MAKALAH BALAGHAH (التنكير)
I.
PENDAHULUAN
Sebagai umat muslim tentu tahu, bahwa
agama Islam adalah agama yang mencintai keindahan. Tidak jauh dari itu,
pastinya setiap muslim juga mengetahui tentang keindahan bahasa kitab suci
(Al-Qur’an), yang memang tidak bisa dinafikan lagi tentang keindahan bahasanya.
Tidak lain disini bahasa Arablah yang menjadi titik tolok cerminannya. Tentu di
dalam keindahan bahasa Arab bukanlah sekedar keindahan belaka, melainkan butuh
ilmu (Al-ma’ani) untuk bisa memahami setiap makna yang terkandung dalam
katanya sesuai konteksnya.
Al-ma’ani
merupakan cabang ilmu balaghoh yang memberi manfaat kepada pengkajinya untuk
mengetahui inti maksud yang terkandung dalam kalam yang tersusun dari
satu kalimat atau lebih.
Jumlah (kalimat) dalam
bahasa Arab terdiri atas dua unsur. Kedua unsur itu adalah musnad dan
musnad ilaih. Musnad ilaih atau musnad ada kalanya yang
berupa isim nakirah dan ma’rifat. Dalam pembentukan kata yang
berupa ma’rifat disebut ta’rif, sedangkan pembentukan kata yang
berupa nakirah disebut tankir.
Pada kesempatan kali ini akan dijelaskan seputar tankir, dimana musnad ilaih ataupun musnad yang
berupa nakirah mempunyai makna yang terkandung dalam kalimat tersebut
sesuai dengan tujuan-tujuannya. Dan pembahasan rincinya adalah sebagai berikut:
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimanakah Pemahaman
Tentang Tankir?
B.
Apa Saja
Tujuan-Tujuan Tankir Pada Musnad Ilaih?
C.
Apa Saja
Tujuan-Tujuan Tankir Pada Musnad?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pemahaman
Tentang Tankir
Sebelum mengenal lebih jauh mengenai tankir,
harus terlebih dahulu mengetahui apa itu nakirah? Dengan memahami
terlebih dahulu mengenai nakirah dirasa akan lebih mepermudah dalam
memahami tankir, karena keduanya saling berdampingan dan satu akar kata نَكِرَ يَنْكَرُ نَكْرًا. Secara bahasa kata nakirah berasal dari fi’il tsulasi
mujarrod yaitu نَكِرَ يَنْكَرُ yang mempunyai arti “ (tidak mengetahui)”.
Sedangkan secara istilah nakirah dapat diartikan sebagai berikut:
النكرة
اسم يدل على شيء غير معيّن بسبب شيوعه بين أفراد كثيرة من نوعه تشابهه في حقيقة
ويصدق على كل منها اسمه
Nakirah
adalah isim yang menunjukkan sesuatu yang tak tertentu (tidak spesifik), karena
ia mencakup satu persatu personalnya (أفراد) yang banyak. Dan dalam hakikatnya setiap
personal tersebut serupa dan memiliki satu nama yang sama.
Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa nakirah merupakan kata yang masih bersifat umum dan
tidak tertentu identitasnya. Setelah mengetahui pengertian nakirah,
selanjutnya akan dibahas mengenai pengertian tankir.
Kata tankir berasal dari kata نَكَّرَ يُنَكِّرُ تَنْكِيرًا, kata tersebut berasal dari bentuk mujarrad-nya نَكِرَ
dengan mendapatkan tambahan tadl’if pada ‘ain fi’il-nya.
Penambahan di sini berpengaruh pada perubahan makna, yaitu dengan tujuan
membuat fi’il dari isim (لاتِّخاذِ الفعلِ من الإسمِ). Secara
bahasa bisa diartiakan “menyamarkan”,
sedangkan jika dihubungkan dengan konteks pembahasan ilmu balaghah, tankir bisa
diartikan menjadi “membuat nakirah”. Jadi perlu diperhatikan bahwa kata tankir
dalam makalah ini diartikan sebagai pembuatan nakirah.
B.
Tujuan-Tujuan
Tankir Pada Musnad Ilaih
Setelah memahami apa itu tankir? Selanjutnya harus diketahui bahwa tankir
bukanlah sekedar pembentukan kata menjadi bentuk nakirah saja tanpa
adanya tujuan suatu apapun. Di dalam literatur ilmu nahwu banyak dijelaskan
mengenai tujuan dari pe-nakirah-an suatu kata. Nakirah
dan tankir pada dasarnya hanya berlaku pada kata isim saja.
