SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Wednesday, September 11, 2013

PERTUMBUHAN DAN PEMBINAAN ILMU HADIS PADA MASA (NABI, SAHABAT, TABI’IN, TABI’IT TABI’IN DAN MASA SETELAHNYA



PERTUMBUHAN DAN PEMBINAAN ILMU HADIS
PADA MASA
(NABI, SAHABAT, TABI’IN, TABI’IT TABI’IN DAN MASA SETELAHNYA)

A.    Pengertian Pertumbuhan dan Pembinaan
1.      Pertumbuhan à Per-tumbuh-an
Tumbuh adalah bertambah besar atau berkembang”
“Pertumbuhan adalah hal (keadaan) tumbuh; perkembangan (kemajuan)”[1]
2.      Pembinaan à Pe-bina-an
Bina adalah mengusahakan supaya lebih baik (sempurna, maju dan sebagainya)”
Pembinaan adalah usaha atau tindakan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk memperoleh hasil yang lebih baik”[2]
Dalam pembahasan ini pembinaan adalah usaha atau langkah-langkah yang dilakukan oleh para tokoh untuk membawa ilmu hadis untuk senantiasa mengalami pertumbuhan dari masa ke masa. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya pertumbuhan merupakan hasil dari pembinaan oleh para tokoh melalui langkah-langkah tertentu.
B.     Karakteristik Pertumbuhan dan Pembinaan Ilmu Hadis Pada Masa Nabi, Sahabat, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan Masa Setelah Tabi’it Tabi’in
1.      Masa Nabi Muhammad SAW
Sudah menjadi kebiasaan dan kebutuhan bagi umat Islam pada masa Nabi masih hidup untuk menanyakan secara langsung permasalahan-permasalahan yang mereka jumpai sebagai upaya untuk mendapatkan jawaban dan konfirmasi atas permasalahan-permasalahan mereka tersebut. Dengan adanya hal semacam ini, tidak ditemukan kasus pemalsuan hadis sedikitpun pada masa ini. Mereka selalu mengkonfirmasikan secara langsung kepada Nabi jika mendapatkan informasi bahkan hadis yang disandarkan kepada beliau yang meragukan yang mereka dapatkan dari orang lain.
Pada masa ini ilmu hadis belumlah dikenal secara khusus oleh umat Islam, namun demikian hal di atas secara tidak langsung menjadi landasan bahwa pada masa ini telah muncul dasar dari ilmu hadis yaitu perlunya pemeriksaan dan penelitian berita dan hadits yang disampaikan oleh seseorang, cara memelihara, dan cara menyampaikannya kepada orang lain. Apakah pembawa berita memenuhi persyaratan sebagai perawi yang dapat diterima pemberitannya atau tidak? Selain itu juga terdapat landasan lain berupa ayat Al-Qur’an sebagai berikut:[3]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
Artinya: “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
2.      Masa Sahabat
Pada masa ini para sahabat lebih berpusat pada upaya pengkodifikasian Al-Qur’an sepeninggalan Nabi Muhammad SAW dari pada periwayatan hadis, oleh karena itu masa ini disebut dengan masa taqlil ar-riwayat (pembatasan periwayatan hadis). Di samping itu pada masa ini juga terjadi konflik politik antara Ali dan Muawiyah yang mengakibatkan bermunculannya hadis-hadis yang hanya menguntungkan kelompok-kelomok tertentu saja. Untuk menyikapi hal ini, para sahabat tidak akan meriwayatkan hadits kecuali disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah SAW.[4] Inilah yang menunjukkan bahwa ilmu hadis sudah mulai dirambah walaupun hanya sebatas pemikiran saja dan belum terumuskan secara khusus sebagai sebuah ilmu.
3.      Masa Tabi’in
Sebagai upaya untuk mengatasi maraknya pemalsuan hadis di kalangan masyarakat dilakukan berbagai upaya oleh ulama seperti; pengujian keabsahan hadis dan mewajibkan untuk menyertakan sanad bagi siapa saja yang mendapat hadis.
Kewajiban untuk menyertakan sanad dalam periwayatan hadis menjadi landasan bahwa ilmu hadis sudah mulai nampak pada masa ini, walaupun hanya sebatas lisan dari mulut ke mulut saja dan belum tertulis secara sistematis.
Pada masa ini muncul diantaranya yang namanya ilm jarh wa ta`dil. dan juga muncul istilah-istilah yang dikenal dalam ilmu hadis sekarang seperti; munqothi, muttashil, illat, dlobith, tahammul wa ada, nasikh dan mansukh, gharib al hadits dan lain-lain.
Baru ketika pada pertengahan abad ke-2 sampai dengan ke-3 H ilmu hadits mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang sederhana dan masih menyatu dengan ilmu-ilmu lain, belum berdiri sendiri. Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushul fiqh dan fiqih.[5]
4.      Masa Tabi’it Tabi’in
Sejalan dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadits, perkembangan penulisan ilmu hadits juga pesat. Walaupun pada masa ini penulisan ilmu hadis sudah tidak tercampur dengan ilmu-ilmu lain, penulisan ilmu hadits masih terpisah-pisah belum menyatu menjadi satu ilmu yang berdiri sendiri. Ia masih dalam bentuk bab-bab saja.
5.      Masa Setelah Tabi’it Tabi’in
Pada masa ini ilmu hadis sudah berdiri sendiri tidak terpisah-pisah seperti sebelumnya pada abad ke-4 H. Orang yang pertama kali memunculkan ilmu hadis secara paripurna dan berdiri sendiri adalah Al-Qadhi Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar-Ramahurmuzi. Oleh karena itu pada masa ini perkembangan ilmu hadis mencapai puncak kematangannya.[6]

Perbedaan antara pertumbuhan dan pembinaan ilmu hadits pada pembahasan di atas banyak di pengaruhi oleh keadaan lingkungan sosial, budaya dan politik pada masanya serta intensitas kebutuhan umat Islam akan perlunya ilmu hadits.


[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), cet. 3
[2] Ibid.
[3] Abdul Majid Khon, Ulum Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009)
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid