I.
PENDAHULUAN
Seiring
dengan munculnya kritik-kritik tajam terhadap tasawuf yang menimbulkan ketegangan
dalam dunia pemikiran Islam, nampaknya sudah mulai timbul aneka argumentasi
tentang, apakah tasawuf benar-benar ilmu ke-Islam-an ataukah ia hanya sekedar
peng-Islam-an unsur-unsur non-Islam?
Kontroversi pendapat itu bermula sejak tampilnya tasawuf falsafi dan semakin
dipertajam dengan masuknya pendapat orientalis, yang secara generalisasi
mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam.
Mereka yang
mengatakan tasawuf bersumber dari luar Islam, apakah dari Persia, Hindu,
Nasrani, filsafat Yunani dan atau dari sumber non-Islam lainnya, mendasarkan
pendapatnya hanya karena adanya kesamaan tipologinya belaka. Pendapat yang
demikian nampaknya tidak jujur dan tidak obyektif. Sebab, tidak ada satu
paradigma keilmuan yang memastikan bahwa setiap yang sama atau yang mirip
adalah karena terjadi saling pengaruh atau plagiat. Untuk dapat dibenarkan
adanya hubungan interaksi historis antara satu nilai dengan nilai lainnya,
haruslah dapat dibuktikan adanya kontak yang riel antara keduanya. Sedangkan
keserupaan atau kemiripan bukanlah satu bukti yang riel. Alasan lain yang
mereka kemukakan adalah, bahwa tokoh-tokoh sufi kebanyakan dari Persia yang
asalnya beragama Majusi atau bangsa lain yang tadinya beragama Kristen.
Berkenaan
dengan perdebatan ini, terdapat satu hal yang jelas bahwa tasawuf merupakan
masalah yang sangat kompleks karena ia termasuk dalam ajaran mistisme, sehingga
hampir tidak bisa diberi jawaban yang dapat memuaskan semua pihak. Akan tetapi
dapat dipastikan bahwa sumber awal dan asas tasawuf adalah Islam, sehingga ia
digolongkan sebagai salah satu aspek kebudayaan Islam.[1]
Ajaran-ajaran
tasawuf yang berasaskan ajaran Islam ini dapat dilihat dari dua sumber utama
ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Disamping untuk menjawab
perdebatan di atas, hal ini dianggap cukup penting karena dalam perjalanan
memahami isi tasawuf seseorang haruslah memahami terlebih dahulu pondasi utamanya,
dengan harapan pemahaman dan penerapannya tentang tasawuf menjadi benar dan
sesuai dengan koridor yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Dengan demikian
akan diketahui bahwa tasawuf bersumber dari Islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
itu tasawuf?
B.
Bagaimana
dasar tasawuf yang ada di dalam Al-Qur’an?
C.
Bagaimana
dasar tasawuf yang berupa hadits?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Tasawuf
Secara bahasa,
asal usul kata tasawuf masih diperdebatkan oleh para peneliti di bidang
tasawuf. Ada beberapa kata yang diduga sebagai asal kata tasawuf, yaitu:
1.
"أهل الصُّفَّة": yaitu sebuah julukan yang diberikan kepada
sekelompok orang yang hidupnya banyak berdiam di serambi (الصفّة) masjid Nabawi
di Madinah. Mereka berhati mulia dan tekun beribadah. Terdapat versi lain yang
mengatakan bahwa as-suffah berarti pelana yang dipergunakan oleh para
sahabat Nabi SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping
masjid Nabawi di Madinah.
2.
"الصَّفَاءُ": yang mempunyai arti “bersih” atau “jernih”.
Demikian ini karena orang sufi dianggap orang-orang yang bersih dari sifat
jahat dan kotoran serta syahwat duniawi.
3.
"الصَفُّ": yang berarti barisan (yang pertama dalam
salat). Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih dan
selalu memilih shaf terdepan dalam salat berjamaah. Selain itu mereka
juga memandang bahwa seseorang sufi akan berada dibarisan pertama di depan
Allah SAW.
4.
"الصفوانه": yaitu nama sejenis tanaman sayuran. Tanaman
ini berbentuk tinggi kurus. Kebanyakan para sufi berbadan kurus kering akibat
banyak berpuasa dan banyak bangun malam sehingga menyerupai tanaman tersebut.
5.
"الصُوْفُ": yang mempunyai arti “bulu domba”. Pakaian
yang terbuat dari bulu domba merupakan simbol dari kesederhanaan lawan dari
sutera yang menjadi simbol kemewahan.
6.
Tasawuf
berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosopi. Theo berarti “Tuhan”
dan sophos berarti “hikmah”. Sehingga tasawuf diartikan sebagai “hikmah
ke-Tuhan-an”. Mereka merujuk kepada bahasa Yunani karena ajaran tasawuf banyak
membicarakan masalah ketuhanan.
Dari beberapa
asal kata tersebut, kata الصوف dianggap paling tepat karena dua
alasan. Pertama, alasan historis
yang menjelaskan bahwa pakaian wool kasar banyak dipakai oleh para zahid
pada abad pertama dan kedua Hijriyah. Kedua, alasan kebahasaan yang
menjelaskan bahwa kata الصُوْفِي merupakan sebutan bagi para pelaku tasawuf yang mana nama
tersebut dinisbatkan pada kata الصوف.[2]
Ditinjau dari
segi bahasa, kata tasawuf (تَصَوُّفٌ) adalah bentuk mashdar dari fi’l
khumasiy (kata kerja yang terdiri dari lima huruf) “تَفَعًّلَ يَتَفَعَّلُ تَصَوُّفًا” yang dibentuk dari kata صُوْفٌ. Bentuk tashrif-nya yaitu تَصَوَّفَ يَتَصَوَّفُ تَصَوُّفًا.
Kata kerja تَصَوَّفَ
secara harfiah berarti memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba. Pendapat
yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata صُوْفٌ dipandang paling tepat dari segi bahasa.
Selain oleh alasan itu alasan lainnya adalah bersifat historis, yaitu para sufi
pada zaman dahulu mempunyai kebiasaan memakai jubah yang terbuat dari bulu
domba.[3]
Sama halnya
dengan pengertian tasawuf secara bahasa, definisi tasawuf secara istilah juga
terdapat banyak versi, sebagai berikut:
1.
Menurut
Ibrahim Basyuni yaitu:
تَيَقُّظٌ
فِطْرِيٌّ يُوْجَهُ النَّفْسَ الصَّادِقَةَ اِلى أِنْ تُجاهدَ لِتُواصلَ الى
الْوجُودِ الْمُطْلَق
“Tasawuf
adalah kesadaran fitrah yang mendorong jiwa yang jujur untuk berjuang keras
(mujahadah) agar bisa berhubungan dengan wujud mutlak (Tuhan)”[4]
2.
Menurut
Ma’ruf Al-Karkhi yaitu:
الأَخْذُ
بِالْحَقَائِقِ والْيَأْسُ مِمَّا في أيْدي الْخَلائِقِ
“Mengambil hakikat dan melepas apa yang ada di tangan makhluk”
3.
Menurut
Al-Hadad seorang tokoh tarekat Alawiyah yaitu:
الدُّخُوْلُ
في كُلِّ خُلُقٍ دَنِيّ والخروجُ من كلّ خلق سَنِيّ
“Masuk ke dalam setiap akhlak yang hina dan keluar dari
setiap akhlak yang mulia”
4.
Menurut
Sahilun A. Nasir tasawuf adalah ilmu yang membahas tentang keadaan batin dari
segi membersihkannya dari selain Allah dan meninggalkan jiwa manusia ke alam
kesucian dengan mengikhlaskan pengabdiannya hanya kepada Allah semata.[5]
Dari beberapa
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf adalah perjalanan untuk
berhubungan sedekat mungkin dengan Tuhan. Semakin dekat seorang hamba dengan
Tuhannya maka akan semakin baik kualitasnya sebagai seorang hamba dan itulah
tujuan utama dari tasawuf.
B.
Dasar Al-Qur’an
Kemunculan
hidup kerohanian tasawuf sebenarnya sudah terjadi sejak masa Rasulullah SAW.
Hal ini terbukti dengan cara hidup Rasulullah yang sederhana, tawadlu’,
zuhud, serta tidak bermewah-mewahan.[6] Selain itu Aisyah pernah ditanya oleh seorang sahabat tentang
akhlak Rasulullah, ia menjawab “Al-Qur’an”. Cara hidup dan akhlak Rasulullah
seperti ini dicontoh oleh para sahabat Nabi. Para sahabat beliau terkenal
sebagai orang-orang yang banyak menghafal isi Al-Qur’an dan kemudian
menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai pengamalan atau penjiwaan
terhadap isinya. Mereka berusaha mencontoh akhlak Rasulullah yakni akhlak
Al-Qur’an.
Dalam hal
inilah tasawuf pada pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan, moral dan
moral keagamaan ini banyak diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jelas sumber
pertamanya adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al-Qur’an,
Al-Hadis.
Al-Qur’an merupakan
kitab Allah yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik
aqidah, syari’ah maupun muamalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam
ayat-ayat yang termaktub dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut di satu
sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual, tetapi juga ada yang perlu
dipahami secara kontekstual.
Islam mengatur
kehidupan yang bersifat lahiriah dan dan batiniyah. Pemahaman terhadap unsur
kehidupan yang bersifat batiniyah pada gilirannya nanti melahirkan tasawuf.
Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber
ajaran Islam, Al-Qur’an dan Al-Hadis serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya.
Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling
mencintai dengan (mahabbah) Tuhan. Hal itu misalnya terdapat dalam
firman Allah SWT, yaitu:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ
بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ
عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا يَخَافُونَ لَوْمَةَ
لائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara
kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”
(QS. Al-Maidah: 54)
Di dalam
Al-Qur’an terdapat firman Allah yang menjelaskan perintah Allah kepada manusia
agar senantiasa bertaubat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya,
sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ
يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ
تَحْتِهَا الأنْهَارُ يَوْمَ لا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا
مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada
Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan
Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan:
"Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami;
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At-Tahrim:
8)
Al-Qur’an pun
menegaskan tentang pertemuan dengan Allah di mana pun hamba-hamba-Nya berada.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)
Bagi kaum sufi,
ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada. Allah pun akan
memberikan cahaya kepada orang-orang yang dikehendakin-Nya, sebagaimana
firman-Nya:
اللَّهُ نُورُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ
فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ
مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا
يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ
لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi.
perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di
dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari
pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja)
Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki,
dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nur: 35)
Seperti halnya
lagi yang diterangkan dalam ayat Al-Qur’an berikut:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ
وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan
mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16)
Berdasarkan
ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan,
orang tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dirinya sendiri.
Al-Qur’an pun
mengingatkan manusia agar tidak diperbudak oleh kehidupan duniawi dan kemewahan
harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah SWT:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ
اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ
بِاللَّهِ الْغَرُورُ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar,
Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali
janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.”
(QS. Fathir: 5)
Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu
dasar untuk menjauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan.[7]
Kemudian
terdapat juga ayat-ayat yang menyangkut aspek moralitas dan asketisme, sebagai
salah satu masalah prinsipil dalam tasawuf, para sufi merujuk kepada Al-Qur’an
sebagai landasan utama. Karena manusia memiliki sifat baik dan sifat jahat,
maka dari itu harus dilakukan pengikisan terhadap sifat yang jelek dan
pengembangan sifat-sifat baik, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (٨) قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
(٩)
Artinya: "(8) Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (9)
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams:
8-9)
Berdasarkan ayat-ayat
ini serta ayat-ayat yang senada, maka dalam tasawuf dikonsepkanlah teori tazkiyah
an-nafs (penyucian diri). Proses penyucian ini melalui dua tahap, salah
satunya adalah pembersihan jiwa dari sifat-sifat jelek yang disebut takhalli.[8]
C.
Dasar Al-Hadits
Sejalan apa yang
dijelaskan di dalam Al-Quran, ternyata tasawuf juga dapat dilihat dalam
kerangka hadits. Hadits-hadits yang menjadi dasar ajaran tasawuf sangatlah banyak. Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan ajaran-ajaran
tasawuf adalah hadits-hadits berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم
إنّ الله تعالى قال: مَن عادى لى وَلِيًّا فَقَدْ أَذَنَتْه بالْحَرْبِ وما تقرّب
اِليَّ عبدي بشيء أجبّ اليَّ ممّا افترضتْ عليه وما يزالُ عبدى يتقرّبُ اليَّ
بالنَّوافِلِ حتى أحبّه فإذا أحببتُه كنتُ سمْعه الذي يسمع به وبصىره الذي يُبْصره
ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها ولئِنْ سَألني لَأَعْطِيَنَّه ولَئِنْ
اسْتَعَذَني لَأعْذِينَّه....(رواه البخاري)[9]
“Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah berfirman, Siapa saja yang memusuhi kekasihku maka Aku
benar-benar mengijinkan dia untuk diperangi, dan tidak ada sesuatu yang
dilakukan oleh hamba-Ku untuk mendekati Aku yang lebih Aku cintai dari pada apa
yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekati
Aku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya, maka ketika Aku telah
mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar,
penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang ia gunakan untuk
memukul, kakinya yang ia gunakan untuk berjalan dan sekiranya ia meminta
kepadaKu pasti akan Aku beri dan sekiranya ia minta perlindungan pasti akan Aku
lindungi””
عن أنس رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربّه
عزّ ةجلّ قال: إذا تقرّب العبدُ اليَّ شِبْرًا تقرّبتُ اليه ذِراعًا، وإذا تقرّب
اليَّ ذراعًا تقرّيتُ منه باعًا، وإذا أتاني يمشي أتيتُه هرولة (رواه البخاري)[10]
“Dari Anas ra, dari Nabi SAW beliau menceritakan apa yang telah
difirmankan dari Tuhannya Yang Maha Mulia lagi Maha Agung apabila seorang hamba
mendekatkan diri kepadaKu sejengkal maka Aku akan mendekat kepadanya sehasta, apabila
ia mendekat kepadaKu sehasta maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa, dan
apabila ia datang kepadaKu dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan
berlari” (HR. Al-Bukhari)
Hadits Qudsi
yang pertama menjelaskan proses mahabah (cinta) kepada Allah, kedudukan
orang yang mencintai dan dicintai Allah. orang yang dicintai oleh Allah adalah
orang-orang yang mendekat kepada-Nya. Mereka mendapat pembelaan yang luar biasa
dari Allah SWT. Hadits Qudsi yang kedua menunjukkan bahwa kedekatan Allah
kepada hambanya tergantung keinginan dan kesungguhan hambanya dalam usahanya
untuk mendekat kepada-Nya.[11]
Selain hadis
Qudsi seperti di atas, juga terdapat hadis Nabi SAW sebagai berikut:
عَنْ سَهْلِ بْنِ
سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ
أَحَبَّنِي اللَّهُ وَأَحَبَّنِي النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا
فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ
Artinya: “Dari sahabat Sahal bin Saad as-Sa’idy
beliau berkata: datang seseorang kepada Rasulullah Saw dan berkata: ‘Wahai Rasulullah
! tunjukkanlah kepadaku sutu amalan, jika aku mengerjakannya maka Allah akan
mencintaiku dan juga manusia’, Rasulullah Saw bersabda: “berlaku zuhudlah kamu
di dunia, maka Allah akan mencintaimu, dan berlaku zuhudlah kamu atas segala
apa yang dimiliki oleh manusia, maka mereka (manusia) akan mencintaimu”.[12]
عَن زَيْدُ بْنُ ثَابِت قال : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ
فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
Artinya: “Dari Zaid bin Tsabit beliau berkata : Aku mendengarkan Rasulullah Saw
bersabda: “Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai tujuannya, maka Allah akan
berlepas diri dari segala urusannya dan tidaklah ia mendapatkan dari dunia
sesuatu apapun keculi apa yang telah di tetapkan baginya. Dan barang siapa yang
sangat menjadikan akhirat sebaga tujuannya, maka Allah akan mengumpulkan
seluruh harta kekayaan baginya, dan menjadikan kekayaan itu dalam hatinya,
serta mendapatkan dunia sedang ia dalam keadaan tertindas”.[13]
Hadis pertama
menunjukkan perintah untuk senantiasa berlaku zuhud di dunia, sementara hadis
kedua menjelaskan akan tercelanya kehidupan yang bertujuan berorientasi
keduniaan belaka, dan mulianya kehidupan yang berorientasi akhirat. Kedua hadis
tersebut menjelaskan kemuliaan orang-orang yang hanya menjadikan Allah sebagai
tujuan utama dalam hidupnya dan merasa cukup atas segala yang Allah telah
karunianakan kepadanya.
Satu fakta
kebenaran yang harus diungkapkan bahwa bahwa kezuhudan dan kesederhanaan
Rasulullah bukanlah karena faktor kemiskinan dan keterdesakan kondisi hidup,
melainkan karena sebuah pilihan dan kegemaran. Beliau lebih memilih hidup zuhud
dan sederhana daripada menyibukkan diri dengan berbagai bentuk kenikmatan hidup
di dunia fana’. Diriwayatkan dari Abu Umamah, dari Rasulullah SAW beliau
bersabda:[14]
عَرَضَ عَلَيَّ رَبِّي لِيَجْعَلَ لِيْ بَطْحَاءَ مَكَّةَ ذَهَبًا
قُلْتُ لَا يَا رَبِّ وَلَكِنْ أَشْبَعُ يَوْمًا وأَجُوْعُ يَوْمًا وقالَ ثَلاثًا
أوْ نَحْوَ هذا فإذا جُعْتُ تَضَرَّعْتُ إليْكَ وذَكَرْتُكَ وإذا شَبُعْتُ
شَكَرْتُكَ وحَمِدْتُكَ
Artinya: “Rabb-ku
pernah menawariku untuk mengubah padang pasir menjadi emas, namun aku bilang:
ya Tuhan, aku hanya ingin kenyang sehari dan lapar sehari –beliau mengucapkan
sebanyak tiga kali atau yang setara– Sehingga
bila lapar, aku dapat menundukkan diri pada-Mu, dan bila kenyang, aku
bersyukur kepada-Mu dan memuji-Mu” (HR. At-Turmudzi)
Selain dari
hadis di atas terdapat pula banyak hadis yang memberikan wasiat kepada
orang-orang mu’min agar tidak bertumpu pada kehidupan dunia semata, dan
hendaklah ia senantiasa memangkas segala angan-angan keduniaan, serta tidak
mematrikan dalam dirinya untuk hidup kekal di dunia dan tidak pula berusaha
untuk memperkaya diri di dalamnya kecuali sesuai dengan apa yang ia butuhkan,
oleh karena itu Rasulullah Saw berwasiat kepada Abdullah bin Umar sambil
menepuk pundaknya dan bersabda:
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ
سَبِيل
Artinya: “Hiduplah kamu di dunia seolah-seolah kamu
adalh orang asing atau seorang musafir”[15]
Selain tiga
hadis di atas masih terdapat banyak hadis lainnya yang menjadi landasan
munculnya tasawuf atau sufisme.
Dari
keterangan-keterangan yang berdasarkan al-Qur’an dan hadis di atas menunjukkan
bahwa ajaran tasawuf yang menjadi landasan utamanya adalah kezuhudan terhadap
dunia demi mencapai tingkatan atau maqam tertinggi di sisi Allah yaitu
ketika seseorang menjadikan dunia sebagai persinggahan sementara dan menjadikan
rahmat, ridha, dan kecintaan Allah sebagai tujuan akhir.
IV.
KESIMPULAN
Secara bahasa
“tasawuf” berasal dari kata الصُّوْفُ yang berarti bulu domba. Pakaian yang
terbuat dari bulu domba merupakan simbol dari kesederhanaan. Tasawuf (تصوّف)
berarti para sufi pada zaman dahulu mempunyai kebiasaan memakai jubah yang
terbuat dari bulu domba sebagai simbol kesederhanaan. Sebagaimana pendapat
Sahilun A. Nasir, secara istilah tasawuf adalah Sahilun A. Nasir tasawuf adalah
ilmu yang membahas tentang keadaan batin dari segi membersihkannya dari selain
Allah dan meninggalkan jiwa manusia ke alam kesucian dengan mengikhlaskan
pengabdiannya hanya kepada Allah semata.
Al-Qur’an secara
terang memang tidak menjelaskan tentang tasawuf, begitu juga dengan Al-Hadits. Namun
demikian ajaran-ajaran tasawuf dibentuk dan diamalkan berdasarkan dua sumber
utama ajaran Islam tersebut.
Di dunia ini
terdapat banyak macam ajaran tasawuf dengan berbagai alirannya. Namun secara umum
ajaran-ajaran tasawuf memiliki bibit utama yang diambil dari ajaran Islam dan
pada hakikatnya ajaran tasawuf sendiri adalah ajaran agama Islam. Di antaranya
adalah ajaran untuk menyucikan diri (tazqiyah an-nafs) dari sifat jelek (Asy-Syams:
8-9), mahabbah kepada Allah SWT (Al-Maidah: 54), taubat (At-Tahrim: 8), keberadaan
Allah (Al-Baqarah: 115), kedekatan Allah dengan para hamba-Nya (Al-Qaf: 16), ajaran
agar tidak bersifat keduniawian (Fathir: 5), dan sebagainya. Ini hanyalah
sebagian kecil ayat-ayat yang menjadi dasar ajaran-ajaran tasawuf yang ada di
dalam Al-Qur’an, karena masih terdapat banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang
menjadi dasar dari ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
Seperti halnya dasar
ajaran-ajaran tasawuf dalam Al-Qur’an, Al-Hadits pun banyak dijadikan dasar
oleh para sufi dalam menjalankan kehidupan tasawufnya. Hadits-hadits yang
disebutkan di atas hanyalah sebagian kecil dari hadits yang dijadikan dasar
para sufi dalam menjalankan kehidupan tasawufnya.
[1] A. Rivay
Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Cet. 2, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 46-48.
[2] Nasirudin, Pendidikan
Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2002), hlm. 1-2.
[3] Totok
Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Tt.p:
AMZAH, 2005), hlm. 246.
[4] Nasirudin, Op.
Cit., hlm. 3.
[5] Totok
Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Op. Cit., hlm. 246-248.
[6] Muhammad
Rifa’i Subhi, Tasawuf Modern Paradigma Alternatif Pendidikan Islam,
(Pemalang: Alrif Management, 2002), hlm. 31.
[7] M. Sholihin
dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2002), 211-215.
[8] A. Rivay
Siregar, Op. Cit., hlm. 48.
[9] Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Juz 4, (Indonesia:
Dar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Tt), hlm. 129.
[10] Ibid.
[11] Nasirudin, Pendidikan
Tasawuf, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2002), hlm. 6-8.
[12] Muhammad bin Yazid al-Qazwiny Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab;
Zuhud, No. Hadis; 4102. Cet. I, (Bandung: Maktabah Dakhlan, T.Th),
Jilid. II, hlm. 1373.
[14] Mathba’ah
Al-Fajr Al-Jadid, Tashawwuf Al-Islami wa Al-Khalaq, terj. Muhammad
Fauqi Hajjaj, (Jakarta: AMZAH, 2011), hlm. 58.
[15] Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhary, Shahih al-Bukhary, Kitab:
Riqaq, Cet. I, (Beirut: Al-Makatabah al-Ilmiyah, 1997), Jilid. III, hlm.
3347.