FUNGSI HADITS
DALAM AJARAN ISLAM
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliyah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Drs. Ikhrom, M. Ag.
Disusun Oleh:
Tajudin Bahar (103211067)
Lulu’ Munawarah (133111006)
Durrotul Yatima (133111021)
Mardhiyah (133111036)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Berbicara tentang ajaran agama Islam, tentunya yang pertama kali kitab suci
Al-Qur’an dan risalah Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu berupa
Al-Hadits. Keduanya sangat dikenal oleh seluruh umat Islam dalam kehidupan
beragamanya.
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam sebagai sumber utama ajaran Islam
diperoleh dan dibuat sebagai pedoman, dan semua umat Islam pun memahaminya
demikian, tanpa ada satu pun perselisihan. Berlainan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits
mendapat banyak perselisihan pendapat yang berkenaan dengan fungsinya dalam
ajaran Islam. Hal inilah yang akan menjadi fokus pembahasan pada makalah ini,
dengan harapan dapat memberikan kejelasan dan pemahaman seputar hubungan
Al-Hadits dan ajaran Islam. Sehingga perbedaan-perbedaan yang berkenaan dengan
hubungan Al-Hadits dan ajaran Islam dapat disikapi dengan arif dan bijaksana.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa fungsi Hadits dalam ajaran Islam?
B.
Apa saja fungsi Hadits terhadap ajaran Islam?
C.
Bagaimana pendapat ulama tentang fungsi Hadits dalam
ajaran Islam?
III.
PEMBAHASAN
A.
Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Mentaati Rasulullah SAW merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat Islam.
Mereka diwajibkan menerima sunnah Nabi sebagaimana wajibnya menerima
Al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena Rasulullah mempunyai kedudukan yang sangat
penting, yaitu sebagai orang yang menyampaikan risalah Tuhan dan sekaligus
menjadi penjelas terhadap risalah tersebut baik yang berkaitan dengan hukum
maupun yang lainnya.
Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum dan ajaran dalam Islam tidak
dapat dipisahkan antara satu sama lainnya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang
pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar yang bersifat umum bagi syariat
Islam, tanpa perincian secara detail, kecuali yang sesuai dengan pokok-pokok
yang bersifat umum itu, yang tidak pernah berubah karena adanya perubahan zaman
dan tidak pula berkembang karena keragaman pengetahuan dan lingkungan.
Karena keadaan Al-Qur’an yang demikian itu, maka Hadits sebagai sumber
hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, tampil sebagai penjelas (bayan)
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global, menafsirkan yang masih
mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi yang mutlak (muqayyad),
mengkhususkan yang masih umum (‘am), dan menjelaskan hukum-hukum serta
tujuan-tujuannya, demikian juga membawa hukum-hukum yang secara eksplisit tidak
dijelaskan oleh Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Atas dasar inilah, maka Allah menjadikan ketaatan kepada Rasulullah sebagai
ketaatan kepada-Nya, dan mewajibkan kepada umat Islam untuk mengikuti apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Rasulullah. Karena Rasulullah
ketika menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para umatnya tidak mendasarkan
diri pada kehendak hawa nafsunya, melainkan mengikuti kehendak wahyu yang telah
diberikan Allah kepadanya. Sebagaimana di dalam firman Allah:[1]
قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ
اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ
أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ
أَفَلا تَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Katakanlah: aku tidak mengatakan
kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku
mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku
seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah:
"Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu
tidak memikirkan(nya)?" (QS. Al-An’am: 50)
Kedudukan Hadits di atas jelas dipahami dengan diketahui dari teksnya yang
variatif, yakni disamping ada yang pendek dan padat isi (jawami’ al-kalim),
juga yang lebih kongkret, sehingga mampu untuk memperjelas ketentuan Al-Qur’an.
Menyangkut bidang akidah, ibadah, mu’amalah akhlak, yang termuat dalam
Al-Qur’an dapat ditemukan penjelasan detailnya dalam Hadits Nabi SAW.
Kedudukan Hadits di atas berlaku sepanjang zaman, sebagai sumber hukum
sekaligus sumber ajaran keagamaan bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan.
