SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

مشاكلة



PENDAHULUAN

Al-Hâsyimiy mendefinisikan ilmu badî‘ sebagai ilmu untuk mengetahui model-model dan kelebihan-kelebihan yang dapat menghiasi dan memperindah kalâm, setelah kalâm itu sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, atau ilmu untuk mengetahui aspek-aspek keindahan sebuah kalimat yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Pembahasan ilmu badi’ melihat aspek keindahan (muhassinât) suatu ungkapan. Jika aspek keindahan terletak pada makna suatu kalimat atau ungkapan, maka dinamakan dengan al-muhassinat al-ma’nawiyyah. Sedangkan jika aspek keindahannya terletak pada lafadz-nya, maka dinamakan dengan muhassinat al-lafdziyyah.
Membuat ungkapan yang indah dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai gaya bahasa. Salah satunya adalah dengan menggunakan gaya bahasa musyakalah. Musyakalah termasuk kedalam ­al-huhassinat al-ma’nawiyyah, karena musyakalah bersangkutan dengan keindahan makna.
Rumusan masalah
1.      Pengertian musyakalah
2.      Macam musyakalah
PEMBAHASAN
A.    Pengertian musyakalah
Musyakalah merupakan bentuk masdar dari kata “شاكل”. Secara leksikal kata tersebut bermakna “saling membentuk”.[1] Sedangkan kata “المشاكلةsendiri secara bahasa mempunyai arti “menyamai atau mengimbangi”.[2]
Secara terminologis makna musyakalah yang dikemukakan oleh Ahmad al-Hasyimi dalam kitab Jawahirul Balaghoh adalah sebagai berikut:
المشاكلة هي أن يذكر الشيء بلفظ غيره لوقوعه في صحبته
Artinya:
“Menuturkan suatu makna dengan menggunakan kata lain, yang mana kedudukannya berfungsi sebagai pengimbang.”
Menurut Al-Akhdhari dalam kitab Jauharul Maknun menyatakan musyakalah adalah:
المشاكلة هي ذكر الشيء بلفظ غيره لوقوعه في صحبته تحقيقا أو تقديرا
“Yaitu menyebutkan sesuatu dengan menggunakan lafadz lain, karena sesuatu tersebut bersamaan dengan lafadz lain tersebut dalam kenyataannya atau dalam perkiraannya.”[3]
.....إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلامُ الْغُيُوبِ
“Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib". (QS. Al-Maidah: 116)
Secara hakiki, memang tidak cocok menghubungkan kata نَفْسٌ kepada Allah, sebab Allah tidak mempunyai nafs seperti makhluk-Nya. Tetapi untuk mengimbangi kata نَفْسٌ pada kalimat pertama, digunakan kata نَفْسك pada kalimat kedua. Dengan gaya musyakalah, kalimat itu seharusnya dipahami (ولا أعلم ما عندك) yang artinya dan aku tidak mengetahui apa yang ada di sisi-Mu.[4]
Musyakalah merupakan bagian dari muhassinat al-ma’nawy, walaupun dalam pembahasannya juga berkisar pada masalah lafadz. Hal demikian dikarenakan musyakalah adalah memindah makna dari satu lafadz ke lafadz lain yang berbeda. Penggunaan  musyakalah  dimaksudkan untuk menunjukkan makna yang indah dan dapat menimbulkan kekaguman.[5]
B.     Macam musyakalah
Tertera pada kitab balaghoh ‘arobiyyah musyakalah terbagi kedalam dua macam, yaitu:
1.      Tahqiqoh
Yaitu musyakalah yang mushahibnya disebutkan secara lafadz. Contohnya adalah sebagai berikut:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
"Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa," (QS. As-Syura: 40)
Pada hakikatnya balasan untuk suatu tindakan kejahatan bukanlah dengan menggunakan kejahatan serupa, akan tetapi dengan memberikan hukuman adil yang sesuai dengan batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. Pemberian hukuman tersebut dimaksudkan sebagai tindakan untuk mengambil hak keadilan selaku sebagai orang yang disakiti. Maka tidaklah berdosa bagi seseorang yang mengambil haknya, baik dengan mengambil sendiri ataupun melalui pengadilan.
Pada ayat balasan dari suatu tindak kejahatan berupa hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut. Adapun di dalam ayat ini “hukuman” yang dinyatakan dengan menggunakan kata (سيئة) merupakan bentuk ungkapan musyakalah, karena lafadz سيئة yang kedua berkedudukan sebagai pengimbang dari lafadz سيئة yang pertama.

           3ytGôã$# öNä3øn=tæ (#rßtFôã$$sù Ïmøn=tã È@÷VÏJÎ/ $tB ytGôã$# öÇÊÒÍÈ Nä3øn=tæ
Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. (QS. Al-Baqoroh: 194)
Balasan dari serangan tersebut adalah mengambil hak serang, karena hal itu merupakan sanksi dari sebuah serangan. Tetapi mengibaratkan “mengambil hak” menggunakan lafadz serangan merupakan bentuk dari musyakalah untuk menyeimbangkannya dengan lafadz i’tida’ yang pertama.

2. Taqdiriyyah
            Yaitu musyakalah yang mushohib tidak disebutkan dalam bentuk kata (lafadz), dan di dalam ungkapan (kalam) juga tidak terdapat tanda-tanda keberadaannya, namun berada di luar ungkapan.

صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
Shibghah Allah, dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. (QS. Al-Baqarah: 138).
Allah membenamkan kita ke dalam keimanan, artinya Allah mensucikan diri kita dengan iman. Hal ini berlawanan dengan orang-orang nasrani yang membenamkan anak-anak mereka ke dalam air yang berwarna kuning yang biasa disebut dengan air pembaptisan. Mereka mengatakan bahwa hal tersebut dapat mensucikan anak-anak mereka.
Allah memerintahkan umat Islam untuk mengatakan kepada mereka: “Kami beriman kepada Allah”. Allah membenamkan kami ke dalam keimanan,bukan seperti yang kalian lakukan. Allah mensucikan kami dengan iman, bukan seperti pensucian yang kalian lakukan terhadap anak-anak kalian. Penyebutan iman kepada Allah dengan menggunakan lafadz صِبْغَةَاللَّهِ merupakanbentuk ungkapan musyakalah karena bertujuan sebagai pengimbangkata النصارى صِبْغَةَ secara taqdiriyyah (dikira-kirakan). Adapun qorinah yang ada dalam ayat ini adalah qarinah haliyah (indikator situasional) yang berupa asbabun nuzul (sebab diturunkannya) ayat ini, yaitu pemandian anak-anak orang nasrani dengan air kuning.


[1] Mamat Zainuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghoh, (PT. Refika Aditama: Bandung, 2007), hlm. 160.
[2] Hidayat, Al-Balaghoh Lil Jami’ Wasy-Syawahid min Kalami Al-Badi’ (Balaghoh untuk Semua), (PT. Karya Toha Putra: Semarang, 2002). hlm. 156.

[3] M. Sholehuddin shofwan, Pengantar memehami Nadzom jauharul Maknun Jus Tsalis, (darul Hikmah: Jombang, 2008), hlm. 53.

[4] Hidayat, Al-Balaghoh Lil Jami’ Wasy-Syawahid min Kalami Al-Badi’ (Balaghoh untuk Semua), (PT. Karya Toha Putra: Semarang, 2002), 157
[5] Balaghoh ‘arobiyyah

No comments:

Post a Comment