SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, September 29, 2013

DASAR-DASAR AJARAN TASAWUF



I.             PENDAHULUAN
Seiring dengan munculnya kritik-kritik tajam terhadap tasawuf yang menimbulkan ketegangan dalam dunia pemikiran Islam, nampaknya sudah mulai timbul aneka argumentasi tentang, apakah tasawuf benar-benar ilmu ke-Islam-an ataukah ia hanya sekedar peng-Islam-an  unsur-unsur non-Islam? Kontroversi pendapat itu bermula sejak tampilnya tasawuf falsafi dan semakin dipertajam dengan masuknya pendapat orientalis, yang secara generalisasi mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam.
Mereka yang mengatakan tasawuf bersumber dari luar Islam, apakah dari Persia, Hindu, Nasrani, filsafat Yunani dan atau dari sumber non-Islam lainnya, mendasarkan pendapatnya hanya karena adanya kesamaan tipologinya belaka. Pendapat yang demikian nampaknya tidak jujur dan tidak obyektif. Sebab, tidak ada satu paradigma keilmuan yang memastikan bahwa setiap yang sama atau yang mirip adalah karena terjadi saling pengaruh atau plagiat. Untuk dapat dibenarkan adanya hubungan interaksi historis antara satu nilai dengan nilai lainnya, haruslah dapat dibuktikan adanya kontak yang riel antara keduanya. Sedangkan keserupaan atau kemiripan bukanlah satu bukti yang riel. Alasan lain yang mereka kemukakan adalah, bahwa tokoh-tokoh sufi kebanyakan dari Persia yang asalnya beragama Majusi atau bangsa lain yang tadinya beragama Kristen.
Berkenaan dengan perdebatan ini, terdapat satu hal yang jelas bahwa tasawuf merupakan masalah yang sangat kompleks karena ia termasuk dalam ajaran mistisme, sehingga hampir tidak bisa diberi jawaban yang dapat memuaskan semua pihak. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa sumber awal dan asas tasawuf adalah Islam, sehingga ia digolongkan sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam.[1]
Ajaran-ajaran tasawuf yang berasaskan ajaran Islam ini dapat dilihat dari dua sumber utama ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Disamping untuk menjawab perdebatan di atas, hal ini dianggap cukup penting karena dalam perjalanan memahami isi tasawuf seseorang haruslah memahami terlebih dahulu pondasi utamanya, dengan harapan pemahaman dan penerapannya tentang tasawuf menjadi benar dan sesuai dengan koridor yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Dengan demikian akan diketahui bahwa tasawuf bersumber dari Islam.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa itu tasawuf?
B.     Bagaimana dasar tasawuf yang ada di dalam Al-Qur’an?
C.     Bagaimana dasar tasawuf yang berupa hadits?

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf
Secara bahasa, asal usul kata tasawuf masih diperdebatkan oleh para peneliti di bidang tasawuf. Ada beberapa kata yang diduga sebagai asal kata tasawuf, yaitu:
1.      "أهل الصُّفَّة": yaitu sebuah julukan yang diberikan kepada sekelompok orang yang hidupnya banyak berdiam di serambi (الصفّة) masjid Nabawi di Madinah. Mereka berhati mulia dan tekun beribadah. Terdapat versi lain yang mengatakan bahwa as-suffah berarti pelana yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping masjid Nabawi di Madinah.
2.      "الصَّفَاءُ": yang mempunyai arti “bersih” atau “jernih”. Demikian ini karena orang sufi dianggap orang-orang yang bersih dari sifat jahat dan kotoran serta syahwat duniawi.
3.      "الصَفُّ": yang berarti barisan (yang pertama dalam salat). Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan selalu memilih shaf terdepan dalam salat berjamaah. Selain itu mereka juga memandang bahwa seseorang sufi akan berada dibarisan pertama di depan Allah SAW.
4.      "الصفوانه": yaitu nama sejenis tanaman sayuran. Tanaman ini berbentuk tinggi kurus. Kebanyakan para sufi berbadan kurus kering akibat banyak berpuasa dan banyak bangun malam sehingga menyerupai tanaman tersebut.
5.      "الصُوْفُ": yang mempunyai arti “bulu domba”. Pakaian yang terbuat dari bulu domba merupakan simbol dari kesederhanaan lawan dari sutera yang menjadi simbol kemewahan.
6.      Tasawuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosopi. Theo berarti “Tuhan” dan sophos berarti “hikmah”. Sehingga tasawuf diartikan sebagai “hikmah ke-Tuhan-an”. Mereka merujuk kepada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.
Dari beberapa asal kata tersebut, kata الصوف dianggap paling tepat karena dua alasan.  Pertama, alasan historis yang menjelaskan bahwa pakaian wool kasar banyak dipakai oleh para zahid pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Kedua, alasan kebahasaan yang menjelaskan bahwa kata الصُوْفِي merupakan sebutan bagi para pelaku tasawuf yang mana nama tersebut dinisbatkan pada kata الصوف.[2]
Ditinjau dari segi bahasa, kata tasawuf (تَصَوُّفٌ) adalah bentuk mashdar dari fi’l khumasiy (kata kerja yang terdiri dari lima huruf) “تَفَعًّلَ يَتَفَعَّلُ تَصَوُّفًا” yang dibentuk dari kata صُوْفٌ. Bentuk tashrif­-nya yaitu تَصَوَّفَ يَتَصَوَّفُ تَصَوُّفًا.
Kata kerja تَصَوَّفَ secara harfiah berarti memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba. Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata صُوْفٌ dipandang paling tepat dari segi bahasa. Selain oleh alasan itu alasan lainnya adalah bersifat historis, yaitu para sufi pada zaman dahulu mempunyai kebiasaan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba.[3]
Sama halnya dengan pengertian tasawuf secara bahasa, definisi tasawuf secara istilah juga terdapat banyak versi, sebagai berikut:
1.      Menurut Ibrahim Basyuni yaitu:
تَيَقُّظٌ فِطْرِيٌّ يُوْجَهُ النَّفْسَ الصَّادِقَةَ اِلى أِنْ تُجاهدَ لِتُواصلَ الى الْوجُودِ الْمُطْلَق
Tasawuf adalah kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang keras (mujahadah) agar bisa berhubungan dengan wujud mutlak (Tuhan)[4]
2.      Menurut Ma’ruf Al-Karkhi yaitu:
الأَخْذُ بِالْحَقَائِقِ والْيَأْسُ مِمَّا في أيْدي الْخَلائِقِ
Mengambil hakikat dan melepas apa yang ada di tangan makhluk

3.      Menurut Al-Hadad seorang tokoh tarekat Alawiyah yaitu:
الدُّخُوْلُ في كُلِّ خُلُقٍ دَنِيّ والخروجُ من كلّ خلق سَنِيّ
Masuk ke dalam setiap akhlak yang hina dan keluar dari setiap akhlak yang mulia
4.      Menurut Sahilun A. Nasir tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang keadaan batin dari segi membersihkannya dari selain Allah dan meninggalkan jiwa manusia ke alam kesucian dengan mengikhlaskan pengabdiannya hanya kepada Allah semata.[5]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah perjalanan untuk berhubungan sedekat mungkin dengan Tuhan. Semakin dekat seorang hamba dengan Tuhannya maka akan semakin baik kualitasnya sebagai seorang hamba dan itulah tujuan utama dari tasawuf.

B.     Dasar Al-Qur’an
Kemunculan hidup kerohanian tasawuf sebenarnya sudah terjadi sejak masa Rasulullah SAW. Hal ini terbukti dengan cara hidup Rasulullah yang sederhana, tawadlu’, zuhud, serta tidak bermewah-mewahan.[6] Selain itu Aisyah pernah ditanya oleh seorang sahabat tentang akhlak Rasulullah, ia menjawab “Al-Qur’an”. Cara hidup dan akhlak Rasulullah seperti ini dicontoh oleh para sahabat Nabi. Para sahabat beliau terkenal sebagai orang-orang yang banyak menghafal isi Al-Qur’an dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha mencontoh akhlak Rasulullah yakni akhlak Al-Qur’an.
