SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

ALIRAN MURJI'AH


I.             PENDAHULUAN
Semua agama yang diturunkan Allah SWT ke muka bumi (agama wahyu), menempatkan tauhid di tempat yang pertama dan utama, karena itu setiap rasul yang diutus Allah SWT mengemban tugas untuk menanamkan, tauhid kedalam jiwa umatnya, mengajak mereka supaya beriman kepada Allah, menyembah, mengabdi dan berbakti kepadanya, melarang mereka menyekutukan Allah dalam bentuk apapun, baik zat, sifat, maupun af’alnya.
Misi risalah semacam ini pulalah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW, karena itu, tema sentral setiap da’wah dan seruannya adalah tauhid, bahkan, pada awal masa kerasulannya adalah tauhid, selama dimekah, beliau memfokuskan perhatian kepada pembinaan tauhid ini sehingga semua aktifitas da’wahnya diarahkan ke masalah tauhid, ayat-ayat Al-Qur’an yang turun pada periode mekkah pun berisi masalah-masalah ketauhidan beliau dan baru pada masa madinah diarahkan kepada pembinaan hokum-hukum Allah, itu tanpa meninggalkan, bahkan untuk memperkokoh tauhid.
Mendahulukan dan mengutamakan aspek aqidah (tauhid) di dalam risalah Nabi Muhammad SAW daripada aspek hukum, bukan saja karena tauhid merupakan dasar pokok ajaran islam dan fondasi yang didirikan di atasnya. Bangunan-bangunan hukum atau moral, dan sebagainya, tetapi juga karena hokum-hukum Allah tersebut tidak akan bisa diterima dan dilaksanakan dengan baik dan benar tanpa keimanan yang kuat dan kokoh, penerimaanm penghayatan dan pengamalan terhadap hukum-hukum tuhan haya bisa terwujud dengan baik jika seseorang memiliki keimanan yang kuat. Sebaliknya, hukum-hukum tuhan juga diperlukan untuk memantapkan ketauhidan seseorang, makin baik seseorang melaksanakan hukum-hukum tersebut, makin kuat bertambah imannya dengan demikian aqidah (tauhid) dan hukum (syari’at) mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dan tak terpisahkan.
Pada zaman rasul SAW, sampai masa pemerintahan usman bin affan (644,656M, problem ketauhidan (teologis) di kalangan umat islam belum muncul problem ini baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661M) dengan munculnya beberapa kelompok atau aliran karena perbedaan pendapat dalam masalah tahkim antara Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam, pada waktu perang shiffin.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian Istilah Murji’ah
B.     Sejarah Kemunculan Aliran Murji’ah
C.     Kelompok-kelompok Aliran Murji’ah
D.    Ajaran dan Perkembangan Aliran Murji’ah

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian Istilah Murji’ah
Murji’ah secara etimologi  memiliki arti:
1.      التأخير  : Mengakhirkan.
2.      الخوف  : Takut.
3.      Angan-angan.
4.      Memberi.
5.      Mengharap.[1]
Firman Allah Ta’ala dalam surat  An Nisa’, ayat 104:
وَتَرْجُوْنَ مِنَ الله ِمَالَا يَرْجُوْنَ
“Sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan."
Dan firman-Nya dalam Surat Nuh, ayat 13:
مَا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ لله َوَقَارًا
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah."
Secara terminologi para ulama berbeda pendapat tentang ketepatan dalam mengartikan  kalimat Murji’ah, secara ringkas kalimat Murji’ah adalah:
1.      Al Irja’  : Mengakhirkan amal dari Iman.
Al Bagdadi berkata : “Mereka dikatakan Murji’ah dikarenakan mereka mengakhirkan amal dari pada iman.”[2]
Al fayaumy berkata: “Mereka adalah orang-orang yang tidak memberi hukuman kepada seseorang di dunia akan tetapi mereka mengakhirkan hukuman tersebut hingga datangnya hari kiamat.”[3]
2.      Al Irja’ diambil dari bahasa  yang berarti  ta’khir dan  imhal“ (mengakhirkan dan meremehkan). Irja’ semacam ini adalah irja’ (mengakhirkan) amal dalam derajat iman serta menempatkannya pada posisi kedua berdasarkan iman dan  dia bukan menjadi bagian dari iman itu sendiri, karena iman secara majaz, di dalamnya tercakup amal. Padahal amal itu sebenarnya merupakan pembenar dari iman itu sendiri sebagaimana yang telah diucapkan kepada orang–orang yang mengatakan bahwa perbuatan maksiat itu tidak bisa membahahayakan keimanan sebagaimana ketaatan tidak bermanfaat bagi orang kafir.
Pengertian seperti ini tercakup juga didalamnya orang-orang yang mengakhirkan amal dari niat dan tashdiq (pembenaran).
3.      Pendapat yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan irja’ adalah  mengakhirkan hukuman kepada pelaku dosa besar sampai datangnya hari kiamat yang mana dia tidak akan diberi balasan atau hukuman apapun ketika masih berada di dunia.
4.      Sebagian mereka ada yang  mengartikan irja’ dengan perkara yang terjadi pada Ali, yaitu dengan memposisikan Ali pada peringkat ke-empat dalam tingkatan sahabat. Atau mengakhirkan (menyerahkan) urusan Ali dan Utsman kepada  Allah subhanahu wata’alla serta tidak menyatakan bahwa mereka berdua beriman atau kafir.[4]


B.     Sejarah Kemunculan Aliran Murji’ah
Seperti halnya lahirnya firqoh khawarij, demikian juga dengan kemunculan firqoh murji’ah adalah dengan latar belakang politik. Sewaktu pemerintahan islam pindah ke Damaskus, maka mulai tampak kurang taatnya beragama dikalangan Bani Umayah, berbeda dengan Khulafa’ur Rasyidin. Tingkah laku penguasa tampak semakin kejam, sementara umat islam bersikap diam saja. Timbul persoalan: “Bolehkah umat islam berdiam saja dan wajibkah taat kepada khalifah yang dianggap dzalim?” Orang murji’ah berpendapat bahwa seorang muslim boleh saja shalat dibelakang seorang yang shaleh ataupun dibelakang orang fasiq. Sebab penilaian baik dan buruk terserah kepada Allah SWT. Soal ini mereka tangguhkan sampai kiamat dan karena itu pulalah mereka dinamakan dengan golongan murji’ah.
Dipandang dari sisi politik, pendapat golongan murji’ah memang sangat menguntungkan penguasa Bani Umayah. Sebab dengan demikian berarti membendung kemungkinan terjadinya pemberontakan terhadap Bani Umayah. Sekalipun pembantu-pembantunya itu kejam, lagi pula mereka tetap masih muslim juga.[5]
Golongan Murji’ah ini lahir di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah. Pada awal mulanya Irja’ muncul untuk mengcounter  paham Khawarij yang mengkafirkan Hakamain (dua orang yang memutuskan perkara dalam masalah Ali dan Muawiyah), juga untuk mengcounter Ali bin Abi Thalib. Irja’ semacam ini  bukanlah irja’ yang bersangkutan dengan iman, akan tetapi mereka hanya membicarakan tentang perkara dua kelompok yang berperang di antara para sahabat saja.
Dalam sejarah kemunculannya didapatkan bahwa orang yang pertama  kali membicarakan masalah Irja’ adalah Al Hasan bin Muhammad bin Hanafiyah, beliau meninggal pada tahun 99 H.[6] Dan setiap orang yang mengisahkan riwayat hidupnya akan  menyebutkan tentang permasalahan Irja’ beliau.
Ibnu Sa’ad berkata: “Al Hasan adalah orang yang pertama kali mengatakan  tentang irja’. Dikisahkan bahwa Zadzan dan Maisarah datang kepadanya dan langsung mencelanya, lantaran sebuah buku yang ia tulis tentang irja’, maka Al  Hasan berkata pada Zadzan: "Wahai Abu Umar,  sungguh aku  lebih suka mati dan aku dalam keadaan tidak menulis buku tersebut.”
Buku yang ditulis oleh Al Hasan ini hanyalah Irja’ tentang sahabat yang ikut serta dalam fitnah (red: perselisihan)  yang terjadi  setelah wafatnya Syaikhani (Abu Bakar dan Umar).
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam buku yang telah diterbitkan menegaskan bahwa yang dimaksud dengan Irja’ yang dibawa oleh Al Hasan adalah Irja’ yang tidak dicela oleh Ahlus Sunnah, yaitu Irja’ yang berkaitan dengan iman, hal tersebut Ibnu Hajar menegaskan berdasarkan pada kitab yang dikarang oleh Al Hasan bin Muhammmad. Di akhir kitab "Al Iman", karangan Ibnu Abi Umar  dikatakan: "Telah diceritakan oleh Ibrahim  bin Uyainah  dari Abdul Wahid bin Ayman bahwa Al Hasan bin Muhammad menyuruhku untuk membacakan kitabnya  kepada khalayak, yang bunyinya sebagai berikut:
“Amma ba'du. Kami wasiatkan kepada Anda sekalian agar bertakwa pada Allah, kemudian dia berwasiat tentang kitabullah dan agar mengikutinya serta menyebutkan keyakinannya lalu dia berkata pada akhir-akhir wasiatnya: "Kami telah mengangkat Abu Bakar dan Umar  sebagai khalifah dan kami berjihad di masa mereka berdua, karena keduanya belum pernah dibunuh oleh ummatnya bahkan ummatnya tidak merasa ragu terhadap urusan-urusan mereka. Sedangkan orang–orang setelahnya yang berselisih maka kami akhirkan (posisi) mereka dan kami serahkan urusannya  kepada Allah  ……. ."
Inilah Irja’ yang telah dikatakan oleh Al Hasan bin Muhammad, dan permasalahan tersebut telah  dikuatkan oleh  Ibnu Hajar.[7]

C.    Kelompok-kelompok Aliran Murji’ah
Dalam perjalanan sejarah, aliran ini terpecah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok moderat dan kelompok ekstrem. Tokoh-tokoh kelompok moderat adalah Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, Abu Hanifah (Imam Hanafi), Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Kelompok moderat tetap teguh berpegang pada doktrin Murji’ah diatas. Kelompok ekstrem terbagi lagi ke dalam beberapa kelompok, seperti Al-Jahamiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, Al-Ghailaniyah, As-Saubaniyah, Al-Marisiyah, dan Al-Karamiyah.
Al-Jahamiyah di pelopori oleh Jahm bin Safwan. Menurut paham ini, iman adalah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya, dan segala sesuatu yang datangnya dari Allah SWT. Sebaliknya, kafir yaitu tidak mempercayai hal-hal tersebut diatas. Apaila seseorang sudah mempercayai Allah SWT, rasul-rasul-Nya dan segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, berarti ia mukmin meskipun ia menyatakan dalam perbuatannya hal-hal yang bertentangan dengan imannya, seperti berbuat dosa besar, menyembah berhala, dan minum-minuman keras. Golongan ini juga meyakini bahwa surga dan neraka itu tidak abadi, karena keabadian hanya bagi Allah SWT semata.
Al-Yunusiyah adalah pengikut Yunus bin An-Namiri. Menurut golongan ini, iman adalah totalitas dari pengetahuan tentang Tuhan, kerendahan hati, dan tidak takabur; sedang kufur kebalikan dari itu. Iblis dikatakan kafir bukan karena tidak percaya kepada Tuhan, melainkan karena ketakaburannya. Mereka pun meyakini bahwa perbuatan jahat dan maksiat sama sekali tidak merusak iman.
Al-Ubaidiyah di pelopori oleh Ubaid Al-Muktaib. Pada dasarnya pendapat mereka sama dengan sekte Al-Yunusiyah. Pendapatnya yang lain adalah jika seseorang meninggal dalam keadaan beriman, semua dosa dan perbuatan jahatnya tidak akan merugikannya. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan memperbaiki posisi orang kafir.
As-Shalihiyah diambil dari nama tokohnya, Abu Hasan As-Shalihi. Sama dengan pendapat Al-Jahamiyah, golongan ini berkeyakinan bahwa iman adalah semata-mata hanya ma’rifat kepada Allah SWT, sedangkan kufur (kafir) adalah sebaliknya. Iman dan kufur itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
As-Saubaniyah yang dipimpin oleh Abu Sauban mempunyai prinsip ajaran yang sama dengan paham Al-Ghailaniyah. Hanya mereka menambahkan bahwa yang termasuk iman adalah mengetahui dan mengakui sesuatu yang menurut akal wajib dikerjakan. Berarti, kelompok ini mengakui adanya kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui akal sebelum datangnya syari’at.
Al-Ghailaniyah di pelopori oleh Ghailan Ad-Dimasyqi. Menurut mereka, iman adalah ma’rifat kepada Allah SWT melalui nalar dan menunjukkan sikap mahabah dan tunduk kepada-Nya.
Al-Marisiyah di pelopori oleh Bisyar Al-Marisi. Menurut paham ini, iman disamping meyakini dalam hati bahwa tiada Tuhan selain Allah SWT dan Muhammad SAW itu rasul-Nya, juga harus di ucapkan secara lisan. Jika tidak di yakini dalam hati dan diucapkan dengan lisan, maka bukan iman namanya. Adapun kufur merupakan kebalikan dari iman.
Al-Karamiyah yang perintisnya adalah Muhammad bin Karram mempunyai pendapat bahwa iman adalah pengakuan secara lisan dan kufur adalah pengingkaran secara lisan. Mukmin dan kafirnya sesseorang dapat di ketahui melalui pengakuannya secara lisan.[8]
Sebagai aliran yang berdiri sendiri, kelompok Murji’ah ekstrem sudah tidak didapati lagi sekarang. Walaupun demikian, ajaran-ajarannya yang ekstrem itu masih didapati pada sebagian umat Islam. Adapun ajaran-ajaran dari kelompok Murji’ah moderat, terutama mengenai pelaku dosa-dosa besar serta pengertian iman dan kufur, menjadi ajaran yang umum disepakati oleh umat Islam.

D.    Ajaran dan Perkembangan Aliran Murji’ah
Apabila yang menjadi asas golongan Mu’tazilah ialah : “Ushulul Khamsah”, dan golongan syi’ah yang berasas tentang “Imamah”, maka asas golongan Murji’ah tentang batasan pengertian “Iman”.
Amin menerangkan :
فكثير من المرجئه كنوا يرون الايمان هو التصديق بالقلب فقط. او بعبارة أخرى هو معرفة الله بقلبه ولا عبرة بالمظهر فإن أمن بقلبه فهو مؤمن مسلم وإن أظهر يهودية ونصرانية وإن لم ينطق لسانه بشهادتين وليس الإقرار بلسان ولا الأعمال من صلاة وصوم ونحوهما جزأً من الإيمان
“Kebanyakan golongan murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Atau dengan kata lain iman adalah ma’rifat kepada Allah. Dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka ia adalah mu’min dan muslim, sekalipun lahirnya dia mnyerupai orang yahudi dan nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti solat, puasa dan sebagainya,itu bukan sebagian dari pada iman”.[9]
Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewjiban-kewajiban atau dia melakukan dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh murji’ah berpendapat: tidaklah mungkin menentukan hukum bagi orang itu di dunia ini. Hal itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kepada tuhan untuk menentukannya di hari kiamat.
Dari paham inilah timbulnya istilah “murji’ah”, yang berasal dari kata “arja” yang berarti “memberikan harapan untuk mendapatkan kemaafan”. Dan berdasarkan pada itu pulalah mereka berkata bahwa perbuatan maksiat itu tidak merusak iman, sebagaimana ketaatan tidak pula bermanfaat jika disertai dengan kekafiran. Apabila seseorang meninggal dalam kepercayaan tauhid, maka dosa dan kejahatannya tidak memberikan madhorot terhadapnya.
Gassan Al kufi, tokoh murji’ah beranggapan :
......ان الاىمان هو المعرفة بالله تعالى وبرسوله والاقداربما انزل الله, وبما جاء به الرسول في الجملة دون التفصيل والايمان لايزيد ولاينقص.
...... “Iman adalah mengenal Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh Rasul-Nya. Karena, Iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang”.
Penadapat ini bertentangan dengan pendapat Ahli-ahli hadis, sebab mereka ini berpendapat bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang lantaran bertambah atau berkurangnya ketaatan.
Allah berfirman :
وإذا تليت عليهم آياته زادتهم إيمانا­ ( الآنفال)
 “ Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka ayat-ayat ini menambah iman mereka”. (QS. Al-Anfal :2)
Golongan Mu’tazilah dan Khowarij sangat menentang golongan Murjiah tentang pengertian iman karena kedua golongan tersebut mensyaratkan iman dengan melaksanakan taat kepada Allah, menjauhi hal-hal yang maksiat, dan mereka menjadikan amal perbuatan sebagian dari pada iman. Golongan Khowarij menganggap kafir orang yang melakukan dosa besar, dan golongn Mu’tazilah menganggapnya berada dalam suatu posisi diantara dua posisi, tidak mu’min dan tidak juga kafir. Sedangkan golongsn Murji’ah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tetap mu’min.
Tentang orang yang berdosa besar , ada beberapa pendapat:
Golongan Mu’tazilah dan Khowarij berpendapat bahwa : orang yang berdosa besar itu kekal dalam neraka, tidak akan dikeluarkan selama-lamanya, berdasarkan ayat :
ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ  

" Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan"(QS. An-Nisa’: 14).
`tBur ö@çFø)tƒ $YYÏB÷sãB #YÏdJyètGB ¼çnät!#tyfsù ÞO¨Yygy_ #V$Î#»yz $pkŽÏù |=ÅÒxîur ª!$# Ïmøn=tã ¼çmuZyès9ur £tãr&ur ¼çms9 $¹/#xtã $VJŠÏàtã ÇÒÌÈ 
 “ Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya”(QS. An-Nisa’: 93).
Golongan Murji’ah menta’wilkan kedua ayat tersebut :
a.       Ayat pertama ; bahwa orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya itu tetap mu’min, tidak melapaui had-    had-Nya, tetapi hanya sebagian saja. Orang yang melampaui atau melanggar had-had-Nya, itu dinamakn orang kafir.
b.      Ayat kedua ; bahwa yang dimaksud membunuh (manusia) dalam ayat tersebut ialah orang kafir.
Sebenarnya pendirian-pendirian golongan murji’ah yang lunak tentang iman, tidak ekstrim seperti golongan-golongan mu’tazilah dan khowarij, dan bersifat arja’, menangguhkan ketentuan hukum orang yang berdosa besar, maka diketahui bahwa waktu itu banyak penguasa yang berbuat maksiatdan dosa, karenanya pendapat-pendapat murji’ah tersebut  bertendensi politis.[10]
Beberapa pokok pemikiran dan ajaran aliran murji’ah antara lain:
1.      Iman itu adalah tashdiq saja atau pengetahuan hati saja atau iqrar saja.
2.      Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam bagiannya.
3.      Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
4.      Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan Mu’min kamilul Iman ( mukmin yang sempurna imannya) sebagaimana sempurnanya tashdiq mereka (tidak dapat tergoyahkan dengan apapun) dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
5.      Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan Allah tidak dapat melihatnya diakhirat nanti. (Ini seperti pemahaman Mu’tazilah)
6.      Sesungguhnya Imamah itu tidak wajib, kalaupun Imamah itu ada, maka Imamnya itu boleh datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari Quraisy. (dalam masalah ini pemahamannya seperti Khawarij).
7.      Bodoh kepada Allah itu adalah kufur kepada-Nya.[11]











IV.      KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang terpenting dalam golongan Murji'ah adalah aspek iman dan kemudian amal. Inilah yang kemudian dijadikan inti dari doktrin ajaran Murji'ah Ekstrim dan Moderat.
Adapun pemikiran yang ada dalam ajaran Murji'ah Ekstrim bahwa iman adalah pengakuan dalam hati (tasdiq bi al-qalb). Murji'ah Ekstrim berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir karena melakukan dosa besar sekalipun menyatakan kekufurannya secara lisan. Sedangkan menurut ajaran Murji'ah Moderat, bahwa iman itu merupakan pengakuan dalam hati (tasdiq bi al-qalb) dan pengakuan dengan lidah (iqrar bi al-lisan). Murji'ah Moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar menurut mereka tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka. Kalau Tuhan mengampuninya ia bebas dari neraka, kalau tidak mendapat ampunan maka ia masuk neraka.

V.          PENUTUP
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu tauhid yang sedang kita pelajari bersama ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Berawal dari semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin





DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al Asqalani, Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, Cet I, Juz II, Libanon: Darul Fikr, 1984.
Al Fayumi, Al Misbah Al Munir, Libanon: Maktabah Libanon, 1987.
Al Lalikai, Syarh Al Usul Al I’tiqad, Juz I, Kairo: Maktabah layyinah, 1993.
Amin, Ahmad, Dhuha Al-Islam, Juz III, Cet. VII, Kairo: Maktabah Nahdhah Al-Mishriyyah, TT.
Asy-Syahrastaniy, Al-Milal Wa Al-Nihal Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2004.
Az Zawii, At Tahiir Ahmad, Tartib Al Qamus Al Muhith, Cet ke IV, Jus II, Arab Saudi: Darul Alam Al Kutub-Riyadh, 1996.
Ghalib, Firaaqul Mu’ashirah, Cet. I, Juz II, Libanon: Dar Al-Manar, 1993.
Nasir, Sahirun A., Pemikiran Kalam (Teologi Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.

No comments:

Post a Comment