SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Tuesday, December 10, 2013

HADIS SHAHIH DAN HASAN



A.    Pengertian hadis shahih dan hadis hasan
1.      Hadis shahih
Secara bahasa shahih (صحيح) berarti “sehat”.[1] Sedangkan secara istilah, hadis shahih yaitu:
ما اتّصل سنده بنقل العدل الضابط عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علّة[2]
Hadis shahih adalah hadis yang sanadnya muttashil (mulai dari awal sanad) hingga pada akhir sanad, yang diriwayatkan oleh orang yang adil dan dlabit (daya ingat) dari orang orang yang (adil dan dlabit) seperti demikian juga, serta terbebas dari syadz dan ‘ilat.
2.      Hadis hasan
Secara bahasa kata hasan (حسن) berarti “bagus atau baik”.[3] Sedangkan secara istilah, hadis hasan yaitu:
ما اتّصل سنده بنقل العدل الذي خفّ ضبطه عن مثله إلى منتهاه من غير شذوذ ولا علّة[4]
Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya muttashil (mulai dari awal sanad) hingga pada akhir sanad, yang diriwayatkan oleh orang yang adil dan mempunyai daya ingat yang kurang lemah dari orang orang yang (adil dan dlabit) seperti demikian juga, serta terbebas dari syadz dan ‘ilat.

B.     Hakikat hadis hasan
Pada hakikatnya hadis hasan sama kualitasnya dengan hadis shahih, dan ia pun dapat digunakan sebagaimana hadis shahih,[5] hanya saja tingkatan hadis hasan belum sampai pada tingkatan hadis shahih, yaitu karena perbedaan tingkat ke-dlabith-an para rawinya. Para perawi hadis shahih memiliki dlabith tam (daya ingat yang baik atau sempurna), sedangkan para perawi hadis hasan hanya memiliki dlabith naqish atau khafiy (daya ingat yang kurang atau lemah). Oleh karena ulama hadis tidak memberikan label suatu hadis dengan istilah “حديث صحيح atau حديث حسن” melainkan menggunakan istilah “حديث صحيح الإسناد atau حديث حسن الإسناد[6]
Salah satu bukti bahwa hadis hasan memiliki kualitas yang sama dengan hadis shahih adalah dalam hal penamaan. Nama “صحيح” yang secara bahasa berarti “sehat” menggambarkan bahwa hadis yang menyandang label tersebut dalam keadaan sehat, dalam arti hadis tersebut terbebas dari penyakit-penyakit yang dapat melemahkan atau menurunkan pamor, kualitas dan kradibilitasnya sebagai salah sumber ajaran Islam. Sedangkan nama “حسن” yang berarti “baik atau bagus” menggambarkan bahwa hadis yang menyandang label tersebut dalam keadaan baik dan bagus untuk dijadikan sebagai pegangan dalam ajaran Islam. Kedua hadis ini (shahih dan hasan) bersama hadis dla’if adalah termasuk dalam klasifikasi hadis yang dilihat dari segi kualitasnya.
Secara analogi, keadaan kesehatan manusia hanya terbagi menjadi ke dalam dua kriteria saja tidak lebih, yaitu sehat dan sakit (tidak sehat). Sedangkan ulama hadis membagi hadis dari segi kualitasnya menjadi 3 bagian, yaitu hadis shahih yang menyandang kriteria sehat dan hadis dla’if sebagai penyandang kriteria sakit. Lalu diposisikan di manakah hadis hasan? Karena hanya ada 2 kriteri saja (sehat dan sakit) sebagaimana analogi di atas, maka ulama hadis tidak bisa memasukkan hadis hasan ke dalam kriteria shahih adalah karena ia mempunyai 1 kekurangan, yaitu perawinya mempunyai daya ingat yang lemah. Begitu juga ulama hadis tidak bisa memasukkan hadis hasan ke dalam kriteria dla’if, karena pada dasarnya hadis hasan bukanlah hadis yang sakit atau lemah bahkan ia lebih kuat kredibilitasnya daripada hadis dla’if. Oleh karena itulah ulama hadis menyebutkan 1 kriteria lagi yaitu hadis hasan, yang sebenarnya hampir saja ia menyentuh kriteria shahih.
C.    Syarat-syarat hadis shahih menurut Imam Al-Bukhari dan Muslim
Pada dasarnya semua persyaratan untuk hadis shahih sudah tercakup pada pengertian hadis shahih sendiri, perinciannya yaitu:
1.      Muttashil sanadnya dari awal hingga akhir (اتّصل سنده إلى منتهاه)
Maksudnya adalah semua rawi mendengarkan secara langsung materi (matan) hadis yang ia riwayatkan dari generasi sebelumnya, yaitu orang yang memberikan materi tersebut, sehingga tidak akan ada kemungkinan rawi satupun yang dihapus dalam matarantai rawi.[7] Selain itu, antara satu rawi dengan rawi yang lainnya harus hidup dalam satu masa (معاصرة) dan saling bertemu (لقاء).[8]
2.      Para rawinya bersifat adil (العدل)
Maksudnya adalah para rawi harus beragama Islam, baligh dan berakal sehat.[9] Mereka juga harus mempunyai kepribadian yang baik, bertaqwa kepada Allah dengan taat menjalankan semua perintah-perintah-Nya serta menjauhi semua larangan-larangan-Nya seperti berbuat kufur, fasiq, bid’ah, atau melakukan perbuatan dosa baik besar maupun kecil. Ditambah lagi mereka juga harus mempunyai kewibawaan (muru’ah), yaitu etika sosial untuk menjaga kehormatan diri dengan cara menghiasi diri dengan akhlak dan kebiasaan yang baik. Untuk menjaga kewibaan, mereka harus menghindari dua perkara yang dapat menghilangkan kewibaan diri mereka sendiri, yaitu melakukan dosa-dosa kecil dan melakukan perkara mubah (diperbolehkan) yang dapat merendahkan diri seperti buang air kecil di jalan, banyak bercanda dan sebagainya.[10]
3.      Para rawinya bersifat mempunyai daya ingat yang kuat atau sempurna (الضابط التام)
Dlabit terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a.       ضبط صدر, yaitu terpeliharanya semua hadis yang telah didapatkan oleh seorang rawi di dalam hafalannya, mulai dari ia menerima dari gurunya sampai pada meriwayatkannya kepada orang lain, dan ia bisa menyampaikannya dengan baik kapan saja periwayatan itu diperlukan.
b.      ضبط كتاب, yaitu terpeliharanya ingatan seorang rawi melalui bantuan tulisan atau catatan yang ia miliki. Ia ingat betul hadis-hadis yang telah ditulisnya atau catatan-catatan yang dimilikinya, mengajarkannya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain dengan benar. Jika ditemukan adanya kesalahan tulisan dalam catatan-catatan tersebut, ia mengetahui letak kesalahannya.[11]
4.      Tidak terdapat kejanggalan di dalamnya (غير شذوذ)
Maksudnya adalah matan hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang tsiqqah (dapat dipercaya) tidak bertentangan dengan hadis lain yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih tsiqqah darinya.[12]
5.      Tidak mempunyai cacat (لا علّة)
Yang dimaksud ‘illat (cacat) di sini adalah sesuatu yang mencemarkan atau menodai kualitas ke-shahih-an suatu hadis, baik cacat itu bersifat lahiriyah (jelas atau tampak) seperti penyampaian yang jelas dari seorang rawi yang meriwayatkan hadis dari orang yang dikenal masyarakat tidak pernah bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak diketahui identitasnya sama sekali, atau cacat itu bersifat samar seperti penyampaian yang samar dari seorang rawi yang meriwayatkan hadis dari orang yang satu zaman dengannya serta memakai simbol periwayatan “عن”.[13]

D.    Contoh hadis shahih beserta dalil keshahihannya
حدثنا عبد الله بن يوسف قال أخبرنا مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير ابن مطعم عن أبيه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قرأ في المغرب بالطور. (رواه البخاري)[14]
Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, ia berkata: Malik memberikan kabar kepada kami dari Ibnu Syihab dari Muhammad bin Jubair Ibnu Muth’im dari Ayahnya, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW membaca surat Ath-Thur saat salat maghrib. (HR. Al-Bukhari)
Hadis di atas kualitasnya adalah shahih, dengan alasan sebagai berikut:
1.      Sanad hadis di atas muttashil, semua rawinya mendengarkan hadis tersebut dari guru mereka masing-masing. Walaupun Malik, Ibnu Syihab dan Ibnu Jabir melakukan mu’an’anah (meriwayatkan hadis mengunakan simbol “عن”), sanadnya tetap dinilai muttashil, karena mereka bukan termasuk golongan penipu (mudallis).
2.      Menurut ulama dalam bidang jarh wa ta’dil, para rawi hadis di atas bersifat adil dan dlabith.
3.      Tidak terdapat kejanggalan di dalamnya, karena matannya tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat darinya.
4.      Tidak terdeteksi ‘illat di dalamnya.[15]

E.     Contoh hadis hasan beserta dalil kehasanannya
حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليمان الضُّبَعي عن أبي عمران الجَوْني عن أبي بكر بن أبي موسى الأشعري قال سمعت أبي بحضرة العدوّ يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إن أبواب الجنّة تحت ظلال السيوف"، فقال رجل من القوم رثّ الهيئة: أأنت سمعتَ هذا من رسول الله صلى الله عليه وسلم يذكر؟ قال: نعم، فرجع إلى أصحابه فقال: أقرأ عليكم السلام وكسر جفن سيفه فضرب به حتى قُتل. (رواه الترمذي)[16]
Qutaibah menceritakan kepada kami: Sulaiman Adl-Dluba’i menceritakan kepada kami dari Abu Imron Al-Jauni dari Abu Bakr bin Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata: Saya mendengar Ayahku berkata saat musuh (perang) datang: Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya pintu-pintu surga ada dibawah pedang-pedang”, kemudian ada seorang sahabat dari sebuah kaum yang dalam keadaan usang (terluka parah hampir mati) berkata: Apakah kamu mendengar perkataan ini dari Rasulullah SAW? Ia menjawab: Iya. Kemudian ia langsung kembali kepada teman-temannya (yang sedang berperang) seraya berkata: Saya do’akan agar kalian senantiasa diberikan keselamatan (oleh Allah), dan kemudian ia memecah sarung pedang yang ia bawa dan menggunakan pedangnya untuk menebas musuh hingga akhirnya ia pun terbunuh. (HR. At-Tirmidzi)
At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadis ini hanya diketahui dari riwayat Ja’far bin Sulaiman Adl-Dluba’i saja.
Hadis ini mempunyai kualitas hasan, karena semua rawinya adalah tsiqqah (adil+dlabith tam), kecuali Ja’far bin Sulaiman Adl-Dluba’i (adil+dlabith khaffi). Oleh karena itulah tinglkatan hadis ini turun dari hadis shahih menjadi hadis hasan.[17]

F.     Peran Imam At-Turmudzi sebagai penggagas munculnya istilah hadis hasan
Dalam beberapa kesempatan At-Tirmidzi menggunakan istilah “حديث حسن صحيح” dalam mengklasifikasikan hadis. Dari sini timbul pertanyaan, bagaimana mungkin dua label (shahih dan hasan) dijadikan satu istilah, padahal keduanya berbeda tingkatan? Ia mempunyai alasan sebagai berikut:
1.      Jika hadis yang ia berikan label tersebut mempunyai dua atau lebih sanad, maka label hasan di sana adalah berdasarkan sanadnya, begitu juga label shahih juga berdasarkan sanad yang lain.
2.      Jika hadis itu mempunyai satu sanad saja, maka label hasan di sana adalah menurut suatu kaum, dan label shahih adalah menurut kaum-kaum yang lain.[18]
Maka dengan demikian hadis hasan mempunyai bobot yang sama seperti hadis shahih dan dapat diamalkan layaknya hadis shahih, karena yang membedakan keduanya hanyalah masalah kekuatan ingatan perawinya saja.[19]






BAGI YANG INGIN DOWNLOAD MAKALAH DI ATAS, SELENGKAPNYA BISA LEWAT SINI

[1] A.W Munawwir, Kamus Almunawwir Arab-indonesia Terlengkap, hlm.764.
[2] Mahmud Ath-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, Cet. 9, hlm. 34.
[3] A.W Munawwir, Op. Cit., hlm. 265.
[4] ‘Imad Ali, Mushthalah Al-Hadits Al-Muyassar, hlm. 17.
[5] Abu Abdillah Adz-Dzahabi, Al-Mauqidhah fi Mushthalah Al-Hadits, hlm. 15.
[6] Mahmud Ath-Thahhan, Op. Cit., hlm. 47.
[7] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Al-Wasith fi Ulumi wa Mushthalah Al-Hadits, hlm. 225.
[8] Mahmud Hamda Zaqzuq, Mausu’ah Ulum Al-Hadis Asy-Syarif, hlm. 137.
[9] ‘Imad Ali, Op. Cit., hlm. 13.
[10] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, Op. Cit., hlm. 226.
[11] Ibid., hlm. 227.
[12] Ibid., hlm. 228.
[13] Ibid., hlm. 228-229.
[14] Abu Abdillah Muhammad, Al-Jami’ Ash-Shahih, Juz 1, hlm. 249.
[15] Mahmud Ath-Thahhan, Op. Cit., hlm. 36.
[16] Abu Isa Muhammad At-Tirmidzi, Al-Jami’ Al-Kabir, Jilid 3, hlm. 290-291.
[17] Mahmud Ath-Thahhan, Op. Cit., hlm. 47.
[18] Ibid., hlm. 48.
[19] Ibid., hlm. 46.

No comments:

Post a Comment