I.
PENDAHULUAN
Semua agama yang diturunkan Allah SWT ke muka bumi
(agama wahyu), menempatkan tauhid di tempat yang pertama dan utama, karena itu
setiap rasul yang diutus Allah SWT mengemban tugas untuk menanamkan, tauhid
kedalam jiwa umatnya, mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menyembah,
mengabdi dan berbakti kepadanya, melarang mereka menyekutukan Allah dalam
bentuk apapun, baik zat, sifat, maupun af’alnya.
Misi risalah semacam ini pulalah yang diemban oleh
Nabi Muhammad SAW, karena itu, tema sentral setiap da’wah dan seruannya adalah
tauhid, bahkan, pada awal masa kerasulannya adalah tauhid, selama dimekah,
beliau memfokuskan perhatian kepada pembinaan tauhid ini sehingga semua
aktifitas da’wahnya diarahkan ke masalah tauhid, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun
pada periode mekkah pun berisi masalah-masalah ketauhidan beliau dan baru pada
masa madinah diarahkan kepada pembinaan hokum-hukum Allah, itu tanpa
meninggalkan, bahkan untuk memperkokoh tauhid.
Mendahulukan dan mengutamakan aspek aqidah (tauhid) di
dalam risalah Nabi Muhammad SAW daripada aspek hukum, bukan saja karena tauhid
merupakan dasar pokok ajaran islam dan fondasi yang didirikan di atasnya. Bangunan-bangunan
hukum atau moral, dan sebagainya, tetapi juga karena hokum-hukum Allah tersebut
tidak akan bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik dan benar tanpa keimanan
yang kuat dan kokoh, penerimaanm penghayatan dan pengamalan terhadap hukum-hukum
tuhan haya bisa terwujud dengan baik jika seseorang memiliki keimanan yang
kuat. Sebaliknya, hukum-hukum tuhan juga diperlukan untuk memantapkan
ketauhidan seseorang, makin baik seseorang melaksanakan hukum-hukum tersebut,
makin kuat bertambah imannya dengan demikian aqidah (tauhid) dan hukum
(syari’at) mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dan tak
terpisahkan.
Pada zaman rasul SAW, sampai masa pemerintahan usman
bin affan (644,656M, problem ketauhidan (teologis) di kalangan umat islam belum
muncul problem ini baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib
(656-661M) dengan munculnya beberapa kelompok atau aliran karena perbedaan
pendapat dalam masalah tahkim antara Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan,
gubernur Syam, pada waktu perang shiffin.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pengertian Istilah Murji’ah
B.
Sejarah Kemunculan Aliran Murji’ah
C.
Kelompok-kelompok Aliran Murji’ah
D.
Ajaran dan Perkembangan Aliran Murji’ah
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istilah Murji’ah
Murji’ah secara etimologi memiliki arti:
1.
التأخير : Mengakhirkan.
2.
الخوف : Takut.
3.
Angan-angan.
4.
Memberi.
5.
Mengharap.[1]
Firman Allah Ta’ala dalam surat
An Nisa’, ayat 104:
وَتَرْجُوْنَ مِنَ الله ِمَالَا
يَرْجُوْنَ
“Sedang kamu mengharap dari Allah apa yang
tidak mereka harapkan."
Dan firman-Nya dalam Surat Nuh, ayat 13:
مَا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ لله َوَقَارًا
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah."
Secara terminologi para ulama berbeda pendapat tentang
ketepatan dalam mengartikan kalimat Murji’ah,
secara ringkas kalimat Murji’ah adalah:
1.
Al Irja’ : Mengakhirkan amal dari Iman.
Al Bagdadi
berkata : “Mereka dikatakan Murji’ah dikarenakan mereka mengakhirkan amal dari
pada iman.”[2]
Al fayaumy
berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak memberi hukuman kepada seseorang
di dunia akan tetapi mereka mengakhirkan hukuman tersebut hingga datangnya hari
kiamat.”[3]
2.
Al Irja’
diambil dari bahasa yang berarti “ta’khir dan imhal“ (mengakhirkan dan meremehkan). Irja’
semacam ini adalah irja’ (mengakhirkan) amal dalam derajat iman
serta menempatkannya pada posisi kedua berdasarkan iman dan dia bukan menjadi bagian dari iman itu
sendiri, karena iman secara majaz, di dalamnya tercakup amal. Padahal
amal itu sebenarnya merupakan pembenar dari iman itu sendiri sebagaimana yang
telah diucapkan kepada orang–orang yang mengatakan bahwa perbuatan maksiat itu
tidak bisa membahahayakan keimanan sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat bagi
orang kafir.
Pengertian seperti ini tercakup juga didalamnya orang-orang yang mengakhirkan
amal dari niat dan tashdiq (pembenaran).
3.
Pendapat yang lain mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan irja’ adalah
mengakhirkan hukuman kepada pelaku dosa besar sampai datangnya hari
kiamat yang mana dia tidak akan diberi balasan atau hukuman apapun ketika masih
berada di dunia.
4.
Sebagian mereka ada
yang mengartikan irja’ dengan
perkara yang terjadi pada Ali, yaitu dengan memposisikan Ali pada peringkat
ke-empat dalam tingkatan sahabat. Atau mengakhirkan (menyerahkan) urusan Ali
dan Utsman kepada Allah subhanahu
wata’alla serta tidak menyatakan bahwa mereka berdua beriman atau kafir.[4]
B.
Sejarah Kemunculan Aliran Murji’ah
Seperti halnya lahirnya firqoh khawarij, demikian juga
dengan kemunculan firqoh murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu
pemerintahan islam pindah ke Damaskus, maka mulai tampak kurang taatnya
beragama dikalangan Bani Umayah, berbeda dengan Khulafa’ur Rasyidin. Tingkah
laku penguasa tampak semakin kejam, sementara umat islam bersikap diam saja.
Timbul persoalan: “Bolehkah umat islam berdiam saja dan wajibkah taat kepada
khalifah yang dianggap dzalim?” Orang murji’ah berpendapat bahwa seorang muslim
boleh saja shalat dibelakang seorang yang shaleh ataupun dibelakang orang
fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk terserah kepada Allah SWT. Soal ini
mereka tangguhkan sampai kiamat dan karena itu pulalah mereka dinamakan dengan
golongan murji’ah.
Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan murji’ah memang
sangat menguntungkan penguasa Bani Umayah. Sebab dengan demikian berarti
membendung kemungkinan terjadinya pemberontakan terhadap Bani Umayah. Sekalipun
pembantu-pembantunya itu kejam, lagi pula mereka tetap masih muslim juga.[5]
Golongan
Murji’ah ini lahir di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah. Pada awal mulanya Irja’ muncul untuk mengcounter paham Khawarij yang mengkafirkan Hakamain (dua orang yang memutuskan perkara dalam masalah Ali dan
Muawiyah), juga untuk mengcounter Ali bin Abi
Thalib. Irja’ semacam ini bukanlah
irja’ yang bersangkutan dengan iman, akan tetapi mereka hanya membicarakan
tentang perkara dua kelompok yang berperang di antara para sahabat saja.
Dalam sejarah kemunculannya didapatkan bahwa orang yang
pertama kali membicarakan masalah Irja’
adalah Al Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah, beliau meninggal pada tahun
99 H.[6]
Dan setiap orang yang mengisahkan riwayat hidupnya akan menyebutkan tentang permasalahan Irja’
beliau.
Ibnu Sa’ad berkata: “Al Hasan adalah orang yang pertama kali
mengatakan tentang irja’.
Dikisahkan bahwa Zadzan dan Maisarah datang kepadanya dan langsung mencelanya,
lantaran sebuah buku yang ia tulis tentang irja’, maka Al Hasan berkata pada Zadzan: "Wahai Abu
Umar, sungguh aku lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak
menulis buku tersebut.”
Buku yang ditulis oleh Al Hasan ini hanyalah Irja’ tentang
sahabat yang ikut serta dalam fitnah (red: perselisihan) yang terjadi
setelah wafatnya Syaikhani (Abu Bakar dan Umar).
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam buku yang telah diterbitkan menegaskan bahwa
yang dimaksud dengan Irja’ yang dibawa oleh Al Hasan adalah Irja’
yang tidak dicela oleh Ahlus Sunnah, yaitu Irja’ yang berkaitan dengan
iman, hal tersebut Ibnu Hajar menegaskan berdasarkan pada kitab yang dikarang
oleh Al Hasan bin Muhammmad. Di akhir kitab "Al Iman", karangan Ibnu
Abi Umar dikatakan: "Telah
diceritakan oleh Ibrahim bin
Uyainah dari Abdul Wahid bin Ayman bahwa
Al Hasan bin Muhammad menyuruhku untuk membacakan kitabnya kepada khalayak, yang bunyinya sebagai
berikut:
“Amma ba'du. Kami wasiatkan kepada Anda sekalian agar bertakwa
pada Allah, kemudian dia berwasiat tentang kitabullah dan agar mengikutinya
serta menyebutkan keyakinannya lalu dia berkata pada akhir-akhir wasiatnya:
"Kami telah mengangkat Abu Bakar dan Umar
sebagai khalifah dan kami berjihad di masa mereka berdua, karena
keduanya belum pernah dibunuh oleh ummatnya bahkan ummatnya tidak merasa ragu
terhadap urusan-urusan mereka. Sedangkan orang–orang setelahnya yang berselisih
maka kami akhirkan (posisi) mereka dan kami serahkan urusannya kepada Allah
……. ."
Inilah Irja’ yang telah dikatakan oleh Al Hasan bin
Muhammad, dan permasalahan tersebut telah
dikuatkan oleh Ibnu Hajar.[7]
C.
Kelompok-kelompok Aliran Murji’ah
Dalam perjalanan sejarah,
aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok
ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Kelompok
moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murji’ah diatas. Kelompok ekstrem
terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok, seperti Al-Jahamiyah, Ash-Shalihiyah,
Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan
Al-Karamiyah.
Al-Jahamiyah di pelopori oleh
Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT,
rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya,
kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah
mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari
Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal
yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah
berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan
neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
Al-Yunusiyah adalah pengikut
Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari
pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur
kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada
Tuhan, melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan
jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh
Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah.
Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman,
semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat,
banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak
atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
As-Shalihiyah diambil dari
nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah,
golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada
Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak
bertambah dan tidak berkurang.
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai
prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan
bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui
sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui
adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya
syari’at.
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi.
Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan
menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
Al-Marisiyah di pelopori oleh
Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa
tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di
ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan
lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
Al-Karamiyah yang perintisnya
adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan
secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya
sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.[8]
Sebagai aliran yang berdiri
sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun
demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat
Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai
pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang
umum disepakati oleh umat Islam.
D.
Ajaran dan Perkembangan Aliran Murji’ah
Apabila yang
menjadi asas golongan Mu’tazilah ialah : “Ushulul Khamsah”, dan golongan syi’ah
yang berasas tentang “Imamah”, maka asas golongan Murji’ah tentang batasan
pengertian “Iman”.
Amin
menerangkan :
فكثير
من المرجئه كنوا يرون الايمان هو التصديق بالقلب فقط. او بعبارة أخرى هو معرفة
الله بقلبه ولا عبرة
بالمظهر فإن أمن بقلبه فهو مؤمن مسلم وإن أظهر يهودية ونصرانية وإن لم ينطق لسانه بشهادتين
وليس الإقرار بلسان ولا الأعمال من صلاة وصوم ونحوهما جزأً من الإيمان
“Kebanyakan
golongan murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati
saja. Atau dengan kata lain iman adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan hati,
bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka ia
adalah mu’min dan muslim, sekalipun lahirnya dia mnyerupai orang yahudi dan
nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat.
Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti solat, puasa dan
sebagainya,itu bukan sebagian dari pada iman”.[9]
Adapun mengenai
orang yang lalai dalam menunaikan kewjiban-kewajiban atau dia melakukan dosa
besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh murji’ah berpendapat: tidaklah mungkin
menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini. Hal itu haruslah ditangguhkan
(diserahkan saja) kepada tuhan untuk menentukannya di hari kiamat.
Dari paham
inilah timbulnya istilah “murji’ah”, yang berasal dari kata “arja” yang berarti
“memberikan harapan untuk mendapatkan kemaafan”. Dan berdasarkan pada itu
pulalah mereka berkata bahwa perbuatan maksiat itu tidak merusak iman,
sebagaimana ketaatan tidak pula bermanfaat jika disertai dengan kekafiran.
Apabila seseorang meninggal dalam kepercayaan tauhid, maka dosa dan kejahatannya
tidak memberikan madhorot terhadapnya.
Gassan Al kufi, tokoh murji’ah beranggapan :
......ان الاىمان هو المعرفة بالله تعالى
وبرسوله والاقداربما انزل الله, وبما جاء به الرسول في الجملة دون التفصيل
والايمان لايزيد ولاينقص.
......
“Iman adalah mengenal Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui apa-apa yang telah
diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh Rasul-Nya. Karena, Iman itu tidak dapat
bertambah atau berkurang”.
Penadapat ini
bertentangan dengan pendapat Ahli-ahli hadis, sebab mereka ini berpendapat
bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang lantaran bertambah atau
berkurangnya ketaatan.
Allah berfirman :
وإذا
تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا ( الآنفال)
“
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka ayat-ayat ini menambah
iman mereka”. (QS. Al-Anfal :2)
Golongan
Mu’tazilah dan Khowarij sangat menentang golongan Murjiah tentang pengertian
iman karena kedua golongan tersebut mensyaratkan iman dengan melaksanakan taat
kepada Allah, menjauhi hal-hal yang maksiat, dan mereka menjadikan amal perbuatan
sebagian dari pada iman. Golongan Khowarij menganggap kafir orang yang
melakukan dosa besar, dan golongn Mu’tazilah menganggapnya berada dalam suatu
posisi diantara dua posisi, tidak mu’min dan tidak juga kafir. Sedangkan
golongsn Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tetap mu’min.
Tentang orang
yang berdosa besar , ada beberapa pendapat:
Golongan
Mu’tazilah dan Khowarij berpendapat bahwa : orang yang berdosa besar itu kekal
dalam neraka, tidak akan dikeluarkan selama-lamanya, berdasarkan ayat :
ÆtBur ÄÈ÷èt ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtur ¼çnyrßãn ã&ù#Åzôã #·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
" Dan barangsiapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan"(QS. An-Nisa’: 14).
`tBur
ö@çFø)t $YYÏB÷sãB
#YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù
ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur
£tãr&ur ¼çms9
$¹/#xtã $VJÏàtã ÇÒÌÈ
“ Dan
Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah
Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya”(QS. An-Nisa’: 93).
Golongan
Murji’ah menta’wilkan kedua ayat tersebut :
a.
Ayat pertama ; bahwa orang yang bermaksiat kepada Allah dan
Rasul-Nya itu tetap mu’min, tidak melapaui had- had-Nya, tetapi hanya sebagian saja. Orang
yang melampaui atau melanggar had-had-Nya, itu dinamakn orang kafir.
b.
Ayat kedua ; bahwa yang dimaksud membunuh (manusia) dalam ayat
tersebut ialah orang kafir.
Sebenarnya
pendirian-pendirian golongan murji’ah yang lunak tentang iman, tidak ekstrim
seperti golongan-golongan mu’tazilah dan khowarij, dan bersifat arja’, menangguhkan
ketentuan hukum orang yang berdosa besar, maka diketahui bahwa waktu itu banyak
penguasa yang berbuat maksiatdan dosa, karenanya pendapat-pendapat murji’ah
tersebut bertendensi politis.[10]
Beberapa
pokok pemikiran dan ajaran aliran murji’ah antara lain:
1.
Iman itu adalah tashdiq saja atau pengetahuan hati saja atau
iqrar saja.
2.
Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam
bagiannya.
3.
Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
4.
Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan Mu’min kamilul Iman
( mukmin yang sempurna imannya) sebagaimana sempurnanya tashdiq mereka
(tidak dapat tergoyahkan dengan apapun) dan di akhirat kelak ia tidak akan
masuk neraka.
5.
Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat
melihatnya diakhirat nanti. (Ini seperti pemahaman Mu’tazilah)
6.
Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka
Imamnya itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy.
(dalam masalah ini pemahamannya seperti Khawarij).
7.
Bodoh kepada Allah itu adalah kufur kepada-Nya.[11]
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
terpenting dalam golongan Murji'ah adalah aspek iman dan kemudian amal. Inilah
yang kemudian dijadikan inti dari doktrin ajaran Murji'ah Ekstrim dan Moderat.
Adapun pemikiran yang ada dalam ajaran Murji'ah
Ekstrim bahwa iman adalah pengakuan dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Murji'ah
Ekstrim berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa
besar sekalipun menyatakan kekufurannya secara lisan. Sedangkan menurut ajaran
Murji'ah Moderat, bahwa iman itu merupakan pengakuan dalam hati (tasdiq bi
al-qalb) dan pengakuan dengan lidah (iqrar bi al-lisan). Murji'ah Moderat
berpendapat bahwa pelaku dosa besar menurut mereka tidak kafir dan tidak kekal
dalam neraka. Kalau Tuhan mengampuninya ia bebas dari neraka, kalau tidak
mendapat ampunan maka ia masuk neraka.
V.
PENUTUP
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua
bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu
tauhid yang sedang kita pelajari bersama ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian
maupun kekurangan-kekurangan penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah
dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun
sangatlah penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Berawal dari
semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan
mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita
dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Cet I, Juz II, Libanon:
Darul Fikr, 1984.
Al Fayumi, Al Misbah Al Munir, Libanon: Maktabah Libanon, 1987.
Al Lalikai, Syarh Al Usul Al
I’tiqad, Juz I, Kairo: Maktabah
layyinah, 1993.
Amin, Ahmad, Dhuha
Al-Islam, Juz III, Cet. VII, Kairo: Maktabah Nahdhah Al-Mishriyyah, TT.
Asy-Syahrastaniy,
Al-Milal Wa Al-Nihal Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, Surabaya:
PT. Bina Ilmu, 2004.
Az Zawii, At Tahiir Ahmad, Tartib Al
Qamus Al Muhith, Cet ke IV, Jus II, Arab Saudi: Darul Alam Al Kutub-Riyadh, 1996.
Ghalib, Firaaqul Mu’ashirah, Cet. I, Juz II, Libanon:
Dar Al-Manar, 1993.
Nasir,
Sahirun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010.
No comments:
Post a Comment