PEMAHAMAN HADIS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
A. Pemahaman
Hadits Secara Tekstual dan Kontekstual
Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual
dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi
yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetapi menurut
pemahaman adalah sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang
bersangkutan.
Dalam pada itu, pemahaman dan penerapan
hadis secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadis, ada
petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan
diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang tekstual (tersurat).[1]
Dapat disimpulkan bahwa pemahaman hadits
secara tekstual adalah pengambilan informasi atau pesan sesuai dengan intensitas
informasi yang tersurat pada teks hadits. Sedangkan pemahaman kontekstual
adalah pengambilan informasi atau pesan yang tidak hanya cukup dengan apa yang tersurat
pada teks hadits saja, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dan pesan
pendukung lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau
pesan yang diharapkan oleh sang muakallim (Nabi SAW).
B. Alasan
Pemahaman Secara Tekstual dan atau Kontekstual
Sebuah hadits dipahami secara tekstual karena
pada dasarnya secara jelas dan gamblang teks atau redaksinya sudah menginformasikan
pesan dan informasi yang dimaksud oleh Nabi SAW secara gamblang. Dalam memahami
hadits yang seperti ini tidak membutuhkan usaha keras seperti penggalian
informasi pendukung lain diluar teks hadits tersebut, karena seluruh makna dan
pesannya sudah dicerminkan oleh redaksinya.
Sedangkan ada juga hadits-hadits yang menuntut
untuk dipahami secara kontekstual, hal ini dikarenakan hadits tersebut tidak
dapat dipahami dan diamalkan dengan baik jika hanya dipahami secara tekstual
saja. Oleh karena itu membutuhkan banyak informasi dan pendukung lain diluar
redaksi hadis tersebut untuk memahami dan kemudian dapat diamalkan dengan baik
dan tepat.
Pada dasarnya permasalahan pemahaman hadits
baik secara tekstual atau kontekstual adalah menyangkut masalah ketepatan dalam
memahaminya sehingga hadits tersebut dapat diamalkan sesuai dengan yang
diharapkan oleh Nabi sesuai dengan perintah Allah, dan bukan merupakan
keinginan pribadi maupun emosi saja apakah suatu hadits hendak dipahami secara
tekstual atau kontekstual.
C. Contoh Hadits
Yang Dipahami Secara Tekstual dan Yang Dipahami Secara Kontekstual
1.
Contoh hadits dengan cara pemahaman tekstual
عن أنس بن مالك قال سمِعْتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
يقول لا يَقبل الله صلاة بغير طهور ولا صدقة مِن غلولٍ (رواه ابن ماجه)
Dari Anas bin Malik berkata: Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah shalat seseorang itu diterima oleh Allah
jika tanpa bersuci, dan tidak diterima pula sedekah dari hasil menipu”[2]
Dengan membaca apa yang tersurat dalam hadits
di atas, seseorang dapat memahaminya secara langsung, tanpa adanya
informasi-informasi pendukung lainnya diluar teks hadits tersebut. Dalam hadits
di atas sangat jelas gamblang dijelaskan bahwa orang yang shalat tanpa bersuci,
maka salatnya tidak akan diterima oleh Allah. Begitu juga dengan harta sedekah
yang didapat dari hasil mencuri juga tidak akan diterima oleh Allah. Oleh
karena itu hadits di atas sudah dapat dipahami oleh pembaca dengan cara
tekstual.
2.
Contoh hadits dengan cara pemahaman
kontekstual
عن أبي اسحاق قال: سمعتُ عبد الله بن معقل قال: سمعتُ
عدِيَّ بن حاتم رضي الله عنه قال: سمعتُ
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: اتَّقوْا النَّارَ ولَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ.
(رواه البخاري)[3]
Dari Abu Ishaq, dia berkata: Aku mendengar
Abdullah bin Ma’qil berkata: Aku mendengar Adil bin Hatim RA berkata: Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Berlindunglah (peliharalah dirimu) dari api neraka
meskipun dengan separuh kurma”
Hadits di atas tidak dapat dipahami secara
tekstual apa adanya karena tidaklah mungkin separuh kurma dapat melindungi
seorang hamba dari panasnya api neraka. Oleh karena itu hadits di atas
hendaknya dapat dipahami secara kontekstual, yaitu melihat sisi historisnya
atau asbabul wurudnya atau dengan melihat hadits lain yang dapat
membantu untuk memahami hadits tersebut. Di dalam syarh fathul bari
dijelaskan bahwa latar belakang hadits yaitu:
عن عائشة رضي الله عنها قالتْ: دخلتْ امرأةٌ معها ابنتان
لها تَسأل فلمْ تَجِدْ عنديْ شيْئًا غير تمرَةٍ فأعْطَيْتُها إيّاها فقسمتْها بين
ابنتيها ولم تأْكُلْ منها، ثمّ قامتْ فخرجتْ فدخل النبي صلّى الله عليه وسلّم
علينا فأخْبرْتُه فقال: مَنِ ابْتُلِيَ مِن هذه البنات بشيء كُنَّ له سِتْرًا مِنَ
النارِ. (رواه البخاري)
Dari Aisyah ra, dia berkata: “Seorang wanita
masuk bersama kedua orang anaknya untuk meminta-minta. Namun ia tidak
mendapatkan sesuatu padaku selain satu buah kurma, dan aku memberikan
kepadanya. Lalu dia membagi kurma itu untuk kedua anaknya dan ia sendiri tidak
memakannya. Kemudian ia berdiri dan keluar (pergi). Lalu Nabi SAW masuk, maka
aku memberitahukan kepada beliau. Beliau bersabda: “Barangsiapa diuji dengan
anak-anak perempuan ini, niscaya (separuh kurma) itu akan menjadi penghalang
baginya dari api neraka””
Jadi, hadits di atas merupakan informasi
pendukung untuk memahami hadits yang sebelumnya. Dengan demikian yang dimaksud
adalah berkah dari sedekah separuh buah kurma yang dilakukan oleh Aisyah kepada
para pengemis disaat ia tidak memiliki apa-apa kecuali satu buah kurma, dapat menghindarkannya
dari api neraka.[4]
حدّثنا الحُميدي قال حدّثنا سفيان حدّثنا الأعمش عن مسلم
قال: كنا مع مسروق في دار يسار بن نُمير، فرأى في صُفّته تماثيل فقال: سمعتُ عبد
الله قال: سمعتُ النبي صلى الله عليه وسلّم يقول: "إنّ أشدّ الناس عذابًا عند
الله يوم القيامة المصوِّرون" (رواه البخاري)[5]
Secara
tekstual hadis tersebut memberikan pengertian larangan untuk melukis, bahkan dalam hadis lain para
pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang
dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya
ada lukisannya.[6]
Larangan
melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya mempunyai
latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat
belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan
patung dan semacamnya. Dalam kepastianya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat
islam telepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah
dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan.
Kalau illat
hukumnya demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan
terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap
lukisan, maka membuat dan memajangnya diperbolehkan. Kaidah usul fiqih
menyatakan, hukum itu ditentukan oleh ilat-nya (latar belakangnya), bila
illat-nya ada maka hukumnya ada. Dan bila illat-nya sudah tidak ada, maka hukumnya juga
tidak ada.[7]
Al-Bukhari dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari
Bab fi amal wa thuluhu, mencantumkan hadis yang diriwayatkan oleh
Abdullah ibnu Mas’ud. Matan hadisnya yang pernah digambarkan langsung oleh Nabi
di hadapan para sahabat, yang dituturkan dalam khabarnya sebagai berikut:
عن عبد الله ابن مسعود رضي الله عنه قال خطَّ النبي صلّى
الله عليه وسلّم خطًّا مربَّعًا وخَطَّ خطًّا في الوسط خارجا منه خططًا صغارًا الى
هذا الذي في الوسط مِن جانِبِه الذي في الوسط وقال هذا الإنسان وهذا أخله محيْط به
أو قد أحاط به وهذا الذي هو خارج أمله وهذه الخطط الصّغار الأعراض فإن أخطأه هذا
نهشه هذا وإن أخطأه هذا نهشه هذا. (رواه البخاري)
Dari Abdullah ibnu Mas’ud, dia berkata, “Nabi
SAW membuat gambar segi empat. Kemudian menggambar sebuah garis lurus memanjang
hingga keluar dari garis kotak segi empat. Lalu Nabi menggambar garis-garis
kecil melintasi garis lurus yang memanjang di tengah kotak segi empat. Lalu
Nabi menjelaskan (maksud gambar): Ini adalah manusia, dan garis-garis persegi
itu adalah kurungan ajalnya, sedang garis panjang yang keluar dari batas itu
adalah angan-angan atau cita-citanya. Adapun garis-garis persegi itu adalah
tantangan atau rintangan yang selalu menghadang manusia lolos dari satu
tantangan maka akan berhadaoan dengan tantangan yang berikutnya, dan apabila
dia lolos dari satu tantangan lagi, maka dia akan berhadapan dengan tantangan
yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari)
1.
Pemahaman Tekstual
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud di
atas secara tekstual berisi visualisasi kehidupan dan bagaimana tepatnya sikap
kita menghadapi suatu tantangan kehidupan. Terdapat tiga persoalan yang menurut
paparan hadits itu dihadapi manusia dalam kehidupan. Pertama, persoalan
batas waktu ajal kehidupan manusia. Kedua, persoalan tentang panjangnya
waktu untuk cita-cita yang dapat dibuat manusia dalam kehidupan. Ketiga,
persoalan problema atau tantangan yang dihadapi dalam kehidupan.
Tiga persoalan pokok ini disampaikan oleh Nabi
di hadapan para sahabat yang tetap relevan untuk kita pegangi dalam menjalani
kehidupan sekarang dan ke depan.
Deskripsi sketsa kehidupan manusia dan
tantangannya di atas menggambarkan garis-garis pokok dan mendasar tentang ajal
manusia, rentang waktu pencapaian cita-cita, tantangan yang dihadapi. Semuanya
terlihat dalam sketsa gambar secara garis besar. Di dalamnya tidak disertakan
penjelasan detail seputar tafsir dan makna lebih jauh dari sketsa Nabi.
Penjelasan di sekitar maksud sketsa ditemukan dalam beberapa kitab syarh
hadits, antara lain seperti berikut ini.
Menurut Al-Kirmani, garis-garis itu meliputi
dua ketentuan: garis-garis lurus dalam kotak segi empat adalah gambaran ajal
manusia, sedang garis lurus yang memanjang hingga keluar kotak segi empat
adalah gambaran cita-cita.
Masih menurut Al-Kirmani, ajal manusia
dibatasi dalam garis lurus yang terdapat di kotak segi empat. Dijelaskannya
juga secara inferensi, bahwa orang yang tidak meninggal karena sebab-sebab
tertentu maka dia akan meninggal dengan sebab ajal.
Pada kutipan di atas, tidak ditemui penjelasan
misalnya sampai sejauh mana batas-batas yang pasti dari ajal manusia itu.
Misalnya sampai kapan dia akan meninggal; di waktu kecil, atau waktu remaja,
atau waktu tua, atau di garis bagian sebelah mana dia akan meninggal dalam
batas garis-garis di ruang dalam dari kotak segi empat itu. Sebab-sebabnya pun
kita tidak diberitahu secara jelas. Begitu pula tentang panjang pendeknya batas
usia. Batas usia, hanya disinggung secara global, masih dalam garis-garis yang
ada di kotak segi empat.
Selanjutnya, tentang cita-cita manusia,
Al-Kirmani menjelaskan. Menurut Al-Kirmani, ini adalah ketentuan yang
mengungkap perlunya manusia memendekkan cita-cita atau angan-angan, dan
sebaliknya banyak menyiapkan diri untuk menghadapi ajal.
Dalam melihat persoalan cita-cita dimaksud,
Al-Kirmani lebih melihat sikap bagaimana kita menghadapi realitas cita-cita
tersebut di dunia ini dan menyikapinya dengan amal-amal positif karena tokoh
manusia akan berhadapan dengan ajal. Pendek kata, cita-cita menurut pandangan
ini cukup dirumuskan dalam kalimat sederhana, namun perbuatan baik harus
diperbanyak agar persiapan menuju kehidupan di hari kemudian lebih siap.
Ungkapan batas tepatnya seperti apa belum kita temukan.
Adapaun yang dimaksud dengan Al-A’radh,
menurut Al-Kirmani adalah tantangan atau ujian yang ditampakkan kepermukaan
kehidupan. Apabila manusia selamat dari tantangan yang satu ini maka ia belum
otomatis selamat dari keseluruhan dengan tidak ditimpa cobaan sakit atau yang
semisalnya, maka akan terkena tantangan berupa akan datang ajal. Menurut
Al-Kirmani, tantangan itu terkait dengan tantangan selamat atau tidaknya mereka
dalam rangka menghadapi maut. Namun, bagaimanakah menghadapai tantangan seperti
yang dihadapi sekarang? Selanjutnya akan dapat dipahami dengan pemahaman secara
kontekstual dari hadits di atas.
2.
Pemahaman Kontekstual
Selain pemahaman tekstual hadits di atas,
dalam studi kita dapat melihat dari sudut pemahaman kontekstual. Misalnya,
melihat bagaimana kaitan persoalan kehidupan pada masa lalu dan upaya memenuhi
kebutuhan masa kini.
Mengenai ajal, yakni persoalan mengenai batas
waktu ajal manusia, kita juga belum menemukan adanya rumusan yang pasti.
Mungkin hal itu adalah bagian ijtihadi yang bisa ditelusuri lebih lanjut
dengan menggunakan kecerdasan akal karena akal manusia memiliki daya jangkau
memikirkan suatu persoalan. Atau bisa juga, hal ini menjadi rahasia Tuhan.
Namun, tafsiran yang dekat dengan kebenaran adalah tafsiran berdasar
petunjuk-Nya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, dan tidak sekedar
bersandar keinginan bermuatan emosi, seperti kata Khairul Anwar, “Aku ingin
hidup seribu tahun lagi”.
Tampaknya, memperpanjang umur dengan banyak
amal saleh, seperti banyak menderma, atau menulis buku-buku manfaat agar dapat
memperpanjang kenangan dalam kehidupan, dapat diterima dengan akal sehat. Atau,
kita dapat menafsirkan makna kotak batas ajal manusia itu dengan arti yang
lebih luas.
Dari gambaran Al-Kirmani bahwa ajal dalam
kotak segi empat (besar dan kecil), di situ kita dibei peluang berikhtiar untuk
memperpanjang usia masing-masing. Segi empat yang besar adalah gambaran ajal
manusia yang dikarunia usia panjang, sementara garis-garis yang di dalamnya menunjukkan
kotak yang kecil-kecil, menunjukkan usia yang lebih pendek. Mereka yang dapat
mengatasi problema demi problema kehidupan dari hukum sebab-akibat, yang ada
pada segi empat-segi empat kecil, mereka lolos dari problema kehidupan yang
mengitari manusia yang sering membawanya kepada ajal, seperti sakit, bunuh
diri, atau kecelakaan. Ajal dalam segi empat besar adalah sejenis jarak jauh
usia yang dapat dilalui manusia yang tidak menutup kemungkinan terus berikhtiar
untuk dipenuhinya persyaratan umur panjang, seperti yang lazim ditemukan dalam
ilmu-ilmu kesehatan.
Dalam konteks ini, terbuka cakrawala manusia
untuk mengikhtiarkan menurut jangkauan akalnya. Di luar itu, kita tentu
menghadapi ketentuan Zat Yang Maha Penentu, Yang Maha Mengetahui apa yang akan
terjadi pada hamba-Nya pada keesokan hari. Dialah Pemilik rahasia utama ajal,
yang biasanya dapat penyelesai “keangkuhan” manusia dari teka-teki panjang
pendeknya usia. Mungkin saja seorang manusia pada hari kemarin masih segar yang
tak ada seorang pun curiga akan ditinggalkan olehnya, namun ajal di atas segala
sebab bisa tiba-tiba datang. Pada saat demikian, manusia di sekelilingnya
kadang tidak percaya pada hal itu, tiba-tiba ajal datang menjemputnya.
Persoalan ajal yang dalam arti inilah yang dapat menyelesaikan teka-teki ajal
dengan tidak pandang bulu. Itulah ajal yang mutlak, yang hanya bisa diyakini
yang tak mampu dijawab oleh akal sehat manusia.
Tentang cita-cita, manusia rupanya memang mempunyai
daya khayal yang jauh kedepan. Dari sekian banyak makhluk, manusialah yang
terbukti mampu merencanakan aktivitas untuk masa depan. Bahkan, mereka dapat
menciptakan suasana untuk merekayasa masa depan yang gemilang yang diangankan
bagi hidup kemanusiaan. Dari banyaknya imajinasi yang bisa dirancang manusia,
maka gambar daya khayal tersebut jauh melebihi panjang segi empat yang
merupakan batas masa kehidupan yang bisa dilaluinya. Dengan ungkapan lain, daya
khayal, cita-cita, dan imajinasi manusia memang bisa tanpa batas, melebihi
panjang usianya. Dari cita-cita yang dapat direncanakan, kini tidak aneh jika
seorang arsitek misalnya, sudah bisa menyiapkan bagaimana merancang arsitektur,
merancang tata kota, bahkan mungkin merancang negara 10-20 tahun ke depan. Bahkan
mungkin untuk 50 tahun yang akan datang. Di sini, pemahaman kontekstual
diperlukan dalam mencerna hadits sebagai shuluh agama dalam melihat
perspektif masa depan.
Selanjutnya tantangan kehidupan, adalah
sesuatu yang minta ditanggulangi, atau objek yang menggugah tekad untuk
meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Tantangan kehidupan tetap minta
diatasi oleh setiap manusia yang ingin eksis dalam kehidupan. Tantangan
kehidupan masa kini cukup kompleks bukan sekedar persoalan sakit atau
meninggal. Semua dituntut menemukan jawabannya. Sebab, satu tantangan selesai
dihadapi telah siap hadir tantangan baru yang menuntut juga untuk dijawab.
Memang, satu segi tantangan itu tidak bisa dilepaskan dari ajal. Akan tetapi,
kalau tantangan itu dijawab satu demi satu akan menentukan nasib masa depan
yang amat berharga bagi kebangkitan umat. Tantangan perlu dijawab dan itu dapat
berdampingan pemecahannya dengan penyelesaian sakit, terhindarnya diri dari
marabahaya yang kadang dapat menjemput maut. Jelasnya, tantangan dapat dihadapi
secara berdampingan dengan pemecahan persoalan hidup atau juga penyiapan
menghadapi kematian.
Akhirnya persoalan ajal, cita-cita, dan
tantangan kehidupan merupakan persoalan yang meminta kearifan manusia dalam
menghadapinya. Kompleksnya persoalan masa kini, menuntut orang tidak surut dari
medan kehidupan, sehingga mereka perlu menghadapinya dengan menempatkan fokus
persoalan pada posisi yang semestinya. Itu bisa dilakukan dengan sambil meraih
buah cita-cita, menyelesaikan tantangan, serta bersiap menghadapi ajal yang
memang harus dihadapinya dengan kesiapan amal-amal salih yang selalu
dilakukannya. Allahu A’lam.[8]
[1] H.M.
Syuhudi Islam, Hadis Nabi yang
Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994.
[3] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ As-Shahih, Juz.
1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1980.
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Ash-Shahih Al-Bukhari, Terj.
Gazirah Abdi Ummah, Jilid 8, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002).
[6]
Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritia
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001)
[8] H. M. Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadis Nabi di Era Teknologi Informasi,
(Semarang: RaSAIL Mdia Group, 2010).
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete