SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

Membuang syarat atau jawab serta bertemunya syarat dengan sumpah (حذف الشرط والجواب واجتماع الشرط بالقسم)



I.             PENDAHULUAN
Dalam tata bahasa Indonesia terdapat jenis kalimat yang menyatakan hubungan sebab-akibat. Dalam disiplin ilmu nahwu kalimat tersebut dikenal dengan istilah jumlah syarthiyyah, yaitu jumlah yang terdiri dari syarat dan jawab/jaza. Dalam bahasa Indonesia, sebuah kalimat terdiri dari sebab dan akibat akan kurang bisa dipahami atau mempunyai pengertian lain   jika salah satu dari keduanya dibuang.
Contoh: jika hujan turun maka banjir datang. Kalimat tersebut menyatakan hubungan antara hujan dan banjir, yaitu dengan kata hubung jika dan maka. Ketika frase“hujan turun” dalam kalimat tersebut dibuang, akan membingungkan pembaca, atau ketika frase “banjir datang” dibuang, kalimat tersebut tidak akan bisa dipahami maksudnya.
Tetapi lain dengan Bahasa Arab, kesan semacam itu tidak berlaku didalamnya, justru akan menambah keindahan sastra dan kemudahan pemahamannya apabila syarat atau jawabnya dibuang/dihilangkan, tentunya dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu.
 Oleh sebab itulah makalah ini dibuat. Makalah ini akan menjelaskan kaidah-kaidah pembuangan syarat dan jawab serta berkumpulnya syarat dengan qosam. Semoga bermanfaat dan selamat membaca!!!

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Membuang Fi’il Syarat
B.     Membuang Fi’il Jawab
C.     Membuang Fi’il Syarat dan Fi’il Jawab Secara Bersamaan

III.      PEMBAHASAN
A.    Membuang Fi’il Syarat
1.      Diperbolehkan fi’il syarat dibuang ketika jatuh setelah إِنْyang di idgham-kanpadaلاَ.[1]
Contoh:  تَكَلّمْ بخَيْرٍ، وإِلاَّ، فاسْكتْ
Berbicaralah yang baik, jika tidak, diamlah
Bentuk asalnya وإنْ لا تتكلَّمْ بخير فاسكت
Jika kamu tidak berbicara dengan baik, maka diamlah
2.      Dan terkadang juga fi’il syarat dibuang jika jatuh setelah مَنْyang bersamaan dengan لاَ.
Contoh:   مَنْ يُسَلِّمْ عليك فسلّمْ عليه، ومَنْ لاَ، فلا تعْبأْ به
Siapapun yang mengucap salam kepadamu,maka ucapkanlah salam kepadanya, dan siapapun yang tidak mengucap salam kepadamu,maka  jangan kesal padanya
3.      Dan ketika fi’il syarat dibuang hendaknya ketika jatuh setelah thalab.
Contoh:   اجتهد تفرحْ(sungguh-sungguhlah, kamu akan senang)
Bentuk asalnyaاجتهد فإنْ تجتهدتفرحْ
“Bersungguh-sungguhlah, maka jika kamu bersungguh-sungguh kamu akan senang”
Adapun untuk pembuangan syarat jarang sekali dilakukan oleh orang Arab.[2]

B.     Membuang Fi’il Jawab
Fi’il jawab dibuang jika memang sudah ada qarinah (tanda) yang menunjukkan pada fi’il jawab yang dibuang tersebut. Dalam pembuangan fi’il jawab ini terdapat beberapa syarat, yaitu:
a.       Ketika fi’il syaratnya berupa fi’il madhi secara lafadz.[3]
Contoh:   أنت فائِزٌ إنِ اجْتهدْت
Kaulah orang yang berbahagia, jika kamu bersungguh-sungguh
b.      Ketika fi’il syaratnya berupa fi’il mudhari’ yang bersamaan dengan لَمْ.
Contoh:   أنت خاسِرٌ إنْ لمْ تَجْتهدْ
“Kamu adalah orang yang merugi jika tidak bersungguh-sungguh
c.       Ketika berkumpul dengan qasam
واحذفْ لَدَى اجتماع شرطٍ وقسم    جوابَ ما أخَّرْتَ فهو ملتزم
“Manakala ada syarat dan qasam terhimpun menjadi satu, maka buanglah jawab dari mana saja yang letaknya diakhirkan, hal ini merupakan ketetapan yang diharuskan”
Masing-masing dari syarat dan qasam membutuhkan jawab. Adapun ketika keduanya terhimpun pada satu kalimat maka hanya diperlukan satu jawab saja dari keduanya yang terletak paling akhir, karena keberadaannya sudah dapat dipahami dari salah satunya saja.[4] Sebagaimana contoh:
Membuang jawab qasam,
إنْ قام زيدٌ واللهِ يقُمْ عمروٌ
“Apabila Zaid telah berdiri, demi Allah, niscaya Amar akan berdiri pula”
Membuang jawab syarat,
واللهِ إنْ يقمْ زيدٌ لَيقوْمَنَّ عمروٌ
“Demi Allah, seandainya Zaid akan berdiri, niscaya Amar pun benar-benar akan berdiri pula”
Dalam hal ini disyaratkan jika syarat dan qasam tersebut tidak jatuh setelah lafadz yang membutuhkan pada khabar. Namun apabila keduanya jatuh setelah lafadz yang membutuhkan pada khabar, maka hanya satu jawab saja yang dibutuhkan. Adapun predikat jawab tersebut bisa dijadikan sebagai jawabnya syarat maupun qasam. Baik yang diawal itu berupa qasam maupun syarat.[5] Seperti contoh:
زهيرٌ، واللهِ إنْ يجتهد، لأُكْرِمَنَّه (أُكْرِمْه)
“Zuhair, demi Allah jika dia bersungguh-sungguh ,maka aku benar-benar akan memuliakannya”
Adapun untuk hukum pembuangan fi’il jawab disini ada dua, yaitu:
a.       Wajib
Pembuangan fi’il jawab dihukumi wajib ketika adanya qarinah (tanda) yang menunjukkan pada jawab secara makna.[6]
Contoh:   أنت فائِزٌ إنِ اجْتهدْت
Kaulah orang yang berbahagia, jika kamu bersungguh-sungguh
b.      Jawaz (boleh dibuang boleh tidak)
Pembuangan fi’il jawab dihukumi jawaz ketika tidak adanya qarinah kecuali fi’il  syaratnya sendiri.
Contoh:   فإنِ اسْتطَعْتَ أنْ تَبتَغِيَ نَفَقًا في الأرض أو سُلَّمًا في السماء
Jika kamu bisa mendapatkan nafkah di bumi atau memakai tangga untuk ke langit”
Bentuk asalnya adalah إنِ استطعْتَ فافْعَلْ.
Jika kamu bisa, maka lakukanlah”
Hukum pembuangan fi’il jawab secara jawaz juga berlaku ketika fi’il syarat menjadi jawaban dari sebuah kalam atau pertanyaan.
Contoh: أَتُكْرِمُ سعيدًا؟ =>  إن يجْتَهد
Apakah kamu akan memuliakan Sa’id? Jika dia bersungguh-sungguh”
Bentuk asalnya adalah إن يجْتهد أُكْرِمْه
Jika dia bersungguh-sungguh, aku akan memuliakannya”
Adapun untuk pembuangan jawab banyak dilakukan oleh orang Arab, dibandingkan dengan pembuangan syarat. Hal ini dikarenakan lebih kuatnya sabab (sebab) untuk menunjukkan pada musabbab (akibat), tidak sebaliknya.[7]

