baik, benar dan mudah
memahami seputar ilmu nahwu dan ilmu-ilmu yang lainnya. Di dalam salah satu
hadis Nabi SAW dikatakan:
قال
عمر رضي الله عنه: مَنْ كَثُرَ ضَحَكَهُ قَلَّتْ هَيْبَتُهُ ومَنْ اسْتَخَفَّ
الناسَ اسْتَخَفَ بِه ومَنْ أَكْثَر مِن شيء عرف به ومَنْ كَثُرَ كَلاَمُهُ كَثُرَ
سَقَطُهُ ومَن كَثُرَ سَقَطُهُ قَلَّ حَياؤُهُ ومَن قَلَّ حَيَاؤُه قَلَّ وَرَعُه
ومَن قَلَّ وَرَعُه مَاتَ قَلْبُهُ
Didalam hadist di atas jelas dikatakan
bahwa ketika seseorang tidak mampu menjaga dan menggunakan kalam dan
mulutnya dengan baik maka hatinya akan menjadi mati. Hal inilah yang sangat
dikhawatirkan oleh para ulama’ terhadap orang-orang yang belajar, karena ketika
hati mereka mati, niscaya pelajaran dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya akan sulit
masuk dalam fikiran dan hati untuk difahami, dan bahkan tidak akan bisa masuk
sama sekali. Na’udzubillah min dzalik.
Pada sebuah penelitian mengenai air yang
dilakukan oleh seorang ilmuan dari jepang yang bernama Matsaru Emoto agaknya
bisa menjadi sebuah bukti bagi kita, bahwa didalam penelitian tersebut ia
mendapati bahwa air yang ada disekitar kita bisa menangkap dan merespon
ucapan-ucapan yang dikeluarkan manusia yang ada disekitar air tersebut, jika
ucapan-ucapan yang ada disekelilingnya bernilai buruk, maka air tersebut akan
buruk pula partikelnya. Dan ketika ucapan-ucapan yang ada disekitarnya bernilai
baik, maka air itu akan baik pula partikel-partikelnya. Bahkan banyak disekitar
kita para kiyai-kiyai yang menjadikan air sebagai perantara media do’a untuk
mengobati orang sakit.
Perlu kita ketahui bahwa para ilmuan
biologi mengatakan melalui penelitian-penelitiaannya bahwa lebih dari 70%
manusia kita berupa zat cair, terlebih otak manusia yang 80% berupa zat cair.
Disinilah kita bisa memahami betapa berpengaruhnya kuwalitas kalam
seseorang terhadap dirinya sendiri. Marilah kita perbaiki kalam kita
dengan sebaik mungkin mulai dari sekarang. Biasakan menggunakan kalam yang
baik dan bermanfaat, seperti halnya yang sudah dijelaskan didalam nahwu bahwa:
الكلام هو اللفظُ المُفيدُ بالوَضْعي
“Kalam adalah Lafadz yang berfaidah dan
disengaja”
Maka dari sinilah mari kita fahami bahwa kita dituntut untuk
memperbaiki kalam kita selama ini apabila mungkin banyak kesalahan yang
sangat fatal sehingga kita sulit memahami pelajaran, dan sulit memahami
nasehat-nasehat untuk diri kita dan sebagainya. Pada kaidah nahwu mengenai
kalam seperti yang ada diatas sudah begitu jelas, bahwa kita dituntut untuk
berbicara pada hal-hal yang sekiranya bermanfaat saja, hindari
perkataan-perkataan yang sia-sia apalagi yang tidak bermanfaat. Berbicaralah
apabila diperlukan (بالوَضْعي), jangan berbicara seolah-seolah anda sedang mengigau
(ngelindur red. Jawa) yang mana hal itu sangatlah tidak bermanfaat.
No comments:
Post a Comment