I.
PENDAHULUAN
Secara
umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik
terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi,
sintaksis dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran
bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain.
Leksikografi
adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari tentang teknik penyusunan kamus.
Kegiatan yang terlibat dalam ilmu leksikografi di antaranya adalah perancangan,
kompilasi, penggunaan, serta evaluasi suatu kamus.
Berkaitan
dengan leksikografi, tentunya tidak akan terlepas dengan karya-karya yang sudah
diciptakan, dengan tujuan sebagai perbandingan dan pengkajian telaah. Salah
satu karya kamus yang cukup menarik untuk ditelaah dan dikaji lebih mendalam adalah
kamus yang diterbitkan di Kairo Mesir, yaitu al-mu’jam al-wasith. Lalu
seperti apakah al-mu’jam al-wasith tersebut?
Tentunya
untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan ketelitian dan kejelian khusus
dalam memahami aspek-aspek dan isi di dalamnya. Leksikografi memang banyak
dipandang sebelah mata, karena tidak sedikit orang yang menganggap remeh ilmu
ini. Namun apabila dipelajari dengan serius, ilmu ini akan cukup menarik untuk
dikaji lebih mendalam. Karena itulah Penulis merasa sangat perlu untuk
mengkajinya dan membahasnya secara khusus dengan pendekatan ilmu leksikografi.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Seperti
Apakah Latar Belakang Al-Mu’jam Al-Wasith?
B. Bagaimanakah
Metode dan Sistematika Penyusunan Al-Mu’jam Al-Wasith?
C. Bagaimanakah
Cara Mencari Kata Di Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith?
D. Termasuk
Kamus Apakah Al-Mu’jam Al-Wasith?
E. Apa
Sajakah Kelebihan dan Kekurangan Al-Mu’jam Al-Wasith?
III. PEMBAHASAN
A. Seperti Apakah Latar Belakang Al-Mu’jam Al-Wasith?
Kamus al-wasith termasuk kamus
modern yang diterbitkan oleh Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah (lembaga
bahasa Arab) di Kairo, Mesir. Kamus al-wasith ini sudah diterbitkan dalam
empat kali cetakan, yaitu:
1. Cetakan
pertama pada tahun 1960 dengan tim penyusun yang terdiri dari; Ibrahim
Musthofa, Ahmad Hasan Al-Ziyat, Hamid Abdul Qadir dan Muhammad Ali Al-Najjar.
2. Cetakan
kedua pada tahun 1972 dengan tim penyusun yang terdiri dari; Ibrahim Anis,
Abdul Halim Muntashir, Atiyah Al-Shawaliyah dan Muhammad Khalfullah Ahmad.[1]
3. Cetakan
ketiga pada tahun 1998 dengan tim penyusun yang terdiri dari; Ali An-Najdi
Nasif, Ahmad Al-Hufi, Muhammad Syauqi Amin, Mahmud Hafidh.[2]
4. Cetakan
keempat pada tahun 2004 dengan tim penyusun yang terdiri dari; Sya’ban Abdul
Athiy Athiyyah, Ahmad Hamid Husein, Jamal Murad Hilmiy dan Abdul Aziz Al-Najjar.[3]
Kamus al-wasith ini kurang lebih
terdiri dari 30.000 kosakata, 600 gambar tersusun dalam tiga kolom, dan terdiri
dari dua juz buku.[4]
Namun pada cetakan yang keempat kamus ini disusun lebih simple lagi
dengan menggabungkan kedua juz tersebut, sehingga hanya terdiri dari
satu juz saja.[5]
Dalam pengelolaan kamus al-wasith, lembaga
bahasa mempercayakan masalah percetakan dan pendistribusiannya pada percetakan maktabah
as-syuruq ad-dauliyyah.[6]
Adapaun lembaga bahasa ini dibentuk pada tahun 1932 M. Lembaga ini dibentuk
dengan beberapa untuk menjaga bahasa, dengan upaya menjadikan bahasa selaras
dan sesuai dengan kebutuhan keilmuan dan kebutuhan hidup; dan juga bertujuan
untuk menyusun kamus bahasa Arab yang bersejarah.[7]
Kamus ini merupakan kamus yang
dikhususkan untuk akademisi yang mempelajari bahasa yang menginginkan sebuah
kamus dengan gaya bahasa yang jelas, mudah dipahami dan dipakai. Itulah yang
membuat Departemen Pendidikan dan lembaga bahasa Arab bersepakat menamai kamus
ini dengan nama al-mu’jam al-wasith, karena semua hal tersebut terdapat
pada kamus ini.[8]
B. Bagaimanakah Metode dan Sistematika Penyusunan Al-Mu’jam
Al-Wasith?
Bermacam-macamnya kamus yang ada di
dunia berkembang dari waktu ke waktu, hal ini membuat metode yang dipakai oleh para
penyusun dalam menyusun dan menyajikan karya-karya mereka kepada khalayak umum
menjadi bervariasi. Salah satunya adalah metode yang dipakai pada kamus al-wasith
ini.
Pada kamus ini penyusun menggunakan metode
penyusunan kata berdasarkan urutan huruf hijaiyah yang sudah dikenal saat ini,
yaitu mulai dari huruf alif hingga ya’. Metode penyusunan kamus
seperti ini disebut dengan nidzam al-faba’i al-‘am (sistem alfabetis umum),
metode ini bisa disebut juga sebagai nidzam awa’il al-ushul.
Pada metode ini terdapat dua macam asas
yang dipakai dalam penyusunannya, kedua asas tersebut yaitu:
1. Asas
tajrid
Tajrid
adalah mengembalikan sebuah kata ke asal kata (akar kata) dengan cara
menghilangkan huruf-huruf tambahan yang melekat pada kata itu. Huruf-huruf
tambahan yang perlu di-tajrid antara lain:
a. Dhamir muttashil (kata ganti
sambung), seperti:
سَمِعـ(ت)-سَمِعـ(تم)-سَمِعـ(نا)-سَمِعـ(ني)-سَمِعـ(وا)-سمعـ(ها).
وغير ذلك
b. Huruf
mudhara’ah (huruf tambahan dalam fi’il mudhari’), seperti:
(أَ)كتب-(تَ)كتب-(يَ)كتب-(نَ)كتب
c. Alif pada fi’il amar,
seperti: (أُ)كْتُبْ
d. Artikel
al (الْ), seperti: (الْ)كتاب
e. Huruf
tasniyyah, seperti: شجرتـ(ان)
f. Huruf
jamak, seperti: (أَ)شْجَـ(ا)ر-(مُـ)سْلِمـ(وْنَ)
g. Huruf
nasab, seperti: قرشـ(يّ)-مدنـ(يّ)
h. Huruf
tashghir, seperti: عُمَـ(يْـ)ر-جُبَـ(يْـ)ل
2. Asas
tardid
Tardit yaitu
mengembalikan sebuah kata ke bentuk asal (akar kata) dengan dua cara, yaitu:
a. Mengembalikan
huruf-huruf asli dalam kata yang telah dibuang, seperti; kata يَدٌ menjadi يَدَيٌ,
kata صِفَةٌ
menjadi وَصْف, kata رَدَّ menjadi رَدَدَ, dan sebagainya.
b. Mengembalikan
huruf asli yang telah diganti, seperti; kata باعَ menjadi بَيَعَ, kata غَزَا menjadi غَزَوَ.[9]
Adapun untuk penulisan kamus al-wasith
penyusun memakai sistematika yang terdiri dari pola-pola khusus yang sudah
diatur sedemikian rupa sebagai berikut:
1. Mendahulukan
kata yang berbentuk fi’il dari kata yang berbentuk isim.
2. Mendahulukan
fi’il mujarrad dari fi’il mazid.
3. Mendahulukan
makna hissiy (tersurat) dari makna aqliy (tersirat), atau
mendahulukan makna haqiqiy (asal) dari makna majaziy (kiasan).
4. Mendahulukan
fi’il lazim dari fi’il muta’addi.