Tujuan-tujuan tersebut dilihat dari sisi ilmu nahwu. sedangkan dalam kajian
ilmu balaghah yang dikaji adalah makna yang tersembunyi dibalik tujuan-tujuan
tersebut.
Untuk mengetahui tujuan dari pe-nakirah-an
suatu kata tidak hanya bisa dilihat dari kata nakirah tersebut saja, melainkan
juga bisa melihat pada siyaq (konteks) dari kalimat yang ada. Karena konteks
yang ada dapat memberikan informasi pada tujuan apa yang sebenarnya dituju oleh
mutakallim. Namun
demikian fungsi kata yang nakirah tersebut tetap mempunyai andil dalam
proses pencarian tujuan tankir pada suatu kalimat.
Tujuan tankir yang pertama akan dijelaskan
adalah tankir pada musnad ilaih, tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1.
Menunjukkan jumlah tunggal (إفراد)
Pada
tujuan ifrad ini musnad ilaih dimaksudkan mempunyai makna tunggal
yang tidak spesifik (غير معيّن). Karena tidak berkenaan dengan tujuan apapun ketika men-ta’yin
(menspesifikkan) dan men-ta’rif-kan (me-ma’rifat-kan) musnad
ilaih tersebut. Seperti
dalam contoh firman Allah SWT sebagai berikut:
وَجَاءَ
مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ
يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ
"Dan
datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata:
"Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu," (QS. Yasin 36: 20)
Pada
contoh di atas yang menjadi musnad ilaih yang di-tankir adalah kata
“رَجُلٌ”. Dengan begitu yang dimaksudkan adalah seorang laki-laki yang
tidak dispesifikkan identitasnya.
Tujuan
tankir yang berupa ifrad ini hanya berlaku pada musnad ilaih yang
berupa kata jenis saja (اسم الجنس). Seperti pada contoh di atas, kedudukan رَجُلٌ merupakan bagian dari رِجالٌ, atau bisa dikatakan individu yang menjadi bagian dari populasi (فرد من أشخاص الرجال).
2.
Menyatakan jumlah yang banyak (تكثير)
Pada tujuan taktsir ini musnad ilaih
dimaksudkan mempunyai bilangan yang banyak. Seperti contoh firman Allah SWT
sebagai berikut:
وجَاءَ
السَّحَرَةُ فِرْعَوْنَ قَالُوا إِنَّ لَنَا لأجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ
“Dan beberapa
ahli sihir itu datang kepada Fir’aun mengatakan: “(Apakah) sungguhnya kami akan
mendapat upah, jika kami yang menang?””. (QS. Al-A’raf: 113)
Pada
contoh di atas yang menjadi musnad ilaih yang di-tankir adalah kata “أجْرٌ”. Mereka (para ahli sihir) menginginkan
upah banyak dan hadiah besar jika memang mereka dapat mengalahkan Nabi Musa AS.
Fir’aun pun menjawab permintaan mereka:
قَالَ
نَعَمْ وَإِنَّكُمْ لَمِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ
“Fir’aun
berkata: “Ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang
dekat (kepadaku)” (Al-A’raf: 114)
Dengan
begitu maknanya bukan sekedar upah sedikit, melainkan upah yang banyak.
3.
Menyatakan jumlah yang sedikit (تقليل)
Pada
tujuan taqlil ini bermaksud memberikan informasi bahwa musnad ilaih mempunyai jumlah yang
sedikit. Seperti contoh; Ada seorang yang bertanya kepada Aziz: “Apakah kamu
masih punya uang yang bisa kamu pakai untuk liburan nanti?” Kemudian Aziz
menjawab:
بقِي شيءٌ
“Tinggal
segini”
Pada
contoh di atas kata شيءٌ berkedudukan sebagai musnad ilaih yang berbentuk nakirah
atau bermakna umum (tidak jelas), dengan tujuan ingin menunjukkan bahwa musnad
ilaih (شيءٌ) yang mewakili uang milik Aziz memang berjumlah sangat
sedikit sekali.
Sebagai contoh
lainnya yaitu:
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ
أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan
Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar". (QS.
