PENDAHULUAN
Al-Hâsyimiy mendefinisikan ilmu badî‘ sebagai ilmu untuk
mengetahui model-model dan kelebihan-kelebihan yang dapat menghiasi dan
memperindah kalâm, setelah kalâm itu sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi,
atau ilmu untuk mengetahui aspek-aspek keindahan
sebuah kalimat yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Pembahasan ilmu badi’ melihat aspek keindahan (muhassinât) suatu
ungkapan. Jika aspek keindahan terletak pada makna suatu
kalimat atau ungkapan, maka dinamakan dengan al-muhassinat al-ma’nawiyyah.
Sedangkan jika aspek keindahannya terletak pada lafadz-nya, maka
dinamakan dengan muhassinat al-lafdziyyah.
Membuat ungkapan yang indah dapat dilakukan dengan menggunakan
berbagai gaya bahasa. Salah satunya adalah dengan menggunakan gaya bahasa musyakalah.
Musyakalah termasuk kedalam al-huhassinat al-ma’nawiyyah, karena
musyakalah bersangkutan dengan keindahan makna.
Rumusan
masalah
1.
Pengertian
musyakalah
2.
Macam musyakalah
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
musyakalah
Musyakalah merupakan
bentuk masdar dari kata “شاكل”. Secara leksikal kata
tersebut bermakna “saling membentuk”.[1]
Sedangkan kata “المشاكلة”
sendiri secara bahasa mempunyai arti “menyamai atau
mengimbangi”.[2]
Secara terminologis makna musyakalah yang dikemukakan oleh Ahmad al-Hasyimi dalam
kitab Jawahirul Balaghoh adalah sebagai berikut:
المشاكلة هي أن يذكر الشيء بلفظ غيره
لوقوعه في صحبته
Artinya:
“Menuturkan suatu makna dengan menggunakan kata lain, yang mana kedudukannya berfungsi sebagai pengimbang.”
Menurut Al-Akhdhari
dalam kitab Jauharul Maknun menyatakan musyakalah adalah:
المشاكلة هي ذكر الشيء بلفظ غيره
لوقوعه في صحبته تحقيقا أو تقديرا
“Yaitu menyebutkan
sesuatu dengan menggunakan lafadz lain, karena sesuatu tersebut bersamaan
dengan lafadz lain tersebut dalam kenyataannya atau dalam perkiraannya.”[3]
.....إِنْ كُنْتُ
قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا فِي
نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ
“Engkau mengetahui apa
yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib". (QS.
Al-Maidah: 116)
Secara hakiki, memang tidak cocok
menghubungkan kata نَفْسٌ
kepada Allah,
sebab Allah tidak mempunyai nafs seperti makhluk-Nya. Tetapi untuk
mengimbangi kata نَفْسٌ
pada kalimat pertama, digunakan kata نَفْسك pada kalimat
kedua. Dengan gaya musyakalah, kalimat itu seharusnya dipahami (ولا أعلم ما
عندك) yang artinya dan
aku tidak mengetahui apa yang ada di sisi-Mu.[4]
Musyakalah merupakan
bagian dari muhassinat al-ma’nawy, walaupun dalam pembahasannya juga berkisar pada masalah lafadz. Hal demikian
dikarenakan musyakalah adalah memindah makna dari satu lafadz ke lafadz
lain yang berbeda.
Penggunaan musyakalah dimaksudkan
untuk
menunjukkan makna yang indah dan dapat menimbulkan
kekaguman.[5]
B. Macam musyakalah
Tertera pada
kitab balaghoh ‘arobiyyah musyakalah terbagi kedalam dua macam, yaitu:
1.