5. Menyusun
kata fi’il dengan pola sebagai berikut:
a. الفعل الثلاثي المجرد
1) فَعَلَ يَفعُل (نصَر يَنصُر)
2) فعَل يفعِل (ضرَب يضرِب)
3) فعَل يفعَل (فتَح يفتَح)
4) فعِل يفعَل (علِم يعلَم)
5) فعُل يفعُل (شرُف يشرُف)
6) فعِل يفعِل (حسِب يحسِب)
b. الفعل الثلاثي المزيد بحرف
1) أَفعلَ
(أَكْرمَ)
2) فَاعَلَ (قَاتَلَ)
3) فَعَّلَ
(كَرَّمَ)
c. الفعل الثلاثي المزيد بحرفين
1) اِفْتَعَل (اِنْتَصَر)
2) اِنْفَعَلَ (اِنْكَسَرَ)
3) تَفاعَل (تَشاوَر)
4) تَفَعَّلَ (تَعَلَّمَ)
5) اِفْعَلَّ (اِحْمَرَّ)
d. الفعل الثلاثي المزيد بثلاثة أحرف
1) اِسْتَفْعَلَ (اِسْتَغْفَرَ)
2) اِفْعَوْعَلَ (اِعْشَوْشَبَ)
3) اِفْعَالَّ (اِحْمارَّ)
4) اِفْعَوَّلَ (اِجْلَوَّدَ)
e. الرباعي المجرد
1) فَعْلَلَ (دَخْرَجَ)
f. الرباعي المزيد بحرف
1) تَفَعْلَلَ (تَدَخْرَجَ)
Untuk الرباعي
الملحق terdiri dari beberapa wazan,
dan di dalam penyusunan kamus ini kosakata yang berbentuk ruba’i mulhaq
diletakkan pada tempatnya berdasarkan urutan alfabetis, di sana pembaca akan
diberikan instruksi untuk merujuk pada bagian asal kata tersebut. Seperti
contoh kata كَوْثر terletak pada bagian ك-و-ث-ر, dan kemudian di sana akan ditemukan انظر كثر (كَوْثر).
Adapun untuk kata yang berbentuk mudha’af
ruba’iy tidak diletakkan pada bagian tsulatsi, melainkan diletakkan
pada tempatnya sendiri sesuai alfabetis. Misalkan kata زَلْزَل, cara yang
benar untuk mencari kata ini bukan pada bagian ز-ل-ل, akan tetapi pada bagian ز-ل-ز-ل.
Di dalam kosakata bahasa Arab terdapat
beberapa bentuk kata yang diawali dengan huruf ta’ pengganti dari huruf wawu,
dan penggantian ini bersifat selamanya. Pada kamus ini kosakata seperti itu
diletakkan pada bab huruf wawu. Contohnya adalah kata التراث, kata ini bisa
ditemukan pada bab wawu, bukan pada bab ta’.
Kata اِيْتَمَنَ bentuk asalnya adalah اِأْتَمَنَ, pada kamus
ini kata tersebut tidaklah dituliskan dalam bentuk perubahannya (اِيْتَمَنَ),
melainkan dalam bentuk asalnya (اِأْتَمَنَ). Hal ini bertujuan untuk memberitahukan
kepada pembaca bahwa bentuk awalnya adalah memakai hamzah, bukan ya’.
6. Menyusun
kosakata yang berbentuk isim berdasarkan urutan alfabetis.[10]
C. Bagaimanakah Cara Mencari Kata Di Dalam Al-Mu’jam
Al-Wasith?
Untuk mencari letak kata dalam kamus
ini, pertama-tama hendaknya diketahui terlebih dahulu apakah kata tersebut
terdiri dari huruf asli, atau ada di antaranya huruf tambahan (zaidah)?
Kalau sudah mengetahuinya kita dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Jika
semua hurufnya terdiri dari huruf asli, maka carilah berdasarkan permulaan dan
urutan huruf-hurufnya. Misalnya:
“Kata قَمَرٌ dicari pada bab
huruf qaf (ق), kemudian cari pada bagian ق-م-ر”
2. Jika
di antara huruf-hurufnya terdapat huruf tambahan (zaidah), maka terlebih
dahulu harus diketahui mana huruf yang asli dan mana yang tambahan?. Caranya
dengan menerapkan teknik tajrid dan tardid seperti penjelasan
sebelumnya. Setelah diketahui huruf-huruf aslinya, kemudian bisa dilakukan
langkah-langkah seperti yang terdapat pada langkah pencarian kata yang terdiri
dari huruf asli.[11]
D. Termasuk Kamus Apakah Al-Mu’jam Al-Wasith?
Dengan meningkatnya kebutuhan akan kamus. Jenis-jenis
kamus di dunia semakin lama semakin banyak dan bervariasi. Kesemuanya ini
memiliki kekhususan sendiri dalam berbagai aspeknya. Aspek-aspek ini antara
lain pengguna kamus, methode penyusunan, jumlah bahasa yang digunakan, ukuran
kamus dll. Aspek-aspek inilah yang kemudian mendorong timbulnya banyak
jenis-jenis kamus yang mengikuti aspek-aspek tersebut.
Begitu pula halnya dengan al-mu’jam al-wasith. Mu’jam
ini pun apabila ditinjau dari berbagai aspek tersebut dapat terlihat masuk
klasifikasi yang manakah al-mu’jam al-wasith ini. Berikut ini
tinjauannya:
1. Dasar penyusunan kamus
Kamus secara umum apabila dilihat dari klasifikasi ini
maka dapat dikategorikan kedalam kamus lafdzhiy dan kamus ma’nawiy.
Seorang pembuat kamus apabila ia ingin memaknai sesuatu yang masih samar dalam
maknanya maka tentunya ia tidak akan pernah terlepas dari aspek makna dan
pengucapan atau penguraian katanya ataupun tingkat penggunaannya dalam
pengujaran. Apabila input lafadzh untuk suatu kamus beranjak dari
lafazdh-nya itu sendiri maka kamus tersebut dapat dikelompokan kedalam
salah satu jenis kamus alfabetis. Sementara apabila ma’ma umum yang dikandung
oleh suatu kata dipecah lagi kedalam baik makna-makna lain yang dikandungnya
maupun ungkapan-ungkapan yang beranjak darinya.
Maka apabila dilihat dari segi ini, kamus al-wasith
dapat dikelompokan kedalam kelompok kamus lafdzhiy. Sebenarnya pada
perkembangannya dasar penyusunan kamus ini akan selalu berkaitan dengan metode
penyusunan suatu kamus. Oleh karena itu klasifikasi ini akan lebih diperjelas
di klasifikasi ke 2 yaitu methode penyusunan kamus.
2. Metode penyusunan kamus
Sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas, dasar penyusunan kamus akan selalu berkaitan
dengan metodenya itu sendiri. Seperti yang kita ketahui terdapat 2 dasar
penyusunan kamus yaitu lafdzhiy dan ma’nawiy. Maka metode
penyusunan kamus didasarkan atas ke 2 hal ini. Kemudian yang berdasarkan
lafadzh ini dibagi lagi menjadi 2 yaitu yang mengikuti huruf hijaiyyah ada pula
yang mengikuti strukturnya. Sedangkan yang mengikuti huruf hijaiyyah ini ada
yang mengikuti urutan fonem menurut tingkat kesulitan pengucapannya baik dari
yang paling mudah atau pun yang paling susah, atau yang mengikuti urutan alfabetis
baik dari awal urutan alfabet sampai akhir atau pun sebaliknya yaitu dari
urutan terakhir sampai yang pertama.
Dilihat dari
klasifikasi ini maka kamus al-wasith dapat diklasifikasikan ke dalam (معجم الترتيب
الفبائى العام).
3. Kekhususan kamus
Dari sudut
pandang ini kamus dapat dibedakan menjadi general dictionaries
dan special dictionaries. Kamus umum atau general dictionaries hanya
mengulas masalah kosa kata pada penggunaannya secara umum. Sementara kamus
khusus special dictionaries hanya membahas kekhususuan kebahasaan yang
dimiliki oleh suatu bahasa. Seperti kamus idiom, kamus sinonim, antonim, kamus
yang berkaitan dengan suatu nash tertentu atau orang tertentu, dialek dan
lain sebagainya.
Maka kamus al-wasith
dapat diklasifikasikan kedalam general dictionaries karena kamus ini
hanya membahas kosa kata bahasa Arab secara umum tanpa ditonjolkan salah satu
aspeknya.[12]
4.
Jumlah bahasa yang digunakan
Apabila kita
perhatikan kamus-kamus yang ada sekarang, maka terkadang kita menemukan variasi
dalam jumlah bahasa yang disajikan pada kamus-kamus tersebut. Hal ini dapat
kita lihat pada kamus besar bahasa Indonesia yang hanya mengandung satu bahasa
saja yaitu bahasa Indonesia. Kamus yang hanya memakai satu bahasa seperti ini disebut
kamus eka bahasa (uhadiyatul-lughah). Kamus jenis ini pada dasarnya
ditujukan atau diperuntukan untuk penutur asli bahasa tersebut, walaupun kamus
jenis ini pun tidak jarang digunakan dan dijadikan referensi oleh yang bukan
penutur aslinya.
Sementara kamus
yang lebih dari satu bahasa dibagi menajadi 2 jenis yaitu dwi bahasa (tsunaiyatul-lughah)
dan multi bahasa (mutaadidatul-lughah). Kamus bilingual
merupakan suatu kamus yang mengandung 2 bahasa yang berbeda. Sementara kamus multilingual
merupakan kamus yang mengandung lebih dari 2 bahasa.[13]
Maka kamus al-wasith
yang hanya menggunakan satu bahasa saja dapat dikelompokan kedalam kamus eka
bahasa, karena dalam kamus ini hanya menerjemahkan bahasa Arab kedalam
bahasa Arab lagi.
5. Pengguna kamus
Apabila dilihat
dari segi penggunanya, maka al-mu’jam al-wasith memanglah ditujukan bagi
penutur asli bahasa Arab walaupun hal tersebut tidak menutup kemungkinan
penggunanya pun dapat berasal dari bangsa non Arab dan dijadikan referensi
mereka. Hal ini didukung dengan penggunaan bahasa pada al-mu’jam al-wasith
hanya terbatas satu bahasa saja yaitu bahasa Arab, atau dengan kata lain kosa
kata dalam bahasa arab diterjemahkan kedalam bahasa Arab lagi.
E. Apa Sajakah Kelebihan dan Kekurangan Al-Mu’jam
Al-Wasith?
Semua kamus pada dasarnya berawal dari
inovasi para penyusunnya, entah karena perkembangan bahasa seiring perkembangan
jaman, atau karena perkembangan ilmu leksikologi dan leksikografi. Tentunya
semua hal di dunia ini, termasuk juga inovasi-inovasi tersebut tentu mempunyai beberapa
kelebihan dan kekurangan. Dalam menelaah kamus al-wasith ini, Penulis
menemukan beberapa kelebihan dan kekurangan di dalamnya, di antaranya yaitu:
1. Kelebihan:
a. Relatif
lebih mudah bagi pengguna kamus dalam mencari makna kata bila dibandingkan
dengan kamus yang bersistem fonetik, alfabetis khusus, maupun qafiyah.
Hal ini disebabkan oleh
tidak adanya asas-asas tartib al-huruf, taqsim al-bina’ dan taqlib
al-kalimah.[14]
b. Dilengkapi
dengan contoh-contoh yang diambil dari ayat Al-qur’an, Al-Hadis, kalam Arab,
dan kalimat-kalimat balaghiyah para ahli fashahah dari kalangan
pengarang kitab dan penyair.
c. Disertai
dengan gambar-gambar ketika dibutuhkan untuk menjelaskan suatu kata yang butuh
pada visualisasi. Gambar-gambar tersebut berkisar tentang hewan,
tumbuh-tumbuhan, perabot dan lain sebagainya.
d. Dilengkapi
dengan istilah-istilah ilmiyah, baik istilah mu’arrab (adopsi istilah
selain Arab dengan perubahan, baik pengurangan, penambahan atau penggantian
huruf), dakhil (istilah serapan dari selain bahasa Arab, tanpa perubahan),
muhaddats (modern) dan muwallad (makna baru).[15]
e. Disertai
dengan simbol-simbol untuk mempermudah dalam memahami isi kamus, seperti:
1) (ج):
menjelaskan bentuk jamak
2) (ــُــَــِ): menjelaskan harakat ‘ain fi’il
3) (وـــ):
menjelaskan tentang pengulangan kata dengan makna baru
4) (مو):
menjelaskan istilah muwallad
5) (مع):
menjelaskan istilah mu’arrab
6) (د):
menjelaskan istilah dakhil
7) (مج):
menjelaskan istilah yang ditetapkan oleh lembaga bahasa Arab
8) (محدثة):
menjelaskan istilah modern[16]
2. Kekurangan:
a. Masih
terdapat kesulitan bagi pengguna dalam mencari makna kata. Sebab untuk
mengetahui akar kata, sekalipun telah ada teknik tajrid-tardid, tetap
saja hal tersebut menyulitkan bagi pengguna awam yang tidak memahami ilmu
sharaf, terutama bagi non-Arab.[17]
b. Terdapat
banyak pengulangan kata
c. Dalam
pemberian contoh tidak disertai dengan identitasnya, apakah dari ayat
Al-Qur’an, ayat berapa? Termasuk syair? atau kalam Arab? Hal ini membuat
para pembaca kesulitan dalam mencari identitas contoh-contoh tersebut.
Sebagaimana halnya bagi orang yang tidak hafal Al-Qur’an dan Al-Hadis, tentunya
ini membuatnya kebingungan dalam mencari identitas contoh-contoh tersebut.