C.    Membuang Fi’il Syarat dan Fi’il Jawab Secara Bersamaan
As-syekh Musthofa Al-ghulayini didalam kitabnya Jami’ud Durus menuturkan, bahwa jawab dan syarat itu adakalanya dibuang secara bersamaan. Akan tetapi hal ini hanya dikhususkan sebatas karena darurat sya’ir. Seperti contoh:
قالتْ بناتُ العمّ: ياسلمى, وإن كان فقيرا مُعْدِما؟ قالتْ: وإنْ
“Sepupu paman berkata: Wahai Salma, jika dia miskin sekali? Dia (Pr) berkata: jika”
Yang bentuk lengkapnya adalah:
وإنْ كان فقيرا مُعْدِمارضيته
“Jika dia miskin sekali, aku ridho kepadanya”
Ternyata pembuangan ini juga diperbolehkan didalam kalam Nasar, akan tetapi sedikit berlakunya. Dan dalam hal ini pun juga harus terdapat dalil yang menunjukkan atas pembuangan tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan pada pembahasan masalah pembuangan salah satu dari syarat maupun jawab. Contoh:
الناس مَجزِيونَ بأعمالهم: إنْ خيرا فخيرا, وإن شرّا فشرّا.[8]
“Manusia akan dibalas sesuai dengan amal mereka, jika baik, maka baik. Dan jika buruk, maka buruk”
Yang bentuk asalnya adalah:
إن عملوا خيرا فيجزَوْن خيرا, وإنْ عملوا شرّا فيجزَونَ شرّا
“Jika mereka mengerjakan kebaikan, maka mereka akan dibalas dengan kebaikan, dan jika mereka memngerjakan keburukan, maka meeka akan dibalas dengan keburukan”

IV.      KESIMPULAN
Syarat boleh dibuang jika:
a.       jatuh setelah إِنْyang di idgham-kan pada لاَ
b.      jatuh setelah مَنْyang bersamaan dengan لاَ.
c.       jatuh setelah thalab.
Jawab boleh dibuang jika:
a.       fi’il syaratnya berupa fi’il madhi secara lafadz
b.      fi’il syaratnya berupa fi’il mudhari’ yang bersamaan dengan لَمْ.
c.       berkumpul dengan qasam.
Syarat dan jawab dibuang bersamaan karena darurat sya’ir.
Hukum pembuangan fi’il jawab:
a.       Pembuangan fi’il jawab dihukumi wajib ketika adanya qarinah (tanda) yang menunjukkan pada jawab secara makna.
b.      Pembuangan fi’il jawab dihukumi jawaz ketika tidak adanya qarinah kecuali fi’il  syaratnya sendiri.
Jika Syarat berkumpul dengan  Qosam, maka hanya satu jawab yang dibutuhkan dalam kalimat itu.








V.          PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian dari penulis dalam makalah ini mengenai “Pembuangan Fi’il Syarat dan Jawab serta berkumpulnya syarat dengan qosam”, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu nahwu yang sedang kita pelajari bersama ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah di mungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Berawal dari semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin












DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdullah, Jamaluddin, Mughni Al-Labib ‘An Kutubi Al-A’aarib, Jilid 2, Kairo: Dar As-Salam, 2008.
Al-Ghulayini, Musthafa, Jami’ud Durus, Juz II, Bairut: Al-Maktabah Al-Asriyyah, 1973.
Hamdun, Ibnu, Hasyiah Ibn Hamdun, Juz II, Semarang: Toha Putra, TT.
Hasyimi, Sayyid Ahmad, Qawa’idul As-Asiyah Al-Lughah ‘Arabiyah, Kairo: Maktabah Taufiqiyah, 1943.
Muhammad, Abu Abdillah, Ibnu ‘Aqil, Semarang: Toha Putra, TT.
Ridha,Ali, Al-Marja’ Fi Al-Lughah Al-Arabiyyah Nahwuha Wa Sharfuha, Juz II, Bairut Dar Al-Fikr, TT.

3 comments: