SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Monday, October 28, 2013

FUNGSI HADIS DALAM AJARAN ISLAM



FUNGSI HADITS
DALAM AJARAN ISLAM

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliyah: Ulumul Hadits
Dosen Pengampu: Drs. Ikhrom, M. Ag.





Disusun Oleh:
Tajudin Bahar           (103211067)
Lulu’ Munawarah    (133111006)
Durrotul Yatima       (133111021)
Mardhiyah                 (133111036)






FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.             PENDAHULUAN
Berbicara tentang ajaran agama Islam, tentunya yang pertama kali kitab suci Al-Qur’an dan risalah Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu berupa Al-Hadits. Keduanya sangat dikenal oleh seluruh umat Islam dalam kehidupan beragamanya.
Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam sebagai sumber utama ajaran Islam diperoleh dan dibuat sebagai pedoman, dan semua umat Islam pun memahaminya demikian, tanpa ada satu pun perselisihan. Berlainan dengan Al-Qur’an, Al-Hadits mendapat banyak perselisihan pendapat yang berkenaan dengan fungsinya dalam ajaran Islam. Hal inilah yang akan menjadi fokus pembahasan pada makalah ini, dengan harapan dapat memberikan kejelasan dan pemahaman seputar hubungan Al-Hadits dan ajaran Islam. Sehingga perbedaan-perbedaan yang berkenaan dengan hubungan Al-Hadits dan ajaran Islam dapat disikapi dengan arif dan bijaksana.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Apa fungsi Hadits dalam ajaran Islam?
B.     Apa saja fungsi Hadits terhadap ajaran Islam?
C.     Bagaimana pendapat ulama tentang fungsi Hadits dalam ajaran Islam?

III.      PEMBAHASAN
A.    Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Mentaati Rasulullah SAW merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat Islam. Mereka diwajibkan menerima sunnah Nabi sebagaimana wajibnya menerima Al-Qur’an. Hal ini disebabkan karena Rasulullah mempunyai kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai orang yang menyampaikan risalah Tuhan dan sekaligus menjadi penjelas terhadap risalah tersebut baik yang berkaitan dengan hukum maupun yang lainnya.
Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum dan ajaran dalam Islam tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya. Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan utama hanya memuat dasar-dasar yang bersifat umum bagi syariat Islam, tanpa perincian secara detail, kecuali yang sesuai dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu, yang tidak pernah berubah karena adanya perubahan zaman dan tidak pula berkembang karena keragaman pengetahuan dan lingkungan.
Karena keadaan Al-Qur’an yang demikian itu, maka Hadits sebagai sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an, tampil sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global, menafsirkan yang masih mubham, menjelaskan yang masih mujmal, membatasi yang mutlak (muqayyad), mengkhususkan yang masih umum (‘am), dan menjelaskan hukum-hukum serta tujuan-tujuannya, demikian juga membawa hukum-hukum yang secara eksplisit tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44)
Atas dasar inilah, maka Allah menjadikan ketaatan kepada Rasulullah sebagai ketaatan kepada-Nya, dan mewajibkan kepada umat Islam untuk mengikuti apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang oleh Rasulullah. Karena Rasulullah ketika menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para umatnya tidak mendasarkan diri pada kehendak hawa nafsunya, melainkan mengikuti kehendak wahyu yang telah diberikan Allah kepadanya. Sebagaimana di dalam firman Allah:[1]
قُلْ لا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الأعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلا تَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?" Maka Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" (QS. Al-An’am: 50)
Kedudukan Hadits di atas jelas dipahami dengan diketahui dari teksnya yang variatif, yakni disamping ada yang pendek dan padat isi (jawami’ al-kalim), juga yang lebih kongkret, sehingga mampu untuk memperjelas ketentuan Al-Qur’an. Menyangkut bidang akidah, ibadah, mu’amalah akhlak, yang termuat dalam Al-Qur’an dapat ditemukan penjelasan detailnya dalam Hadits Nabi SAW.
Kedudukan Hadits di atas berlaku sepanjang zaman, sebagai sumber hukum sekaligus sumber ajaran keagamaan bagi umat manusia dalam mengarungi kehidupan. Yaitu kehidupan yang bertumpu pada pencapaian maslahat. Dengan mendudukkan Hadits pada posisinya, maka ajaran keagamaan akan berjalan mantap, tidak berjalan dalam keraguan. Karena keraguan melumpuhkan keyakinan untuk sukses dan berprestasi.
Meninggalkan apapun yang meragukan baik dalam pernyataan ataupun perilaku dan hanya mengerjakan yang diyakini, dapat membuat seseorang memiliki aura keberanian yang dihargai dalam kehidupan, karena itu sejalan dengan ajaran kebenaran.
Jadi, sudah waktunya ajaran atau pemahaman yang keliru menurut pedoman agama yang timbul dari pemikiran kelitu, segera dikembalikan ke jalan yang benar. Pada gilirannya, Hadits sebagai sumber ajaran Islam yang benar, pasti didudukkan pada posisi yang layak bagi terwujudnya kehidupan yang dirahmati oleh Allah SWT.[2]

