SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Wednesday, December 26, 2012

PRATINJAU PSIKOLOGI ILMU NAHWU BAB I'RAB



I’RAB

A. KAIDAH I'RAB
الإعْرابُ هو تَغْيِيْرُ أَواخِرِ الْكَلِمِ لاخْتِلافِ الْعَوامِلِ الدَّخِلَةِ عليها تقديرًا أو لفْظًا
“I’rab adalah perubahan akhir kalimat disebabkan karena berbeda-bedanya ‘amil yang masuk padanya, baik secara kira-kira atau jelas”
Manusia adalah salah satu ciptaan Sang Kholiq, beberapa fase perjalanan hidup manusia tidaklah begitu sulit untuk dipahami oleh kita, namun diri kita sering lupa akan hal yang sedemikian rupa, entah tersibukkan atau tak tersadarkan sama sekali. Bintang dan planet berjalan sesuai orbit mereka masing-masing, begitu juga kita manusia.
Pada kali ini ada beberapa gambaran dan pesan yang diberikan para ulama ahli nahwu melalui kaidah-kaidah nahwu yang telah mereka susun dalam beberapa kitab-kitab mereka. Diantaranya adalah melalui pembahasan mengenai kaidah i’rab yaitu i’rab rafa’, nashab, jar, dan jazm. Disinilah kita akan sedikit diberikan ilustrasi menganai fase perjalanan manusia sebagai ciptaan Sang Kholiq. Sebelumnya kita perlu memahami apa itu i’rab dan apa saja yang ada didalamnya.
I’rab bisa kita artikan sebagai PERUBAHAN. Mengapa pembahasan i’rab dimasukkan oleh para ulama pada ilmu nahwu, bukan pada ilmu sharaf? Hal ini dikarenakan i’rab yang dikatakan sebagai perubahan hanya terlaku pada akhir sebuah kalimat saja, sesuai dengan inti pokok yang dibahas dalam ilmu nahwu, yaitu membahas perubahan pada akhir kalimat atau kata. Dari sini pelajaran dan pesan yang bisa kita fahami, bahwa kebutuhan pokok bagi setiap manusia adalah pendidikan, dan didalam pendidikan itu pastilah akan terjadi yang namanya perubahan, entah lebih baik atau lebih buruk. Demikian juga fase perjalanan manusia pastilah akan terjadi yang namanya perubahan, dan perubahan itu hanya bisa kita saksikan dan kita nikmati pada akhir perjalanan kita, dan bisa dikatakan mustahil terjadi pada permulaan.
I’rab atau perubahan suatu kalimat itu tidaklah bisa dihitung dengan sama rata, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa i’rab satu kalimat dengan kalimat yang lain tentulah berbeda, karena i’rab suatu kalimat itu menyesuaikan pada ‘amil yang ada didepan kalimat tersebut. Jika ‘amil suatu kalimat berbentuk ‘amil rafa’, maka kalimat itu akan terbaca rafa’i. Demikian juga apabila ‘amilnya nashab, maka kalimat itu akan terbaca nashab, dan seterusnya. Contoh:
جاء adalah ‘amil rafa’, maka lafadz زيدٌ jadi terbaca rafa’     جاء زيدٌ
رأيتُ adalah ‘amil nashab, maka lafadz زيدًا jadi terbaca nashab رأيتُ زيدًا
بــــ adalah ‘amil jar, maka lafadz زيدٍ jadi terbaca jar مررتُ بزيدٍ
لمْ adalah ‘amil jazm, maka lafadz يضربْ jadi terbaca jazm لمْ يضرِبْ
Dari contoh-contoh diatas dapat bisa kita lihat bahwa i’rab akhir kalimat akan berubah sesuai dengan ‘amil yang ada didepannya. Perubahan kehidupan dan diri manusia hanya akan terjadi pada akhir, dan perubahan itu adakalanya lebih baik dan adakalanya lebih buruk, sesuai dengan ‘amil (usaha-usaha) yang mereka lakukan diawal setiap perjalanan mereka, jika usahanya baik, maka hasilnya bisa dipastikan akan baik juga, demikian sebaliknya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وأَنْ لَيْسَ للإنسانِ إلاّ ما سَعَى. وأنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى ( )
“Dan bahwa manusia hanya akan memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)” (QS. An-Najm: 39-40).


B. ALAMATUL I’RAB
            Kita telah mempelajari apa itu I’rab? Dan sekarang kita akan mepelajari seputar alamat-alamat I’rab tersebut. Alamat asal I’rab Rafa’ adalah dhommah (ُ), sedangkan nashab adalah fathah (َ), jar adalah kasrah (ِ), jazm adalah sukun (ْ).
1.      Dhommah terletak diatas huruf berbentuk seperti posisi bayi ketika masih ada didalam kandungan
2.      Fathah terletak diatas huruf, simbol kedewasaan
3.      Kasrah terletak dibawah huruf, simbol penuwaan
4.      Sukun atau tanda mati terletak diatas huruf, simbol kematian
Itulah gambaran fase perjalanan manusia yang diawali dari fase didalam kandungan ibu (dommah-rafa’), setelah itu lahir sebagai seorang bayi yang kemudian bertumbuh dewasa dan bias berdiri (fathah-nashab), kemudian mereka akan mengalami penurunan metabolisme tubuh dan berubah menjadi nenek-nenek atau kakek-kakek dan semakin tua (kasrah-jar), dan akhirnya mereka akan mengalami fase kehidupan dunia yang terakhir, yaitu kematian (sukun-jazm).
Demikianlah para ulama’ nahwu menyusunnya secara berurutan sesuai dengan fase kehidupan manusia yaitu, rafa’, nashab, jar dan kemudian jazm. Akhir dari fase kehidupanlah inti dari sebuah perjalnan hidup yang kemudian akan terjadi sebuah perubahan sesuai dengan yang kita usahakan selama perjalanan hidup kita.

PSIKOLOGI TAFSIR ILMU NAHWU

Kebanyakan dari orang yang belajar ilmu nahwu faham secara keseluruhan mengenai kaidah-kaidah yang ada di dalamnya, akan tetapi banyak juga diantara mereka yang belum bisa memahami nilai esensial yang terkandung didalam setiap kaidah-kaidah hukum pada ilmu nahwu yang mereka fahami. Seseorang yang faham akan suatu hal bisa dikatakan bahwa dia telah menguasai hal tersebut, akan tetapi didalam mempelajari disiplin ilmu nahwu, seseorang hendaklah bukan hanya sekedar melihat ilmu nahwu dari segi pemahaman tekstual kaidah-kaidah yang telah sedemikian rupa disusun oleh nuhaat (para cendikiawan atau para ulama’ nahwu), karena tidaklah asing bagi kita bahwa para ulama-ulama nahwu telah menyusun kaidah-kaidah dalam ilmu nahwu sedemikian indahnya merupakan para pemikir-pemikir besar yang sangat terkenal alim dan tawadhu’. Nilai esensial yang telah merekan tanamkan didalam setiap kaidah nahwu telah mereka dipertimbangkan secara matang-matang.
Seseorang faham secara tekstual tidak menjamin bisa memberikan sebuah kontribusi pemahaman yang begitu baik, akan tetapi dengan memahami secara tekstual dan setiap nilai esensial didalamnya akan menjadikan ilmu nahwu sebagai ilmu yang indah, dan dari situlah seseorang yang mempelajari ilmu nahwu akan memiliki kelebihan dalam memahami semua kaidah-kaidah nahwu dengan baik dan benar sesuai yang diharapkan para ulama-ulama nahwu terdahulu.
Sebelum kita mulai belajar memahami nilai esensial dalam kaidah-kaidah nahwu, kita dituntut untuk bisa memahami terlebih dahulu kaidah tersebut, barulah kita bisa menelisik pesan-pesan moral apa yang telah ditanamkan para ulama dalam kaidah-kaidah tersebut. Dalam hal ini banyak cerminan yang terkandung didalamnya, seperti halnya bisa difahami sesuai dengan aplikasi kita dalam kehidupan sehari-hari, politik, cinta dan sebagainya. Pada kesempatan kali ini kita hanya akan mempelajari bersama apa itu nahwu beserta kaidah-kaidahnya jika dihubungkan dengan aplikasi kehidupan kita sehari-hari?.
Didalam penyusunan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang terdapat pada berbagai macam kitab-kitab nahwu hampir seluruh darinya mengawali dengan pembahasan mengenai kalam. Yang perlu kita fahami disini adalah, bahwa kalam banyak diartikan sebagai sesuatu yang sangat fatal bagi manusia. Mengapa begitu? Apa yang menjadikan kalam sebagai sesuatu yang fatal bagi manusia?
Seseorang berbicara tentunya tidaklah lepas dari yang namanya mulut dan lidah sebagai alat untuk berbicara. Apabila kita fahami, ketika seseorang menginginkan sesuatu pekerjaannya berjalan dengan baik dan menghasilkan hal yang baik pula, tentulah tidak dapat dipisahkan apakah alat yang dipakainya untuk bekerja bagus dan baik, karena ketika alat yang dipakai untuk bekerja dalam keadaan baik dan berkualitas, tentunya hasil dari pekerjaan kita bisa diharapkan baik pula. Maka dari sinilah kita bisa memahami mengapa para ulama meletakkan penjelasan seputar kalam pada awal, sebelum mempelajari kajian ilmu nahwu yang lain. Karena mereka mengharapkan agar seseorang yang belajar ilmu nahwu senantiasa memperhatikan kualitas dari kalam yang ada pada diri mereka masing-masing sebelum menginjak kepada pemahaman yang lebih dalam, ketika kalam mereka dinilai sebagai kalam yang baik, maka tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan bisa belajar dengan baik, benar dan mudah memahami seputar ilmu nahwu dan ilmu-ilmu yang lainnya. Di dalam salah satu hadis Nabi SAW dikatakan:
قال عمر رضي الله عنه: مَنْ كَثُرَ ضَحَكَهُ قَلَّتْ هَيْبَتُهُ ومَنْ اسْتَخَفَّ الناسَ اسْتَخَفَ بِه ومَنْ أَكْثَر مِن شيء عرف به ومَنْ كَثُرَ كَلاَمُهُ كَثُرَ سَقَطُهُ ومَن كَثُرَ سَقَطُهُ قَلَّ حَياؤُهُ ومَن قَلَّ حَيَاؤُه قَلَّ وَرَعُه ومَن قَلَّ وَرَعُه مَاتَ قَلْبُهُ
Didalam hadist di atas jelas dikatakan bahwa ketika seseorang tidak mampu menjaga dan menggunakan kalam dan mulutnya dengan baik maka hatinya akan menjadi mati. Hal inilah yang sangat dikhawatirkan oleh para ulama’ terhadap orang-orang yang belajar, karena ketika hati mereka mati, niscaya pelajaran dan ilmu-ilmu yang dipelajarinya akan sulit masuk dalam fikiran dan hati untuk difahami, dan bahkan tidak akan bisa masuk sama sekali. Na’udzubillah min dzalik.
Pada sebuah penelitian mengenai air yang dilakukan oleh seorang ilmuan dari jepang yang bernama Matsaru Emoto agaknya bisa menjadi sebuah bukti bagi kita, bahwa didalam penelitian tersebut ia mendapati bahwa air yang ada disekitar kita bisa menangkap dan merespon ucapan-ucapan yang dikeluarkan manusia yang ada disekitar air tersebut, jika ucapan-ucapan yang ada disekelilingnya bernilai buruk, maka air tersebut akan buruk pula partikelnya. Dan ketika ucapan-ucapan yang ada disekitarnya bernilai baik, maka air itu akan baik pula partikel-partikelnya. Bahkan banyak disekitar kita para kiyai-kiyai yang menjadikan air sebagai perantara media do’a untuk mengobati orang sakit.
Perlu kita ketahui bahwa para ilmuan biologi mengatakan melalui penelitian-penelitiaannya bahwa lebih dari 70% manusia kita berupa zat cair, terlebih otak manusia yang 80% berupa zat cair. Disinilah kita bisa memahami betapa berpengaruhnya kuwalitas kalam seseorang terhadap dirinya sendiri. Marilah kita perbaiki kalam kita dengan sebaik mungkin mulai dari sekarang. Biasakan menggunakan kalam yang baik dan bermanfaat, seperti halnya yang sudah dijelaskan didalam nahwu bahwa:
الكلام هو اللفظُ المُفيدُ بالوَضْعي
“Kalam adalah Lafadz yang berfaidah dan disengaja”
Maka dari sinilah mari kita fahami bahwa kita dituntut untuk memperbaiki kalam kita selama ini apabila mungkin banyak kesalahan yang sangat fatal sehingga kita sulit memahami pelajaran, dan sulit memahami nasehat-nasehat untuk diri kita dan sebagainya. Pada kaidah nahwu mengenai kalam seperti yang ada diatas sudah begitu jelas, bahwa kita dituntut untuk berbicara pada hal-hal yang sekiranya bermanfaat saja, hindari perkataan-perkataan yang sia-sia apalagi yang tidak bermanfaat. Berbicaralah apabila diperlukan (بالوَضْعي), jangan berbicara seolah-seolah anda sedang mengigau (ngelindur red. Jawa) yang mana hal itu sangatlah tidak bermanfaat.