SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Tuesday, October 29, 2013

MAKALAH BALAGHAH (المساواة)



I.             PENDAHULUAN
Tuhan menciptakan manusia di bumi sebagai makhluk sosial. Dalam hakikatnya sebagai makhluk sosial, tentunya manusia tidak lepas dengan yang namanya pembicaraan atau komunikasi antar mulut ke mulut. Oleh karenanya diperlukan perhatian tersendiri dalam hal ini agar kualitas dan kuantitas kalam seseorang terbentuk dengan baik, benar dan indah. Sebagaimana wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu ayat 1-5 dari surat Al-Alaq yang di dalamnya mengandung konsep pembelajaran berbicara. Ini menjadi bukti akan pentingnya mempelajari bagaimana cara agar bahasa ucap atau kalam menjadi baik.
Dari adanya masalah tersebut, ilmu balaghah datang sebagai solusi yang terbilang cukup efektif dalam menyelesaikan dan menguraikan masalah-masalah seperti itu melalui disiplin keilmuan. Dengan demikian diharapkan agar setiap orang bisa mempelajarinya dengan orientasi penataan dimensi komunikasi yang terarah dan berkualitas baik.
Sebagaimana yang biasa dipelajari oleh para pelajar ilmu nahwu. Disana ilmu yang pertama kali harus mereka pelajari adalah tentang الكلام. Dan ulama’ nahwu pun ketika mengarang kitab tentang ilmu nahwu, sembilan puluh persen mereka selalu mengawali kitab-kitab yang mereka karang dengan pembahasan materi الكلام. Mereka memandang hal ini sebagai materi terpenting untuk dipelajari seseorang sebelum lebih dalam memahami tentang ilmu nahwu.
Dan dalam paktiknya banyak pakar keilmuan yang sudah memakai dan mengaplikasikan ilmu balaghah dalam kesehariannya, seperti; psikiater, psikolog, sosiolog, kriminolog, guru, orang tua, dan para pemuka Islam dan bahkan Non-Islam. Mereka memakai ilmu balaghah sebagai alat untuk berkomunikasi kepada setiap pasien yang mereka tangani. Dan ini sudah terbukti sangat efektif.
Seperti halnya tersebut, ulama’ balaghah menggolongkan model bicara menjadi tiga, yaitu memakai الإيجاز ,الإطناب , atau المساواة. Ketiga-tiganya merupakan metode bagaimana seseorang menyampaikan pokok fikirannya kepada orang lain. Untuk dua bagian yang pertama sudah dijelaskan pada makalah sebelumnya. Adapun pada makalah kali ini akan membahas mengenai المساواة.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana al-musawah itu?
B.     Bagaimanakah posisi al-musawah di dalam balaghiyah?
C.     Siapakah pemakai uslub al-musawah?

III.      PEMBAHASAN
A.    Bagaimana al-musawah itu?
Sebelum kita membahas dan mengupas lebih lanjut mengenai al-musawah, mari kita pahami terlebih dahulu apa pengertian dan maksud dari al-musawah? Kata مُساوَاة berasal dari fi’il mujarrad سَوِيَ يَسْوَى سِوًى yang artinya adalah lurus. Kemudian fi’il tersebut dikonfersikan ke dalam wazan fi’il tsulatsi mazid bi harf  فَاعَلَ” menjadi سَاوَى يُسَاوِي مُساوَاة. Dengan adanya peralihan ini, mengakibatkan perubahan kategori, yang asalnya berbentuk fi’il lazim (سَوِيَ) menjadi fi’il muta’adi (سَاوَى). Menurut kamus balgahah (al-mu’jam al-mufasshal fi ulumi al-balaghah) fi’il سَاوَى sama artinya dengan fi’il سَوَّى الشّيءَ, maksudnya adalah menjadikan sesuatu menjadi sama. Sedangkan menurut kamus al-wasith سَاوَى بينَهما (جعلهما يتماثلان ويتعادلان), maksudnya adalah menjadikan keduanya sama atau sepadan.
Para bulagha’ (ilmuan balaghah) mempunyai banyak cara dalam memberikan pengertian mengenai al-musawah, diantaranya:
1.      Menurut Abdurrahman bin Muhammad Al-Ahdlori:
تَأْدِيَةُ الْمَعْنَى بِلَفْظِ قَدْرِهِ ۝ هِيَ الْمُسَاوَاةُ كَسِرْ بِذِكْرِهِ
“Mendatangkan makna dengan ucapan yang sekadarnya (tidak bertele-tele dan singkat) ialah musawah. Seperti contoh سِرْ بِذِكْرِهِ (Berjalanlah kamu seraya ingat kepada Allah).
2.      Menurut علال نوريم didalam kitabnya jadid al-tsalatsah al-funun fi syarhi al-jawharu al-maknun yang menjabarkan nadhom diatas:
الْمُسَاوَاةُ هِيَ أَنْ يَكُوْنَ الْمَعَانِي بِقَدْرِ الأَلفَاظِ والألْفاظُ بِقَدْرِ الْمَعَانِي لايزيدُ بعضُها على بعضٍ
“Musawah adalah pengungkapan kalimat yang takaran makna-maknanya sama dengan kata-katanya, begitu juga takaran kata-katanya sesuai dengan luasnya makna yang dikehendaki, dan takaran antara keduanya tidak melebihi antara satu dengan yang lain”.
3.      Menurut عبد المتعال الصّعيدى didalam kitabnya al-balaghah al-aliyah:
الْمُسَاوَاةُ هي أنْ يَكون اللّفظ بمقدارِ أصلِ المرادِ لا ناقصًا عنه بحذف أو غيره ولا زائدًا عليه بنحو تَكرير أو تتميم أو اعتراض
“Musawah adalah pengungkapan yang kata-katanya sesuai dengan banyaknya inti pokok yang dimaksud, dengan tanpa adanya pengurangan dengan pembuangan, atau penambahan dengan cara pengulangan, penyempurnaan secara tuntas atau dengan cara perluasan ungkapan”.
Secara ringkas, yang dimaksud dengan al-musawah adalah sebuah bentuk pengungkapan yang cara penyusunan kata-katanya disesuaikan dengan makna atau maksud yang dinginkan oleh mutakalim. Tentunya tanpa adanya pengurangan ataupun penambahan kata-kata yang dipakai dalam mengungkapkan makna tersebut. Atau bisa dikatakan sama antara makna dan pelafalan kata-katanya. Sehingga bisa dikatakan lafadz-lafahz-nya merupakan cerminan dari makna-maknanya. Seperti contoh pada firman Allah SWT:
وَمَا تُقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ
“Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah” (QS. Al-Baqarah: 110).
Dan sabda Nabi SAW:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبِّهاتٌ
“Halal sudah jelas terlihat, haram sudah jelas terlihat, dan di antara keduanya adalah musyabbihat”
Bila kita perhatikan contoh di atas, kita dapatkan bahwa kata-katanya disusun sesuai dengan makna yang dikehendaki, dan seandainya kita tambahi satu kata saja, niscaya tampak ada kelebihan, dan bila kita kurangi satu kata saja, niscaya akan membuat rancu. Jadi banyaknya kata-kata yang tersusun pada contoh di atas sama dengan luas maknanya. Oleh karena itu pengungkapan kalimat yang demikian disebut sebagai al-musawah.

B.     Bagaimanakah posisi al-musawah di dalam balaghiyah?
Di dalam ranah balaghiyyah, posisi al-musawah berada pada tingkatan di mana seseorang menyampaikan sebuah ungkapan sesuai dengan inti pokok makna (makna asal) yang dimaksud. Maksudnya adalah menyetarakan antara ungkapan dengan pokok fikiran asal yang dimaksud. Maka dari itu dalam tingkatan al-musawah, mutakallim tidak akan merubah ungkapannya, baik dengan cara mengurangi ataupun menambahi makna asal yang ia maksud, atau sebaliknya.
As-Sakakiy berpendapat bahwa pada tingkatan al-musawah tidak ada alasan bagi seorang mutakallim untuk dicela atau dipuji sebagai orang yang fasih perkataannya (baligh). Perkataan mereka tergolong sebagai ungkapan kelaziman (al-‘urfiy) yang dipakai oleh orang-orang tingkat menengah (kemampuan berbicaranya).
Ungkapan al-musawah biasanya dipakai pada wilayah-wilayah sebagai berikut:
1.      Naskah-naskah keilmuan
2.      Ketentuan-ketentuan hukum dan syari’at
3.      Ketentuan-ketentuan perjanjian antar negara-negara
4.      Ketetapan-ketetapan dan keputusan- keputusan
5.      Penjelasan mengenai hukum-hukum agama
6.      Penjelasan mengenai hak dan kewajiban, dan sebagainya
Dalam pemakaiannya, al-musawah tidak ditentukan secara khusus sebagai kalam yang fasih (baligh) jika dibandingkan dengan kalam ijaz dan ithnab, karena tingkat ke-baligh-an suatu kalam tidak dilihat dari sisi banyak-sedikitnya kata dan makna, atau persesuaian antara ungkapan dengan makna, melainkan dilihat dari sisi pemakaiannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sebagaimana dijelaskan oleh Abdur Rahman Al-Ahdlori:
وجَعَلُوْا بَلاَغَةَ الْكَلاَمِ ۝ طِبَاٌقَهُ لِمُقْتَضَى الْمَقَامِ
Ulama’ balaghah mendefinisikan ke-balaghah-an suatu kalam adalah ketika kalam tersebut dipakai sesuai dengan tempatnya
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالُه الْمُناسِبُ
Setiap tempat mempunyai bentuk ucapannya masing-masing yang sesuai
Adapun yang dimaksud dengan maqam di sini adalah sebuah keadaan di mana mutakallim didorong untuk mendatangkan sebuah ungkapan tertentu.
Maka dari itu seseorang tidak bisa begitu saja mengklaim salah satu dari ketiga tersebut sebagai kalam yang baligh. Karena ketiga bentuk tersebut bisa dikategorikan sebagai ungkapan yang baligh jika ia diletakkan atau dipakai pada tempat yang tepat. Sebagai contoh, bentuk kalam ithnab bisa dipakai untuk memuji seseorang, dan kalam ijaz bisa dipakai untuk berbicara dengan orang yang pintar.

C.    Siapakah pemakai uslub al-musawah?
Setelah mengetahui tingkatan al-musawah di dalam balaghiyah, tentu perlu diketahui juga tempat dimana al-musawah diaplikasikan. Pada umumnya al-musawah terdapat pada ungkapan (kalam) seseorang yang berada pada tingkatan menengah. Karena pengungkapannya yang bersifat sedang (tidak lebih dan tidak kurang), bisa dikatakan bahwa al-musawah akan keluar dari kalam orang yang mempunyai taraf balaghiyah menengah. Namun perkiraan seperti ini dinilai sangat kurang tepat, karena dalam praktiknya banyak juga dari kalangan bulagha’ (mutakallim yang fasih perkataannya) yang memakai kalam al-musawah. Namun jarang sekali ditemui hal demikian.
Dalam kasus di atas, para bulagha’ ini hanya sebatas menyesuaikan uslub yang mereka pakai dalam berkomunikasi dengan keadaan si mukhatab. Sebagaimana ucapan Nabi Khidlir kepada Nabi Musa:
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
“Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku”. (QS. Al-Kahfi: 67)
Perkataan ini diucapkan oleh Nabi Khidlir pada awal perjalanan perguruan yang dilakukan oleh Nabi Musa kepadanya. Ketika itu Nabi Musa melakukan protes kepada apa yang telah dilakukan oleh Nabi Khidlir. Yang padahal pada waktu sebelum melakukan perjalanan perguruannya, Nabi Khidlir telah memberikan pesan kepada Nabi Musa agar tidak melakukan protes atas apa yang beliau kerjakan sampai nanti beliau menjelaskan apa alasan dari semua yang beliau kerjakan. Demikian yang tercantum dalam firman Allah SWT:
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (٦٧) وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا (٦٨) قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا (٦٩) قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا (٧٠)
Artinya:
“Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku. (67) dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?". (68) Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun". (69) Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu". (70).” (Al-Kahfi: 67-70)

IV.      ANALISIS
Al-musawah merupakan bentuk bagaimana seseorang mengungkapkan isi fikirannya melalui bahasa ucap, yaitu membuat sebuah ungkapan dengan kata-kata yang banyaknya sama dengan luasnya makna yang dimaksud.
Dianggap sah apabila dikatakan; “Al-musawah merupakan style (model) berbicara mutakallim menengah. Jika demikian, maka mutakallim tersebut tidak secara utuh bisa dikatakan sebagai mutakallim yang baliigh (fasih). Karena perkataan-perkataannya hanya akan memenuhi muqtadha al-hal jika dihadapkan pada mukhatab yang satu tingkatan dengannya saja. Oleh  karena itu, ia hanya bisa dikatakan sebagai mutakallim baliigh jika dalam keadaan tersebut saja. Namun jika dihadapkan dengan mukhatab yang tingkatannya berada di bawah atau di atasnya, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai mutakallim baliigh, karena style berbicaranya pasti akan tetap menggunakan al-musawah, dan ini tidak sesuai ketika dipakai di hadapan mukhatab tersebut. Pada intinya ia hanya sebagai pemakai uslub al-musawah saja, bukan sebagai mutakallim baliigh.
Berbeda dengan kasus di atas, jika al-musawah dibarengkan dengan kedua saudaranya ijaz dan ithnab, maka mutakallim yang mampu menguasai dan memakai ketiga bentuk uslub tersebut hampir bisa dikatakan sebagai mutakallim baliigh. Mengapa bisa dikatakan demikian? Karena ia hanya baru bisa memakainya saja. Namun jika dalam pemakaiaan ketiga uslub tersebut ia dapat menyesuaikan satu-persatunya terhadap konteks atau muqtadha al-hal-nya, maka ia dapat dikatakan sebagai mutakallim yang baliigh.
Pada kasus yang pertama, al-musawah merupakan style berbicara yang pokok dalam keseharian sesorang, namun pada kasus yang kedua al-musawah merupakan salah satu style berbicara bagi seseorang.
Dalam pemakaian al-musawah, pada dasarnya memiliki alasan-alasan tertentu mengapa uslub ini digunakan. Alasan-alasan tersebut adalah al-maqam atau al-hal.

V.          PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian dari penulis mengenai “Al-Musawah (المساواة). Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu balaghah ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan Penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah Penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Oleh karenanya Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala perhatian beserta partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang telah dipelajari dan didapatkan kali ini menjadi bermanfaat, dan mendapat ridha beserta berkah dari Allah SWT. Amin


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Akkawiy, In’am Fawwal, Al-Mu’jam Al-Mufasshal Fi Ulumi Al-Balaghah Al-Badi’ Wa Al-Bayan Wa Al-Ma’ani, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1996, Cet. 2.
Al-Akub, Isa Ali, dan Ali Sa’ad Al-Stiowa, Al-Kafiy Fi Ulum Al-Balaghah Al-Arabiyah Al-Ma’ani Al-Bayan Al-Badi’, Tt.p.: Dar-Al-Kutub Al-Wadaniyyah, 1993, Cet. 1.
Al-Ghalayiny, Musthafa, Jami’u Ad-Durusu Al-Arabiyyah, Kairo: Dar El-Hadith, 2005.
Al-Jarim, Ali, dan Mushthafa Amin, Al-Balaghah Al-Wadlihah Al-Bayan Al-Ma’ani Al-Badi’, Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.
Al-Qazwaini, Al-Khatib, Al-Idhah Fi Ulum Al-Balaghah Al-Ma’ani Wa Al-Bayan Wa Al-Badi’, Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.t.
As-Sha’idiy, Abdul Mata’aal, Al-Balaghah Al-Aliyah Ilmu Al-Ma’ani, Mesir: Maktabah Al-Adab, 1991, Cet 1.
Athawiy, Rafiq Khalil, Shina’atu Al-Kitabah ‘Ilmu Al-Ma’aniy, ‘Ilmu Al-bayan, ‘Ilmu Al-Badi’, Libanon: Dar Al-Ilmi Li Al-Mulayaini, 1989, Cet 1.
Fatah, Basyuni Abdul, Ilmu Al-Ma’ani Dirasah Balaghiyah Wa Naqdiyah Li Al-Masa’il Al-Ma’ani, Juz. 2, Kairo: Maktabah Wahbah, t.t.
Hasan, Abdur Rahman, Al-Balaghah Al-Arabiyah Ususuha Wa Ulumuha Wa Fununuha, Juz 2, Damaskus: Dar Al-Qalam, 1996), Cet. 1.
Madrasah Hidayah Al-Mubtadi’in, Taqrirat Al-Jauhar Al-Maknun, Kediri: Madrasah Hidayah Al-Mubtadi’in, t.t.
Majma’ Al-Lughah Al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam Al-Wasith, Kairo: Maktabah As-Syuruq Al-Dauliyyah, 2004), Cet. 4.
Nuraim, Alal, Jadid Al-Tsalatsah Al-Funun Fi Syarhi Al-Jawharu Al-Maknun, Juz 1, Tt.p.: Ad-Dar Al-Baidha’, 2007.
Yunus, Mahmud, Qamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990, Cet. 8.



Silahkan bagi yang mau download makalah di atas silahkan lewat DI SINI

التنكير



MAKALAH BALAGHAH (التنكير)
I.             PENDAHULUAN
Sebagai umat muslim tentu tahu, bahwa agama Islam adalah agama yang mencintai keindahan. Tidak jauh dari itu, pastinya setiap muslim juga mengetahui tentang keindahan bahasa kitab suci (Al-Qur’an), yang memang tidak bisa dinafikan lagi tentang keindahan bahasanya. Tidak lain disini bahasa Arablah yang menjadi titik tolok cerminannya. Tentu di dalam keindahan bahasa Arab bukanlah sekedar keindahan belaka, melainkan butuh ilmu (Al-ma’ani) untuk bisa memahami setiap makna yang terkandung dalam katanya sesuai konteksnya.
Al-ma’ani merupakan cabang ilmu balaghoh yang memberi manfaat kepada pengkajinya untuk mengetahui inti maksud yang terkandung dalam kalam yang tersusun dari satu kalimat atau lebih.
Jumlah (kalimat) dalam bahasa Arab terdiri atas dua unsur. Kedua unsur itu adalah musnad dan musnad ilaih. Musnad ilaih atau musnad ada kalanya yang berupa isim nakirah dan ma’rifat. Dalam pembentukan kata yang berupa ma’rifat disebut ta’rif, sedangkan pembentukan kata yang berupa nakirah disebut tankir.
Pada kesempatan kali ini  akan dijelaskan seputar tankir,  dimana musnad ilaih ataupun musnad yang berupa nakirah mempunyai makna yang terkandung dalam kalimat tersebut sesuai dengan tujuan-tujuannya. Dan pembahasan rincinya adalah sebagai berikut:

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah Pemahaman Tentang Tankir?
B.     Apa Saja Tujuan-Tujuan Tankir Pada Musnad Ilaih?
C.     Apa Saja Tujuan-Tujuan Tankir Pada Musnad?
III.      PEMBAHASAN
A.    Pemahaman Tentang Tankir
Sebelum mengenal lebih jauh mengenai tankir, harus terlebih dahulu mengetahui apa itu nakirah? Dengan memahami terlebih dahulu mengenai nakirah dirasa akan lebih mepermudah dalam memahami tankir, karena keduanya saling berdampingan dan satu akar kata نَكِرَ يَنْكَرُ نَكْرًا. Secara bahasa kata nakirah berasal dari fi’il tsulasi mujarrod yaitu نَكِرَ يَنْكَرُ yang mempunyai arti “ (tidak mengetahui)”. Sedangkan secara istilah nakirah dapat diartikan sebagai berikut:
النكرة اسم يدل على شيء غير معيّن بسبب شيوعه بين أفراد كثيرة من نوعه تشابهه في حقيقة ويصدق على كل منها اسمه
Nakirah adalah isim yang menunjukkan sesuatu yang tak tertentu (tidak spesifik), karena ia mencakup satu persatu personalnya (أفراد) yang banyak. Dan dalam hakikatnya setiap personal tersebut serupa dan memiliki satu nama yang sama.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa nakirah merupakan kata yang masih bersifat umum dan tidak tertentu identitasnya. Setelah mengetahui pengertian nakirah, selanjutnya akan dibahas mengenai pengertian tankir.
Kata tankir berasal dari kata نَكَّرَ يُنَكِّرُ تَنْكِيرًا, kata tersebut berasal dari bentuk mujarrad-nya نَكِرَ dengan mendapatkan tambahan tadl’if pada ‘ain fi’il-nya. Penambahan di sini berpengaruh pada perubahan makna, yaitu dengan tujuan membuat fi’il dari isim (لاتِّخاذِ الفعلِ من الإسمِ). Secara bahasa bisa diartiakan “menyamarkan”, sedangkan jika dihubungkan dengan konteks pembahasan ilmu balaghah, tankir bisa diartikan menjadi “membuat nakirah”. Jadi perlu diperhatikan bahwa kata tankir dalam makalah ini diartikan sebagai pembuatan nakirah.
B.     Tujuan-Tujuan Tankir Pada Musnad Ilaih
Setelah memahami apa itu tankir?  Selanjutnya harus diketahui bahwa tankir bukanlah sekedar pembentukan kata menjadi bentuk nakirah saja tanpa adanya tujuan suatu apapun. Di dalam literatur ilmu nahwu banyak dijelaskan mengenai tujuan dari pe-nakirah­-an suatu kata. Nakirah dan tankir pada dasarnya hanya berlaku pada kata isim saja. Tujuan-tujuan tersebut dilihat dari sisi ilmu nahwu. sedangkan dalam kajian ilmu balaghah yang dikaji adalah makna yang tersembunyi dibalik tujuan-tujuan tersebut.
Untuk mengetahui tujuan dari pe-nakirah-an suatu kata tidak hanya bisa dilihat dari kata nakirah tersebut saja, melainkan juga bisa melihat pada siyaq (konteks) dari kalimat yang ada. Karena konteks yang ada dapat memberikan informasi pada tujuan apa yang sebenarnya dituju oleh mutakallim. Namun demikian fungsi kata yang nakirah tersebut tetap mempunyai andil dalam proses pencarian tujuan tankir pada suatu kalimat.
Tujuan tankir yang pertama akan dijelaskan adalah tankir pada musnad ilaih, tujuan-tujuan tersebut yaitu:
1.      Menunjukkan jumlah tunggal (إفراد)
Pada tujuan ifrad ini musnad ilaih dimaksudkan mempunyai makna tunggal yang tidak spesifik (غير معيّن). Karena tidak berkenaan dengan tujuan apapun ketika men-ta’yin (menspesifikkan) dan men-ta’rif-kan (me-ma’rifat-kan) musnad ilaih tersebut. Seperti dalam contoh firman Allah SWT sebagai berikut:
وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِينَ
"Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu," (QS. Yasin 36: 20)
Pada contoh di atas yang menjadi musnad ilaih yang di-tankir adalah kata “رَجُلٌ”. Dengan begitu yang dimaksudkan adalah seorang laki-laki yang tidak dispesifikkan identitasnya.
Tujuan tankir yang berupa ifrad ini hanya berlaku pada musnad ilaih yang berupa kata jenis saja (اسم الجنس). Seperti pada contoh di atas, kedudukan رَجُلٌ merupakan bagian dari رِجالٌ, atau bisa dikatakan individu yang menjadi bagian dari populasi (فرد من أشخاص الرجال). 
2.      Menyatakan jumlah yang banyak (تكثير)
Pada tujuan taktsir ini musnad ilaih dimaksudkan mempunyai bilangan yang banyak. Seperti contoh firman Allah SWT sebagai berikut:
وجَاءَ السَّحَرَةُ فِرْعَوْنَ قَالُوا إِنَّ لَنَا لأجْرًا إِنْ كُنَّا نَحْنُ الْغَالِبِينَ
Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir’aun mengatakan: “(Apakah) sungguhnya kami akan mendapat upah, jika kami yang menang?””. (QS. Al-A’raf: 113)
Pada contoh di atas yang menjadi musnad ilaih yang di-tankir adalah kata “أجْرٌ”. Mereka (para ahli sihir) menginginkan upah banyak dan hadiah besar jika memang mereka dapat mengalahkan Nabi Musa AS. Fir’aun pun menjawab permintaan mereka:
قَالَ نَعَمْ وَإِنَّكُمْ لَمِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ
Fir’aun berkata: “Ya, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan termasuk orang-orang yang dekat (kepadaku)” (Al-A’raf: 114)
Dengan begitu maknanya bukan sekedar upah sedikit, melainkan upah yang banyak.
3.      Menyatakan jumlah yang sedikit (تقليل)
Pada tujuan taqlil ini bermaksud memberikan informasi bahwa musnad ilaih mempunyai jumlah yang sedikit. Seperti contoh; Ada seorang yang bertanya kepada Aziz: “Apakah kamu masih punya uang yang bisa kamu pakai untuk liburan nanti?” Kemudian Aziz menjawab:
بقِي شيءٌ
Tinggal segini
Pada contoh di atas kata شيءٌ berkedudukan sebagai musnad ilaih yang berbentuk nakirah atau bermakna umum (tidak jelas), dengan tujuan ingin menunjukkan bahwa musnad ilaih (شيءٌ) yang mewakili uang milik Aziz memang berjumlah sangat sedikit sekali.
Sebagai contoh lainnya yaitu:
وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
"Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar". (QS. At-taubah: 72)
Pada contoh di atas kata رِضْوَانٌ menjadi musnad ilaih yang di-tankir, artinya ridla Allah yang sedikit itu lebih besar daripada surga-surga yang ada, kerena ridla Allah merupakan pangkal dari semua kebahagiaan.
4.       Membagi-bagi (تنويع)
Dengan ini musnad ilaih di-tankir-kan dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa musnad ilaih mempunyai bentuk yang bermacam-macamnya. Dan musnad ilaih yang ditunjukkan merupakan salah satu dari macam-macam bentuk tersebut.
وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةُ.....
Dan penglihatan mereka ditutup” (Al-Baqarah: 7)
Pada contoh di atas yang berkedudukan sebagai musnad ilaih yang di-tankir adalah kata “غشاوة”. Dengan demikian kata غشاوة merupakan salah satu macam dari غشاوات. Lebih jelasnya lagi kata غشاوة disini maksudnya adalah penutupan penglihatan yang membuat mata menjadi buta tidak bisa melihat  tanda-tanda kekuasaan Allah (haq).
لكل داء دواء يستطب به ۞
Setiap penyakit pasti ada obat yang dapat menyembuhkannya
Musnad ilaih yang di-tankir dalam contoh di atas adalah kata “دواء”. Kata دواء di sini mempunyai berbagai macam jenis sesuai dengan penyakitnya, yang bisa dipakai untuk mengobati dan menyembuhkan penyakit tersebut.
5.      Untuk memuliakan atau mengagungkan (تعظيم)
Pada tujuan ta’dhim ini musnad ilaih berbentuk nakirah dimaksudkan untuk menunjukkan keagungannya (musnad ilaih).
ولكم في القصاص حياة
“Dan dalam qishah ada (jaminan kelangsungan) hidup” (Al-Baqarah: 179)
Musnad ilaih yang di-tankir pada contoh di atas adalah kata “حياة”. Pada ayat ini disebutkan kata حياة (hidup) dalam bentuk nakirah dengan maksud menunjukkan keagungan hidup yang disebabkan oleh adanya qishas. Karena dengan adanya qishas seseorang bisa merasakan keamanan harta benda dan jiwanya. Dengan demikian hidupnya menjadi lebih tentram (حياة عظيمة).
6.      Merendahkan, menghina atau mengejek (تحقير)
Pada tujuan ini musnad ilaih berbentuk nakirah dimaksudkan untuk menunjukkan sikap merendahkan, menghina atau mengejeknya (musnad ilaih). Misalnya ketika seseorang mengetahui temannya yang mendapat ranking paling bawah dikelas datang, kemudian dia mengatakan:
حاضَرَ محاضِرٌ
“Pak dosen datang”
Pada contoh di atas kata محاضِرٌ menjadi musnad ilaih yang di-tankir. Dari contoh ini musnad ilaih dibuat dengan bentuk nakirah bertujuan untuk mengejek, karena pada hakikatnya Si mutakallim bisa saja menyebutkan nama aslinya, bukan dengan sindiran kata محاضِرٌ. Misalkan: حاضَرَ يوسف.
لقد خاب قوم غاب عنهم نبيّهم ۞ وقدّس من يسري إليهم ويغتدي
“Sungguh rugi sekali kaum (quraisy) yang ditinggalkan oleh Nabi mereka”
Pada contoh di atas kata قوم menjadi musnad ilaih yang di-tankir, dengan maksud untuk merendahkan kaum quraisy yang tidak mengalami kemajuan kualitas moral, semenjak Nabi SAW datang kepada mereka hingga Nabi meninggalkan mereka.
7.      Karena tidak tahu (جهل)
Yang dimaksud dari jahl di sini adalah Si mutakallim menyebutkan musnad ilaih dalam bentuk nakirah karena ia tidak tahu-menahu mengenainya (musnad ilaih). Misalkan ketika ada teman baru di sekolah yang pertama kali masuk kelas. Seorang siswa mengatakan:
اِلْتحق تلميذٌ بالمدرسة
“Ada siswa yang bergabung di sekolah”
Pada contoh di atas kata “تلميذٌ” berkedudukan sebagai musnad ilaih yang berbentuk nakirah. Sang mutakallim menggunakan kata تلميذٌ dengan bentuk nakirah karena ia tidak tahu-menahu menganai siswa baru tersebut, baik namanya, asal tempat tinggalnya, atau apa saja yang bersangkutan dengan siswa baru tersebut.
8.      Bermaksud menakut-nakuti (تهويل)
Yang dimaksud dengan tahwil di sini adalah menakut-nakuti atau membuat takut mukhatab atau lawan bicara. Proses tahwil ini dilakukan dengan cara membuat musnad ilaih menjadi berbentuk nakirah. Seperti dalam firman Allah SWT:
يا أبت إنّي أخاف أنْ يَمَسَّكَ عذابٌ من الرحمن
“Wahai Bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah” (Maryam: 45)
Pada contoh ayat di atas kata عذابٌ berkedudukan sebagai musnad ilaih yang di-tankir. Dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim AS menasehati ayahnya Azar yang berprofesi sebagai pembuat dan penjual patung untuk sesembahan. Dalam ayat ini konteksnya menggunakan kata عذابٌ yang berbentuk nakirah dengan maksud agar mukhatab (Azar) menjadi takut, karena ia tidak akan tahu dengan apa? Kapan? dan seperti apakah adzab yang akan menimpanya?, sehingga ia akan terus terbayang-banyang olehnya.
9.      Menunjukkan toleransi atau untuk memperhalus ucapan (تهوين)
Dalam proses tankir ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa toleransi dengan keadaan yang sedang dialami oleh musnad ilaih. Misalnya ketika ada Aziz mempunyai seorang teman yang mengulang pelajaran-pelajarannya lagi dari awal atau tidak naik kelas, dan ia pun mengetahuinya. Kemudian ada seseorang yang bertanya: “Siapa yang mengulang kelas?”. Kemudian Aziz menjawab:
يعيد الدروسَ طالبٌ
“Yang mengulang pelajaran-pelajaran (tidak naik kelas) adalah Siswa”
Pada contoh di atas kata طالبٌ berkedudukan sebagai musnad ilaih yang berbentuk nakirah. Pada contoh ini Aziz menjawab dengan menggunakan kata طالبٌ (siswa) yang berbentuk nakirah (umum), hal ini dimaksudkan agar Aziz tidak menyinggung perasaan temannya yang tidak naik kelas tersebut.
10.  Menyamarkan atau menyembunyikan musnad ilaih (تلبيس)
Dalam proses tankir ini bertujuan untuk menyamarkan atau menyembunyikan identitas dan privasi musnad ilaih dari mukhatab. Seperti contoh pada waktu malam hari libur para santri tidur, kemudian pada saatnya untuk salat subuh mereka tidak bangun, kecuali hanya satu orang santri saja. Kemudian santri tersebut melaporkan hal itu kepada pak kiyai. Akhirnya pak kiyai memanggil para santri yang tertidur dan tidak salat subuh tersebut, pak kiyai berkata kepada mereka:
أبلغني طالب أنّكم نمْتم عن صلاة الصبح
“Ada santri yang memberikan informasi bahwa kalian tidur pada saatnya untuk salat subuh”
Pada contoh di atas kata طالب menjadi musnad ilaih yang di-tankir, dengan alasan untuk menyamarkan identitas santri yang melapor kepada pak kiyai tersebut dan juga untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada santri tersebut.
11.  Mengagungkan dan menunjukkan arti banyak sekaligus
وَإِنْ يُكَذِّبُوكَ فَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الأمُورُ
"Dan jika mereka mendustakan kamu (sesudah kamu beri peringatan), maka sungguh telah didustakan pula rasul-rasul sebelum kamu. Dan hanya kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan". (QS. Fathir: 4)
Dalam contoh di atas kata رُسُلٌ menjadi musnad ilaih, kata ini merupakan bentuk jamak dari رسُوْلٌ. Dengan bentuk jamak dan nakirah maka kata tersebut menunjukkan makna taktsir. Namun demikian dengan bentuk nakirah bukan berarti jumlah para Rasul Allah tidak ada batasnya, akan tetapi ini menunjukkan pengagungan (ta’dhim) kepada para Rasul yang seakan-akan berjumlah banyak dan tidak ada batasannya. Hal ini tentunya berlainan ketika kata رُسُلٌ berbentuk ma’rifat (الرُسُل), maka tidaklah terdapat tujuan ta’dhim di dalamnya, karena walaupun menunjukkan arti jamak kata masih dibatasi oleh bentuknya yang ma’rifat, yaitu dengan kemasukan ال.
C.    Tujuan-Tujuan Tankir Pada Musnad
Begitu pula tankir pada musnad, memiliki tujuan-tujuan tersendiri dalam pen-tankir-annya. Dan tujuan-tujuan tersebut adalah:
1.      Mengikuti (إتباع)
Maksud dari tujuan ini adalah mengikutkan bentuk musnad dengan bentuk musnad ilaih menjadi nakirah. Hal ini dikarenjakan tidak adanya musnad yang ma’rifat bersamaan dengan musnad ilaih yang nakirah. Seperti contoh sebagai berikut:
رَجُلٌ مِنَ الْكِرَامِ حَاضِرٌ
“Laki-laki yang mulia hadir”
Pada contoh di atas kata حَاضِرٌ berkedudukan sebagai musnad yang di-tankir dengan tujuan mengikuti bentuk musnad ilaih yang nakirah.
2.      Mengangungkan (تفخيم)
Maksudnya adalah untuk menunjukkan agungnya musnad.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Al-Baqoroh: 2)
Pada contoh di atas kata هُدًى berkedudukan sebagai musnad yang berupa khabar dari mubtada’ (musnad ilaih) yang dibuang, yaitu هو. Bentuk aslinya adalah هو هُدًى. Kata هُدًى di-nakirah-an bertujuan untuk memberitahu akan keagungnya. Dengan begitu berarti yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah sekedar petunjuk (هُدًى) biasa, namun dari sini dapat mengetahui bahwa yang dimaksud adalah pentunjuk yang luar biasa agungnya, karena dengan berpedoman kepada Al-Qur’an manusia akan mendapatkan petunjuk dalam menjalani semua urusan-urusannya, baik urusan dunia maupun akhirat. Hal ini ditunjukkan dengan redaksi kata هُدًى yang berbentuk nakirah (umum), ini mengisyaratkan begitu luasnya jangkauan petunjuk tersebut, hingga mencakup segala urusan dan permasalahan-permasalahan hamba-Nya.
3.      Menghina atau merendahkan (حطّ)
Maksudnya adalah menghina, merendahkan atau menganggap rendah musnad. Seperti contoh berikut:
الْحَاصِلُ لَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ
“Manfaat yang kamu peroleh dari harta ini hanya sedikit”
Pada contoh di atas kata شَيْءٌ berkedudukan sebagai musnad yang di-tankir, dengan maksud memberitahukan bahwa musnad (شَيْءٌ) bernilai rendah (merendahkan).
4.      Tidak mengetahui dengan pasti (فقد عهد)
Dalam hal ini musnad di-tankir dengan maksud Si mutakallim tidak mengetahui secara pasti informasi yang ada. Sebagai contoh berikut:
خالِدٌ أَديْبٌ
“Kholid adalah sastrawan”
Pada contoh di atas kata أَديْبٌ menjadi musnad yang di-tankir, sebab mutakallim tidak mengetahui pasti apakah Kholid benar-benar pintar sastra. Oleh karena itu jika memang mutakallim mengetahui pasti bahwa Kholid benar-benar pintar sastra, maka redaksinya adalah menggunakan bentuk ma’rifat (خالِدٌ الأديْبُ).
5.      Untuk mengumumkan (تعميم)
Pada tujuan ini yang dimaksud adalah mutakallim tidak mengkhususkan musnad pada musnad ilaih. Seperti dalam contoh berikut:
محمدٌ شَاعِرٌ
“Muhammad adalah penyair”
Dalam contoh di atas kata شَاعِرٌ berkedudukan sebagai musnad yang di-tankir. Pada contoh di atas tidak dikatakan محمدٌ الشَاعِرٌ karena jika dikatakan demikian maka maksud perkataan tersebut adalah Muhammad merupakan penyair, dan tidak ada penyair lain selainnya. Sedangkan yang dikehendaki bukanlah demikian.

IV.      KESIMPULAN
Kata tankir berasal dari kata نَكَّرَ يُنَكِّرُ تَنْكِيرًا, kata tersebut berasal dari bentuk mujarrad-nya نَكِرَ dengan mendapatkan tambahan tadl’if pada ‘ain fi’il-nya. Penambahan di sini berpengaruh pada perubahan makna, yaitu dengan tujuan membuat fi’il dari isim (لاتِّخاذِ الفعلِ من الإسمِ). Secara bahasa bisa diartiakan “menyamarkan”, sedangkan jika dihubungkan dengan konteks pembahasan ilmu balaghah, tankir bisa diartikan menjadi “membuat nakirah”. Jadi perlu diperhatikan bahwa kata tankir dalam makalah ini diartikan sebagai pembuatan nakirah.
Dalam literatur ilmu balaghah, tankir dikaji bukan dari segi proses pen-tankir-annya tetapi dari segi makna yang tersembunyi dibalik tujuan-tujuan tankir tersebut. Untuk mengetahui tujuan dari pe-nakirah-an suatu kata tidak hanya bisa dilihat dari kata nakirah tersebut saja, melainkan juga bisa melihat pada siyaq (konteks) dari kalimat yang ada.
Tujuan-tujuan yang melatar belakangi tankir pada musnad ilaih adalah sebagai berikut:
1.      menunjukkan jumlah tunggal (إفراد)
2.      Menyatakan jumlah yang banyak (تكثير)
3.      Menyatakan jumlah yang sedikit (تقليل)
4.      Membagi-bagi (تنويع)
5.      Untuk memuliakan atau mengagungkan (تعظيم)
6.      Merendahkan, menghina atau mengejek (تحقير)
7.      Karena tidak tahu (جهل)
8.      Bermaksud menakut-nakuti (تهويل)
9.      Menunjukkan toleransi atau untuk memperhalus ucapan (تهوين)
10.  Menyamarkan atau menyembunyikan musnad ilaih (تلبيس)
11.  Mengagungkan dan menunjukkan arti banyak sekaligus
Sedangkan tujuan yang melatar belakangi tankiru musnad adalah:
a.       Mengikuti (إتباع)
b.      Mengangungkan (تفخيم)
c.       Menghina atau merendahkan (حطّ)
d.      Tidak mengetahui dengan pasti (فقد عهد)
e.       Untuk mengumumkan (تعميم)
V.          PENUTUP
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya makalah ini. Tak lupa penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah balaghah I (Bpk. Machfudz Shidiq, Lc., M. A.), karena atas bimbingan dan arahan beliaulah makalah ini terwujud. Penulis sebagai manusia biasa tentu mempunyai kekurangan di segala sisi. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif sangat penulis harapkan demi tercapainya hasil yang lebih baik lagi. Semoga makalah ini memberikan manfaat  yang besar, baik bagi penulis maupun  pembacanya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abbasi, Fadhlu Hasan, Balaghah Fununuha Wa Afnanuha, Yarmuk: Darul Furqon, 1997.

Akawiy, In’am Fawwal, Al-Mu’jam Al-Mufashal Fi Ulum Al-Al-Balaghah Al-Badi’ Wa Al-Bayan Wa Al-Ma’aaniy, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2006.

Al-Akub, Isa Ali, Al-Kafi fi ulumil balaghah AlMa’ani-AlBayan-AlBadi’, Iskandaria: Al-Jami’ah Al-Maftuhah, 1993.

Al-Fatah, Basyuni Abd, Ilmul Ma’ani Dirosatul Balaghiyah Wa Taqdiayih Al-Masalah Al-Ma’ani, Kairo: Maktabah Wahbah, 1406.

Al-Ghalayiny, Musthafa, Jami’u Ad-Durusu Al-Arabiyyah, Kairo: Dar El-Hadith, 2005.
Al-Qozwaini, Jalaluddin, Al-idhah fi ulumil balaghah, tt.

As-sho’idi, Abdul muta’al, Balaghah Aliyah ‘Ilmu Al-Ma’ani, Kairo: Maktabah Al-adab, 868.

A.W Munawwir, Kamus Almunawwir Arab-indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.

Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Taqrirat Al-Jauharu Al-Maknun Fi Tsalasati Al-Funun, Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadiin Lirboyo.

 Nurim, ‘Ilal, Syarh Jawhirul Maknun, tt.

id, Karimah Mahmud Abu, Ilmul Ma’ani dirasah wa tahlil, Kairo: Maktabah Wahbah, 1747.