SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Thursday, October 31, 2013

MU'JAM AL-'AIN



KAMUS AL-'AIN (العين)
I.             PENDAHULUAN
Penyusunan mu’jam (kamus) bahasa Arab yang menghimpun kosakata bahasa Arab dan dijadikan sebagai panduan dalam mencari makna kata, dengan metode dan sistem tertentu, baru dimulai pada awal masa dinasti Abbasiyyah, yang dipelopori oleh Imam Al-Khalil bin ahmad Al-Farahidi dengan kamusnya yang berjudul al-‘ain.
Al-‘ain sebagai kamus bahasa Arab pertama yang tersusun, dimana pola dan pendekatan yang digunakan dalam penyusunan mu’jam ini betul-betul baru dan sangat berbeda dari kelaziman yang ada dizamannya, cukup banyak menjadi objek kajian pembahasan para sarjana bahasa Arab sesudah Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi. Perhatian sarjana tersebut pada umumnya berkisar mengenai biografi Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi yang banyak memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu bahasa Arab yaitu sebagai pelopor penyusun kamus al-‘ain dan pendekatan serta metode yang digunakan beliau dalam menyusun atau penyajian kamus bahasa Arab pertama tersebut.
Berdasarkan perhatian para sarjana tentang mu’jam al-’ain, Penulis ingin mengajak para pembaca untuk mengetahui lebih rinci pembahasan mu’jam al-‘ain tersebut.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah Biografi Singkat Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi?
B.     Bagaimanakah Metode Penulisan Kamus Al-’ain?
C.     Bagaimanakah Teknik Pencarian Kata Pada Kamus Al-’ain?
D.    Apa Sajakah Kelebihan dan Kekurangan Kamus Al-‘Ain?

III.      PEMBAHASAN
A.    Bagaimanakah Biografi Singkat Imam Al-Khalil bin Ahmad Al-Farahidi?
Kamus al-‘ain disusun oleh Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdirrahman al-Khalil ibn Ahmad ibn Amr ibn Tamim Al-Farahidi. Imam Khalil bin Ahmad lahir pada tahun 100 H dan beliau wafat pada tahun 170 H di usianya yang ke 70 tahun. Beliau asli berkebangsaan Arab, lahir di desa Azad, Oman. Akan tetapi beliau  tumbuh besar dan belajar ilmu-ilmu agama di kota Basrah, Irak. Dalam beberapa buku, imam Khalil bin Ahmad lebih dikenal dengan sebutan Al-Farahidi. Gelar ini dinisbatkan kepada kabilah nenek moyangnya, yaitu Farahid ibn Malik ibn Fahm ibn Abdullah ibn Malik ibn Mudhor ibn al-Azad, salah satu kabilah di desa Azad, Oman.
Dalam menempuh pendidikan, Imam Khalil bin Ahmad  selalu ikut di dalam majelis ilmu yang diasuh oleh guru beliau, yaitu Isa bin Amr dan Abu Amr bin Al-‘Alla’. Isa bin ‘Amr, merupakan imam di bidang ilmu bahasa Arab dan ilmu qiraat. Sedangkan Abu Amr bin Al-‘Alla’ adalah guru besar di bidang ilmu bahasa Arab yang selalu menjadi panutan Khalil dalam meneliti tata bahasa dan fenomena para penutur bahasa Arab.
Imam Khalil adalah seorang yang dikaruniai kecerdasan otak dan daya kreatifitas yang tinggi oleh Allah SWT. Beliau adalah pecinta ilmu yang sejati. Terbukti, beliau gemar berkelana dari satu desa ke desa lain yang jaraknya berjauhan hanya mengambil periwayatan dari penduduk desa demi memahami satu makna kata. Teori-teori beliau banyak terbentuk dari hasil penelitian ilmiah di lapangan. Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi rela bergaul dengan penduduk Arab badui di pedalaman untuk memahami makna bahasa. Hidupnya habis demi perkembangan ilmu bahasa dan sastra Arab. 
Pada akhirnya, Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi tumbuh menjadi salah satu ulama terbesar di bidang ilmu bahasa Arab. Beliau adalah ulama yang menguasai ilmu nahwu (sintaks), bahasa (linguitik), dan sastra Arab. Selain itu beliau juga mumpuni di bidang ilmu matematika, ilmu syariat (hukum islam) dan seni musik. Melalui karyanya yang berjudul Mu’jamul ‘Ain, Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi dikenal sebagai peletak dasar-dasar leksikologi, sehingga tak berlebihan jika beliau disebut sebagai “Bapak Leksikologi Arab”.

B.     Bagaimanakah Metode Penulisan Kamus al-’ain?
Sebelum Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi menyusun mu’jam al-‘ain yang merupakan kamus bahasa Arab lengkap pertama di dunia Islam, para sarjana bahasa (ahli linguistik) biasanya berusaha mengumpulkan kosakata dalam satu topik tertentu dalam sebuah risalah atau buku kecil. Penyusunan kosakatanya pun masih bersifat sembarang dan belum memiliki pola atau sistem tertentu. Lazimnya, entri kamus jenis ini disusun secara tematis, seperti tema tentang tumbuh-tumbuhan, unta, susu, serangga dan sebagainya. Di antara ulama yang pernah menyusun kamus seperti ini adalah Abu Zaid dengan risalah “al-mathar”nya, juga al-ashmu’i dengan beberapa risalah yang ditulisnya seperti “kitab asma al-whhusy” (kamus nama-nama binatang buas).
Namun di dalam menyusun kamus al-‘ain, Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi menggunakan metode nidzam al-shauti (sistem fonetik). Metode ini merupakan model penyusunan kamus pertama yang diperkenalkan oleh beliau. Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi menyusun kata-kata yang berhasil beliau kumpulkan dengan cara mengatur urutan kata-kata secara tertib berdasarkan urutan huruf yang akan muncul dalam makharijul al-huruf  (tempat-tempat keluarnya huruf hijaiyah).[4] Beliau tidak menggunakan metode urutan alfabetis karena beliau menganggap bahwa urutan huruf-huruf al-Hija’i lebih mengedepankan keserupaan tulisan huruf (taraduf), misalnya ب, ت, ث  lalu  ج, ح, خ dan seterusnya, hanya sekumpulan simbol yang sama persis dengan hanya penambahan titik dibawah atau diatas huruf. Bagi beliau, sebuah huruf hanya merupakan simbol dari suara, dan suara adalah karakter dasar dari sebuah bahasa.[5] Dan adapun asas-asas yang dipakai di dalam kamus al-‘ain yaitu:
1.      Asas tartib al-huruf
Pada dasarnya dalam menyusun kamus al-‘ain Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi mempunyai pedoman yang beliau ciptakan sendiri, yaitu berpedoman pada urutan huruf berdasarkan makharij al-huruf (output suara) seperti berikut:
ع-ح-هـ-خ-غ- ق- ك- ج- ش- ض- ص- س- ز- ط- د- ت- ظ- ذ- ث- ر- ل- ن- ف- ب- م- و- ا- ي- أ
Huruf-huruf tersebut dimulai dengan huruf yang terjauh makhraj-nya, yaitu dari tenggorokan yang biasa disebut dengan huruf halqiyah, dan diakhiri dengan huruf yang makhraj-nya dari dua bibir (syafatain).
Kemudian setiap huruf dari urutan huruf-huruf di atas dijadikan nama bab pada kamus ini. Maka dari itu bab yang pertama kali dipaparkan adalah bab ‘ain. Dengan alasan tersebutlah kemudian Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi memberikan nama pada kamus yang beliau karang dengan nama al-‘ain. Hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Arab menamai sesuatu dengan bagian awal yang pertama kali nampak.[6]
Pada setiap kitab (bab) diletakkan secara berkelompok di bagian huruf yang paling awal atau bawah dalam urutan makharij al-huruf, tanpa melihat letak huruf dalam sebuah kata. Misalnya:
a.       Kata لعب diletakkan pada bab‘ain, sebab ‘ain adalah huruf paling bawah dalam urutan makharij al-huruf dibandingkan dengan lam atau ba’, sekalipun dalam kata tersebut ‘ain berada setelah lam.
b.      Kata رزق berada pada bab qaf, bukan pada bab ra’ atau za’, sekalipun dalam kata رزق, huruf qaf terletak di bagian akhir kata. Hal ini karena berdasarkan urutan makharij al-huruf huruf qaf terletak lebih bawah.
2.      Asas taqsim al-bina’
Setelah menyusun kosakata yang ada berdasarkan urutan makharij al-huruf, Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi mengklasifikasikan lagi berdasarkan struktur kata (bina’) dari bentuk asalnya (tanpa huruf tambahan), yang dibedakan menjadi enam bab, yaitu; ats-tsunai, ats-tsulasi as-shahih, ats-tsulasi al-mu’tal, al-lafif, ar-rubai, al-khumasi.[8]
3.      Asas taqlib al-kalimah
Dalam kamus al-‘ain kata-kata yang telah tersusun berdasarkan urutan makharij al-huruf dan telah diklasifikasikan berdasarkan struktur kata (bina’), kemudian dibolak-balik (taqlib) hingga menjadi beberapa bentuk kata yang berbeda-beda. Adanya asas taqlib al-kalimah bertujuan untuk menghindari pengulangan kata pada bab yang lain. Semua aneka bentuk kata yang dihasilkan dari proses taqlib diletakkan dalam satu bab. Contoh:
                 
Hasil dari proses taqlib di atas adalah لعب، لبع، بلع، بعل، علب، عبل. Semua kata hasil taqlib tersebut dimasukkan ke dalam bab huruf ‘ain, sebab makhraj dari huruf ‘ain lebih bawah atau lebih dahulu daripada dua huruf lainnya, yaitu huruf lam dan ba’. Keenam kata hasil taqlib ini lalu ditempatkan pada bab tsulasi shahih.
Sekalipun semua huruf dalam kata-kata bahasa Arab bisa dibolak-balik (taqlib), namun yang perlu diingat bahwa tidak semua kata hasil taqlib memiliki makna yang dipakai masyarakat sehingga kata yang tidak dipakai atau tidak memiliki makna tidak dimasukkan ke dalam kamus. Karena itu ada kata yang musta’mal dan muhmal.
Kata musta’mal  adalah kata yang memiliki makna dan dipakai oleh bangsa Arab untuk menyebut sesuatu. Kata yang musta’mal layak dimasukkan ke dalam kamus. Sebaliknya, kata muhmal adalah kata yang tidak memiliki makna atau signifikansi dalam penunjukan sesuatu.
Secara sistematis, jumlah bentuk kata yang dihasilkan dari proses taqlib, baik kata muhmal maupun musta’mal adalah sebagai berikut:
a.       Kata tsunai (dua huruf) menjadi dua bentuk kata.
b.      Kata tsulasi (tiga huruf) menjadi enam bentuk kata.
c.       Kata ruba’i (empat kata) menjadi dua puluh empat bentuk kata.
d.      Kata khumasi (lima kata) menjadi seratus dua puluh bentuk kata.[9]
Di dalam kamus ini Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi juga mendatangkan syawahid (bukti kutipan) dalam kebanyakan kalimah yang dijelaskan. Syawahid tersebut biasanya dalam bentuk syair, Hadis dan Al-Qur’an. Namun lebih sering menggunakan syair dan Al-Qur’an. Beliau juga banyak menetapkan sanad dan sebagian tokoh yang semasa denganya. Namun kebanyakan tokoh dari kalangan murid-muridnya sendiri, seperti Al-Ushmu’i, Abi Ubaidah dan Sibawaih.[10]

C.    Bagaimanakah Teknik Pencarian Kata Pada Kamus Al-’Ain?
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam mencari makna kata dalam kamus al-‘ain adalah sebagai berikut:
1.      Tentukan huruf asli (akar kata) dari kata yang hendak dicari maknanya. Misalnya kata استغفار (minta ampunan), kata ini berasal dari akar kata غفر (mengampuni).
2.      Tentukan huruf yang memiliki makhraj paling bawah dari ketiga huruf (ghain, fa’, ra’) dalam kata غفر. Di antara ketiganya diketahui bahwa huruf ghain keluar dari tenggorokan atas (halqiyah), sehingga ghain berada lebih bawah atau lebih dulu daripada fa’ dan ra’. Disusul huruf ra’, lalu huruf fa’ (ujung lidah). Jadi kata غفر dapat ditemukan pada bagian huruf ghain, bab ghain-ra’-fa’.
3.      Tentukan bentuk atau struktur kata, apakah ia termasuk kata tsunai, tsulasi shahih, ats-tsulasi al-mu’tal, al-lafif, ar-rubai, al-khumasi? Sedangkan kata غفر termasuk kata berstruktur tiga huruf shahih (tsulasi shahih). Jadi kata غفر dapat ditemukan pada bagian ghain, bab ghain-fa’-ra’, bab tsulasi shahih minal-ghain. Pada bagian ini bisa ditemukan hasil taqlib yang terdiri dari beberapa kata, yaitu; رغف، غرف، غفر، فغر، رفغ، فرغ.[11] Kemudian dari beberapa kata hasil taqlib dari ر ف غ yang terdapat di dalam kamus, lihatlah pada bagian kata غفر.

D.    Apa Sajakah Kelebihan dan Kekurangan Kamus Al-‘Ain
Keberadaan sistem fonetik yang digunakan kamus-kamus bahasa Arab periode pertama yang lahir pada akhir abad ke-2 hijriyah dalam penyusunan kosakata, merupakan nilai lebih (selling point) dari inovasi besar yang ditorehkan Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi sebagai Bapak Leksikon bahasa Arab. Urutan huruf yang khas berdasarkan makhraj amat membantu seseorang yang berusaha mencari makna kata secara langsung melalui observasi lapangan ke dusun-dusun di bagian Jazirah Arab yang saat itu dilakukan Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi tanpa kenal lelah. Selain itu, asas taqlib al-kalimah yang digunakan beliau sebagai tolok ukur matematis, secara statistik dapat membuahkan kata yang lebih banyak dalam kosakata bahasa Arab.
Kamus al-‘ain merupakan kamus fonetik yang lahir bersamaan dengan besarnya motivasi umat Islam dalam mengkodifikasi bahasa mereka sebagai alat bantu untuk menafsirkan Al-Qur’an, sehingga tidak berlebihan jika Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi memilih kaidah tajwid (makharij al-huruf) sebagai dasar penyusunan alfabetis khas ala beliau. Mengingat ilmu qira’at adalah ilmu metodologis pertama yang berkembang di kalangan umat Islam sebelum ilmu-ilmu lainnya. Oleh sebab itu, karya Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi banyak diterima di kalangan para mufassir.
Kamus al-‘ain yang menggunakan sistem fonetik, ternyata menjadi landasan bagi generasi setelah Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi dalam menyusun kamus-kamus bahasa Arab. Bahkan sistem fonetik dianggap sebagai sistem baku dalam penyusunan kamus-kamus berbahasa Arab di awal abad ke-2 hijriyah. Walaupun kamus-kamus fonetik yang bermunculan setelah kamus al-‘ain memiliki beberapa perbedaan dan penambahan asas. Namun pada dasarnya karya-karya pasca al-‘ain masih berpedoman dengan sistem fonetik yang diperkenalkan Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Misalnya kamus al-bari’ karya Abu Ali Al-Qaly (280-356 H), kamus tahdzib al-lughah karya Abu Mansyur Al-Azhary (282-370 H), kamus muhith karya As-Shahib bin Ubbad (324-385 H), dan kamus mukhtashar al-‘ain karya Abu Bakar Az-zubaidy.
Para pakar bahasa pasca Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi juga tidak sedikit yang melontarkan kritik terhadap karya beliau. Akhirnya terbit beberapa kitab yang bertujuan untuk menyempurnakannya. Misalnya kitab al-istidrak ‘ala al-‘ain (menambal sisi kekurangan dalam kamus al-‘ain) karya As-Sadusi, dan kitab takmilah (penyempurna) karya Al-Khazaranji Al-Basyti.
Selain itu adapula beberapa kitab yang sengaja mengkritik dan menyebutkan sisi lemah kamus al-‘ain. Misalnya kitab istidrak al-ghalath al-waqi’ fi al-‘ain (menampakkan kesalahan yang ada di dalam kamus al-‘ain) karya abu Bakar Az-Zubaidi, dan kitab ghalath al-‘ain (kesalahan kamus al-‘ain) karya Al-Khatib Al-Iskafi.
Kekurangan mendasar dari kamus-kamus bersistem fonetik adalah adanya kesulitan bagi pemakai kamus dalam mencari kata, sebab urutan huruf hijaiyah yang didasarkan pada makharij al-huruf  belum populer, terutama di kalangan non-Arab. Lain halnya dengan sistem al-faba’i yang hingga kini telah dikenal luas, bahkan oleh masyarakat awam sekalipun.
Selain itu, proses mengembalikan sebuah kata ke akar katanya dengan men-tajrid, memerlukan pengetahuan ilmu sharaf. Karena itu, sistem fonetik tetap dianggap sulit bagi kalangan awam, terutama masyarakat yang tidak mengenal kaidah bahasa (nahwu dan sharaf).
Keberadaan kata yang muhmal dan tidak memasukkannya ke dalam materi kata dalam kamus, sekalipun memiliki struktur derivatif, jelas menghilangkan kekayaan kosakata dalam bahasa Arab. Jika kata-kata yang muhmal ini, kenyataannya memang tidak ada atau tidak digunakan oleh orang arab, maka hal ini masih bisa ditolelir. Namun, jika eksistensi kata yang dianggap muhmal itu hanya karena kekurangannya cakupan observasi yang dilakukan seorang penyusun kamus, sementara di tempat lain, kata yang muhmal itu dianggap musta’mal, maka berarti kasus semacam ini dapat mengurangi khazanah kekayaan kosakata dalam bahasa Arab. Akhirnya bahasa Arab lebih sering menyerap kata (ta’rib) dari bahasa asing.[12]

IV.      KESIMPULAN
Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi adalah penyusun mu’jam (kamus) bahasa Arab pertama dengan metode dan sistem tertentu atau sitem fonetik yang diberi nama mu’jamul ‘ain memiliki nama lengkap Abdirrahman al-Khalil ibn Ahmad ibn Amr ibn Tamim Al-Farahidi, lahir pada tahun tahun 100 H di Azad dan wafat pada tahun 170 H di Basrah pada usia beliau yang ke 70 tahun. Beliau adalah ulama yang menguasai ilmu nahwu (sintaks), bahasa (linguitik), dan sastra Arab, ilmu matematika, ilmu syariat (hukum islam) dan seni musik. Melalui karyanya yang berjudul Mu’jamul ‘Ain, yang disusun beliau dengan jalan berkelana ke desa-desa demi memahami satu makna kata, Imam Klalil bin Ahmad al-Farahidi dikenal sebagai peletak dasar-dasar leksikologi, sehingga tak berlebihan jika beliau disebut sebagai “Bapak Leksikologi Arab”.
Dalam penyusunn kamus al-‘ain, Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi menggunakan metode Nidzam Al-Shauti (sistem fonetik), dengan asas-asas yang beliau gunakan adalah sebagai berikut:
1.      Asas tartib al-huruf
        Penyusun kamus al-‘ain mempunyai pedoman yang diciptakan sendiri oleh Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi, yaitu berpedoman pada urutan huruf berdasarkan makharij al-huruf (output suara) yang dimulai dengan huruf halqiyah, dan diakhiri dengan huruf yang makhraj-nya dari dua bibir (syafatain). Dan urut-urutannya adalah  sebagai berikut:
ع-ح-هـ-خ-غ- ق- ك- ج- ش- ض- ص- س- ز- ط- د- ت- ظ- ذ- ث- ر- ل- ن- ف- ب- م- و- ا- ي- أ
2.      Asas taqsim al-bina’
Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi mengklasifikasikan struktur kata (bina’) dalam bentuk asalnya (tanpa huruf tambahan) menjadi enam bab, yaitu; ats-tsunai, ats-tsulasi as-shahih, ats-tsulasi al-mu’tal, al-lafif, ar-rubai, al-khumasi.
3.      Asas taqlib al-kalimah
Asas taqlib al-kalimah ini mempunyai tujuan untuk menghindari pengulangan kata pada bab yang lain. Dan contoh dari proses taqlib tersebut adalah:
Dan jika ingin mencari kata dalam kamu ini harus melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Tentukan huruf asli (akar kata) dari kata yang hendak dicari maknanya.
2.      Tentukan huruf yang memiliki makhraj paling bawah dari ketiga huruf dari kata tersebut.
3.      Tentukan bentuk atau struktur kata, apakah ia termasuk kata tsunai, tsulasi shahih, ats-tsulasi al-mu’tal, al-lafif, ar-rubai, al-khumasi?. Kemudian lihat pada bab tersebut hingga mendapatkan makna kata yang dicari.
“Tidak ada gading yang tidak retak”, tidak ada yang sempurna di dunia ini begitu juga mu’jam al’ain ini, mempunyai kelebihan juga kekurangan. Diantara kelebihan mu’jam al’ain ini adalah:
1.      Sebagai kamus pertama dengan urutan huruf yang khas berdasarkan makhraj amat membantu seseorang yang berusaha mencari makna kata.
2.      Sebagai alat bantu menafsirkan al-Qur’an.
3.      Menjadi landasan bagi generasi setelah Imam Khalil bin Ahmad al-Farahidi dalam menyusun kamus-kamus bahasa Arab.
Sedangkan kekurangan dari mu’jam al’ain adalah sebagai beriku:
1.      kesulitan bagi pemakai kamus dalam mencari kata, sebab urutan huruf hijaiyah yang didasarkan pada makharij al-huruf belum populer, terutama di kalangan non-Arab.
2.      Proses mengembalikan sebuah kata ke akar katanya dengan men-tajrid, memerlukan pengetahuan ilmu sharaf, dan hal ini sulit bagi orang awam.
3.      Keberadaan kata yang muhmal jelas menghilangkan kekayaan kosakata dalam bahasa Arab, Jika kata-kata yang muhmal ini dikarenakan kekurangannya cakupan observasi yang dilakukan seorang penyusun kamus.

V.          PENUTUP
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk serta kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah dengan judul mu’jam al-‘ain ini sebagai tugas mata kuliah al-ma’ajim al-arobiyah. Dan terima kasih penulis haturkan kepada bapak Machfudz Shidiq, Lc., M. A. selaku dosen pengampu mata kuliah ini, yang telah  menyalurkan ilmunya kepada anak-anak didik beliau. Harapan penulis tidak lain, semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan pengetahuan tambahan bagi sang pembacanya.
Dan tidak ada kesempurnaan melainan hanya milik Allah, tentunya makalah ini masih membutuhkan saran serta kritik dari bapak dosen beserta sang pembaca supaya menjadi lebih baik adanya. Dari ini penulis mengucapkan terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf atas segala keurangannya. Semoga segala apa yang telah dipelajari bermanfaat bagi sang pembaca dan mendapat ridho dari Allah SWT.


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdillah, Ahmad Bin, Al-Ma’ajiim Al-Lughawiyah Wa Thuruqu Tartibiha, Riyadh: Dar Ar-Rayah, 1992.
Al-Khalil, Abi Abdirrahman, Kitab Al-‘ain, Juz. 1, tp: Silsilah Al-Ma’ajim Wa Al-Faharis, tt.
Taufiqurrachman, Leksikologi Bahasa Arab, (Malang: UIN-Malang Press, 2008.

2 comments: