I.
PENDAHULUAN
Agama
adalah ajaran dan sistem kepercayaan
yang mengatur tata keimanan, yang datang dari Tuhan untuk menjadi
pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun
kebudayaan adalah semua produk aktifitas intelektual manusia untuk memperoleh
kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi. Corak dan warna kebudayaan
dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat
kebudayaan (dalam hal ini kecerdasan).
Islam
hanyalah satu, tetapi kebudayaan Islam tidaklah satu. Sedemikian banyak dan
bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif ruang dan waktu para pencipta dan
pengembang kebudayaan tersebut.
Dalam
kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk memodifikasikan Islam dengan
kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil
interelasi nilai Jawa Islam dengan nilai kepercayaan dan ritual Jawa.
Dalam konteks
Indonesia, kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang
berpengaruh penting karena dimiliki sebagian besar etnik terbesar di Indonesia.
Nilai-nilai Islam memiliki arti penting bagi kebudayaan Jawa, karena mayoritas
masyarakat Jawa beragama dan memeluk agama Islam. Dengan demikian hubungan antara
nilai-nilai Islam dengan kebudayaan Jawa menjadi menarik, karena keberadaan Islam
dan kebudayaan Jawa yang cukup dominan pada bangsa Indonesia. Oleh sebab itu
terdeteksilah interelasi yang cukup signifikan antara keduanya. Di antara
interelasi-interelasi yang ada, terdapat dua tinjauan yang dipandang cukup
menarik, yaitu tinjauan dari aspek kepercayaan dan ritual. Berawal dari sinilah
penulis akan membahasnya lebih lanjut, sebagaimana yang akan dipaparkan.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimanakah Proses Akulturasi
Budaya Jawa dan Islam?
B.
Seperti Apakah Interelasi Nilai-nilai
Jawa dan Islam Dalam Aspek Kepercayaan?
C.
Seperti Apakah Interelasi Nilai-nilai
Jawa dan Islam Dalam Aspek Ritual?
III.
PEMBAHASAN
A.
Bagaimanakah Proses
Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
Dalam sejarah, agama Islam
mulai masuk di Pulau Jawa sebelum abad ke-13 M, dan telah sempurna pada abad
ke-16 M. Sempurna disini dalam arti secara kuantitas sebagian besar penduduk Jawa
telah mengaku sebagai orang Islam, sekalipun jumlah terbesar dari mereka juga
sebatas pada pengucapan syahadat.[1]
Dalam proses penyebaran Islam
di Jawa terdapat dua pendekatan tentang bagaimana cara yang ditempuh agar
nilai-nilai Islam diserap menjadi budaya Jawa. Pendekatan yang pertama disebut Islamisasi
kultur Jawa. Melalui pendekatan ini, budaya Jawa
diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun secara
substansial. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya
penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa.[2]
Melalui cara pertama, Islamisasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu
sehingga simbol-simbol keIslaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa. Sebagai
contoh, sejak berdirinya kerajaan Demak (abad ke-16), dakwah Islam yang
dilakukan oleh para wali yang notabenya adalah kaum sunni (penganut mistik Islam),
belum mendalam dan masih sangat datar. Hal ini dikarenakan kaum sufi yang
menjalankan dakwah Islamiah lebih banyak melakukan gerakan dakwah akulturasi
budaya. Padahal budaya Jawa yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakatnya
adalah budaya magis-mistis, dan masih menyisakan ajaran-ajaran agama
Hindu-Budha. Pendekatan kekeluargaan dan budaya yang cenderung adaptif yang
dilakukan oleh para wali tersebut menjadi berkenan dan diikuti oleh masyarakat Jawa
karena tidak jauh berbeda dengan budaya mistis Jawa yang sudah ada. Dengan
demikian, ajaran mistik Islam yang dibawa oleh para wali tersebut juga telah
mengalami Jawanisasi, dan menyuburkan kasanah Kejawen. Sedangkan pada cara kedua, meskipun
istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai-nilai yang
dikandungnya adalah nilai-nilai Islam, sehingga Islam menjadi menjawa.[3]
Melalui kedua pendekatan
ini, produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah
kepada polarisasi Islam kejawen atau Jawa yang keIslaman sehingga timbul
istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen. Tradisi penyelarasan antara Islam
dan budaya Jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan Islam di Jawa.