Dalam hal inilah tasawuf pada pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan, moral dan moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jelas sumber pertamanya adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al-Qur’an, Al-Hadis.
Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syari’ah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual, tetapi juga ada yang perlu dipahami secara kontekstual.
Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan dan batiniyah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniyah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadis serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai dengan (mahabbah) Tuhan. Hal itu misalnya terdapat dalam firman Allah SWT, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Maidah: 54)
Di dalam Al-Qur’an terdapat firman Allah yang menjelaskan perintah Allah kepada manusia agar senantiasa bertaubat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At-Tahrim: 8)
Al-Qur’an pun menegaskan tentang pertemuan dengan Allah di mana pun hamba-hamba-Nya berada. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada. Allah pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang yang dikehendakin-Nya, sebagaimana firman-Nya:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nur: 35)
Seperti halnya lagi yang diterangkan dalam ayat Al-Qur’an berikut:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16)
Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, orang tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dirinya sendiri.
Al-Qur’an pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak oleh kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah SWT:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.” (QS. Fathir: 5)
Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar untuk menjauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan.[7]
Kemudian terdapat juga ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai salah satu masalah prinsipil dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Al-Qur’an sebagai landasan utama. Karena manusia memiliki sifat baik dan sifat jahat, maka dari itu harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan pengembangan sifat-sifat baik, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (٨) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (٩)
Artinya: "(8) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (9) Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 8-9)
Berdasarkan ayat-ayat ini serta ayat-ayat yang senada, maka dalam tasawuf dikonsepkanlah teori tazkiyah an-nafs (penyucian diri). Proses penyucian ini melalui dua tahap, salah satunya adalah pembersihan jiwa dari sifat-sifat jelek yang disebut takhalli.[8]

C.    Dasar Al-Hadits
Sejalan apa yang dijelaskan di dalam Al-Quran, ternyata tasawuf juga dapat dilihat dalam kerangka hadits. Hadits-hadits yang menjadi dasar ajaran tasawuf sangatlah banyak. Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan ajaran-ajaran tasawuf adalah hadits-hadits berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم إنّ الله تعالى قال: مَن عادى لى وَلِيًّا فَقَدْ أَذَنَتْه بالْحَرْبِ وما تقرّب اِليَّ عبدي بشيء أجبّ اليَّ ممّا افترضتْ عليه وما يزالُ عبدى يتقرّبُ اليَّ بالنَّوافِلِ حتى أحبّه فإذا أحببتُه كنتُ سمْعه الذي يسمع به وبصىره الذي يُبْصره ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها ولئِنْ سَألني لَأَعْطِيَنَّه ولَئِنْ اسْتَعَذَني لَأعْذِينَّه....(رواه البخاري)[9]
Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman, Siapa saja yang memusuhi kekasihku maka Aku benar-benar mengijinkan dia untuk diperangi, dan tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh hamba-Ku untuk mendekati Aku yang lebih Aku cintai dari pada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekati Aku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya, maka ketika Aku telah mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk memukul, kakinya yang ia gunakan untuk berjalan dan sekiranya ia meminta kepadaKu pasti akan Aku beri dan sekiranya ia minta perlindungan pasti akan Aku lindungi”
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربّه عزّ ةجلّ قال: إذا تقرّب العبدُ اليَّ شِبْرًا تقرّبتُ اليه ذِراعًا، وإذا تقرّب اليَّ ذراعًا تقرّيتُ منه باعًا، وإذا أتاني يمشي أتيتُه هرولة (رواه البخاري)[10]
Dari Anas ra, dari Nabi SAW  beliau menceritakan apa yang telah difirmankan dari Tuhannya Yang Maha Mulia lagi Maha Agung apabila seorang hamba mendekatkan diri kepadaKu sejengkal maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta, apabila ia mendekat kepadaKu sehasta maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa, dan apabila ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berlari” (HR. Al-Bukhari)
Hadits Qudsi yang pertama menjelaskan proses mahabah (cinta) kepada Allah, kedudukan orang yang mencintai dan dicintai Allah. orang yang dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang mendekat kepada-Nya. Mereka mendapat pembelaan yang luar biasa dari Allah SWT. Hadits Qudsi yang kedua menunjukkan bahwa kedekatan Allah kepada hambanya tergantung keinginan dan kesungguhan hambanya dalam usahanya untuk mendekat kepada-Nya.[11]
Selain hadis Qudsi seperti di atas, juga terdapat hadis Nabi SAW sebagai berikut:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Artinya: “Dari sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy beliau berkata: datang seseorang kepada Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai Rasulullah ! tunjukkanlah kepadaku sutu amalan, jika aku mengerjakannya maka Allah akan mencintaiku dan juga manusia’, Rasulullah Saw bersabda: “berlaku zuhudlah kamu di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu atas segala apa yang dimiliki oleh manusia, maka mereka (manusia) akan mencintaimu”.[12]
عَن زَيْدُ بْنُ ثَابِت قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Artinya:Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : Aku mendengarkan Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan berlepas diri dari segala urusannya dan tidaklah ia mendapatkan dari dunia sesuatu apapun keculi apa yang telah di tetapkan baginya. Dan barang siapa yang sangat menjadikan akhirat sebaga tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan seluruh harta kekayaan baginya, dan menjadikan kekayaan itu dalam hatinya, serta mendapatkan dunia sedang ia dalam keadaan tertindas”.[13]
Hadis pertama menunjukkan perintah untuk senantiasa berlaku zuhud di dunia, sementara hadis kedua menjelaskan akan tercelanya kehidupan yang bertujuan berorientasi keduniaan belaka, dan mulianya kehidupan yang berorientasi akhirat. Kedua hadis tersebut menjelaskan kemuliaan orang-orang yang hanya menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam hidupnya dan merasa cukup atas segala yang Allah telah karunianakan kepadanya.
Satu fakta kebenaran yang harus diungkapkan bahwa bahwa kezuhudan dan kesederhanaan Rasulullah bukanlah karena faktor kemiskinan dan keterdesakan kondisi hidup, melainkan karena sebuah pilihan dan kegemaran. Beliau lebih memilih hidup zuhud dan sederhana daripada menyibukkan diri dengan berbagai bentuk kenikmatan hidup di dunia fana’. Diriwayatkan dari Abu Umamah, dari Rasulullah SAW beliau bersabda:[14]
عَرَضَ عَلَيَّ رَبِّي لِيَجْعَلَ لِيْ بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا قُلْتُ لَا يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وأَجُوْعُ يَوْمًا وقالَ ثَلاثًا أوْ نَحْوَ هذا فإذا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إليْكَ وذَكَرْتُكَ وإذا شَبُعْتُ شَكَرْتُكَ وحَمِدْتُكَ
Artinya: “Rabb-ku pernah menawariku untuk mengubah padang pasir menjadi emas, namun aku bilang: ya Tuhan, aku hanya ingin kenyang sehari dan lapar sehari –beliau mengucapkan sebanyak tiga kali atau yang setara– Sehingga  bila lapar, aku dapat menundukkan diri pada-Mu, dan bila kenyang, aku bersyukur kepada-Mu dan memuji-Mu” (HR. At-Turmudzi)
Selain dari hadis di atas terdapat pula banyak hadis yang memberikan wasiat kepada orang-orang mu’min agar tidak bertumpu pada kehidupan dunia semata, dan hendaklah ia senantiasa memangkas segala angan-angan keduniaan, serta tidak mematrikan dalam dirinya untuk hidup kekal di dunia dan tidak pula berusaha untuk memperkaya diri di dalamnya kecuali sesuai dengan apa yang ia butuhkan, oleh karena itu Rasulullah Saw berwasiat kepada Abdullah bin Umar sambil menepuk pundaknya dan bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيل
Artinya: “Hiduplah kamu di dunia seolah-seolah kamu adalh orang asing atau seorang musafir[15]
Selain tiga hadis di atas masih terdapat banyak hadis lainnya yang menjadi landasan munculnya tasawuf atau sufisme.