Tahqiqoh
Yaitu musyakalah yang mushahibnya
disebutkan secara lafadz. Contohnya adalah sebagai berikut:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ
الظَّالِمِينَ
"Dan Balasan
suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa," (QS. As-Syura: 40)
Pada hakikatnya balasan untuk suatu tindakan kejahatan bukanlah dengan
menggunakan kejahatan serupa, akan tetapi dengan memberikan hukuman adil yang sesuai
dengan batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. Pemberian hukuman tersebut
dimaksudkan sebagai tindakan untuk mengambil hak keadilan selaku sebagai orang
yang disakiti. Maka tidaklah berdosa bagi seseorang yang mengambil haknya, baik
dengan mengambil sendiri ataupun melalui pengadilan.
Pada ayat balasan dari suatu tindak
kejahatan berupa hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut. Adapun di dalam
ayat ini “hukuman” yang dinyatakan dengan menggunakan kata (سيئة) merupakan bentuk
ungkapan musyakalah, karena lafadz سيئة yang kedua berkedudukan
sebagai pengimbang dari lafadz سيئة yang pertama.
3ytGôã$#
öNä3øn=tæ
(#rßtFôã$$sù
Ïmøn=tã
È@÷VÏJÎ/
$tB
ytGôã$#
öÇÊÒÍÈ Nä3øn=tæ
Barangsiapa yang menyerang
kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. (QS. Al-Baqoroh: 194)
Balasan dari serangan tersebut
adalah mengambil hak serang, karena hal itu merupakan sanksi dari sebuah
serangan. Tetapi mengibaratkan “mengambil hak” menggunakan lafadz serangan
merupakan bentuk dari musyakalah untuk menyeimbangkannya dengan lafadz
i’tida’ yang pertama.
2. Taqdiriyyah
Yaitu musyakalah yang mushohib
tidak disebutkan dalam bentuk kata (lafadz), dan di dalam ungkapan (kalam)
juga tidak terdapat tanda-tanda keberadaannya, namun berada di luar ungkapan.
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ
مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
Shibghah
Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya
kepada-Nya-lah Kami menyembah. (QS. Al-Baqarah: 138).
Allah
membenamkan kita ke dalam keimanan, artinya Allah mensucikan diri kita dengan
iman. Hal ini berlawanan dengan orang-orang nasrani yang membenamkan anak-anak
mereka ke dalam air yang berwarna kuning yang biasa disebut dengan air
pembaptisan. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut dapat mensucikan anak-anak
mereka.
Allah memerintahkan umat Islam untuk mengatakan kepada
mereka: “Kami beriman kepada Allah”. Allah membenamkan kami ke dalam
keimanan,bukan seperti yang kalian lakukan. Allah mensucikan kami dengan iman,
bukan seperti pensucian yang kalian lakukan terhadap anak-anak kalian.
Penyebutan iman kepada Allah dengan menggunakan lafadz صِبْغَةَاللَّهِ merupakanbentuk ungkapan musyakalah karena bertujuan
sebagai pengimbangkata النصارى صِبْغَةَ secara
taqdiriyyah (dikira-kirakan). Adapun qorinah yang ada dalam ayat
ini adalah qarinah haliyah (indikator situasional) yang berupa asbabun
nuzul (sebab diturunkannya) ayat ini, yaitu pemandian anak-anak orang
nasrani dengan air kuning.
[1] Mamat
Zainuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghoh, (PT. Refika
Aditama: Bandung, 2007), hlm. 160.
[2] Hidayat, Al-Balaghoh
Lil Jami’ Wasy-Syawahid min Kalami Al-Badi’ (Balaghoh untuk Semua), (PT.
Karya Toha Putra: Semarang, 2002). hlm. 156.
[3] M.
Sholehuddin shofwan, Pengantar memehami Nadzom jauharul Maknun Jus Tsalis,
(darul Hikmah: Jombang, 2008), hlm. 53.
[4] Hidayat, Al-Balaghoh Lil Jami’
Wasy-Syawahid min Kalami Al-Badi’ (Balaghoh untuk Semua), (PT. Karya Toha
Putra: Semarang, 2002), 157
[5] Balaghoh ‘arobiyyah
No comments:
Post a Comment