SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Friday, October 11, 2013

INTERELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM (ASPEK RITUAL)



I.             PENDAHULUAN
Agama adalah ajaran dan sistem kepercayaan yang mengatur tata keimanan, yang datang dari Tuhan untuk menjadi pedoman bagi manusia dalam mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. Adapun kebudayaan adalah semua produk aktifitas intelektual manusia untuk memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup duniawi. Corak dan warna kebudayaan dipengaruhi oleh agama dan sebaliknya pemahaman agama dipengaruhi oleh tingkat kebudayaan (dalam hal ini kecerdasan).
Islam hanyalah satu, tetapi kebudayaan Islam tidaklah satu. Sedemikian banyak dan bervariasi sesuai dengan kondisi obyektif ruang dan waktu para pencipta dan pengembang kebudayaan tersebut.
Dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk memodifikasikan Islam dengan kebudayaan Jawa telah melahirkan berbagai macam produk baru terutama pada hasil interelasi nilai Jawa Islam dengan nilai kepercayaan dan ritual Jawa.
Dalam konteks Indonesia, kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena dimiliki sebagian besar etnik terbesar di Indonesia. Nilai-nilai Islam memiliki arti penting bagi kebudayaan Jawa, karena mayoritas masyarakat Jawa beragama dan memeluk agama Islam. Dengan demikian hubungan antara nilai-nilai Islam dengan kebudayaan Jawa menjadi menarik, karena keberadaan Islam dan kebudayaan Jawa yang cukup dominan pada bangsa Indonesia. Oleh sebab itu terdeteksilah interelasi yang cukup signifikan antara keduanya. Di antara interelasi-interelasi yang ada, terdapat dua tinjauan yang dipandang cukup menarik, yaitu tinjauan dari aspek kepercayaan dan ritual. Berawal dari sinilah penulis akan membahasnya lebih lanjut, sebagaimana yang akan dipaparkan.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
B.     Seperti Apakah Interelasi Nilai-nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Kepercayaan?
C.     Seperti Apakah Interelasi Nilai-nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Ritual?





III.      PEMBAHASAN
A.    Bagaimanakah Proses Akulturasi Budaya Jawa dan Islam?
Dalam sejarah, agama Islam mulai masuk di Pulau Jawa sebelum abad ke-13 M, dan telah sempurna pada abad ke-16 M. Sempurna disini dalam arti secara kuantitas sebagian besar penduduk Jawa telah mengaku sebagai orang Islam, sekalipun jumlah terbesar dari mereka juga sebatas pada pengucapan syahadat.[1]
Dalam proses penyebaran Islam di Jawa terdapat dua pendekatan tentang bagaimana cara yang ditempuh agar nilai-nilai Islam diserap menjadi budaya Jawa. Pendekatan yang pertama disebut Islamisasi kultur Jawa. Melalui pendekatan ini, budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun secara substansial. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa.[2]
Melalui cara pertama, Islamisasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu sehingga simbol-simbol keIslaman nampak secara nyata dalam budaya Jawa. Sebagai contoh, sejak berdirinya kerajaan Demak (abad ke-16), dakwah Islam yang dilakukan oleh para wali yang notabenya adalah kaum sunni (penganut mistik Islam), belum mendalam dan masih sangat datar. Hal ini dikarenakan kaum sufi yang menjalankan dakwah Islamiah lebih banyak melakukan gerakan dakwah akulturasi budaya. Padahal budaya Jawa yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakatnya adalah budaya magis-mistis, dan masih menyisakan ajaran-ajaran agama Hindu-Budha. Pendekatan kekeluargaan dan budaya yang cenderung adaptif yang dilakukan oleh para wali tersebut menjadi berkenan dan diikuti oleh masyarakat Jawa karena tidak jauh berbeda dengan budaya mistis Jawa yang sudah ada. Dengan demikian, ajaran mistik Islam yang dibawa oleh para wali tersebut juga telah mengalami Jawanisasi, dan menyuburkan kasanah Kejawen. Sedangkan pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap dipakai, tetapi nilai-nilai yang dikandungnya adalah nilai-nilai Islam, sehingga Islam menjadi menjawa.[3]
Melalui kedua pendekatan ini, produk-produk budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi Islam kejawen atau Jawa yang keIslaman sehingga timbul istilah Islam Jawa atau Islam Kejawen. Tradisi penyelarasan antara Islam dan budaya Jawa ini telah berlangsung sejak awal perkembangan Islam di Jawa.
Sebagai suatu cara pendekatan dalam proses akulturasi, kedua kecenderungan tersebut  merupakan  strategi yang sering diambil ketika dua kebudayaan saling bertemu. Terlebih lagi pendekatan tersebut sesuai dengan watak orang Jawa yang cenderung bersikap moderat  serta mengutamakan keselarasan.[4]
Begitulah pengIslaman yang dilakukan oleh para wali di Indonesia, khususnya ditanah Jawa yang dilakukan secara damai, karena metode yang dipakai dalam berdakwah  menggunakan metode yang sangat akomodatif dan lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya lama (Hinduisme dan Buddhisme), tetapi secara tidak langsung memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya.[5]
Dengan demikian dalam kehidupan keberagamaan, kecenderungan untuk mengakomodasikan Islam dengan budaya Jawa setempat seperti tersebut telah melahirkan kepercayaan-kepercayaan serta upacara-upacara ritual yang sinkretis, sebagaimana yang akan diterangkan selanjutnya.

B.     Seperti Apakah Interelasi Nilai-nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Kepercayaan?
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, interelasi berarti hubungan satu sama lain.[6] Jadi yang dimaksud dengan interelasi antara nilai-nilai Jawa dan Islam disini adalah hubungan antara nilai-nilai kepercayaan, kultur, ritual atau aspek-aspek Jawa lain dengan Islam, atau sebaliknya.[7]
Setiap agama dalam arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek fundamental, yakni aspek kepercayaan serta keyakinan, terutama kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral, suci atau gaib. Dalam agama Islam aspek fundamental itu terumuskan dalam aqidah atau keimanan sehingga terdapatlah rukun iman, yang harus dipercayai oleh orang muslim.[8]
Sementara itu, dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan dari ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang para dewata seperti Dewa Wisnu atau yang lainnya. Begitu juga percaya  pada kitab-kitab suci, orang-orang suci (para resi), roh-roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma, dan hidup bahagia abadi (moksa). Pada agama Budha terdapat kepercayaan tentang empat kasunyatan (kebenaran abadi), yakni dukha (penderitaan), samudaya (sebab penderitaan), nirodha (pemadaman keinginan), dan marga (jalan kelepasan atau nirwana).[9]
Adapun pada agama “primitif” sebagai “agama” sebelum datangnya agama Hindu-Budha, inti kepercayaannya adalah Animisme dan Dinamisme. Dan kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha, animisme dan dinamisme itulah yang dalam perkembangan Islam berinterelasi dengan kepercaya-kepercayaan dalam Islam.[10]
Pada aspek ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai unsur keyakinan Hindu-Budha maupun kepercayaan primitif. Sebutan Allah dengan berbagai nama yang terhimpun dalam asmaul husna telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti Kang Murbeg Dumadi (a’-Khaliq) dan lainnya.  Nama-nama tersebut juga bercampur dengan nama dari agama lain sehingga muncul sebutan Hyang Maha Agung (Allahu Akbar), atau Sang Hyang Maha Luhur (Allahu Ta’ala), dan kata Hyang mempunyai arti dewa. Namun demikian, dari berbagai nama itu, dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa lebih terbiasa dengan menyebut Gusti Allah, Bismillah, Astaghfirullah. Dalam hal ini Allah terhayati sebagai pribadi yang memelihara, menjadikan, memelihara, memberi petunjuk, dan memeberi rizki kepada semua makhluk ciptaannya.[11]
Namun penghayatan tentang prinsip tauhid itu akan berbeda tatkala pemahaman tentang ketuhanan masuk dalam dimensi mistik bercorak panteistik. Terdapat sebutan hidup (urip), suksma, sehingga Tuhan Allah disebut sebagai Hyang Maha Hidup, Suksma Kawekas yang mengandaikan bahwa Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Hidup, yang menghidupi segala alam. Didalam agama Islam Allah disebut juga al-Hayyu (Yang Hidup). Esensi dari segala yang ada itu adalah hidup itu sendiri.[12]
Berkaitan dengan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme, kepercayaan mengesakan Allah itu sering tidak murni oleh karena tercampur oleh penuhanan terhadap benda-benda yang dianggap keramat, baik benda mati maupun benda hidup. Arti keramat disini bukan hanya mulia, terhormat tetapi memiliki daya magis, sebagai sesuatu yang sakral bersifat ilahiyah. Dalam budaya Jawa terdapat berbagai jenis benda yang disakralkan, yaitu; azimah, pusaka seperti keris, ikat kepala, cincin, batu bahkan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan tertentu dipandang sebagai benda yang suci, keramat dan bertuah. Barang-barang, benda-benda, ataupun orang-orang keramat itu dipandang sebagai penghubung (wasilah) kepada Allah. Oleh karena itu, bacaan doa-doa tertentu berubah menjadi mantra, ayat-ayat suci al-Qur’an ataupun huruf-huruf arab menjadi rajahan yang diyakini memiliki nilai yang sangat berarti, bukan dari makna yang terkandung didalam ayat-ayat itu melainkan dari daya gaibnya. Demikian juga al-Qur’an tidak dibaca, dipahami, dihayati arti dan maknanya sebagai petunjuk hidup yang diberikan Allah kepada manusia, tetapi dipandang sebagai azimat. Kepercayaan seperti itu terutama diberlakukan terhadap al-Qur’an cetakan kecil yang terkenal dengan sebutan al-Qur’an stambul (istambul).[13]
Kaitannya dengan ketentuan (takdir), orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia sudah diatur dalam alam semesta, sehingga tidak sedikit dari mereka yang bersikap nerimo (menerima), dan menyarahkan diri kepada takdir, hal ini menjadikan mereka tahan dalam penderitaan.[14]  Kepercayaan tentang takdir ini tampaknya telah terpengaruh oleh teologi Jabariyah sehingga terdapat kecendrungan orang Jawa lebih bersikap pasrah, sumarah dan narimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh Allah. Padahal manusia mempunyai peluang untuk berikhtiyar, setidaknya dengan berusaha, berdoa dan memohon pertolongan dari Allah. Dalam masalah ini orang Jawa masih dipengaruhi kepercayaan primitif ataupun dari agama Hindu. Tempat-tempat yang baik, hari, bulan dan tahun yang membawa kepada nasib baik itu perlu dicari dan ditentukan dengan cara-cara magis. Dan hari-hari yang jelek sering disebut hari na’as,  pada hari itu sebaiknya orang tidak melakukan kegiatan yang penting.[15] Jika hari itu tidak dapat dihindari maka perlu diusahakan upacara-upacara tertentu untuk menetralisir akibat negatif yang ditimbulkan dari hari na’as tersebut. Dengan demikian, upacara tertentu memiliki kekuatan gaib yang bersifat menangkal terhadap akibat buruk yang bakal menimpa. Upacara-upacara dalam agama Hindu tampak memiliki muatan seperti itu, yang diwujudkan dalam bentuk sesaji. Sesaji merupakan warisan budaya Hindu, sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam Islam. Keduanya menjadi tradisi di kalangan orang Islam Jawa.[16]
Menurut keyakinan Islam, orang yang sudah meninggal dunia ruhnya tetap hidup dan sementara tinggal di alam kubur (alam barzah), baik orang tua ataupun anak-anak. Kepercayaan tersebut telah mewarnai orang Jawa.[17] Dan orang Jawa sendiri percaya terhadap roh leluhur (nenek moyang) dan roh halus yang tinggal disekitar tempat tinggal mereka. Roh halus itu menurut anggapan mereka selain dapat mendatangkan keselamatan juga dapat mengganggu hidup mereka. Untuk menghindari gangguan tersebut, mereka melakukan selamatan dan sesajian pada waktu-waktu tertentu. Selametan itu seperti bersih desa dan membersihkan makam.[18] Disisi lain atas dasar kepercayaan Islam bahwa orang yang telah meninggal perlu dikirimi donga (doa), tahlilan tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun (mendak), dan seribu hari (nyewu) setelah seseorang meninggal. Mendoakan orang yang telah meninggal merupakan anjuran Islam, sedangkan hari-hari tersebut lebih diwarnai oleh warisan budaya Jawa pra Islam.[19]
Para wali yang dipandang sebagai pewaris Nabi juga dipandang memiliki kemampuan-kemampuan luar biasa, tidak saja ketika mereka masih hidup tetapi juga sesudah  mereka meninggal dunia. Oleh karena itu, terdapat suatu tradisi ngalap berkah dikalangan orang Jawa ketika mereka berziarah ke makam para Walisongo yang memang dalam kenyataan sejarah para wali ini merupakan tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di Jawa. Keyakinan tentang wasilah untuk menghubungkan doa permohonan kepada Tuhan, tidak saja dikaitkan dengan para Nabi, khususnya Nabi Muhammad, tetapi juga para wali.[20]

C.    Seperti Apakah Interelasi Nilai-nilai Jawa dan Islam Dalam Aspek Ritual?
Agama Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistic tertentu yang meliputi berbagai bentuk ibadah sebagaimana yang tersimpul dalam rukun Islam yakni, syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.[21]
Sedangkan pusat keseluruhan sistem kepercayaan Jawa, terdapat suatu ritual yang  sederhana yaitu slametan. Masyarakat Jawa, sebagai komunitas yang telah terislamkan memang memeluk agama islam. Namun dalam praktiknya, pola-pola keberagamaan tidak jauh dari pengaruh unsur keyakinan dan kepercayaan Pra-Islam, yakni keyakinan animisme-dinamisme dan Hindu-Budha.
Salah satu adat istiadat, sebagai ritual keagamaan yang paling populer didalam masyarakat islam Jawa adalah “slametan”, yaitu upacara ritual komunal yang telah mentradisi dikalangan masyarakat Islam Jawa yang dilaksanakan untuk peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Peristiwa penting tersebut adalah upacara tingkeban atau mitoni, kelahiran, sunatan, perkawinan, dan kematian.[22]
Dan secara luwes, Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara tersebut. Dan macam-macam upacara Jawa yang berhubungan dengan Islam adalah:
1.      Upacara tingkeban atau mitoni
Dilakukan pada saat janin berusia tujuh bulan dalam perut ibu. Dalam tradisi santri, pada acara tingkeban ini seperti yang dilakukan di Bagelen dan dibacakan perjanjen, dengan alat music tamburin kecil. Nyanyian ini dibawakan oleh empat orang dan dihadapan merekaduduk sekitar 12 orang yang turut menyanyi. Nyanyian perjanjen ini nyanyian perjanjen ini sesungguhnya merupakan riwayat dari Nabi Muhammad yang bersumber dari kitab Barzanji.[23] Tetapi ada juga yang pada waktu upacara tersebut dibacakan al-Quran dengan memilih surat-surat yang dibaca disesuaikan dengan hajatnya.
2.      Upacara Kelahiran
Dilakukan pada saat bayi dilahirkan, kemudian diadakan juga slametan yang dilakukan pada saat pemberian nama dan pencukuran (pemotongan rambut),[24] ketika bayi berumur tujuh hari atau sepasar. Karena itu selamatan pada upaca ini disebut juga slametan nyepasari, atau disebut juga dengan korban aqiqah, diucapkan dalam lidah Jawa kekah, dan ditandai dengan penyembelihan hewan aqiqah berupa 2 ekor kambing untuk anak laki-laki dan 1 ekor kambing  untuk anak perempuan.[25]
3.      Upacara Sunatan
Upacara sunatan dilakukan pada anak laki-laki yang dikhitan. Adapun upacara ini berbeda-beda pada tiap daerah dari segi waktu, kapan anak-anak itu disunat. Ada yang baru lahir langsung disunat ada juga yang berumur antara 12-14 tahun. Dalam istilah Jawa sunat disebut dengan selam. Jadi oarng yang punya hajat mengkhitankan anaknya disebut juga dengan nyelamaken yang selanjutnya dapat diartikan sebagai mengislamkan (ngislamaken).[26]
4.      Upacara Perkawinan
Dilakukan pada saat pasangan muda-mudi akan memasuki jenjang berumah tangga. Upacara ini ditandai secara khas dengan pelaksanaan syari’ah Islam yakni aqad nikah (ijab qabul) yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan yang dilaksanakan yang berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering dilaksanakan pada beberapa tahap, yakni pada tahap sebelum, ketika pelaksanaan, dan sesudah aqad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin). Adapun upacara aqad nikah dengan resepsi dari segi waktu pelaksanaannya, dapat secara berurutan atau terpisah.[27]
5.      Upacara Kematian
Dilaksanakannya upacara ini dimulai pada saat mempersiapkan penguburan orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan. Setelah penguburan, dilaksanakan slametan mitung dino (tujuh hari) tiap malam hari selama sepekan, yaitu kirim doa yang didahului bacaan tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan shalawat Nabi yang secara keseluruhan dari rangkaian bacaan tersebut disebut tahlilan.[28]dan tahlilan itu sendiri berasal dari kata dasar hallala, yuhallilu, tahliilan artinya membaca kalimat laailaaha illallaah yang mempunyai arti “tiada Tuhan selain Allah”.[29]
Dan slametan yang sama dilaksanakan saat kematian itu sudah mencapai 40 hari (matang puluh dino), 100 hari (nyatus), satu tahun (mendak pisan), dua tahun (mendak pindo), dan tiga tahun (nyewu). Tahlilan ini juga terkadang dilaksanakan ketika berziarah kubur ke makam leluhur, khususnya menjelang bulan ramadhan, dan upacara ini disebut nyadran.
Bentuk upacara lain selain berkaitan dengan lingkaran hidup, terdapat pula upacara yang berkenaan dengan kekeramatan bulan-bulan hijriyah, seperti; upacara Bakda Besar, Suran, Mbubar Suran, Saparan, Dina Wekasan Mauludan, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeban (Mikhradan), Maleman, Riyayan, Sawalan (Kupatan), Sela dan Sedekahan Haji. Dan masih banyak lagi upacara-upacara yang lainnya.[30]

IV.      ANALISIS
Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari yang namanya proses akulturasi. Proses akulturasi ini bisa dikatakan sangat cocok digunakan di Indonesia pada saat itu, karena proses akulturasi termasuk golongan cara yang hanya bisa dilakukan oleh golongan minoritas yang dihadapkan dengan golongan mayoritas. Hal ini sesuai dengan keadaan dimana agama Islam pada saat itu jarang dan bahkan belum sama sekali dianut oleh masyarakat Jawa yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Dalam proses akulturasi ini mencakup dua macam teori, yaitu teori interelasi dan teori sinkretis.
Pada teori interelasi, proses akulturasi berjalan tidak begitu sulit dibandingkan dengan teori sinkretis, karena teori ini menitik beratkan pada pengintregasian dua kebudayaan yang sama antara kebudayaan Jawa dan Islam, berbeda dengan sinkretis yang berasal dari dua aspek yang berbeda. Dengan adanya interelasi antara kedua kebudayaan ini, sehingga terlahirlah budaya-budaya baru dari adanya interelasi antara keduanya. Salah satunya adalah interelasi yang terdapat pada aspek kepercayaan dan ritual.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalam kultur Islam dan Jawa ada satu sisi yang memiliki hubungan yang hampir tidak berbeda. Dengan kata lain antara keduanya mempunyai interelasi yang cukup kuat sehingga dapat diakulturasikan secara baik.




V.          PENUTUP
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan mengenai “Interelasi Antara Nilai-Nilai Jawa dan Islam “Aspek Kepercayaan dan Ritual”. Di dalam makalah ini tentunya terdapat kelalaian maupun kekurangan penulisan sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala perhatian beserta partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini bermanfaat, dan mendapat ridho beserta berkah dari Allah SWT. Amin















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Anies, Madchan, Tahlil dan Kenduri, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Imam, Suwarno, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai Kebatinan Jawa, Jakarta: PT. RajaGrafindo  Persada, 2005.
Jamil, Abdul, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Khalil, Ahmad, Islam Jawa Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Manan, Mahmud, Transformasi Budaya Unsur-unsur Hinduisme dan Islam Pada Akhir Majapahit (Abad XV-XVI M), Jakarta: Puslitbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010.
Sofwan, Ridin, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.

SILAHKAN YANG MAU DOWNLOAD BISA LEWAT SINI

JANGAN HANYA COPY PASTE SAJA!

KEMBANGKAN ISI MAKALAH TERSEBUT AGAR LEBIH BERMANFAAT BAGI ANDA DAN PEMBACA!



No comments:

Post a Comment