SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Wednesday, June 12, 2013

Trik Beserta Teori Memuji dan Mengkritik (mencela) Orang Lain dengan Indah


 تأكيد المدح بما يشبه الذم وعكسه


I.             PENDAHULUAN
Kehidupan sosial menuntut manusia sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi antara satu sama lainnya. Dalam interaksi ini manusia akan memberikan respon atas segala gejala dan tingkah laku yang ia amati. Respon tersebut salah satunya berbentuk penilaian yang dirumuskan berdasarkan fenomena yang ada. Tatkala otak manusia menangkap sebuah fenomena yang membuatnya terkagum atau tidak suka, maka ia akan menerjemahkan (encoding) perasaan tersebut ke dalam sebuah ungkapkan atau pernyataan yang mengandung rasa pujian (المدح) atau celaan (الذم). Proses penerjemahan tersebut memunculkan banyak pertimbangan mengenai gaya bahasa apakah yang hendak dipakai, tentunya harus disesuaikan dengan tingkat penangkapan (decoding) mukhatab, agar pesan yang telah dilontarkan (sending) oleh mutakallim dapat maksimal ditangkap oleh mukhatab. Salah satu gaya bahasa yang dapat digunakan adalah gaya bahasa تأكيد المدح بما يشبه الذم untuk perasaan kagum (suka) atau gaya bahasa تأكيد الذم بما يشبه المدح untuk perasaan tidak suka.
Pembahasan mengenai kedua gaya bahasa tersebut banyak dibahas dalam kajian ilmu balaghah, tepatnya pada bagian ilmu badi’. Kedua gaya bahasa ini dalam ilmu badi’ merupakan salah satu ragam dari keindahan makna (المحسّنات المعنوية).

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan تأكيد المدح بما يشبه الذم وعكسه?
B.     Bagaimana cara memakai gaya bahasa تأكيد المدح بما يشبه الذم?
C.     Bagaimana cara memakai gaya bahasa تأكيد الذم بما يشبه المدح?

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian تأكيد المدح بما يشبه الذم وعكسه
Kata تأكيد berasal dari fi’l madli أَكَّدَ يٌؤَكِدُ yang berarti “menguatkan atau mengokohkan”. Dalam bentuk mashdar kata تأكيد dapat diartikan “penguatan atau pengokohan”.[1] Kata المدح berarti “pujian”,[2] sedangkan kata الذم berarti “celaan, kecaman atau kritik”.[3] Kata يُشْبِهُ berasal dari fi’l madli أَشْبَهَ yang berarti “menyerupai”.[4]
Dari perincian arti per-kata di atas, تأكيد المدح بما يشبه الذم dapat diartikan “menguatkan pujian dengan menggunakan ungkapan yang menyerupai celaan”, sedangkan تأكيد الذم بما يشبه المدح berarti “menguatkan celaan dengan ungkapan yang menyerupai pujian”.
Dari segi struktur kalimat, ushlub ini ditandai dengan pemakaian kata yang menunjukkan pengecualian (أدوات الإستثناء atau الملحق بها) seperti: إلّا، غيْر، سوى، لَكِن، بَيْدَ.[5] Oleh karena itulah ada sebagian ulama balaghah yang menyebut gaya bahasa ini sebagai gaya bahasa istitsna’.[6] Misalnya dalam contoh bahasa Indonesia: “Pengusaha itu kekayaannya berlimpah, ... hanya saja ... amal ibadahnya tidak kalah dengan para kiai di kota ini”, atau dalam bahasa Arab:
أَنَا أَفْصَحُ الْعَرَبِ بَيْدَ أَنِّيْ مِنْ قُرَيْشٍ
Rasulullah bersabda:“Aku adalah orang Arab yang paling fasih, hanya saja aku ini orang Quraisy”
لا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلا تَأْثِيمًا (٢٥) إِلّا قِيلًا سَلامًا سَلامًا (٢٦)
Artinya: “(25) Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, (26) akan tetapi mereka mendengar ucapan salam”. (QS. Al-Waqi’ah: 25-26)
Ketiga contoh di atas merupakan ushlub تأكيد المدح بما يشبه الذم. Dapat dilihat pada contoh yang ke-2, Rasulullah mensifati dirinya sendiri dengan sifat baik (pujian) yaitu dengan mengatakan “أنا أفصح العرب” (aku adalah orang Arab yang paling fasih), setelah itu Rasulullah menggunakan kata istitsna’بيد” yang mengisyaratkan akan datang setelah pujian itu sifat yang jelek (celaan) sebagai lawan dari sifat terpuji. Namun kenyataannya berlawanan dari apa yang diduga para pendengar, Rasulullah kemudian mensifati dirinya dengan sifat baik pula yaitu dengan mengatakan “أني من قريش” (aku adalah dari suku Quraisy). Seperti yang diketahui, bahwa suku Quraisy adalah suku Arab yang paling mulia di antara suku-suku bangsa Arab lainnya. Dan dengan demikian ta’kid yang dimaksud di sini adalah terletak pada penuturan dua kalimat yang mengandung arti pujian, yaitu kalimat pujian “أَنِّيْ مِنْ قُرَيْشٍ” sebagai ta’kid (penguat atau penegas) kalimat pujian “أنا أفصح العرب”.[7]
Dari pembahasan contoh ke-2 tersebut perlu diketahui bahwa mustatsna berbeda dan berlawanan hukum dengan mustatsna minhu, karena pada dasarnya istitsna’ adalah mengeluarkan atau mengecualikan mustatsna dari hukum mustatsna minhu.[8] Perbandingannya adalah sebagai berikut:
المستثنى منه + أداة الإستثناء + المستثنى
a                          b
Contoh:
جَلَسَ الطُّلّابُ إلّا خَالِدٌ                                                    “Para siswa duduk, kecuali Khalid”
Pada contoh tersebut Khalid adalah seorang siswa (bagian dari الطلاب), namun “خالد” sebagai mustatsna dikeluarkan dari hukum “duduk” (جلس) sebagaimana yang dimiliki oleh mustatsna minhuالطلاب”. Mungkin bisa saja Khalid sedang berdiri, tidak duduk layaknya siswa-siswa yang lain.
Pada contoh yang ke-3 awalnya Allah menyanjung orang-orang beriman yang berada di Surga dengan firman-Nya “لا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلا تَأْثِيمًا” (di dalamnya mereka tidak akan mendengarkan perkataan yang sia-sia dan yang menimbulkan dosa), kemudian Allah mendatangkan huruf istitsna’إلّا” yang mengisyaratkan hal yang sebaliknya yaitu celaan. Akan tetapi justru Allah memberikan sanjungan yang lain dengan firman-Nya “قِيلا سَلامًا سَلامًا” (ucapan salam). Dengan demikian sanjungan (pujian) yang kedua merupakan penguat sanjungan yang pertama. Sedangkan keserupaan ungkapan pujian tersebut terhadap ungkapan celaan adalah terletak pada pemakaian struktur istitsna’ (pengecualian).
Dari pembahasan contoh ke-3 timbul satu pertanyaan, Mengapa huruf “إلّا” yang biasanya diartikan “kecuali”, namun pada contoh ke-3 diartikan “akan tetapi”? Untuk menjawab pertanyaan tersebut hendaknya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa mustatsna terbagi menjadi dua macam, yaitu:[9]
a.       Mustatsna muttashil (مستثنى متصل)
yaitu mustatsna yang sejenis dengan mustatsna minhu, sebagaimana contoh di atas, contoh:
جاءَ الْمُسَافِرُوْنَ إِلّا سَعِيْدًا                               “Para musafir telah datang, kecuali Said”
Pada contoh di atas Said adalah salah satu dari rombongan musafir.
b.      Mustatsna munqathi’ (مستثنى منقطع)
yaitu mustatsna yang tidak sejenis dengan mustatsna minhu, contoh:
سَافَرَ الْقَوْمُ إلّا الْخَيْلَ          “Para rakyat telah pergi, akan tetapi kuda itu (tidak pergi)”
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa mustatsna minhu الخيل” bukan termasuk ke dalam golongan mustatsna minhuالقوم”, karena kaum adalah sekumpulan orang bukan hewan.
Pada dasarnya “إلّا” adalah huruf istitsna’ (untuk mengecualikan) yang biasanya diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti “kecuali”, namun ini hanya berlaku jika mustatsna-nya berupa mustatsna muttashil. Sedangkan jika berupa mustatsna munqathi’, maka “إلّا” bermakna istidrak sebagaimana “لكن” yang biasa diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti “akan tetapi”.[10]
Jadi, jawaban dari pertanyaan di atas adalah karena mustatsna pada contoh ke-3 “قِيْلا سَلامًا سَلامًا” (ucapan positif) berupa mustatsna munqathi’ yang mana ia bukan termasuk dari jenis mustatsna minhuلَغْوًا وَلا تَأْثِيمًا” (ucapan negatif), maka إلّا” diartikan “akan tetapi”.
Menurut hemat Penulis, gaya bahasa تأكيد المدح بما يشبه الذم danتأكيد الذم بما يشبه المدح yang termasuk ke dalam المحسّنات المعنوية menjadikan pujian dan celaan dapat disampaikan kepada mukhatab dengan cara yang santun dan tepat sasaran tanpa menimbulkan kesan mubalaghah (berlebihan), baik mubalaghah dalam memuji maupun mencela. Penetralisiran kesan mubalaghah ini muncul akibat dari pemakaian ungkapan yang menyerupai pada lawan dari yang dimaksud. Misalkan maksudnya adalah memuji, akan tetapi gaya bahasa yang digunakan menyerupai celaan, dengan maksud agar tidak terkesan berlebihan dalam memuji dan yang dipuji pun tidak lantas berbesar hati dengan pujian tersebut. Walaupun pada dasarnya ini adalah bentuk pen-ta’kid-an dari sebuah pujian. Inilah yang disebut oleh para ilmuan balaghah dengan keindahan makna (المحسن المعنوي) yang memberikan kesan mendalam (الأثر الخلّاب).

B.     Pemakaian gaya bahasa تأكيد المدح بما يشبه الذم
Ushlub (gaya bahasa) yang dimulai dengan pujian kemudian datang pujian yang kedua, namun dengan menggunakan huruf istisna’ dalam ilmu badi’ dinamankan تأكيد المدح بما يشبه الذم atau menguatkan pujian dengan pujian lain dengan menggunakan kalimat yang menyerupai celaan.[11]
Seseorang yang ingin memuji dapat menggunakan gaya bahasaتأكيد المدح بما يشبه الذم ini dengan dua bentuk, yaitu:
1.      [12].أنْ يثبت لشيء صفة مدح ويأتي بعدها بأداة استثناء تليها صفة مدح أخرى
“Menetapkan sifat pujian bagi sesuatu, setelah itu mendatangkan huruf istitsna’, kemudian diikuti dengan pujian lain”
Bentuk تأكيد المدح بما يشبه الذم ini dapat diaplikasikan dengan rumus sebagai berikut:
صفة مدح + أداة استثناء + صفة مدح
Contoh:
فَتًى كَمُلَتْ أَخْلاقُه غيْر أنّه     جَوَادٌ فَما يُبْقى على الْمَالِ بَاقِيا[13]
An-Nabighah Al-Ja’di berkata: “Ia adalah seorang pemuda yang sempurna akhlaknya, hanya saja ia seorang yang dermawan sehingga tidak ada lagi sisa dari hartanya”
Pada contoh ini An-Nabighah Al-Ja’di mensifati seorang pemuda dengan sifat yang baik, yaitu “كملت أخلاقه” (sempurna akhlaknya), namun setelah itu Al-Ja’di mendatangkan huruf istitsna’ (pengecualian) yang mengisyaratkan akan datang celaan setelah pujian, karena pada dasarnya mustatsna yang terletak setelah huruf istitsna’ seharusnya berbeda hukum-nya dengan mustatsna minhu, jika mustatsna minhu berupa sifat pujian, maka seharusnya mustatsna tidak berupa pujian layaknya mustatsna minhu. Akan tetapi yang terjadi Al-Ja’di justru menyebutkan pujian lain setelah huruf istitsna’ tersebut, yaitu “جواد” (dermawan). Dengan demikian, pujian yang kedua tersebut dimaksudkan sebagai penguat pujian yang pertama.
2.      [14].أنْ يستثنى مِنْ صفة ذمّ مَنفية صفة مدح بتقدير دخولها في صفة الذم المنفية
“Mengecualikan sifat pujian dari sifat celaan yang dinafikan dengan cara memperkirakan bahwa sifat pujian tersebut masuk kedalam sifat celaan yang dinafikan”
Bentuk تأكيد المدح بما يشبه الذم ini dapat diaplikasikan dengan rumus sebagai berikut:
أداة نفي + صفة ذم + أداة استثناء + صفة مدح
Contoh:
وَلَا عَيْبَ فِيْهم غَيْرَ أَنَّ سُيُوْفَهُمْ            بِهِنَّ فُلُوْلٌ مِنْ قِرَاعِ الْكَتَائِبِ[15]
“Tidak ada kekurangan sedikitpun pada diri mereka, hanya saja pedang-pedang mereka rompak (rusak) disebabkan berbenturan dengan pedang musuh”
Pada contoh ini kata “عيب” adalah sifat celaan yang dinafikan dengan huruf nafi “لا”, kemudian didatangkan huruf istitsna’غير” yang mengisyaratkan bahwa setelah  pujian “لاعيب فيهم” (Tak ada cela pada diri mereka) adalah celaan, karena pada dasarnya jika mustatsna minhu me-nafi-kan ‘aib, maka mustatsna menetapkan ‘aib. Akan tetapi yang terjadi justru penyebutan pujian lain, yaitu “أن سيوفهم بهنّ فلول من قراع الكتائب” (pedang mereka rompak disebabkan berbenturan dengan pedang musuh), pedang yang rompak akibat sering berperang menunjukkan bahwa pemiliknya mempunyai sifat pemberani. Dengan demikian pujian yang kedua merupakan penguat pujian yang pertama.[16]
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum asal mustatsna adalah muttashil. Dan pada bentuk تأكيد المدح بما يشبه الذم yang kedua ini mustatsna dapat masuk pada mustatsna minhu, walaupun dengan cara perkiraan. Sedangkan pada bentuk yang pertama, mustatsna bersifat munqathi’. Dengan sebab itulah bentuk تأكيد المدح بما يشبه الذم yang kedua ini adalah bentuk yang paling baik dari pada bentuk yang pertama.[17]

C.    Pemakaian gaya bahasa تأكيد الذم بما يشبه المدح
Pemberian sifat jelek (mencela) terhadap sesuatu, kemudian datang lagi sifat jelek yang kedua dengan menggunakan huruf istitsna’, dalam ilmu badi’ disebut تأكيد الذم بما يشبه المدح.[18]
Sama seperti تأكيد المدح بما يشبه الذم, gaya bahasa تأكيد الذم بما يشبه المدح ini juga mempunyai dua macam bentuk, yaitu:
1.      [19].أنْ يثبت لشيء صفة ذم ويأتي بعدها بأداة استثناء تليها صفة ذم أخرى
“Menetapkan sifat celaan bagi sesuatu, setelah itu mendatangkan huruf istitsna’, kemudian diikuti dengan celaan lain”
Dalam menggunakan bentuk ini dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
صفة ذم + أداة استثناء + صفة ذم
Contoh:
هو بَذِئُ اللِّسَان غَيْرَ أَنَّ صَدْرَه مَجْمَعَ الأَضْغان
“Ia adalah orang yang kotor lidahnya, hanya saja dadanya merupakan tempat berkumpulnya kedengkian”
Pada contoh ini mutakallim memberi sifat jelek kepada seseorang, ungkapan yang digunakan adalah “بذئ اللسان” (ia orang yang kotor ucapannya), setelah itu didatangkan huruf istitsna’ yang memberi kesan akan datang sifat terpuji setelahnya, namun kenyataannya lain, mutakallim mendatangkan sifat jelek lagi kepada orang itu, ungkapan yang digunakan adalah “صدره مجمع الأضغان” (dadanya penuh dengan kedengkian). Sifat jelek yang kedua ini memperkuat sifat jelek yang pertama.[20]
2.      [21].أنْ يستثنى مِنْ صفة مدح مَنفية صفة ذم بتقدير دخولها في صفة المدح المنفية
“Mengecualikan sifat celaan dari sifat pujian yang dinafikan dengan cara memperkirakan bahwa sifat celaan tersebut masuk kedalam sifat pujian yang dinafikan”
Dalam menggunakan bentuk ini dapat menggunakan rumus sebagai berikut:
أداة نفي + صفة مدح + أداة استثناء + صفة ذم
Contoh:
فُلانٌ لَا خَيْرَ فِيْهِ إِلَّا أَنَّهُ يُسِيْءُ اِلى مَنْ أَحْسَنَ اِلَيْهِ
“Tidak ada kebaikan pada diri Fulan, hanya saja ia berbuat jelek kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya”
Pada contoh ini mutakallim mencela sebuah seseorang (Fulan) dengan mengatakan “لَا خَيْرَ فِيْهِ” (tak ada kebaikan pada dirinya), setelah itu digunakan huruf istitsna’إلّا” yang mengisyaratkan akan datang pujian setelahnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, mutakallim justru memberikan sifat celaan untuk kedua kalinya, yaitu dengan ungkapan “أَنَّهُ يُسِيْءُ اِلى مَنْ أَحْسَنَ اِلَيْهِ” (ia berbuat jelek kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya). Pemberian celaan yang kedua ini dimaksudkan sebagai penguat terhadap celaan yang pertama.[22]

IV.      KESIMPULAN
Ushlub تأكيد المدح بما يشبه الذم adalah menguatkan pujian dengan menggunakan ungkapan yang menyerupai celaan. Dalam penyampaiannya dapat dilakukan dengan dua bentuk, yaitu:

a.       أنْ يثبت لشيء صفة مدح ويأتي بعدها بأداة استثناء تليها صفة مدح أخرى
Rumus:                    صفة مدح + أداة استثناء + صفة مدح
b.      أنْ يستثنى مِنْ صفة ذمّ مَنفية صفة مدح بتقدير دخولها في صفة الذم المنفية
Rumus:                    أداة نفي + صفة ذم + أداة استثناء + صفة مدح
Sedangkan ushlub تأكيد الذم بما يشبه المدح adalah menguatkan celaan dengan menggunakan ungkapan yang menyerupai pujian. Sama seperti sebelumnya, ushlub ini dapat disampaikan dengan dua bentuk, yaitu:
a.       أنْ يثبت لشيء صفة ذم ويأتي بعدها بأداة استثناء تليها صفة ذم أخرى
Rumus:                    صفة ذم + أداة استثناء + صفة ذم
b.      أنْ يستثنى مِنْ صفة مدح مَنفية صفة ذم بتقدير دخولها في صفة المدح المنفية
Rumus:                    أداة نفي + صفة مدح + أداة استثناء + صفة ذم


V.          PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian dari penulis mengenai “تأكيد المدح بما يشبه الذم وتأكيد الذم بما يشبه المدح”. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu balaghah ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan Penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah Penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Oleh karenanya Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala perhatian beserta partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang telah dipelajari dan didapatkan kali ini menjadi bermanfaat, dan mendapat ridha beserta berkah dari Allah SWT. Amin





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Allam, Abdul ‘Athiy Gharib, Dirasaat Fi Al-Balaghah Al-Arabiyyah, Benghazi: Jami’ah Qaz Yunus, 1997, Cet. 1.
Al-Ghulayaini, Musthafa, Jami’ Ad-Durus Al-Arabiyyah, Juz. 3, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyyah, 1993, Cet. 28.
Al-Hasimiy, As-Sayyid Ahmad, Jawahir Al-Balaghah Fi Al-Ma’ani wa Al-Bayan wa Al-Badi’, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyyah, 1999.
Al-Jarim, Ali, dan Musthafa Amin, Al-Balaghah Al-Wadlihah Al-Bayan, Al-Ma’ani, Al-Badi’, Kairo: Dar Al-Ma’arif, t.t.
Al-Manzili, Mahmud Al-Alim, Al-Ushul Al-Wafiyah Al-Mausumah Bi Anwari Ar-Rabi’ Fi Ash-Sharfi wa An-Nahwi wa Al-Ma’ani wa Al-Bayan wa Al-Badi’, Mesir: Maktabah Al-Sayyid Muhammad Abdul Wahid, 1901, Cet. 1.
Al-Maraghi, Mahmud Hasan, Fi Al-Balaghah Al-Arabiyyah ‘Ilm Al-Badi’, Beirut: Dar Al-Ulum Al-Arabiyyah, 1991, Cet. 1.
Athawiy, Rafiq Khalil, Shina’ah Al-Kitab Ilmu Al-Bayan, Ilmu Al-Ma’ani, Ilmu Al-Badi’, Beirut: Dar Al-Ilmi Li Al-Mulayaini, 1989, Cet. 1.
Idris, Mardjoko, Ilmu Balaghah Antara Al-Bayan dan Al-Badi’, Yogyakarta: Teras, 2007.
Muhammad, Jalaluddin, At-Talkhish Fi Al-Balaghah, Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.t.
Munawwir, A.W., Kamus Almunawwir Arab-indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Qalaqilah, Abduh Abdul Aziz, Al-Balaghah Al-Ishtilahiyyah, Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1992, Cet. 3.
Zainuddin, Mamat, dan Yuyun Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.