Yaitu kehidupan yang bertumpu pada pencapaian maslahat. Dengan mendudukkan
Hadits pada posisinya, maka ajaran keagamaan akan berjalan mantap, tidak
berjalan dalam keraguan. Karena keraguan melumpuhkan keyakinan untuk sukses dan
berprestasi.
Meninggalkan apapun yang meragukan baik dalam pernyataan ataupun perilaku
dan hanya mengerjakan yang diyakini, dapat membuat seseorang memiliki aura
keberanian yang dihargai dalam kehidupan, karena itu sejalan dengan ajaran
kebenaran.
Jadi, sudah waktunya ajaran atau pemahaman yang keliru menurut pedoman
agama yang timbul dari pemikiran kelitu, segera dikembalikan ke jalan yang
benar. Pada gilirannya, Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang benar, pasti
didudukkan pada posisi yang layak bagi terwujudnya kehidupan yang dirahmati
oleh Allah SWT.[2]
B. Macam-macam
Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Ditinjau dari segi fungsinya, Hadits mempunyai hubungan yang sangat kuat
dan erat sekali dengan Al-Qur’an. Hadits mempunyai fungsi sebagai penafsir
Al-Qur’an yang membuka rahasia-rahasia Al-Qur’an dan menjelaskan
kehendak-kehendak Allah SWT dalam perintah dan hukum-hukum-Nya. Dan jika
ditinjau dari segi dilalah-nya (indeksialnya) terhadap hukum-hukum yang
terkandung dalam Al-Qur’an, baik secara global maupun rinci, status Hadits
dapat diklasifikasikan menjadi empat macam sebagai berikut:[3]
a. Al-Bayan At-Taqriry
Al-Bayan at-taqriry disebut juga dengan al-bayan at-ta’kidy dan al-bayan al-istbaty.
Yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal
ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an, seperti ayat 6 dari surat
Al-Ma’idah tentang wudhu atau ayat 185 dari surat Al-Baqarah tentang melihat
bulan di-taqrir dengan Hadits-hadits yang diantaranya diriwayatkan oleh
Imam Muslim dan Al-Bukhari.
Suatu contoh, ayat 6 dari surat Al-Ma’idah tentang keharusan berwudhu
sebelum salat, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.”
Ayat di atas di-taqrir dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari,
sebagai berikut:
حدّثنا إسحاق بن إبراهيم الْحَنْظليُّ قال
أخبرنا عبد الرزّاق قال أخبرنا معْمر عن هَمَّام بْن منبِّهٍ أنّه سَمِعَ أَبا
هريرة يقول قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: لا تُقْبَلُ صلاةَ مَنْ أَحْدَثَ
حَتَّى يَتَوَضَّأَ قال رَجلٌ مِنْ حضْرَموْتَ: ما الحدَثُ يا أبا هريرة قال
فُساءٌ أوْ ضُراطُ. (رواه البخاري)
“Ishaq bin Ibrahim
Al-Hundholiy menceritkan kepada kami, dia berkata Abdurrazaq memberi kabar
kepada kami, dia berkata, Ma’mar memberi kabar kepada kami dari Hammam bin
Munabbih bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:
Tidak diterima salat seseorang yang berhadas hingga ia wudhu”. Seseorang
laki-laki dari Hadlramaut bertanya: Apakah hadats itu wahai Abu Hurairah? Beliau
menjawab,”Angin (kentut) yang mendesis maupun yang keluar dengan keras”.
(HR. Al-Bukhari)[4]
Contoh lain, ayat 185 dari surat Al-Baqarah, sebagai berikut:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ...
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan
itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al
Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu.”
Ayat di atas di-taqrir dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari
yang berbunyi:
حدّثنا يحيى بن بُكَيْر قال حدّثنا اللَّيْثُ عن
عقيل عن ابن شِهاب قال أخبرني سالم أنَ ابن عمر رضي الله عنهما قال: سمعْتُ رسول
الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا
رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا، فإنْ غُمَّ عليكم فاقدُروْا لَهُ. (رواه البخاري)[5]
“Menceritakan kepada
kami Yahya bin Bukair, dia berkata: Menceritakan kepada kami Al-Laits dari
Uqail dari ibnu Syihab, dia berkata: Salim memberikanku kabar bahwa ibnu Umar
ra. Berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kalian melihat
bulan, maka berpuasalah. Begitupula apabila kalian melihat bulan itu lagi, maka
berbukalah, dan jika bulan tak terlihat oleh kalian, maka hitunglah” (HR.
Al-Bukhari)
Contoh berikutnya adalah dari beberapa ayat Al-Qur’an yaitu; yang
menjelaskan tentang syahadah (Al-Hujurat: 15), salat dan zakat (An-Nur:
56), puasa (Al-Baqarah: 182 dan 185), dan tentang haji (Ali Imran: 97).
Ayat-ayat tersebut di-taqrir dengan Hadits yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari dari Ibnu Umar, sebagai berikut:[6]
حدّثنا عُبيْد الله بن موسى قال أخبرنا
حَنْظَلَةُ بن أبي سفيان عن عِكْرِمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال
رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: بُنِيَ الإسْلامُ على خَمْسٍ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ
لااِله الّاالله وأنّ محوّدًا رسوْلُ الله وتُقِيْمَ الصَّلاةَ وتُأْتِيَ
الزَّكاةَ وتَصُوْمَ رَمضانَ (رواه البخاري)[7]
“Ubaidillah
menceritakan kami, dia berkata: Handhalah bin Abi Sufyan memberikan kabar
kepada kami dari “Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar ra. Dia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: “Islam dibangun atas lima dasar, yaitu mengucapkan kalimah
syahadah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan
berpuasa di bulan Ramadhan” (HR. Al-Bukhari)
Menurut sebagian ulama, bahwa al-bayan taqiriry atau al-bayan
ta’kidy ini disebut juga dengan al-bayan al-muwafiqy li nash Al-Kitab
Al-Karim. Hal ini karena munculnya Hadits-hadits itu sesuai dan
untuk memperkokoh nash Al-Qur’an.[8]
b. Al-Bayan At-Tafsiry
Yang dimaksud dengan al-bayan at-tafsiry adalah penjelasan Hadits
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih
lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq, dan ‘am.
Maka fungsi Hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil)
dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan
taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhsish ayat-ayat
yang masih umum.
1. Perincian ayat-ayat yang mujmal
Mujmal artinya sesuatu yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini
terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna
mana yang dimaksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan atau perincian. Dengan
kata lain ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin
(penjelas).
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan
perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk
mengerjakan salat, puasa, zakat, jual beli, nikah, qishash, dan hudud.
Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut masih bersifat
global atau secara garis besar saja. Meskipun di antaranya sudah ada beberapa
perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal
ini karena, dalam ayat-ayat tersebut tidak dijelaskan misalnya, bagaimana cara
mengerjakannya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya, atau apa halangan-halangannya.
Maka Rasulullah SAW di sini menafsirkan dan menjelaskannya secara terperinci.
Di antara contoh perincian tersebut dapat dilihat pada Hadits berikut:
حدّثنا محمد بن المثنى قال عبد الوهّاب قال
حدّثنا أيّوب عن أبي قلابة قال: حدّثنا مالك: أتيْنا إلى النبي صلّى الله عليه
وسلّم ونحنُ شَبَبَةٌ مُتَقارِبُوْنَ، فأَقَمْنا عنده عِشْريْن يوْمًا وليلةً.
وكان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم رَحيْمًا رَفيْقًا فَلَمّا ظَنَّ أنّا قَدِ
اشْتَهَيْنا أَهْلَنا أو قدِ اشْتَقْنا، سألنا عمَّنْ تَرَكْنا بَعْدَنا
فأَخْبَرْناه قال: اِرْجِعُوْا إلى أَهليْكم فأَقيْمُوْا فيهم وعلِّمُوْهم
ومُرُوْهم وذَكَرَ أشْياء أَحْفَظُها أو لا أَحْفَظُها وصلُّوْا كَمَا
رَأَيْتُمَوْنِيْ أُصَلِّيْ، فإذا حَضَرَتِ الصّلاةُ فلْيُؤَذِّنُ لَكم أحدُكم ولْيَؤُمَّكم
أكْبرُكم. (رواه البخاري)[9]
“dari Abu Qilabah, dia berkata: Kami datang
kepada Nabi SAW, sedangkan kami adalah para pemuda yang sebaya. Kami tinggal
bersama beliau selama dua puluh hari dua puluh malam, dan Rasulullah SAW adalah
seorang yang pemurah dan lembut. Ketika beliau mengira bahwa kami telah rindu
kepada keluarga kami –atau kami sungguh telah merindukan- beliau pun bertanya
kepada kami tentang orang-orang yang kami tinggalkan. Lalu kami mengabarkan
kepada beliau, dan beliau bersabda: “Kembalilah kalian kepada keluarga kalian,
tinggallah kalian di antara mereka dan ajarilah mereka. Lalu perintahkan mereka
–dan beliau menyebut berbagai hal, ada yang aku hafal dan ada pula yang aku
lupa- dan salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat. Apabila waktu
salat telah tiba, maka hendaklah salah seorang di antara mengumandangkan adzan
dan yang paling tua di antara kamu menjadi imam” (HR. Al-Bukhari)
Dari perintah mengikuti salatnya, sebagaiman dalam Hadits tersebut,
Rasulullah kemudian memberinya contoh salat yang dimaksud secara sempurna.
Bahkan bukan hanya itu, beliau juga melengkapinya dengan berbagai kegiatan
lainnya yang harus dilakukan sejak sebelum salat sampai dengan sesudahnya.
Dengan demikian, maka Hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya salat
dilakukan, sebagai perincian dari perintah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 43
sebagai berikut:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ
الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
Masih juga berkaitan dengan ayat di atas, Rasulullah memberinya berbagai
penjelasan dan perincian mengenai zakat secara lengkap, baik berkaitan dengan
jenisnya maupun ukurannya, sehingga menjadi suatu pembahasan yang memiliki
cakupan sangat luas.[10]
2. Men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq
Ayat yang muthlaq maksudnya adalah ayat yang menunjukkan pada
hakikat ayat itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah
maupun sifatnya. Men-taqyid yang muthlaq, artinya membatasi
ayat-ayat yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq,
artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan, atau
syarat –syarat tertentu. Penjelasan Rasulullah yang berupa men-taqyid
ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat
pada sabdanya berikut:
حدّثنا إسماعيل بن أبي أُويس عن ابن وهب عن يونس
عن ابن شهاب عن عُرْوة بن الزبير وعمرة عن عائشة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم
قال: تُقْطَعُ يَدُ السَّارِق في رُبْعِ ديْنارٍ. (رواه البخاري)[11]
“Menceritakan kami Ismail bin Abi Uwais dari ibnu Wahab dari Yunus dari
ibnu Syihab dari Urwah bin Az-Zubair dam Amrah dari Aisyah dari Nabi SAW,
beliau bersabda: “Tangan pencuri akan dipotong pada (kasus pencurian seniali)
seperempat dinar” (HR. Al-Bukhari)
Hadits di atas men-taqyid ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 38,
sebagai berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[12]
3. Men-takhshish ayat yang masih bersifat
umum (‘am)
Ayat yang ‘am maksudnya adalah ayat yang menunjukkan atau memiliki
makna dalam jumlah yang banyak. Sedangkan khash ialah yang menunjukkan
arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud dengan takhshish ayat
yang ‘am di sini ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an, sehingga tidak
berlaku pada bagian-bagian tertentu. Contoh Hadits yang berfungsi men-takhshish
keumuman ayat-ayat Al-Qur’an yaitu sabda Nabi sebagai berikut:
حدّثنا سليمان بن عبد الحمن حدّثنا سَعدان بن
يحيى حدّثنا محمّد بن أبي حفصة عن الزهريّ عن علي بن حسين عن عمرو بن عثملن عن
أُسامة بن زيد أنّه قال زَمَنَ الْفَتْحِ: يا رسول الله، أين نَنْزِلُ غَدًا؟ قال
النبي صلّى الله عليه وسلّم: وهل ترك لنا عَقيل مِن مَنْزل؟ ثمّ قال: "لا
يَرثُ الْمؤمِنُ الْكافرَ، ولا الكافرُ الْمؤمنَ". (رواه البخاري)[13]
“Sulaiman bin Abdurrahman menceritakan kepada kami, Sa’dan bin Yahya
menceritakan kepada kami, Muhammad bin Abi Hafshah menceritakan kami dari
Az-Zuhriy dari Ali bin Husain dari Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid, dia
bertanya (kepada Nabi SAW) pada waktu Fathul (Makkah): Ya Rasulullah, di mana
besok kita akan tinggal? Nabi SAW bersabda: Apakah Aqil meninggali kita sebuah
rumah (tempat tinggal)? Kemudian beliau bersabda: “Orang mukmin tidak dapat
menerima warisan dari orang kafir, demikian juga orang kafir tidak dapat
menerima warisan dari orang mukmin” (HR. Al-Bukhari)
Hadits tersebut men-takhshish keumuman firman Allah surat An-Nisa’
ayat 11, yaitu:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الأنْثَيَيْنِ...
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan.”[14]
c. Al-Bayan At-Tasyri’iy
Tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang
dimaksud dengan al-bayan at-tasyri’iy di sini, ialah penjelasan Hadits
yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau
aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nash-nya dalam Al-Qur’an.
Rasulullah dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap
beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.
Banyak Hadits Nabi yang yang termasuk ke dalam kelompok ini. Di antaranya
adalah Hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara
(antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum meranjam pezina
wanita yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam wudhu, hukum
tentang takaran zakat fitrah, dan hukum tentang hak warisan bagi seorang anak.
Sebagai contoh adalah Hadits tentang zakat fitrah berikut:
حدّثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن
ابن عمر رضي الله عنهما إنَّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ
صَاعًا مِنْ تَمَرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ على كُلِّ حُرٍّ أوْ عَبْدٍ، ذَكَرٍ
أوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخاري)[15]
“Abdullah bin Yusuf menceritakan
kepada kami bahwa Malik memberikan kabar kepada kami dari Nafi’ dari ibnu Umar
ra. bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau
gandum untuk setiap orang merdeka atau hamba sahaya, baik laki-laki maupun
perempuan” (HR. Al-Bukhari)
Bayan ini oleh
sebagian ulama disebut juga dengan bayan “za’id ‘ala Al-Kitab
Al-Karim” (penjelasan tambahan terhadap nash Al-Qur’an). Disebut
tambahan karena sebenarnya di dalam Al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan
pokoknya sudah ada, sehingga datangnya Hadits tersebut merupakan tambahan
terhadap ketentuan pokok tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Hadits
tentang ketentuan diyat. Di dalam Al-Qur’an sudah ditemukan ketentuan
pokoknya, yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 92. Begitu juga Hadits mengenai
haramnya binatang-binatang buas dan keledai jinak (al-himar al-ahliyah).
Masalah ini ketentuan pokoknya sudah ada di dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat
Al-A’raf ayat 157. Dengan demikian menurut mereka lebih lanjut, sebagaimana
dikatakan oleh Abu Zahrah, tidak ada satu Hadits pun yang berdiri sendiri yang
tidak ditemukan aturan pokoknya di dalam Al-Qur’an.
Menurutnya, hal tersebut di atas sudah sesuai dengan ayat 38 dari surat
Al-An’am yang menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada yang dilewatkan
atau dialpakan sesuatupun. Pandangan ini di antaranya dinukil oleh Asy-Syafi’i
dalam bukunya ar-risalah, yang diperkuat oleh Asy-Syathibi dalam bukunya
al-muwafaqat.
Hadits Nabi SAW yang termasuk ke dalam al-bayan tasyri’iy ini wajib
diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan Hadits-hadits lainnya. Ibnu
Al-Qayim berkata, bahwa Hadits-hadits Nabi yang berupa tambahan terhadap
Al-Qur’an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh
menolak atau mengingkarinya, dan bukanlah sikap Nabi SAW itu mendahului
Al-Qur’an, melainkan semata-mata karena perintah-Nya.[16]
d. Al-Bayan An-Naskhy
Naskh secara bahasa
mempunyai banyak arti, bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah
(menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-taghyir
(mengubah).
Sebagian ulama ada yang membolehkan Hadits menghapus ketentuan hukum dalam
Al-Qur’an. Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh mereka ialah sabda Nabi
SAW dari Abu Umamah Al-Bahili yang artinya sebagai berikut:
حدّثنا عبد الوهّاب بن نجدة ثنا ابن عياش عن
شرحبيل ابن مسلم، سمعتُ أبا أمامة، سمعتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول:
إنّ اللهَ قدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّه فلا وَصِيَةَ لِوارِثٍ. (رواه أبو
داود)[17]
“Abdul Wahhab bin Najdah
menceritakan kepada kami bahwa ibnu Uyasy menceritakan kepada kami dari
Syarhabil ibnu Muslim: Saya mendengar Abu Umamah: Saya mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Allah benar-benar akan memberikan apa yang menjadi hak orang yang
berhak kepadanya, maka tidaklah ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Abu Daud)
Hadits di atas dinilai berstatus hasan oleh Ahmad
dan At-Turmudzi.
Menurut mereka Hadits di atas me-naskh ayat 180 dari surat
Al-Baqarah sebagai berikut:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat
Al-Baqarah ayat 180 di atas di-naskh hukumnya oleh Hadits yang
menjelaskan, bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.[18]
C. Bagaimana
Pendapat Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Ketiga bayan yang pertama di atas disepakati oleh ulama, meskipun
untuk bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk bayan yang
keempat, yaitu al-bayan an-naskhy terjadi perbedaan pendapat. Ada yang
mengakui dan menerima fungsi Hadits sebagai nasikh dan ada yang
menolaknya. Yang menerima adanya naskh, di antaranya ialah mayoritas
ulama mutakalimin, baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, ulama Hanafiyah,
Malikiyah, Ibnu Hazm, dan sebagian Zhahiriyah. Sedangkan yang menolaknya, di
antaranya ialah Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, serta ulama
mayoritas zhahiriyah.[19]
Perbedaan pendapat mengenai al-bayan an-naskhy ini terjadi karena
perbedaan mereka dalam memahami arti naskh dari sudut kebahasaan.
Menurut ulama yang memperbolehkan, yang disebut dengan al-bayan an-naskhy
adalah adanya dalil syara’ yang datangnya kemudian dan dapat menghapus
dalil syara’ yang sudah lampau, sekalipun itu ada di dalam Al-Qur’an.[20]
Untuk fungsi Hadits al-bayan an-naskhy terdapat dua perbedaan
pendapat, sebagai berikut:
1. Hanafiah berpendapat bahwa al-bayan
an-naskhy diperbolehkan dengan menggunakan Hadits mutawatir dan masyhur,
tidak dengan Hadits ahad.
2. Menurut mayoritas ulama, al-bayan an-naskhy
tidak diperbolehkan, sekalipun menggunakan Hadits mutawatir atau masyhur.
Mereka berpendapat bahwa Hadits tidaklah seperti Al-Qur’an, dia tidak lebih
baik dari Al-Qur’an. Oleh karena itu Hadits tidak dapat me-naskh
Al-Qur’an. Asy-Syafi’i menunjukkan sebuah dalil mengenai pendapat mayoritas
ulama ini:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا
أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami
nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?“ (QS. Al-Baqarah:
106).
...قُلْ مَا يَكُونُ لِي
أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى....
Artinya: “...Katakanlah: "Tidaklah
patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali
apa yang diwahyukan kepadaku...". (QS. Yunus: 15)
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ
الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan”. (QS. An-Nahl: 44)
Ayat-ayat di atas menjadi bukti bahwa isi Al-Qur’an sesuai dengan apa yang
telah diwahyukan oleh Allah, sehingga Rasulullah sebagai sumber Hadits tidak
akan mengganti apa yang telah diwahyukan Allah tersebut. Beliau hanya akan
menjelaskannya, bukan me-naskh-nya, karena naskh berarti tabdil
(penggantian).
Ia juga berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya fungsi Hadits sebagai al-bayan
an-naskhy terhadap Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga harga diri Rasulullah
SAW. Jika tidak demikian, orang-orang kafir akan dengan mudahnya menghina
Rasulullah dengan mengatakan: Dia (Muhammad) adalah orang yang pertama kali
menyampaikan wahyu (Al-Qur’an) kepada umat, sedangkan apa yang ia kerjakan
berlawanan dengan wahyu-Nya, lalu bagaimana kita bisa memegang pembicaraannya?[21]
Namun demikian, sebagaimana yang dinukil oleh Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shiddieqy dari kitab Ar-Risalah karangan Asy-Syafi’i, bahwa Asy-Syafi’i
juga menganggap al-bayan an-naskhy sebagai salah satu dari fungsi
Hadits. Akan tetapi ia mengartikan bahwa fungsi al-bayan an-naskhy
adalah fungsi dimana Hadits menentukan mana yang menjadi nasikh dan mana
yang di-mansukh-kan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berlawanan.[22]
IV.
KESIMPULAN
Kedudukan
Hadits dalam agama Islam adalah sebagai sumber ajaran yang kedua setelah
Al-Qur’an. Menduduki posisi kedua sebagai sumber ajaran Islam, Hadits berfungsi
sebagai penjelas (al-bayan) sumber ajaran pertama yaitu Al-Qur’an. Sebab,
Nabi Muhammad sebagai sumber Hadits diberikan perintah oleh Allah untuk
menjelaskan Al-Qur’an kepada para umat, sebagaimana dijelaskan dalam surat
An-Nahl ayat 44.
Setidaknya
fungsi Hadits dalam ajaran Islam ada empat macam, yaitu al-bayan at-taqriry,
al-bayan at-tafsiry, al-bayan at-tasyri’iy dan al-bayan an-naskhy. Meskipun para ulama menggunakan
istilah dan pembagian yang berbeda-beda, namun pada dasarnya yang mereka
maksudkan adalah sama. Secara umum fungsinya adalah sebagai penjelas Al-Qur’an.
V.
PENUTUP
Demikianlah uraian dari Penulis
mengenai “Fungsi Hadits Dalam
Ajaran Islam”. Puji dan syukur kehadirat Allah
SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa
mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu “Ulumul Hadits” yang sedang
dipelajari ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan Penulis
dalam menyajikan makalah ini sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu
kritik beserta saran yang membangun sangatlah Penulis harapkan demi kebaikan
bersama. Oleh
karenanya Penulis ucapkan banyak terima kasih dan mohon maaf atas segala
kekurangannya. Semoga apa yang telah dipelajari dan didapatkan kali ini
bermanfaat, dan mendapat ridho beserta berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari, terj. Ghazirah Abdi
Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Ichwan, Muhammad Nor, Studi Ilmu Hadits, Semarang: RaSAIL Media
Group, 2007.
Al-Maliki, Muhammad Alwi, Ilmu Ushul Hadits, Al-Manhalu
Al-Lathifu fi Ushul Al-Hadits Al-Syarif, terj. Adnan Qohar,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Muhammad, Abu Abdillah, Al-Jami’ Ash-Shahih, Kairo: Al-Mathba’ah
As-Salafiyah wa Maktabatuha, 1980.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta,
1996.
Soebahar, M. Erfan, Aktualisasi Hadits Nabi, Semarang: RaSAIL Media
Group, 2010.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu
Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2002.
As-Siba’i, Musthafa, As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’il Islamiy,
Tt.p: Daar Al-Warraq, T.t.
Sulaiman, Abi Daud, Sunan Abi Daud, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah:
T.t.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003.
uslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT. Mutiara
Sumber Widya, 2001.