At-taubah: 72)
Pada
contoh di atas kata رِضْوَانٌ menjadi musnad ilaih yang di-tankir, artinya ridla
Allah yang sedikit itu lebih besar daripada surga-surga yang ada, kerena ridla
Allah merupakan pangkal dari semua kebahagiaan.
4.
Membagi-bagi (تنويع)
Dengan ini musnad ilaih di-tankir-kan
dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa musnad ilaih mempunyai bentuk yang
bermacam-macamnya. Dan musnad ilaih yang ditunjukkan merupakan salah
satu dari macam-macam bentuk tersebut.
وَعَلَى
أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةُ.....
“Dan
penglihatan mereka ditutup” (Al-Baqarah: 7)
Pada
contoh di atas yang berkedudukan sebagai musnad ilaih yang di-tankir
adalah kata “غشاوة”. Dengan demikian kata غشاوة merupakan salah satu macam dari غشاوات. Lebih
jelasnya lagi kata غشاوة disini maksudnya adalah penutupan penglihatan yang membuat mata
menjadi buta tidak bisa melihat tanda-tanda kekuasaan Allah (haq).
لكل
داء دواء يستطب به ۞
“Setiap
penyakit pasti ada obat yang dapat menyembuhkannya”
Musnad ilaih yang di-tankir dalam contoh di atas adalah
kata “دواء”. Kata دواء
di sini mempunyai berbagai macam jenis sesuai dengan penyakitnya, yang bisa
dipakai untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit tersebut.
5.
Untuk memuliakan atau mengagungkan (تعظيم)
Pada
tujuan ta’dhim ini musnad ilaih berbentuk nakirah dimaksudkan
untuk menunjukkan keagungannya (musnad ilaih).
ولكم
في القصاص حياة
“Dan dalam
qishah ada (jaminan kelangsungan) hidup” (Al-Baqarah: 179)
Musnad
ilaih yang di-tankir pada contoh di atas adalah
kata “حياة”.
Pada ayat ini disebutkan kata حياة (hidup) dalam
bentuk nakirah dengan maksud menunjukkan keagungan hidup yang disebabkan
oleh adanya qishas. Karena dengan adanya qishas seseorang bisa
merasakan keamanan harta benda dan jiwanya. Dengan demikian hidupnya menjadi
lebih tentram (حياة عظيمة).
6.
Merendahkan, menghina atau mengejek (تحقير)
Pada
tujuan ini musnad ilaih berbentuk nakirah dimaksudkan untuk menunjukkan
sikap merendahkan, menghina atau mengejeknya (musnad ilaih). Misalnya
ketika seseorang mengetahui temannya yang mendapat ranking paling bawah dikelas
datang, kemudian dia mengatakan:
حاضَرَ
محاضِرٌ
“Pak
dosen datang”
Pada
contoh di atas kata محاضِرٌ menjadi musnad ilaih yang di-tankir. Dari contoh
ini musnad ilaih dibuat dengan bentuk nakirah bertujuan untuk
mengejek, karena pada hakikatnya Si mutakallim bisa saja menyebutkan
nama aslinya, bukan dengan sindiran kata محاضِرٌ. Misalkan: حاضَرَ
يوسف.
لقد خاب قوم غاب عنهم نبيّهم ۞ وقدّس من يسري
إليهم ويغتدي
“Sungguh rugi
sekali kaum (quraisy) yang ditinggalkan oleh Nabi mereka”
Pada
contoh di atas kata قوم menjadi musnad ilaih yang di-tankir, dengan
maksud untuk merendahkan kaum quraisy yang tidak mengalami kemajuan
kualitas moral, semenjak Nabi SAW datang kepada mereka hingga Nabi meninggalkan
mereka.
7.
Karena tidak tahu (جهل)
Yang
dimaksud dari jahl di sini adalah Si mutakallim menyebutkan musnad
ilaih dalam bentuk nakirah karena ia tidak tahu-menahu mengenainya (musnad
ilaih). Misalkan ketika ada teman baru di sekolah yang pertama kali masuk
kelas. Seorang siswa mengatakan:
اِلْتحق
تلميذٌ بالمدرسة
“Ada siswa yang
bergabung di sekolah”
Pada
contoh di atas kata “تلميذٌ” berkedudukan sebagai musnad ilaih yang berbentuk nakirah.
Sang mutakallim menggunakan kata تلميذٌ dengan bentuk nakirah karena ia
tidak tahu-menahu menganai siswa baru tersebut, baik namanya, asal tempat tinggalnya,
atau apa saja yang bersangkutan dengan siswa baru tersebut.
8.
Bermaksud menakut-nakuti (تهويل)
Yang
dimaksud dengan tahwil di sini adalah menakut-nakuti atau membuat takut mukhatab
atau lawan bicara. Proses tahwil ini dilakukan dengan cara membuat musnad
ilaih menjadi berbentuk nakirah. Seperti dalam firman Allah SWT:
يا أبت
إنّي أخاف أنْ يَمَسَّكَ عذابٌ من الرحمن
“Wahai Bapakku,
sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha
Pemurah”
(Maryam: 45)
Pada
contoh ayat di atas kata عذابٌ berkedudukan sebagai musnad ilaih yang di-tankir. Dalam
ayat tersebut Nabi Ibrahim AS menasehati ayahnya Azar yang berprofesi sebagai
pembuat dan penjual patung untuk sesembahan. Dalam ayat ini konteksnya
menggunakan kata عذابٌ yang berbentuk nakirah dengan maksud agar mukhatab
(Azar) menjadi takut, karena ia tidak akan tahu dengan apa? Kapan? dan seperti apakah adzab yang akan menimpanya?, sehingga ia akan terus
terbayang-banyang olehnya.
9.
Menunjukkan toleransi atau untuk
memperhalus ucapan (تهوين)
Dalam
proses tankir ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa toleransi dengan
keadaan yang sedang dialami oleh musnad ilaih. Misalnya ketika ada Aziz
mempunyai seorang teman yang mengulang pelajaran-pelajarannya lagi dari awal atau
tidak naik kelas, dan ia pun mengetahuinya. Kemudian ada seseorang yang bertanya:
“Siapa yang mengulang kelas?”. Kemudian Aziz menjawab:
يعيد
الدروسَ طالبٌ
“Yang
mengulang pelajaran-pelajaran (tidak naik kelas) adalah Siswa”
Pada
contoh di atas kata طالبٌ berkedudukan sebagai musnad ilaih yang berbentuk nakirah.
Pada contoh ini Aziz menjawab dengan menggunakan kata طالبٌ (siswa) yang berbentuk nakirah (umum),
hal ini dimaksudkan agar Aziz tidak menyinggung perasaan temannya yang tidak
naik kelas tersebut.
10. Menyamarkan
atau menyembunyikan musnad ilaih (تلبيس)
Dalam
proses tankir ini bertujuan untuk menyamarkan atau menyembunyikan
identitas dan privasi musnad ilaih dari mukhatab. Seperti contoh
pada waktu malam hari libur para santri tidur, kemudian pada saatnya untuk
salat subuh mereka tidak bangun, kecuali hanya satu orang santri saja. Kemudian
santri tersebut melaporkan hal itu kepada pak kiyai. Akhirnya pak kiyai
memanggil para santri yang tertidur dan tidak salat subuh tersebut, pak kiyai
berkata kepada mereka:
أبلغني
طالب أنّكم نمْتم عن صلاة الصبح
“Ada santri yang
memberikan informasi bahwa kalian tidur pada saatnya untuk salat subuh”
Pada
contoh di atas kata طالب menjadi musnad ilaih yang di-tankir, dengan
alasan untuk menyamarkan identitas santri yang melapor kepada pak kiyai
tersebut dan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada
santri tersebut.
11. Mengagungkan
dan menunjukkan arti banyak sekaligus
وَإِنْ
يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ وَإِلَى اللَّهِ
تُرْجَعُ الأمُورُ
"Dan jika
mereka mendustakan kamu (sesudah kamu beri peringatan), maka sungguh telah
didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu. Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan
segala urusan".
(QS. Fathir: 4)
Dalam
contoh di atas kata رُسُلٌ menjadi musnad ilaih, kata ini merupakan bentuk jamak
dari رسُوْلٌ.
Dengan bentuk jamak dan nakirah maka kata tersebut menunjukkan makna taktsir.
Namun demikian dengan bentuk nakirah bukan berarti jumlah para Rasul
Allah tidak ada batasnya, akan tetapi ini menunjukkan pengagungan (ta’dhim)
kepada para Rasul yang seakan-akan berjumlah banyak dan tidak ada batasannya.
Hal ini tentunya berlainan ketika kata رُسُلٌ berbentuk ma’rifat (الرُسُل), maka tidaklah terdapat tujuan ta’dhim di dalamnya,
karena walaupun menunjukkan arti jamak kata masih dibatasi oleh bentuknya yang ma’rifat,
yaitu dengan kemasukan ال.
C.
Tujuan-Tujuan
Tankir Pada Musnad
Begitu pula tankir pada musnad, memiliki
tujuan-tujuan tersendiri dalam pen-tankir-annya. Dan tujuan-tujuan tersebut
adalah:
1.
Mengikuti (إتباع)
Maksud dari tujuan ini
adalah mengikutkan bentuk musnad dengan bentuk musnad ilaih
menjadi nakirah.
Hal ini dikarenjakan tidak adanya musnad yang ma’rifat bersamaan
dengan musnad ilaih yang nakirah.
Seperti
contoh sebagai berikut:
رَجُلٌ مِنَ الْكِرَامِ حَاضِرٌ
“Laki-laki yang mulia
hadir”
Pada contoh di atas kata
حَاضِرٌ berkedudukan sebagai musnad yang
di-tankir dengan tujuan mengikuti bentuk musnad ilaih yang nakirah.
2.
Mengangungkan (تفخيم)
Maksudnya adalah untuk
menunjukkan agungnya musnad.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertakwa” (Al-Baqoroh: 2)
Pada contoh di atas
kata هُدًى berkedudukan sebagai musnad yang
berupa khabar dari mubtada’ (musnad ilaih) yang dibuang,
yaitu هو. Bentuk aslinya adalah هو
هُدًى. Kata هُدًى di-nakirah-an
bertujuan untuk memberitahu akan keagungnya. Dengan begitu berarti yang dimaksud dalam ayat
tersebut bukanlah sekedar petunjuk (هُدًى) biasa, namun dari sini
dapat mengetahui bahwa yang dimaksud adalah pentunjuk yang luar biasa agungnya,
karena dengan berpedoman kepada Al-Qur’an manusia akan mendapatkan petunjuk
dalam menjalani semua urusan-urusannya, baik urusan dunia maupun akhirat. Hal
ini ditunjukkan dengan redaksi kata هُدًى yang
berbentuk nakirah (umum), ini mengisyaratkan begitu luasnya jangkauan
petunjuk tersebut, hingga mencakup segala urusan dan permasalahan-permasalahan hamba-Nya.
3.
Menghina atau
merendahkan (حطّ)
Maksudnya adalah menghina, merendahkan atau menganggap rendah musnad.
Seperti contoh berikut:
الْحَاصِلُ لَكَ مِنْ
هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ
“Manfaat yang kamu peroleh dari harta ini hanya sedikit”
Pada contoh di atas
kata شَيْءٌ
berkedudukan sebagai musnad yang di-tankir, dengan maksud
memberitahukan bahwa musnad (شَيْءٌ) bernilai rendah (merendahkan).
4.
Tidak mengetahui
dengan pasti (فقد عهد)
Dalam hal ini musnad di-tankir dengan maksud Si mutakallim
tidak mengetahui secara pasti informasi yang ada. Sebagai contoh berikut:
خالِدٌ أَديْبٌ
“Kholid adalah sastrawan”
Pada contoh di atas
kata أَديْبٌ menjadi musnad yang di-tankir,
sebab mutakallim tidak mengetahui pasti apakah Kholid benar-benar pintar
sastra. Oleh karena itu jika memang mutakallim mengetahui pasti bahwa Kholid
benar-benar pintar sastra, maka redaksinya adalah menggunakan bentuk ma’rifat
(خالِدٌ الأديْبُ).
5.
Untuk
mengumumkan (تعميم)
Pada tujuan ini yang dimaksud adalah mutakallim tidak
mengkhususkan musnad pada musnad ilaih. Seperti dalam contoh
berikut:
محمدٌ شَاعِرٌ
“Muhammad adalah penyair”
Dalam contoh di atas kata شَاعِرٌ
berkedudukan sebagai musnad
yang di-tankir. Pada contoh di atas tidak dikatakan محمدٌ
الشَاعِرٌ karena
jika dikatakan demikian maka maksud perkataan tersebut adalah Muhammad
merupakan penyair, dan tidak ada penyair lain selainnya. Sedangkan yang
dikehendaki bukanlah demikian.
IV.
KESIMPULAN
Kata tankir berasal dari kata نَكَّرَ يُنَكِّرُ تَنْكِيرًا, kata tersebut berasal dari bentuk mujarrad-nya نَكِرَ
dengan mendapatkan tambahan tadl’if pada ‘ain fi’il-nya.
Penambahan di sini berpengaruh pada perubahan makna, yaitu dengan tujuan
membuat fi’il dari isim (لاتِّخاذِ الفعلِ من الإسمِ). Secara bahasa bisa diartiakan “menyamarkan”, sedangkan jika dihubungkan
dengan konteks pembahasan ilmu balaghah, tankir bisa diartikan menjadi
“membuat nakirah”. Jadi perlu diperhatikan bahwa kata tankir dalam
makalah ini diartikan sebagai pembuatan nakirah.
Dalam literatur ilmu balaghah, tankir
dikaji bukan dari segi proses pen-tankir-annya tetapi dari segi makna
yang tersembunyi dibalik tujuan-tujuan tankir tersebut. Untuk mengetahui tujuan
dari pe-nakirah-an suatu kata tidak hanya bisa dilihat dari kata nakirah
tersebut saja, melainkan juga bisa melihat pada siyaq (konteks) dari
kalimat yang ada.
Tujuan-tujuan yang melatar belakangi tankir
pada musnad ilaih adalah sebagai berikut:
1.
menunjukkan
jumlah tunggal (إفراد)
2.
Menyatakan
jumlah yang banyak (تكثير)
3.
Menyatakan
jumlah yang sedikit (تقليل)
4.
Membagi-bagi (تنويع)
5.
Untuk memuliakan atau mengagungkan
(تعظيم)
6.
Merendahkan, menghina atau mengejek
(تحقير)
7.
Karena tidak
tahu (جهل)
8.
Bermaksud
menakut-nakuti (تهويل)
9.
Menunjukkan
toleransi atau untuk memperhalus ucapan (تهوين)
10. Menyamarkan
atau menyembunyikan musnad ilaih (تلبيس)
11. Mengagungkan
dan menunjukkan arti banyak sekaligus
Sedangkan tujuan yang melatar belakangi tankiru
musnad adalah:
a.
Mengikuti (إتباع)
b.
Mengangungkan (تفخيم)
c.
Menghina atau
merendahkan (حطّ)
d.
Tidak mengetahui
dengan pasti (فقد عهد)
e.
Untuk
mengumumkan (تعميم)
V.
PENUTUP
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas
terselesaikannya makalah ini. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah balaghah I (Bpk. Machfudz Shidiq, Lc., M. A.),
karena atas bimbingan dan arahan beliaulah makalah ini terwujud. Penulis
sebagai manusia biasa tentu mempunyai kekurangan di segala sisi. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi tercapainya
hasil yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini memberikan manfaat yang besar, baik bagi penulis maupun pembacanya.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Abbasi,
Fadhlu Hasan, Balaghah Fununuha Wa Afnanuha, Yarmuk: Darul Furqon, 1997.
Akawiy,
In’am Fawwal, Al-Mu’jam Al-Mufashal Fi Ulum Al-Al-Balaghah Al-Badi’ Wa
Al-Bayan Wa Al-Ma’aaniy, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2006.
Al-Akub,
Isa Ali, Al-Kafi fi ulumil balaghah AlMa’ani-AlBayan-AlBadi’, Iskandaria:
Al-Jami’ah Al-Maftuhah, 1993.
Al-Fatah,
Basyuni Abd, Ilmul Ma’ani Dirosatul Balaghiyah Wa Taqdiayih Al-Masalah
Al-Ma’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1406.
Al-Ghalayiny, Musthafa, Jami’u Ad-Durusu Al-Arabiyyah, Kairo: Dar El-Hadith,
2005.
Al-Qozwaini,
Jalaluddin, Al-idhah fi ulumil balaghah, tt.
As-sho’idi,
Abdul muta’al, Balaghah Aliyah ‘Ilmu Al-Ma’ani, Kairo: Maktabah Al-adab,
868.
A.W
Munawwir, Kamus Almunawwir Arab-indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997.
Madrasah
Hidayatul Mubtadiin, Taqrirat Al-Jauharu Al-Maknun Fi Tsalasati Al-Funun,
Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo.
Nurim, ‘Ilal, Syarh Jawhirul Maknun, tt.
No comments:
Post a Comment