SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, September 29, 2013

Pemahaman Hadis Secara Tekstual dan Kontekstual



 PEMAHAMAN HADIS SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL

A.    Pemahaman Hadits Secara Tekstual dan Kontekstual
Pemahaman dan penerapan hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang terjadinya, tetapi menurut pemahaman adalah sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan.
Dalam pada itu, pemahaman dan penerapan hadis secara kontekstual dilakukan bila “di balik” teks suatu hadis, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak sebagai mana maknanya yang tekstual (tersurat).[1]
Dapat disimpulkan bahwa pemahaman hadits secara tekstual adalah pengambilan informasi atau pesan sesuai dengan intensitas informasi yang tersurat pada teks hadits. Sedangkan pemahaman kontekstual adalah pengambilan informasi atau pesan yang tidak hanya cukup dengan apa yang tersurat pada teks hadits saja, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dan pesan pendukung lain dari luar teks tersebut sehingga dapat menyempurnakan informasi atau pesan yang diharapkan oleh sang muakallim (Nabi SAW).
B.     Alasan Pemahaman Secara Tekstual dan atau Kontekstual
Sebuah hadits dipahami secara tekstual karena pada dasarnya secara jelas dan gamblang teks atau redaksinya sudah menginformasikan pesan dan informasi yang dimaksud oleh Nabi SAW secara gamblang. Dalam memahami hadits yang seperti ini tidak membutuhkan usaha keras seperti penggalian informasi pendukung lain diluar teks hadits tersebut, karena seluruh makna dan pesannya sudah dicerminkan oleh redaksinya.
Sedangkan ada juga hadits-hadits yang menuntut untuk dipahami secara kontekstual, hal ini dikarenakan hadits tersebut tidak dapat dipahami dan diamalkan dengan baik jika hanya dipahami secara tekstual saja. Oleh karena itu membutuhkan banyak informasi dan pendukung lain diluar redaksi hadis tersebut untuk memahami dan kemudian dapat diamalkan dengan baik dan tepat.
Pada dasarnya permasalahan pemahaman hadits baik secara tekstual atau kontekstual adalah menyangkut masalah ketepatan dalam memahaminya sehingga hadits tersebut dapat diamalkan sesuai dengan yang diharapkan oleh Nabi sesuai dengan perintah Allah, dan bukan merupakan keinginan pribadi maupun emosi saja apakah suatu hadits hendak dipahami secara tekstual atau kontekstual.
C.    Contoh Hadits Yang Dipahami Secara Tekstual dan Yang Dipahami Secara Kontekstual
1.      Contoh hadits dengan cara pemahaman tekstual
عن أنس بن مالك قال سمِعْتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول لا يَقبل الله صلاة بغير طهور ولا صدقة مِن غلولٍ (رواه ابن ماجه)
Dari Anas bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah shalat seseorang itu diterima oleh Allah jika tanpa bersuci, dan tidak diterima pula sedekah dari hasil menipu”[2]
Dengan membaca apa yang tersurat dalam hadits di atas, seseorang dapat memahaminya secara langsung, tanpa adanya informasi-informasi pendukung lainnya diluar teks hadits tersebut. Dalam hadits di atas sangat jelas gamblang dijelaskan bahwa orang yang shalat tanpa bersuci, maka salatnya tidak akan diterima oleh Allah. Begitu juga dengan harta sedekah yang didapat dari hasil mencuri juga tidak akan diterima oleh Allah. Oleh karena itu hadits di atas sudah dapat dipahami oleh pembaca dengan cara tekstual.

2.      Contoh hadits dengan cara pemahaman kontekstual
عن أبي اسحاق قال: سمعتُ عبد الله بن معقل قال: سمعتُ عدِيَّ  بن حاتم رضي الله عنه قال: سمعتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: اتَّقوْا النَّارَ ولَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ. (رواه البخاري)[3]
Dari Abu Ishaq, dia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Ma’qil berkata: Aku mendengar Adil bin Hatim RA berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Berlindunglah (peliharalah dirimu) dari api neraka meskipun dengan separuh kurma”
Hadits di atas tidak dapat dipahami secara tekstual apa adanya karena tidaklah mungkin separuh kurma dapat melindungi seorang hamba dari panasnya api neraka. Oleh karena itu hadits di atas hendaknya dapat dipahami secara kontekstual, yaitu melihat sisi historisnya atau asbabul wurudnya atau dengan melihat hadits lain yang dapat membantu untuk memahami hadits tersebut. Di dalam syarh fathul bari dijelaskan bahwa latar belakang hadits yaitu:
عن عائشة رضي الله عنها قالتْ: دخلتْ امرأةٌ معها ابنتان لها تَسأل فلمْ تَجِدْ عنديْ شيْئًا غير تمرَةٍ فأعْطَيْتُها إيّاها فقسمتْها بين ابنتيها ولم تأْكُلْ منها، ثمّ قامتْ فخرجتْ فدخل النبي صلّى الله عليه وسلّم علينا فأخْبرْتُه فقال: مَنِ ابْتُلِيَ مِن هذه البنات بشيء كُنَّ له سِتْرًا مِنَ النارِ. (رواه البخاري)
Dari Aisyah ra, dia berkata: “Seorang wanita masuk bersama kedua orang anaknya untuk meminta-minta. Namun ia tidak mendapatkan sesuatu padaku selain satu buah kurma, dan aku memberikan kepadanya. Lalu dia membagi kurma itu untuk kedua anaknya dan ia sendiri tidak memakannya. Kemudian ia berdiri dan keluar (pergi). Lalu Nabi SAW masuk, maka aku memberitahukan kepada beliau. Beliau bersabda: “Barangsiapa diuji dengan anak-anak perempuan ini, niscaya (separuh kurma) itu akan menjadi penghalang baginya dari api neraka””
Jadi, hadits di atas merupakan informasi pendukung untuk memahami hadits yang sebelumnya. Dengan demikian yang dimaksud adalah berkah dari sedekah separuh buah kurma yang dilakukan oleh Aisyah kepada para pengemis disaat ia tidak memiliki apa-apa kecuali satu buah kurma, dapat menghindarkannya dari api neraka.[4]
حدّثنا الحُميدي قال حدّثنا سفيان حدّثنا الأعمش عن مسلم قال: كنا مع مسروق في دار يسار بن نُمير، فرأى في صُفّته تماثيل فقال: سمعتُ عبد الله قال: سمعتُ النبي صلى الله عليه وسلّم يقول: "إنّ أشدّ الناس عذابًا عند الله يوم القيامة المصوِّرون" (رواه البخاري)[5]
Secara tekstual hadis tersebut memberikan pengertian larangan untuk melukis, bahkan dalam hadis lain para pelukis hari kiamat kelak dituntut untuk memberikan nyawa kepada apa yang dilukiskannya di dunia. Malaikat juga tidak akan masuk rumah yang didalamnya ada lukisannya.[6]
Larangan melukis dan memajang lukisan yang dikemukakan Nabi itu sesungguhnya mempunyai latar belakang hukum (illat al-hukum). Pada zaman Nabi, masyarakat belum lama terlepas dari kepercayaan menyekutukan Allah, yakni penyembahan patung dan semacamnya. Dalam kepastianya sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad berusaha keras agar umat islam telepas dari kemusyrikan tersebut. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan larangan memproduksi dan memajang lukisan.
Kalau illat hukumnya demikian, maka pada saat umat Islam tidak lagi dikhawatirkan terjerumus kedalam kemusyrikan, khususnya dalam bentuk penyembahan terhadap lukisan, maka membuat dan memajangnya diperbolehkan. Kaidah usul fiqih menyatakan, hukum itu ditentukan oleh ilat-nya (latar belakangnya), bila illat-nya ada maka hukumnya ada. Dan bila illat-nya sudah tidak ada, maka hukumnya juga tidak ada.[7]

Al-Bukhari dalam kitabnya Shahih Al-Bukhari Bab fi amal wa thuluhu, mencantumkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah ibnu Mas’ud. Matan hadisnya yang pernah digambarkan langsung oleh Nabi di hadapan para sahabat, yang dituturkan dalam khabarnya sebagai berikut:
عن عبد الله ابن مسعود رضي الله عنه قال خطَّ النبي صلّى الله عليه وسلّم خطًّا مربَّعًا وخَطَّ خطًّا في الوسط خارجا منه خططًا صغارًا الى هذا الذي في الوسط مِن جانِبِه الذي في الوسط وقال هذا الإنسان وهذا أخله محيْط به أو قد أحاط به وهذا الذي هو خارج أمله وهذه الخطط الصّغار الأعراض فإن أخطأه هذا نهشه هذا وإن أخطأه هذا نهشه هذا. (رواه البخاري)
Dari Abdullah ibnu Mas’ud, dia berkata, “Nabi SAW membuat gambar segi empat. Kemudian menggambar sebuah garis lurus memanjang hingga keluar dari garis kotak segi empat. Lalu Nabi menggambar garis-garis kecil melintasi garis lurus yang memanjang di tengah kotak segi empat. Lalu Nabi menjelaskan (maksud gambar): Ini adalah manusia, dan garis-garis persegi itu adalah kurungan ajalnya, sedang garis panjang yang keluar dari batas itu adalah angan-angan atau cita-citanya. Adapun garis-garis persegi itu adalah tantangan atau rintangan yang selalu menghadang manusia lolos dari satu tantangan maka akan berhadaoan dengan tantangan yang berikutnya, dan apabila dia lolos dari satu tantangan lagi, maka dia akan berhadapan dengan tantangan yang lainnya.” (HR. Al-Bukhari)
1.      Pemahaman Tekstual
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud di atas secara tekstual berisi visualisasi kehidupan dan bagaimana tepatnya sikap kita menghadapi suatu tantangan kehidupan. Terdapat tiga persoalan yang menurut paparan hadits itu dihadapi manusia dalam kehidupan. Pertama, persoalan batas waktu ajal kehidupan manusia. Kedua, persoalan tentang panjangnya waktu untuk cita-cita yang dapat dibuat manusia dalam kehidupan. Ketiga, persoalan problema atau tantangan yang dihadapi dalam kehidupan.
Tiga persoalan pokok ini disampaikan oleh Nabi di hadapan para sahabat yang tetap relevan untuk kita pegangi dalam menjalani kehidupan sekarang dan ke depan.
Deskripsi sketsa kehidupan manusia dan tantangannya di atas menggambarkan garis-garis pokok dan mendasar tentang ajal manusia, rentang waktu pencapaian cita-cita, tantangan yang dihadapi. Semuanya terlihat dalam sketsa gambar secara garis besar. Di dalamnya tidak disertakan penjelasan detail seputar tafsir dan makna lebih jauh dari sketsa Nabi. Penjelasan di sekitar maksud sketsa ditemukan dalam beberapa kitab syarh hadits, antara lain seperti berikut ini.
Menurut Al-Kirmani, garis-garis itu meliputi dua ketentuan: garis-garis lurus dalam kotak segi empat adalah gambaran ajal manusia, sedang garis lurus yang memanjang hingga keluar kotak segi empat adalah gambaran cita-cita.
Masih menurut Al-Kirmani, ajal manusia dibatasi dalam garis lurus yang terdapat di kotak segi empat. Dijelaskannya juga secara inferensi, bahwa orang yang tidak meninggal karena sebab-sebab tertentu maka dia akan meninggal dengan sebab ajal.
Pada kutipan di atas, tidak ditemui penjelasan misalnya sampai sejauh mana batas-batas yang pasti dari ajal manusia itu. Misalnya sampai kapan dia akan meninggal; di waktu kecil, atau waktu remaja, atau waktu tua, atau di garis bagian sebelah mana dia akan meninggal dalam batas garis-garis di ruang dalam dari kotak segi empat itu. Sebab-sebabnya pun kita tidak diberitahu secara jelas. Begitu pula tentang panjang pendeknya batas usia. Batas usia, hanya disinggung secara global, masih dalam garis-garis yang ada di kotak segi empat.
Selanjutnya, tentang cita-cita manusia, Al-Kirmani menjelaskan. Menurut Al-Kirmani, ini adalah ketentuan yang mengungkap perlunya manusia memendekkan cita-cita atau angan-angan, dan sebaliknya banyak menyiapkan diri untuk menghadapi ajal.