IV. KESIMPULAN
Kamus al-wasith termasuk kamus
modern yang diterbitkan oleh Majma’ Al-Lughah Al-Arabiyah (lembaga
bahasa Arab) di Kairo, Mesir. Kamus ini dinamakan dengan al-mu’jam al-wasith
berdasarkan kesepakatan antara Departemen Pendidikan dan Lembaga Bahasa
Arab, dengan tinjauan bahwa segmentasi kamus ini adalah para orang terpelajar
yang membutuhkan kamus dengan bahasa yang jelas, mudah dipahami dan mudah
dioperasionalkan. Sedangkan untuk masalah percetakan dan pendistribusiannya
dipercayakan pada percetakan maktabah as-syuruq ad-dauliyyah. Dan selama
ini sudah mengeluarkan empat kali cetakan. Kamus ini kurang lebih terdiri dari
30.000 kosakata, 600 gambar, dan tersusun dalam tiga kolom.
Dalam menyusun kamus ini penyusun
menggunakan metode nidzam al-faba’i al-‘am (sistem alfabetis umum),
disertai dengan dua asasnya, yaitu asas tajrid dan tardid. Dan
dalam mengembangkan metode tersebut, penyusun melengkapinya dengan beberapa
sistematika penulisan seperti mengatur urutan kata isim dan fi’il, dengan
tujuan agar kamus ini terlihat rapi dan teratur.
Untuk cara pencarian kata di dalam kamus
ini, pasalnya masih berhubungan dengan kedua asas yang dipakai dalam menyusun
kamus ini (tajrid dan tardid). Pada intinya kata yang ingin
dicari harus sudah dalam bentuk aslinya (akar kata), selanjutnya bisa dicari
berdasarkan huruf awal kata tersebut, dan kemudian diruntutkan kebawah
berdasarkan alfabetis huruf hijaiyah saat ini, yaitu wawu hingga ya’.
Kamus ini dapat digolongkan kedalam
beberapa kategori kamus, tentunya disesuaikan dengan tinjauan yang dipakai.
Secara ringkas kamus al-wasith bisa dikategorikan sebagai المعجم اللفظ بالترتيب الفبائى
العام atau general dictionaries
dengan format kamus eka bahasa yang diperuntukkan bagi penutur bahasa aslinya.
Dengan segala fitur dan klasifikasi
tersebut, kamus ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan
kamus ini berkisar dari sisi kejelasan dan kemudahan dalam mengoperasionalkannya.
Sedangkan kekurangannya berkisar ketika dihadapkan dengan segmentasi yang tidak
tepat.
V.
PENUTUP
Demikianlah yang dapat Penulis sampaikan
mengenai “المعجم
الوسيط”. Di dalam makalah ini kesalahan maupun
kekurangan penulisan sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik
beserta saran yang membangun sangat Penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Maka dari itu Penulis mengucapkan banyak
terima kasih atas segala perhatian beserta partisipasinya, dan mohon maaf atas
segala kekurangannya. Semoga apa yang dipelajari dan didapatkan kali ini
bermanfaat, dan mendapat ridho beserta berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Taufiqurrahman, Leksikologi
Bahasa Arab, Malang: UIN-Malang Press, 2008.
Sya’ban
dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, Kairo: Maktabah As-Syuruq Al-Dauliyyah, 2004.
[1] Taufiqurrahman, Leksikologi
Bahasa Arab, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 267-268.
[2] Sya’ban dkk, Al-Mu’jam
Al-Wasith, (Kairo: Maktabah As-Syuruq Al-Dauliyyah, 2004), hlm. 10.
[3] Ibid., hlm. 6.
[4] Ibid., hlm. 24.
[5] Ibid., hlm. 8.
[6] Ibid., hlm. 5.
[7] Ibid., hlm. 32.
[8] Ibid., hlm. 26.
[9] Taufiqurrahman, Op. Cit., hlm.
260-261.
[10] Sya’ban dkk, Op. Cit., hlm.
29-31.
[11] Taufiqurrahman, Op. Cit.,
hlm. 261.
[13] Taufiqurrahman, hlm. 172-173.
[14] Ibid., 261.
[15] Sya’ban dkk, Op. Cit., hlm.
27
[16] Ibid., hlm. 31.
[17] Taufiqurrahman, hlm. 262.