Dari keterangan-keterangan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis di atas menunjukkan bahwa ajaran tasawuf yang menjadi landasan utamanya adalah kezuhudan terhadap dunia demi mencapai tingkatan atau maqam tertinggi di sisi Allah yaitu ketika seseorang menjadikan dunia sebagai persinggahan sementara dan menjadikan rahmat, ridha, dan kecintaan Allah sebagai tujuan akhir.
IV.      KESIMPULAN
Secara bahasa “tasawuf” berasal dari kata الصُّوْفُ yang berarti bulu domba. Pakaian yang terbuat dari bulu domba merupakan simbol dari kesederhanaan. Tasawuf (تصوّف) berarti para sufi pada zaman dahulu mempunyai kebiasaan memakai jubah yang terbuat dari bulu domba sebagai simbol kesederhanaan. Sebagaimana pendapat Sahilun A. Nasir, secara istilah tasawuf adalah Sahilun A. Nasir tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang keadaan batin dari segi membersihkannya dari selain Allah dan meninggalkan jiwa manusia ke alam kesucian dengan mengikhlaskan pengabdiannya hanya kepada Allah semata.
Al-Qur’an secara terang memang tidak menjelaskan tentang tasawuf, begitu juga dengan Al-Hadits. Namun demikian ajaran-ajaran tasawuf dibentuk dan diamalkan berdasarkan dua sumber utama ajaran Islam tersebut.
Di dunia ini terdapat banyak macam ajaran tasawuf dengan berbagai alirannya. Namun secara umum ajaran-ajaran tasawuf memiliki bibit utama yang diambil dari ajaran Islam dan pada hakikatnya ajaran tasawuf sendiri adalah ajaran agama Islam. Di antaranya adalah ajaran untuk menyucikan diri (tazqiyah an-nafs) dari sifat jelek (Asy-Syams: 8-9), mahabbah kepada Allah SWT (Al-Maidah: 54), taubat (At-Tahrim: 8), keberadaan Allah (Al-Baqarah: 115), kedekatan Allah dengan para hamba-Nya (Al-Qaf: 16), ajaran agar tidak bersifat keduniawian (Fathir: 5), dan sebagainya. Ini hanyalah sebagian kecil ayat-ayat yang menjadi dasar ajaran-ajaran tasawuf yang ada di dalam Al-Qur’an, karena masih terdapat banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar dari ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Seperti halnya dasar ajaran-ajaran tasawuf dalam Al-Qur’an, Al-Hadits pun banyak dijadikan dasar oleh para sufi dalam menjalankan kehidupan tasawufnya. Hadits-hadits yang disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari hadits yang dijadikan dasar para sufi dalam menjalankan kehidupan tasawufnya.


[1] A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Cet. 2, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 46-48.
[2] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2002), hlm. 1-2.
[3] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Tt.p: AMZAH, 2005), hlm. 246.
[4] Nasirudin, Op. Cit., hlm. 3.
[5] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 246-248.
[6] Muhammad Rifa’i Subhi, Tasawuf Modern Paradigma Alternatif Pendidikan Islam, (Pemalang: Alrif Management, 2002), hlm. 31.
[7] M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002), 211-215.
[8] A. Rivay Siregar, Op. Cit., hlm. 48.
[9] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 4, (Indonesia: Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Tt), hlm. 129.
[10] Ibid.
[11] Nasirudin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2002), hlm. 6-8.
[12] Muhammad bin Yazid al-Qazwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab; Zuhud, No. Hadis; 4102. Cet. I, (Bandung: Maktabah Dakhlan, T.Th), Jilid. II, hlm. 1373.
[13] Ibid., No. Hadis: 4105., hlm. 1375.
[14] Mathba’ah Al-Fajr Al-Jadid, Tashawwuf Al-Islami wa Al-Khalaq, terj. Muhammad Fauqi Hajjaj, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 58.
[15] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Kitab: Riqaq, Cet. I, (Beirut: Al-Makatabah al-Ilmiyah, 1997), Jilid. III, hlm. 3347.