Dalam melihat persoalan cita-cita dimaksud, Al-Kirmani lebih melihat sikap bagaimana kita menghadapi realitas cita-cita tersebut di dunia ini dan menyikapinya dengan amal-amal positif karena tokoh manusia akan berhadapan dengan ajal. Pendek kata, cita-cita menurut pandangan ini cukup dirumuskan dalam kalimat sederhana, namun perbuatan baik harus diperbanyak agar persiapan menuju kehidupan di hari kemudian lebih siap. Ungkapan batas tepatnya seperti apa belum kita temukan.
Adapaun yang dimaksud dengan ­Al-A’radh, menurut Al-Kirmani adalah tantangan atau ujian yang ditampakkan kepermukaan kehidupan. Apabila manusia selamat dari tantangan yang satu ini maka ia belum otomatis selamat dari keseluruhan dengan tidak ditimpa cobaan sakit atau yang semisalnya, maka akan terkena tantangan berupa akan datang ajal. Menurut Al-Kirmani, tantangan itu terkait dengan tantangan selamat atau tidaknya mereka dalam rangka menghadapi maut. Namun, bagaimanakah menghadapai tantangan seperti yang dihadapi sekarang? Selanjutnya akan dapat dipahami dengan pemahaman secara kontekstual dari hadits di atas.
2.      Pemahaman Kontekstual
Selain pemahaman tekstual hadits di atas, dalam studi kita dapat melihat dari sudut pemahaman kontekstual. Misalnya, melihat bagaimana kaitan persoalan kehidupan pada masa lalu dan upaya memenuhi kebutuhan masa kini.
Mengenai ajal, yakni persoalan mengenai batas waktu ajal manusia, kita juga belum menemukan adanya rumusan yang pasti. Mungkin hal itu adalah bagian ijtihadi yang bisa ditelusuri lebih lanjut dengan menggunakan kecerdasan akal karena akal manusia memiliki daya jangkau memikirkan suatu persoalan. Atau bisa juga, hal ini menjadi rahasia Tuhan. Namun, tafsiran yang dekat dengan kebenaran adalah tafsiran berdasar petunjuk-Nya, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Nabi, dan tidak sekedar bersandar keinginan bermuatan emosi, seperti kata Khairul Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”.
Tampaknya, memperpanjang umur dengan banyak amal saleh, seperti banyak menderma, atau menulis buku-buku manfaat agar dapat memperpanjang kenangan dalam kehidupan, dapat diterima dengan akal sehat. Atau, kita dapat menafsirkan makna kotak batas ajal manusia itu dengan arti yang lebih luas.
Dari gambaran Al-Kirmani bahwa ajal dalam kotak segi empat (besar dan kecil), di situ kita dibei peluang berikhtiar untuk memperpanjang usia masing-masing. Segi empat yang besar adalah gambaran ajal manusia yang dikarunia usia panjang, sementara garis-garis yang di dalamnya menunjukkan kotak yang kecil-kecil, menunjukkan usia yang lebih pendek. Mereka yang dapat mengatasi problema demi problema kehidupan dari hukum sebab-akibat, yang ada pada segi empat-segi empat kecil, mereka lolos dari problema kehidupan yang mengitari manusia yang sering membawanya kepada ajal, seperti sakit, bunuh diri, atau kecelakaan. Ajal dalam segi empat besar adalah sejenis jarak jauh usia yang dapat dilalui manusia yang tidak menutup kemungkinan terus berikhtiar untuk dipenuhinya persyaratan umur panjang, seperti yang lazim ditemukan dalam ilmu-ilmu kesehatan.
Dalam konteks ini, terbuka cakrawala manusia untuk mengikhtiarkan menurut jangkauan akalnya. Di luar itu, kita tentu menghadapi ketentuan Zat Yang Maha Penentu, Yang Maha Mengetahui apa yang akan terjadi pada hamba-Nya pada keesokan hari. Dialah Pemilik rahasia utama ajal, yang biasanya dapat penyelesai “keangkuhan” manusia dari teka-teki panjang pendeknya usia. Mungkin saja seorang manusia pada hari kemarin masih segar yang tak ada seorang pun curiga akan ditinggalkan olehnya, namun ajal di atas segala sebab bisa tiba-tiba datang. Pada saat demikian, manusia di sekelilingnya kadang tidak percaya pada hal itu, tiba-tiba ajal datang menjemputnya. Persoalan ajal yang dalam arti inilah yang dapat menyelesaikan teka-teki ajal dengan tidak pandang bulu. Itulah ajal yang mutlak, yang hanya bisa diyakini yang tak mampu dijawab oleh akal sehat manusia.
Tentang cita-cita, manusia rupanya memang mempunyai daya khayal yang jauh kedepan. Dari sekian banyak makhluk, manusialah yang terbukti mampu merencanakan aktivitas untuk masa depan. Bahkan, mereka dapat menciptakan suasana untuk merekayasa masa depan yang gemilang yang diangankan bagi hidup kemanusiaan. Dari banyaknya imajinasi yang bisa dirancang manusia, maka gambar daya khayal tersebut jauh melebihi panjang segi empat yang merupakan batas masa kehidupan yang bisa dilaluinya. Dengan ungkapan lain, daya khayal, cita-cita, dan imajinasi manusia memang bisa tanpa batas, melebihi panjang usianya. Dari cita-cita yang dapat direncanakan, kini tidak aneh jika seorang arsitek misalnya, sudah bisa menyiapkan bagaimana merancang arsitektur, merancang tata kota, bahkan mungkin merancang negara 10-20 tahun ke depan. Bahkan mungkin untuk 50 tahun yang akan datang. Di sini, pemahaman kontekstual diperlukan dalam mencerna hadits sebagai shuluh agama dalam melihat perspektif masa depan.
Selanjutnya tantangan kehidupan, adalah sesuatu yang minta ditanggulangi, atau objek yang menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan mengatasi masalah. Tantangan kehidupan tetap minta diatasi oleh setiap manusia yang ingin eksis dalam kehidupan. Tantangan kehidupan masa kini cukup kompleks bukan sekedar persoalan sakit atau meninggal. Semua dituntut menemukan jawabannya. Sebab, satu tantangan selesai dihadapi telah siap hadir tantangan baru yang menuntut juga untuk dijawab. Memang, satu segi tantangan itu tidak bisa dilepaskan dari ajal. Akan tetapi, kalau tantangan itu dijawab satu demi satu akan menentukan nasib masa depan yang amat berharga bagi kebangkitan umat. Tantangan perlu dijawab dan itu dapat berdampingan pemecahannya dengan penyelesaian sakit, terhindarnya diri dari marabahaya yang kadang dapat menjemput maut. Jelasnya, tantangan dapat dihadapi secara berdampingan dengan pemecahan persoalan hidup atau juga penyiapan menghadapi kematian.
Akhirnya persoalan ajal, cita-cita, dan tantangan kehidupan merupakan persoalan yang meminta kearifan manusia dalam menghadapinya. Kompleksnya persoalan masa kini, menuntut orang tidak surut dari medan kehidupan, sehingga mereka perlu menghadapinya dengan menempatkan fokus persoalan pada posisi yang semestinya. Itu bisa dilakukan dengan sambil meraih buah cita-cita, menyelesaikan tantangan, serta bersiap menghadapi ajal yang memang harus dihadapinya dengan kesiapan amal-amal salih yang selalu dilakukannya. Allahu A’lam.[8]


[1] H.M. Syuhudi Islam, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994.
[2] Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, terj. Mahyuddin Syaf, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1978).
[3] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Al-Jami’ As-Shahih, Juz. 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1980.
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Ash-Shahih Al-Bukhari, Terj. Gazirah Abdi Ummah, Jilid 8, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002).
[5] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op. Cit., Jilid 4. 
[6] Said Agil Husain Munawar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud Studi Kritia Hadis Nabi    Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001)
[7] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarata: PT. Bulan Bintang,1994).
[8] H. M. Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadis Nabi di Era Teknologi Informasi, (Semarang: RaSAIL Mdia Group, 2010).

2 comments: