ADA' WA TAHAMMUL AL-HADITS
A. ARTI PROSES ADA’
WA TAHAMUL AL-HADITS
2. At-Tahammul adalah menerima dan mendengarkan suatu periwayatan hadits dari
seorang guru dengan menggunakan beberapa
metode tertentu.[2]
B. SYARAT MUTAHAMMIL
DAN MU’ADDI
1.
Syarat mutahammil
Ada dua
syarat bagi mutahammil al-hadits, sebagai berikut:
a.
Tamyiz
Terdapat banyak perbedaan mengenai batasan umur bagi mutahammil hadits.
Namun yang pasti, seorang mutahammil hadits harus sudah mumayyiz,
yaitu saat di mana ia bisa membedakan antara kebaikan dan kejelekan. Ke-tamyiz-an
tidak dapat ditentukan dengan umur, karena setiap orang mendapatkan predikat tamyiz
pada usia yang berbeda-beda.
b.
Berakal sehat[3]
2.
Syarat muta’addi
Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau
dikenal dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
a. Islam
b. Baligh
c. Bersifat adil (‘adalah)
Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti orang islam yang sudah mukallaf
yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya
harga diri.
d. Dlobit
Dlobit ialah memiliki daya ingat yang
kuat (dlobtu ash-shodr) atau memiliki dokumen yang valid (dlobtu
al-kitab). Ia hafal dan ingat akan hadits yang didapat sejak menerima
hadits tersebut, hingga ia meriwayatkannya kepada orang lain.[4]
C. 8 METODE
PTH+PERBEDAAN MASING-MASING
1. As-Sima’ (min lafdzi syekh)
Yakni cara penerimaan hadits dengan cara mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan didikte maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari
tulisannya. Menurut jumhur, cara penerimaan hadits ini
memiliki nilai yang tertinggi daripada cara yang lainnya.
Shighat:
a. حَدَّثَنَا (seseorang telah menceritakan kepada kami)
b. أَخْبَرَنَا (seseorang telah mengabarkan kepada kami)
c. أَنْبَأَنَا (seseorang telah memberitakan kepada kami)
d. سَمِعْتُ فُلانًا (saya telah mendengar seseorang)
e. قَالَ لَنَا فُلانًا (seseorang telah berkata kepada kami)
f. ذَكَرَ لَنَا فُلانًا (seseorang telah menuturkan kepada
kami)
2. Al-Qira’ah
(‘ala
syekh)
Yaitu cara
penerimaan hadits dengan cara membacakan hadits di hadapan gurunya, baik dia
sendiri yang membacakan maupun orang lain. Sedangkan sang guru menyimaknya,
baik sang guru hafal maupun tidak (yaitu dengan cara memegang kitabnya atau mengetahui
tulisannya).
Shighat:
a. قَرَأْتُ عَلَيْه (aku telah
membacakan dihadapannya)
b. قُرِئَ على فُلانٍ وأَنَا أَسْمَعُ (dibacakan oleh seseorang
(dihadapan guru) dan saya mendengarkannya)
c. حّدَّثَنا أو أَخْبَرَنا قِراءَةً عليه (seseorang telah
mengabarkan atau menceritkan kepadaku dengan cara pembacaan (di hadapan guru))
3. Al-Ijazah
Yaitu cara
penerimaan hadits dengan cara seorang guru memberikan ijin kepada muridnya
untuk meriwayatkan hadits atau kitab kepada seseorang atau orang-orang
tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar
bacaan gurunya.
Shighat:
a. أجاز لفلان (beliau telah memberikan ijazah kepada si
fulan)
b. حدثنا إجازة (beliau telah menceritakan kepada kami secara
ijazah).
c. أخبرنا إجازة (beliau telah mengabarkan kepada kami secara
ijazah).
d. أنبأنا إجازة (beliau telah memberitahukan kepada kami
secara ijazah).
4. Al-Munawalah
Yaitu seorang
guru memberikan kepada muridnya sebuah naskah atau kitab asli, atau salinannya
yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[5]
Ada dua
bentuk munawalah, yaitu munawalah yang disertai dengan ijazah
(perintah untuk meriwayatkan), dan munawalah yang tidak diertai dengan
ijazah.
Shighat:
a. ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ (seorang guru telah memberikan
naskahnya kepadaku)
b. ﻨﺎﻭﻟﻨﻲ ﻭﺇﺠﺎﺯﻨﻲ (seorang guru telah
memberikan naskahnya kepadaku dengan disertai ijazah)
c. ﺤﺩﺜﻨﺎ ﻤﻨﺎﻭﻟﺔ (seorang guru telah menyampaikan
riwayat kepadaku secara munawalah)
d. ﺃﺨﺒﺭﻨﺎ ﻤﻨﺎﻭﻟﺔ ﺇﺠﺎﺯﺓ (seorang guru telah
menyampaikan berita kepadaku secara munawalah disertai ijazah)
5. Al-Kitabah
Yakni seorang
guru hadits menuliskan hadits yang diriwayatkannya untuk diberikan kepada orang
tertentu. Orang yang menulis hadits dapat saja guru itu sendiri atau orang lain
atas permintaan guru tersebut, sedang orang yang diberi hadits ketika hadits
itu ditulis dapat saja di hadapan guru tersebut atau berada di tempat lain.[6]
Ada dua
bentuk kitabah, yaitu kitabah yang disertai dengan ijazah
(perintah untuk meriwayatkan), dan kitabah yang tidak diertai dengan ijazah.
Shighat:
a. ﻜﺘﺏ ﺍِﻠَﻲَّ ﻓﻼﻥٌ (seorang guru hadits telah
menulis sebuah hadits kepadaku).
b. ﺤﺩﺜﻨﻲ ﻓﻼﻥٌ ﻜﺘﺎﺒﺔً (telah menyampaikan riwayat
kepadaku melalui koresponden).
c. ﺃﺨﺒﺭﻨﻲ ﻓﻼﻥٌ ﻜﺘﺎﺒﺔً (telah menyampaikan kabar
berita kepadaku melalui koresponden).
6. Al-I’lam
Yaitu pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah
riwayatnya sendiri, dengan tidak mengatakan agar si murid meriwayatkannya.
Shighat:
أَعْلَمَنِيْ فُلانٌ قالَ
حَدَّثَنا (seseorang telah memberitahukan
kepadaku: “Telah berkata kepada kami...”)[7]
7. Al-Wasiyah
Yaitu pesan seseorang guru di saat mendekati ajalnya atau ketika hendak bepergian, dengan
sebuah kitab supaya diriwayatkan.
Shighat:
a. أوصى إلي فلان بكتاب (fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab).
8. Al-Wijadah
Yaitu memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak seperiode dengannya, baik dengan lafadz sama’, qira’ah
maupun selainnya dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut.
Shighat:
a. ﻭﺠﺩﺕُ ﺒﺨﻁِّ ﻓﻼﻥٍ (aku telah
menemukan tulisan seorang guru hadits).