Sebagai suatu cara
pendekatan dalam proses akulturasi, kedua kecenderungan tersebut merupakan
strategi yang sering diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu.
Terlebih lagi pendekatan tersebut sesuai dengan watak orang Jawa yang cenderung
bersikap moderat serta mengutamakan
keselarasan.[4]
Begitulah pengIslaman yang
dilakukan oleh para wali di Indonesia, khususnya ditanah Jawa yang dilakukan
secara damai, karena metode yang dipakai dalam berdakwah menggunakan metode yang sangat akomodatif dan
lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan
Buddhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke
dalamnya.[5]
Dengan demikian dalam
kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan Islam dengan
budaya Jawa setempat seperti tersebut telah melahirkan kepercayaan-kepercayaan
serta upacara-upacara ritual yang sinkretis, sebagaimana yang akan diterangkan
selanjutnya.
B.
Seperti Apakah
Interelasi Nilai-nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Kepercayaan?
Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, interelasi berarti hubungan satu sama lain.[6]
Jadi yang dimaksud dengan interelasi antara nilai-nilai Jawa dan Islam disini adalah
hubungan antara nilai-nilai kepercayaan, kultur, ritual atau aspek-aspek Jawa
lain dengan Islam, atau sebaliknya.[7]
Setiap agama
dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek
kepercayaan serta keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral,
suci atau gaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam aqidah
atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman, yang harus dipercayai oleh orang
muslim.[8]
Sementara itu,
dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan dari ajaran agama Hindu terdapat
kepercayaan tentang para dewata seperti Dewa Wisnu atau yang lainnya. Begitu
juga percaya pada kitab-kitab suci,
orang-orang suci (para resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara),
hukum karma, dan hidup bahagia abadi (moksa). Pada agama Budha terdapat
kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha
(penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman
keinginan), dan marga (jalan kelepasan atau nirwana).[9]
Adapun pada
agama “primitif” sebagai “agama” sebelum datangnya agama Hindu-Budha, inti
kepercayaannya adalah Animisme dan Dinamisme. Dan kepercayaan-kepercayaan dari
agama Hindu, Budha, animisme dan dinamisme itulah yang dalam perkembangan Islam
berinterelasi dengan kepercaya-kepercayaan dalam Islam.[10]
Pada aspek
ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai unsur
keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan
berbagai nama yang terhimpun dalam asmaul husna telah berubah menjadi
Gusti Allah, Gusti Kang Murbeg Dumadi (a’-Khaliq) dan
lainnya. Nama-nama tersebut juga
bercampur dengan nama dari agama lain sehingga muncul sebutan Hyang Maha Agung
(Allahu Akbar), atau Sang Hyang Maha Luhur (Allahu Ta’ala), dan kata
Hyang mempunyai arti dewa. Namun demikian, dari berbagai nama itu, dalam
kehidupan sehari-hari orang Jawa lebih terbiasa dengan menyebut Gusti Allah,
Bismillah, Astaghfirullah. Dalam hal ini Allah terhayati sebagai pribadi
yang memelihara, menjadikan, memelihara, memberi petunjuk, dan memeberi rizki
kepada semua makhluk ciptaannya.[11]
Namun
penghayatan tentang prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala pemahaman tentang
ketuhanan masuk dalam dimensi mistik bercorak panteistik. Terdapat sebutan
hidup (urip), suksma, sehingga Tuhan Allah disebut sebagai Hyang Maha
Hidup, Suksma Kawekas yang mengandaikan bahwa Tuhan sebagai Dzat Yang Maha
Hidup, yang menghidupi segala alam. Didalam agama Islam Allah disebut juga al-Hayyu
(Yang Hidup). Esensi dari segala yang ada itu adalah hidup itu sendiri.[12]
Berkaitan dengan
sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu
sering tidak murni oleh karena tercampur oleh penuhanan terhadap benda-benda
yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disini
bukan hanya mulia, terhormat tetapi memiliki daya magis, sebagai sesuatu yang
sakral bersifat ilahiyah. Dalam budaya Jawa terdapat berbagai jenis benda yang
disakralkan, yaitu; azimah, pusaka seperti keris, ikat kepala, cincin, batu
bahkan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang sebagai benda yang
suci, keramat dan bertuah. Barang-barang, benda-benda, ataupun orang-orang
keramat itu dipandang sebagai penghubung (wasilah) kepada Allah. Oleh
karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci
al-Qur’an ataupun huruf-huruf arab menjadi rajahan yang diyakini
memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung didalam
ayat-ayat itu melainkan dari daya gaibnya. Demikian juga al-Qur’an tidak
dibaca, dipahami, dihayati arti dan maknanya sebagai petunjuk hidup yang
diberikan Allah kepada manusia, tetapi dipandang sebagai azimat. Kepercayaan
seperti itu terutama diberlakukan terhadap al-Qur’an cetakan kecil yang
terkenal dengan sebutan al-Qur’an stambul (istambul).[13]
Kaitannya
dengan ketentuan (takdir), orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia
sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang
bersikap nerimo (menerima), dan menyarahkan diri kepada takdir, hal ini
menjadikan mereka tahan dalam penderitaan.[14] Kepercayaan tentang takdir ini tampaknya telah terpengaruh oleh teologi
Jabariyah sehingga terdapat kecendrungan orang Jawa lebih bersikap pasrah,
sumarah dan narimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang
telah digariskan oleh Allah. Padahal manusia mempunyai peluang untuk
berikhtiyar, setidaknya dengan berusaha, berdoa dan memohon pertolongan dari
Allah. Dalam masalah ini orang Jawa masih dipengaruhi kepercayaan primitif
ataupun dari agama Hindu. Tempat-tempat yang baik, hari, bulan dan tahun yang
membawa kepada nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan dengan cara-cara magis.
Dan hari-hari yang jelek sering disebut hari na’as, pada hari itu sebaiknya orang tidak melakukan
kegiatan yang penting.[15]
Jika hari itu tidak dapat dihindari maka perlu diusahakan upacara-upacara
tertentu untuk menetralisir akibat negatif yang ditimbulkan dari hari na’as
tersebut. Dengan demikian, upacara tertentu memiliki kekuatan gaib yang
bersifat menangkal terhadap akibat buruk yang bakal menimpa. Upacara-upacara
dalam agama Hindu tampak memiliki muatan seperti itu, yang diwujudkan dalam
bentuk sesaji. Sesaji merupakan warisan budaya Hindu, sedangkan doa merupakan
inti ibadah dalam Islam. Keduanya menjadi tradisi di kalangan orang Islam Jawa.[16]
Menurut
keyakinan Islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan
sementara tinggal di alam kubur (alam barzah), baik orang tua
ataupun anak-anak. Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang Jawa.[17] Dan orang Jawa sendiri percaya terhadap roh leluhur (nenek moyang)
dan roh halus yang tinggal disekitar tempat tinggal mereka. Roh halus itu
menurut anggapan mereka selain dapat mendatangkan keselamatan juga dapat
mengganggu hidup mereka. Untuk menghindari gangguan tersebut, mereka melakukan
selamatan dan sesajian pada waktu-waktu tertentu. Selametan itu seperti bersih
desa dan membersihkan makam.[18] Disisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang telah
meninggal perlu dikirimi donga (doa), tahlilan tujuh hari, empat puluh
hari, seratus hari, satu tahun (mendak), dan seribu hari (nyewu)
setelah seseorang meninggal. Mendoakan orang yang telah meninggal merupakan
anjuran Islam, sedangkan hari-hari tersebut lebih diwarnai oleh warisan budaya Jawa
pra Islam.[19]
Para wali yang
dipandang sebagai pewaris Nabi juga dipandang memiliki kemampuan-kemampuan luar
biasa, tidak saja ketika mereka masih hidup tetapi juga sesudah mereka meninggal dunia. Oleh karena itu,
terdapat suatu tradisi ngalap berkah dikalangan orang Jawa ketika mereka
berziarah ke makam para Walisongo yang memang dalam kenyataan sejarah para wali
ini merupakan tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa.