B.     Macam-macam Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Ditinjau dari segi fungsinya, Hadits mempunyai hubungan yang sangat kuat dan erat sekali dengan Al-Qur’an. Hadits mempunyai fungsi sebagai penafsir Al-Qur’an yang membuka rahasia-rahasia Al-Qur’an dan menjelaskan kehendak-kehendak Allah SWT dalam perintah dan hukum-hukum-Nya. Dan jika ditinjau dari segi dilalah-nya (indeksialnya) terhadap hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an, baik secara global maupun rinci, status Hadits dapat diklasifikasikan menjadi empat macam sebagai berikut:[3]
a.      Al-Bayan At-Taqriry
Al-Bayan at-taqriry disebut juga dengan al-bayan at-ta’kidy dan al-bayan al-istbaty. Yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an, seperti ayat 6 dari surat Al-Ma’idah tentang wudhu atau ayat 185 dari surat Al-Baqarah tentang melihat bulan di-taqrir dengan Hadits-hadits yang diantaranya diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Al-Bukhari.
Suatu contoh, ayat 6 dari surat Al-Ma’idah tentang keharusan berwudhu sebelum salat, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ...
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Ayat di atas di-taqrir dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, sebagai berikut:
حدّثنا إسحاق بن إبراهيم الْحَنْظليُّ قال أخبرنا عبد الرزّاق قال أخبرنا معْمر عن هَمَّام بْن منبِّهٍ أنّه سَمِعَ أَبا هريرة يقول قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: لا تُقْبَلُ صلاةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ قال رَجلٌ مِنْ حضْرَموْتَ: ما الحدَثُ يا أبا هريرة قال فُساءٌ أوْ ضُراطُ. (رواه البخاري)
Ishaq bin Ibrahim Al-Hundholiy menceritkan kepada kami, dia berkata Abdurrazaq memberi kabar kepada kami, dia berkata, Ma’mar memberi kabar kepada kami dari Hammam bin Munabbih bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: Tidak diterima salat seseorang yang berhadas hingga ia wudhu. Seseorang laki-laki dari Hadlramaut bertanya: Apakah hadats itu wahai Abu Hurairah? Beliau menjawab,”Angin (kentut) yang mendesis maupun yang keluar dengan keras”. (HR. Al-Bukhari)[4]
Contoh lain, ayat 185 dari surat Al-Baqarah, sebagai berikut:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ...
Artinya: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Ayat di atas di-taqrir dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang berbunyi:
حدّثنا يحيى بن بُكَيْر قال حدّثنا اللَّيْثُ عن عقيل عن ابن شِهاب قال أخبرني سالم أنَ ابن عمر رضي الله عنهما قال: سمعْتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا، فإنْ غُمَّ عليكم فاقدُروْا لَهُ. (رواه البخاري)[5]
Menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair, dia berkata: Menceritakan kepada kami Al-Laits dari Uqail dari ibnu Syihab, dia berkata: Salim memberikanku kabar bahwa ibnu Umar ra. Berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah. Begitupula apabila kalian melihat bulan itu lagi, maka berbukalah, dan jika bulan tak terlihat oleh kalian, maka hitunglah” (HR. Al-Bukhari)
Contoh berikutnya adalah dari beberapa ayat Al-Qur’an yaitu; yang menjelaskan tentang syahadah (Al-Hujurat: 15), salat dan zakat (An-Nur: 56), puasa (Al-Baqarah: 182 dan 185), dan tentang haji (Ali Imran: 97). Ayat-ayat tersebut di-taqrir dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Ibnu Umar, sebagai berikut:[6]
حدّثنا عُبيْد الله بن موسى قال أخبرنا حَنْظَلَةُ بن أبي سفيان عن عِكْرِمة بن خالد عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: بُنِيَ الإسْلامُ على خَمْسٍ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لااِله الّاالله وأنّ محوّدًا رسوْلُ الله وتُقِيْمَ الصَّلاةَ وتُأْتِيَ الزَّكاةَ وتَصُوْمَ رَمضانَ (رواه البخاري)[7]
Ubaidillah menceritakan kami, dia berkata: Handhalah bin Abi Sufyan memberikan kabar kepada kami dari “Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar ra. Dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Islam dibangun atas lima dasar, yaitu mengucapkan kalimah syahadah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan” (HR. Al-Bukhari)
Menurut sebagian ulama, bahwa al-bayan taqiriry atau al-bayan ta’kidy ini disebut juga dengan al-bayan al-muwafiqy li nash Al-Kitab Al-Karim. Hal ini karena munculnya Hadits-hadits itu sesuai dan untuk memperkokoh nash Al-Qur’an.[8]
b.      Al-Bayan At-Tafsiry
Yang dimaksud dengan al-bayan at-tafsiry adalah penjelasan Hadits terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, muthlaq, dan ‘am. Maka fungsi Hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih muthlaq, dan memberikan takhsish ayat-ayat yang masih umum.
1.      Perincian ayat-ayat yang mujmal
Mujmal artinya sesuatu yang ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan atau perincian. Dengan kata lain ungkapannya masih bersifat global yang memerlukan mubayyin (penjelas).
Dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mujmal, yang memerlukan perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan salat, puasa, zakat, jual beli, nikah, qishash, dan hudud. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut masih bersifat global atau secara garis besar saja. Meskipun di antaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal ini karena, dalam ayat-ayat tersebut tidak dijelaskan misalnya, bagaimana cara mengerjakannya, apa sebabnya, apa syarat-syaratnya, atau apa halangan-halangannya. Maka Rasulullah SAW di sini menafsirkan dan menjelaskannya secara terperinci. Di antara contoh perincian tersebut dapat dilihat pada Hadits berikut:
حدّثنا محمد بن المثنى قال عبد الوهّاب قال حدّثنا أيّوب عن أبي قلابة قال: حدّثنا مالك: أتيْنا إلى النبي صلّى الله عليه وسلّم ونحنُ شَبَبَةٌ مُتَقارِبُوْنَ، فأَقَمْنا عنده عِشْريْن يوْمًا وليلةً. وكان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم رَحيْمًا رَفيْقًا فَلَمّا ظَنَّ أنّا قَدِ اشْتَهَيْنا أَهْلَنا أو قدِ اشْتَقْنا، سألنا عمَّنْ تَرَكْنا بَعْدَنا فأَخْبَرْناه قال: اِرْجِعُوْا إلى أَهليْكم فأَقيْمُوْا فيهم وعلِّمُوْهم ومُرُوْهم وذَكَرَ أشْياء أَحْفَظُها أو لا أَحْفَظُها وصلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمَوْنِيْ أُصَلِّيْ، فإذا حَضَرَتِ الصّلاةُ  فلْيُؤَذِّنُ لَكم أحدُكم ولْيَؤُمَّكم أكْبرُكم. (رواه البخاري)[9]
dari Abu Qilabah, dia berkata: Kami datang kepada Nabi SAW, sedangkan kami adalah para pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh hari dua puluh malam, dan Rasulullah SAW adalah seorang yang pemurah dan lembut. Ketika beliau mengira bahwa kami telah rindu kepada keluarga kami –atau kami sungguh telah merindukan- beliau pun bertanya kepada kami tentang orang-orang yang kami tinggalkan. Lalu kami mengabarkan kepada beliau, dan beliau bersabda: “Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, tinggallah kalian di antara mereka dan ajarilah mereka. Lalu perintahkan mereka –dan beliau menyebut berbagai hal, ada yang aku hafal dan ada pula yang aku lupa- dan salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat. Apabila waktu salat telah tiba, maka hendaklah salah seorang di antara mengumandangkan adzan dan yang paling tua di antara kamu menjadi imam” (HR. Al-Bukhari)
Dari perintah mengikuti salatnya, sebagaiman dalam Hadits tersebut, Rasulullah kemudian memberinya contoh salat yang dimaksud secara sempurna. Bahkan bukan hanya itu, beliau juga melengkapinya dengan berbagai kegiatan lainnya yang harus dilakukan sejak sebelum salat sampai dengan sesudahnya. Dengan demikian, maka Hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya salat dilakukan, sebagai perincian dari perintah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 43 sebagai berikut:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”
Masih juga berkaitan dengan ayat di atas, Rasulullah memberinya berbagai penjelasan dan perincian mengenai zakat secara lengkap, baik berkaitan dengan jenisnya maupun ukurannya, sehingga menjadi suatu pembahasan yang memiliki cakupan sangat luas.[10]
2.      Men-taqyid ayat-ayat yang muthlaq
Ayat yang muthlaq maksudnya adalah ayat yang menunjukkan pada hakikat ayat itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Men-taqyid yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq, artinya membatasi ayat-ayat yang muthlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat –syarat tertentu. Penjelasan Rasulullah yang berupa men-taqyid ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya berikut:
حدّثنا إسماعيل بن أبي أُويس عن ابن وهب عن يونس عن ابن شهاب عن عُرْوة بن الزبير وعمرة عن عائشة عن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال: تُقْطَعُ يَدُ السَّارِق في رُبْعِ ديْنارٍ. (رواه البخاري)[11]
Menceritakan kami Ismail bin Abi Uwais dari ibnu Wahab dari Yunus dari ibnu Syihab dari Urwah bin Az-Zubair dam Amrah dari Aisyah dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Tangan pencuri akan dipotong pada (kasus pencurian seniali) seperempat dinar” (HR. Al-Bukhari)
Hadits di atas men-taqyid ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 38, sebagai berikut:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[12]

3.      Men-takhshish ayat yang masih bersifat umum (‘am)
Ayat yang ‘am maksudnya adalah ayat yang menunjukkan atau memiliki makna dalam jumlah yang banyak. Sedangkan khash ialah yang menunjukkan arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud dengan takhshish ayat yang ‘am di sini ialah membatasi keumuman ayat Al-Qur’an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Contoh Hadits yang berfungsi men-takhshish keumuman ayat-ayat Al-Qur’an yaitu sabda Nabi sebagai berikut:
حدّثنا سليمان بن عبد الحمن حدّثنا سَعدان بن يحيى حدّثنا محمّد بن أبي حفصة عن الزهريّ عن علي بن حسين عن عمرو بن عثملن عن أُسامة بن زيد أنّه قال زَمَنَ الْفَتْحِ: يا رسول الله، أين نَنْزِلُ غَدًا؟ قال النبي صلّى الله عليه وسلّم: وهل ترك لنا عَقيل مِن مَنْزل؟ ثمّ قال: "لا يَرثُ الْمؤمِنُ الْكافرَ، ولا الكافرُ الْمؤمنَ". (رواه البخاري)[13]
Sulaiman bin Abdurrahman menceritakan kepada kami, Sa’dan bin Yahya menceritakan kepada kami, Muhammad bin Abi Hafshah menceritakan kami dari Az-Zuhriy dari Ali bin Husain dari Amr bin Utsman dari Usamah bin Zaid, dia bertanya (kepada Nabi SAW) pada waktu Fathul (Makkah): Ya Rasulullah, di mana besok kita akan tinggal? Nabi SAW bersabda: Apakah Aqil meninggali kita sebuah rumah (tempat tinggal)? Kemudian beliau bersabda: “Orang mukmin tidak dapat menerima warisan dari orang kafir, demikian juga orang kafir tidak dapat menerima warisan dari orang mukmin” (HR. Al-Bukhari)
Hadits tersebut men-takhshish keumuman firman Allah surat An-Nisa’ ayat 11, yaitu:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ...
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”[14]

c.       Al-Bayan At-Tasyri’iy
Tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan al-bayan at-tasyri’iy di sini, ialah penjelasan Hadits yang berupa mewujudkan, mengadakan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara’ yang tidak didapati nash-nya dalam Al-Qur’an. Rasulullah dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada saat itu, dengan sabdanya sendiri.
Banyak Hadits Nabi yang yang termasuk ke dalam kelompok ini. Di antaranya adalah Hadits tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum meranjam pezina wanita yang masih perawan, hukum membasuh bagian atas sepatu dalam wudhu, hukum tentang takaran zakat fitrah, dan hukum tentang hak warisan bagi seorang anak. Sebagai contoh adalah Hadits tentang zakat fitrah berikut:
حدّثنا عبد الله بن يوسف أخبرنا مالك عن نافع عن ابن عمر رضي الله عنهما إنَّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمَرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ على كُلِّ حُرٍّ أوْ عَبْدٍ، ذَكَرٍ أوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخاري)[15]
Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami bahwa Malik memberikan kabar kepada kami dari Nafi’ dari ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang merdeka atau hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan” (HR. Al-Bukhari)
Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga dengan bayan za’id ‘ala Al-Kitab Al-Karim” (penjelasan tambahan terhadap nash Al-Qur’an). Disebut tambahan karena sebenarnya di dalam Al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan pokoknya sudah ada, sehingga datangnya Hadits tersebut merupakan tambahan terhadap ketentuan pokok tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Hadits tentang ketentuan diyat. Di dalam Al-Qur’an sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada surat An-Nisa’ ayat 92. Begitu juga Hadits mengenai haramnya binatang-binatang buas dan keledai jinak (al-himar al-ahliyah). Masalah ini ketentuan pokoknya sudah ada di dalam Al-Qur’an, yaitu pada surat Al-A’raf ayat 157. Dengan demikian menurut mereka lebih lanjut, sebagaimana dikatakan oleh Abu Zahrah, tidak ada satu Hadits pun yang berdiri sendiri yang tidak ditemukan aturan pokoknya di dalam Al-Qur’an.
Menurutnya, hal tersebut di atas sudah sesuai dengan ayat 38 dari surat Al-An’am yang menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada yang dilewatkan atau dialpakan sesuatupun. Pandangan ini di antaranya dinukil oleh Asy-Syafi’i dalam bukunya ar-risalah, yang diperkuat oleh Asy-Syathibi dalam bukunya al-muwafaqat.
Hadits Nabi SAW yang termasuk ke dalam al-bayan tasyri’iy ini wajib diamalkan sebagaimana kewajiban mengamalkan Hadits-hadits lainnya. Ibnu Al-Qayim berkata, bahwa Hadits-hadits Nabi yang berupa tambahan terhadap Al-Qur’an merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan bukanlah sikap Nabi SAW itu mendahului Al-Qur’an, melainkan semata-mata karena perintah-Nya.[16]
d.      Al-Bayan An-Naskhy
Naskh secara bahasa mempunyai banyak arti, bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan), atau at-taghyir (mengubah).
Sebagian ulama ada yang membolehkan Hadits menghapus ketentuan hukum dalam Al-Qur’an. Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh mereka ialah sabda Nabi SAW dari Abu Umamah Al-Bahili yang artinya sebagai berikut:
حدّثنا عبد الوهّاب بن نجدة ثنا ابن عياش عن شرحبيل ابن مسلم، سمعتُ أبا أمامة، سمعتُ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إنّ اللهَ قدْ أَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّه فلا وَصِيَةَ لِوارِثٍ. (رواه أبو داود)[17]
Abdul Wahhab bin Najdah menceritakan kepada kami bahwa ibnu Uyasy menceritakan kepada kami dari Syarhabil ibnu Muslim: Saya mendengar Abu Umamah: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Allah benar-benar akan memberikan apa yang menjadi hak orang yang berhak kepadanya, maka tidaklah ada wasiat bagi ahli waris” (HR. Abu Daud)
Hadits di atas dinilai berstatus hasan oleh Ahmad dan At-Turmudzi.
Menurut mereka Hadits di atas me-naskh ayat 180 dari surat Al-Baqarah sebagai berikut:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Kewajiban melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 180 di atas di-naskh hukumnya oleh Hadits yang menjelaskan, bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.[18]
C.    Bagaimana Pendapat Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam
Ketiga bayan yang pertama di atas disepakati oleh ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk bayan yang keempat, yaitu al-bayan an-naskhy terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi Hadits sebagai nasikh dan ada yang menolaknya. Yang menerima adanya naskh, di antaranya ialah mayoritas ulama mutakalimin, baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, ulama Hanafiyah, Malikiyah, Ibnu Hazm, dan sebagian Zhahiriyah. Sedangkan yang menolaknya, di antaranya ialah Asy-Syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, serta ulama mayoritas zhahiriyah.[19] Perbedaan pendapat mengenai al-bayan an-naskhy ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami arti naskh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama yang memperbolehkan, yang disebut dengan al-bayan an-naskhy adalah adanya dalil syara’ yang datangnya kemudian dan dapat menghapus dalil syara’ yang sudah lampau, sekalipun itu ada di dalam Al-Qur’an.[20]
Untuk fungsi Hadits al-bayan an-naskhy terdapat dua perbedaan pendapat, sebagai berikut:
1.      Hanafiah berpendapat bahwa al-bayan an-naskhy diperbolehkan dengan menggunakan Hadits mutawatir dan masyhur, tidak dengan Hadits ahad.
2.      Menurut mayoritas ulama, al-bayan an-naskhy tidak diperbolehkan, sekalipun menggunakan Hadits mutawatir atau masyhur.
Mereka berpendapat bahwa Hadits tidaklah seperti Al-Qur’an, dia tidak lebih baik dari Al-Qur’an. Oleh karena itu Hadits tidak dapat me-naskh Al-Qur’an. Asy-Syafi’i menunjukkan sebuah dalil mengenai pendapat mayoritas ulama ini:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?“ (QS. Al-Baqarah: 106).
...قُلْ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أُبَدِّلَهُ مِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي إِنْ أَتَّبِعُ إِلا مَا يُوحَى....
Artinya: “...Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku...". (QS. Yunus: 15)
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (٤٤)
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (QS. An-Nahl: 44)
Ayat-ayat di atas menjadi bukti bahwa isi Al-Qur’an sesuai dengan apa yang telah diwahyukan oleh Allah, sehingga Rasulullah sebagai sumber Hadits tidak akan mengganti apa yang telah diwahyukan Allah tersebut. Beliau hanya akan menjelaskannya, bukan me-naskh-nya, karena naskh berarti tabdil (penggantian).
Ia juga berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya fungsi Hadits sebagai al-bayan an-naskhy terhadap Al-Qur’an bertujuan untuk menjaga harga diri Rasulullah SAW. Jika tidak demikian, orang-orang kafir akan dengan mudahnya menghina Rasulullah dengan mengatakan: Dia (Muhammad) adalah orang yang pertama kali menyampaikan wahyu (Al-Qur’an) kepada umat, sedangkan apa yang ia kerjakan berlawanan dengan wahyu-Nya, lalu bagaimana kita bisa memegang pembicaraannya?[21]
Namun demikian, sebagaimana yang dinukil oleh Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy dari kitab Ar-Risalah karangan Asy-Syafi’i, bahwa Asy-Syafi’i juga menganggap al-bayan an-naskhy sebagai salah satu dari fungsi Hadits. Akan tetapi ia mengartikan bahwa fungsi al-bayan an-naskhy adalah fungsi dimana Hadits menentukan mana yang menjadi nasikh dan mana yang di-­mansukh­-kan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berlawanan.[22]

