I.
PENDAHULUAN
Dalam tata bahasa Indonesia terdapat jenis
kalimat yang menyatakan hubungan sebab-akibat. Dalam disiplin ilmu nahwu
kalimat tersebut dikenal dengan istilah jumlah syarthiyyah, yaitu jumlah
yang terdiri dari syarat dan jawab/jaza. Dalam bahasa
Indonesia, sebuah kalimat terdiri dari sebab dan akibat akan kurang bisa
dipahami atau mempunyai pengertian lain
jika salah satu dari keduanya dibuang.
Contoh: jika hujan turun maka banjir
datang. Kalimat tersebut menyatakan hubungan antara hujan dan banjir,
yaitu dengan kata hubung jika dan maka. Ketika frase“hujan
turun” dalam kalimat tersebut dibuang, akan membingungkan pembaca, atau
ketika frase “banjir datang” dibuang, kalimat tersebut tidak akan bisa
dipahami maksudnya.
Tetapi lain dengan Bahasa Arab, kesan
semacam itu tidak berlaku didalamnya, justru akan menambah keindahan sastra dan
kemudahan pemahamannya apabila syarat atau jawabnya dibuang/dihilangkan,
tentunya dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu.
Oleh
sebab itulah makalah ini dibuat. Makalah ini akan menjelaskan kaidah-kaidah
pembuangan syarat dan jawab serta berkumpulnya syarat
dengan qosam. Semoga bermanfaat dan selamat membaca!!!
A.
Membuang Fi’il Syarat
B.
Membuang Fi’il Jawab
C.
Membuang Fi’il Syarat dan Fi’il Jawab Secara Bersamaan
III.
PEMBAHASAN
A.
Membuang Fi’il Syarat
Contoh: تَكَلّمْ بخَيْرٍ، وإِلاَّ، فاسْكتْ
“Berbicaralah yang baik, jika tidak, diamlah”
Bentuk asalnya وإنْ لا تتكلَّمْ بخير فاسكت
“Jika kamu
tidak berbicara dengan baik, maka diamlah”
2.
Dan terkadang juga fi’il syarat dibuang jika jatuh setelah مَنْyang bersamaan
dengan لاَ.
Contoh: مَنْ يُسَلِّمْ عليك فسلّمْ عليه، ومَنْ لاَ، فلا تعْبأْ به
“Siapapun
yang mengucap salam kepadamu,maka ucapkanlah salam kepadanya, dan siapapun yang
tidak mengucap salam kepadamu,maka jangan kesal padanya”
3.
Dan ketika fi’il syarat dibuang hendaknya ketika jatuh setelah thalab.
Contoh: اجتهد تفرحْ(sungguh-sungguhlah,
kamu akan senang)
Bentuk
asalnyaاجتهد فإنْ
تجتهدتفرحْ
“Bersungguh-sungguhlah, maka jika kamu
bersungguh-sungguh kamu akan senang”
Adapun untuk
pembuangan syarat jarang sekali dilakukan oleh orang Arab.[2]
B.
Membuang Fi’il Jawab
Fi’il jawab
dibuang jika memang sudah ada qarinah (tanda) yang menunjukkan pada
fi’il jawab yang dibuang tersebut. Dalam pembuangan fi’il jawab ini terdapat
beberapa syarat, yaitu:
a.
Ketika fi’il syaratnya berupa fi’il madhi secara lafadz.[3]
Contoh: أنت فائِزٌ إنِ اجْتهدْت
“Kaulah orang yang berbahagia, jika kamu bersungguh-sungguh”
b.
Ketika fi’il syaratnya berupa fi’il mudhari’ yang bersamaan dengan لَمْ.
Contoh: أنت خاسِرٌ إنْ لمْ تَجْتهدْ
“Kamu adalah orang yang merugi jika tidak
bersungguh-sungguh”
c.
Ketika berkumpul dengan qasam
واحذفْ
لَدَى اجتماع شرطٍ وقسم جوابَ ما
أخَّرْتَ فهو ملتزم
“Manakala ada syarat dan qasam terhimpun
menjadi satu, maka buanglah jawab dari mana saja yang letaknya diakhirkan, hal
ini merupakan ketetapan yang diharuskan”
Masing-masing
dari syarat dan qasam membutuhkan jawab. Adapun ketika keduanya
terhimpun pada satu kalimat maka hanya diperlukan satu jawab saja dari keduanya
yang terletak paling akhir, karena keberadaannya sudah dapat dipahami dari
salah satunya saja.[4]
Sebagaimana contoh:
Membuang jawab qasam,
إنْ
قام زيدٌ واللهِ يقُمْ عمروٌ
“Apabila Zaid
telah berdiri, demi Allah, niscaya Amar akan berdiri pula”
Membuang jawab
syarat,
واللهِ
إنْ يقمْ زيدٌ لَيقوْمَنَّ عمروٌ
“Demi Allah, seandainya Zaid akan
berdiri, niscaya Amar pun benar-benar akan berdiri pula”
Dalam hal ini
disyaratkan jika syarat dan qasam tersebut tidak jatuh setelah lafadz
yang membutuhkan pada khabar. Namun apabila keduanya jatuh setelah lafadz yang
membutuhkan pada khabar, maka hanya satu jawab saja yang dibutuhkan. Adapun
predikat jawab tersebut bisa dijadikan sebagai jawabnya syarat maupun qasam.
Baik yang diawal itu berupa qasam maupun syarat.[5]
Seperti contoh:
زهيرٌ،
واللهِ إنْ يجتهد، لأُكْرِمَنَّه (أُكْرِمْه)
“Zuhair, demi Allah
jika dia bersungguh-sungguh ,maka aku benar-benar akan memuliakannya”
Adapun untuk
hukum pembuangan fi’il jawab disini ada dua, yaitu:
a.
Wajib
Pembuangan
fi’il jawab dihukumi wajib ketika adanya qarinah (tanda) yang
menunjukkan pada jawab secara makna.[6]
Contoh: أنت فائِزٌ إنِ اجْتهدْت
“Kaulah
orang yang berbahagia, jika kamu bersungguh-sungguh”
b.
Jawaz (boleh dibuang boleh tidak)
Pembuangan
fi’il jawab dihukumi jawaz ketika tidak adanya qarinah kecuali
fi’il syaratnya sendiri.
Contoh: فإنِ اسْتطَعْتَ أنْ تَبتَغِيَ نَفَقًا في الأرض أو سُلَّمًا في
السماء
“Jika kamu bisa mendapatkan nafkah di bumi atau memakai tangga untuk
ke langit”
Bentuk asalnya
adalah إنِ استطعْتَ
فافْعَلْ.
“Jika kamu bisa, maka lakukanlah”
Hukum
pembuangan fi’il jawab secara jawaz juga berlaku ketika fi’il syarat
menjadi jawaban dari sebuah kalam atau pertanyaan.
Contoh: أَتُكْرِمُ سعيدًا؟ => إن
يجْتَهد
“Apakah kamu akan memuliakan Sa’id? Jika dia bersungguh-sungguh”
Bentuk asalnya
adalah إن يجْتهد
أُكْرِمْه
“Jika dia bersungguh-sungguh, aku akan
memuliakannya”
Adapun untuk
pembuangan jawab banyak dilakukan oleh orang Arab, dibandingkan dengan
pembuangan syarat. Hal ini dikarenakan lebih kuatnya sabab (sebab) untuk
menunjukkan pada musabbab (akibat), tidak sebaliknya.[7]
C.
Membuang Fi’il Syarat dan Fi’il Jawab Secara Bersamaan
As-syekh Musthofa Al-ghulayini didalam kitabnya
Jami’ud Durus menuturkan, bahwa jawab dan syarat itu adakalanya dibuang secara
bersamaan. Akan tetapi hal ini hanya dikhususkan sebatas karena darurat sya’ir.
Seperti contoh:
قالتْ
بناتُ العمّ: ياسلمى, وإن كان فقيرا مُعْدِما؟ قالتْ: وإنْ
“Sepupu paman berkata: Wahai Salma, jika dia miskin sekali? Dia (Pr)
berkata: jika”
Yang bentuk lengkapnya adalah:
وإنْ كان
فقيرا مُعْدِمارضيته
“Jika dia
miskin sekali, aku ridho kepadanya”
Ternyata pembuangan ini juga diperbolehkan didalam
kalam Nasar, akan tetapi sedikit berlakunya. Dan dalam hal ini pun juga harus
terdapat dalil yang menunjukkan atas pembuangan tersebut, sebagaimana yang
telah disebutkan pada pembahasan masalah pembuangan salah satu dari syarat
maupun jawab. Contoh:
“Manusia akan dibalas sesuai dengan amal mereka,
jika baik, maka baik. Dan jika buruk, maka buruk”
Yang bentuk asalnya adalah:
إن عملوا خيرا فيجزَوْن خيرا, وإنْ عملوا شرّا
فيجزَونَ شرّا
“Jika mereka mengerjakan kebaikan, maka mereka akan dibalas dengan
kebaikan, dan jika mereka memngerjakan keburukan, maka meeka akan dibalas
dengan keburukan”
IV.
KESIMPULAN
Syarat boleh dibuang jika:
a. jatuh setelah إِنْyang di idgham-kan
pada لاَ
b.
jatuh setelah مَنْyang bersamaan dengan لاَ.
c. jatuh setelah thalab.
Jawab boleh dibuang jika:
a. fi’il syaratnya
berupa fi’il madhi secara lafadz
b. fi’il syaratnya
berupa fi’il mudhari’ yang bersamaan dengan لَمْ.
c. berkumpul
dengan qasam.
Syarat dan jawab dibuang bersamaan karena darurat
sya’ir.
Hukum pembuangan
fi’il jawab:
a. Pembuangan
fi’il jawab dihukumi wajib ketika adanya qarinah (tanda) yang
menunjukkan pada jawab secara makna.
b. Pembuangan
fi’il jawab dihukumi jawaz ketika tidak adanya qarinah kecuali
fi’il syaratnya sendiri.
Jika Syarat berkumpul dengan
Qosam, maka hanya satu jawab yang dibutuhkan dalam kalimat itu.
V.
PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian dari
penulis dalam makalah ini mengenai “Pembuangan Fi’il Syarat dan Jawab serta
berkumpulnya syarat dengan qosam”, puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas
ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu nahwu yang sedang kita pelajari
bersama ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan
penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah di mungkinkan adanya, oleh
karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan demi
kebaikan bersama.
Berawal dari semua itu kami ucapkan
banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan mohon maaf atas segala
kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini
mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abdullah, Jamaluddin, Mughni Al-Labib ‘An Kutubi
Al-A’aarib, Jilid 2, Kairo: Dar As-Salam, 2008.
Al-Ghulayini,
Musthafa, Jami’ud Durus, Juz II, Bairut: Al-Maktabah Al-Asriyyah, 1973.
Hamdun, Ibnu, Hasyiah Ibn Hamdun, Juz
II, Semarang: Toha Putra, TT.
Hasyimi, Sayyid Ahmad, Qawa’idul As-Asiyah Al-Lughah
‘Arabiyah, Kairo: Maktabah Taufiqiyah, 1943.
Muhammad, Abu Abdillah, Ibnu ‘Aqil, Semarang:
Toha Putra, TT.
Ridha,Ali, Al-Marja’
Fi Al-Lughah Al-Arabiyyah Nahwuha Wa Sharfuha, Juz II, Bairut Dar Al-Fikr,
TT.
hatur nuhun
ReplyDeletevery nice content
ReplyDeleteItu dalilnya di kitab apa aja ya mas
ReplyDelete