Keyakinan tentang wasilah untuk menghubungkan doa permohonan kepada
Tuhan, tidak saja dikaitkan dengan para Nabi, khususnya Nabi Muhammad, tetapi juga
para wali.[20]
C.
Seperti Apakah
Interelasi Nilai-nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Ritual?
Agama Islam
mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistic
tertentu yang meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam
rukun Islam yakni, syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.[21]
Sedangkan pusat
keseluruhan sistem kepercayaan Jawa, terdapat suatu ritual yang sederhana yaitu slametan. Masyarakat
Jawa, sebagai komunitas yang telah terislamkan memang memeluk agama islam.
Namun dalam praktiknya, pola-pola keberagamaan tidak jauh dari pengaruh unsur
keyakinan dan kepercayaan Pra-Islam, yakni keyakinan animisme-dinamisme dan
Hindu-Budha.
Salah satu adat
istiadat, sebagai ritual keagamaan yang paling populer didalam masyarakat islam
Jawa adalah “slametan”, yaitu upacara ritual komunal yang telah
mentradisi dikalangan masyarakat Islam Jawa yang dilaksanakan untuk peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa penting tersebut adalah upacara
tingkeban atau mitoni, kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian.[22]
Dan secara luwes,
Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara tersebut. Dan macam-macam
upacara Jawa yang berhubungan dengan Islam adalah:
1.
Upacara
tingkeban atau mitoni
Dilakukan pada
saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, pada
acara tingkeban ini seperti yang dilakukan di Bagelen dan dibacakan
perjanjen, dengan alat music tamburin kecil. Nyanyian ini dibawakan oleh
empat orang dan dihadapan merekaduduk sekitar 12 orang yang turut menyanyi.
Nyanyian perjanjen ini nyanyian perjanjen ini sesungguhnya
merupakan riwayat dari Nabi Muhammad yang bersumber dari kitab Barzanji.[23] Tetapi ada juga yang pada waktu upacara tersebut dibacakan
al-Quran dengan memilih surat-surat yang dibaca disesuaikan dengan hajatnya.
2.
Upacara
Kelahiran
Dilakukan pada
saat bayi dilahirkan, kemudian diadakan juga slametan yang dilakukan pada saat
pemberian nama dan pencukuran (pemotongan rambut),[24] ketika bayi berumur tujuh hari atau sepasar. Karena itu selamatan
pada upaca ini disebut juga slametan nyepasari, atau disebut juga dengan korban
aqiqah, diucapkan dalam lidah Jawa kekah, dan ditandai dengan
penyembelihan hewan aqiqah berupa 2 ekor kambing untuk anak laki-laki dan 1
ekor kambing untuk anak perempuan.[25]
3.
Upacara
Sunatan
Upacara sunatan
dilakukan pada anak laki-laki yang dikhitan. Adapun upacara ini berbeda-beda
pada tiap daerah dari segi waktu, kapan anak-anak itu disunat. Ada yang baru
lahir langsung disunat ada juga yang berumur antara 12-14 tahun. Dalam istilah
Jawa sunat disebut dengan selam. Jadi oarng yang punya hajat
mengkhitankan anaknya disebut juga dengan nyelamaken yang selanjutnya
dapat diartikan sebagai mengislamkan (ngislamaken).[26]
4.
Upacara
Perkawinan
Dilakukan pada
saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Upacara ini
ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari’ah Islam yakni aqad nikah
(ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak
mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan yang
dilaksanakan yang berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering dilaksanakan
pada beberapa tahap, yakni pada tahap sebelum, ketika pelaksanaan, dan sesudah
aqad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin). Adapun upacara aqad
nikah dengan resepsi dari segi waktu pelaksanaannya, dapat secara berurutan
atau terpisah.[27]
5.
Upacara
Kematian
Dilaksanakannya
upacara ini dimulai pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai
dengan memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan. Setelah penguburan,
dilaksanakan slametan mitung dino (tujuh hari) tiap malam hari selama
sepekan, yaitu kirim doa yang didahului bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil
dan shalawat Nabi yang secara keseluruhan dari rangkaian bacaan tersebut
disebut tahlilan.[28]dan
tahlilan itu sendiri berasal dari kata dasar hallala, yuhallilu, tahliilan
artinya membaca kalimat laailaaha illallaah yang mempunyai arti “tiada
Tuhan selain Allah”.[29]
Dan slametan
yang sama dilaksanakan saat kematian itu sudah mencapai 40 hari (matang
puluh dino), 100 hari (nyatus), satu tahun (mendak pisan),
dua tahun (mendak pindo), dan tiga tahun (nyewu). Tahlilan ini
juga terkadang dilaksanakan ketika berziarah kubur ke makam leluhur, khususnya
menjelang bulan ramadhan, dan upacara ini disebut nyadran.
Bentuk upacara
lain selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang
berkenaan dengan kekeramatan bulan-bulan hijriyah, seperti; upacara Bakda
Besar, Suran, Mbubar Suran, Saparan, Dina Wekasan Mauludan, Jumadilawal,
Jumadilakhir, Rejeban (Mikhradan), Maleman, Riyayan, Sawalan (Kupatan), Sela
dan Sedekahan Haji. Dan masih banyak lagi upacara-upacara yang lainnya.[30]
IV.
ANALISIS
Dalam
penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari yang namanya proses
akulturasi. Proses akulturasi ini bisa dikatakan sangat cocok digunakan di
Indonesia pada saat itu, karena proses akulturasi termasuk golongan cara yang
hanya bisa dilakukan oleh golongan minoritas yang dihadapkan dengan golongan
mayoritas. Hal ini sesuai dengan keadaan dimana agama Islam pada saat itu jarang
dan bahkan belum sama sekali dianut oleh masyarakat Jawa yang mayoritas masih
memeluk agama nenek moyang mereka. Dalam proses akulturasi ini mencakup dua macam
teori, yaitu teori interelasi dan teori sinkretis.
Pada teori
interelasi, proses akulturasi berjalan tidak begitu sulit dibandingkan dengan teori
sinkretis, karena teori ini menitik beratkan pada pengintregasian dua
kebudayaan yang sama antara kebudayaan Jawa dan Islam, berbeda dengan sinkretis
yang berasal dari dua aspek yang berbeda. Dengan adanya interelasi antara kedua
kebudayaan ini, sehingga terlahirlah budaya-budaya baru dari adanya interelasi antara
keduanya. Salah satunya adalah interelasi yang terdapat pada aspek kepercayaan
dan ritual.
Dengan
demikian dapat kita pahami bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam kultur Islam
dan Jawa ada satu sisi yang memiliki hubungan yang hampir tidak berbeda. Dengan
kata lain antara keduanya mempunyai interelasi yang cukup kuat sehingga dapat
diakulturasikan secara baik.
V.
PENUTUP
Demikianlah yang
dapat penulis sampaikan mengenai “Interelasi Antara Nilai-Nilai Jawa dan Islam “Aspek Kepercayaan dan Ritual”. Di dalam makalah ini tentunya terdapat kelalaian maupun
kekurangan penulisan sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik
beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Oleh karena itu
penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala perhatian beserta
partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita
pelajari dan kita dapatkan kali ini bermanfaat, dan mendapat ridho beserta
berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Anies, Madchan,
Tahlil dan Kenduri, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2005.
Imam, Suwarno,
Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Jamil, Abdul, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa,
Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Khalil, Ahmad, Islam
Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Manan, Mahmud, Transformasi
Budaya Unsur-unsur Hinduisme dan Islam Pada Akhir Majapahit (Abad
XV-XVI M), Jakarta: Puslitbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Sofwan, Ridin, dkk, Merumuskan Kembali
Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
SILAHKAN YANG MAU DOWNLOAD BISA LEWAT SINI
JANGAN HANYA COPY PASTE SAJA!
KEMBANGKAN ISI MAKALAH TERSEBUT AGAR LEBIH BERMANFAAT BAGI ANDA DAN PEMBACA!
No comments:
Post a Comment