IV.      KESIMPULAN
Kedudukan Hadits dalam agama Islam adalah sebagai sumber ajaran yang kedua setelah Al-Qur’an. Menduduki posisi kedua sebagai sumber ajaran Islam, Hadits berfungsi sebagai penjelas (al-bayan) sumber ajaran pertama yaitu Al-Qur’an. Sebab, Nabi Muhammad sebagai sumber Hadits diberikan perintah oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada para umat, sebagaimana dijelaskan dalam surat An-Nahl ayat 44.
Setidaknya fungsi Hadits dalam ajaran Islam ada empat macam, yaitu al-bayan at-taqriry, al-bayan at-tafsiry, al-bayan at-tasyri’iy dan al-bayan an-naskhy. Meskipun para ulama menggunakan istilah dan pembagian yang berbeda-beda, namun pada dasarnya yang mereka maksudkan adalah sama. Secara umum fungsinya adalah sebagai penjelas Al-Qur’an.
V.          PENUTUP
Demikianlah uraian dari Penulis mengenai “Fungsi Hadits Dalam Ajaran Islam”. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu “Ulumul Hadits” yang sedang dipelajari ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan Penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah Penulis harapkan demi kebaikan bersama. Oleh karenanya Penulis ucapkan banyak terima kasih dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang telah dipelajari dan didapatkan kali ini bermanfaat, dan mendapat ridho beserta berkah dari Allah SWT. Amin













DAFTAR KEPUSTAKAAN


Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari, terj. Ghazirah Abdi Ummah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Ichwan, Muhammad Nor, Studi Ilmu Hadits, Semarang: RaSAIL Media Group, 2007.
Al-Maliki, Muhammad Alwi, Ilmu Ushul Hadits, Al-Manhalu Al-Lathifu fi Ushul Al-Hadits Al-Syarif, terj. Adnan Qohar, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Muhammad, Abu Abdillah, Al-Jami’ Ash-Shahih, Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah wa Maktabatuha, 1980.
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama Jakarta, 1996.
Soebahar, M. Erfan, Aktualisasi Hadits Nabi, Semarang: RaSAIL Media Group, 2010.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2002.
As-Siba’i, Musthafa, As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’il Islamiy, Tt.p: Daar Al-Warraq, T.t.
Sulaiman, Abi Daud, Sunan Abi Daud, Beirut: Al-Maktabah Al-Ashriyah: T.t.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
uslem, Nawir, Ulumul Hadits, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.