SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

Makalah Dosa-dosa besar dan taubat



I.                  PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna. Walaupun demikian manusia takkan lepas dari kesalahan, kemaksiatan, serta perbuatan tercela. Tidak ada seorangpun yang ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa) kecuali orang yang dijaga oleh Allah untuk menyampaikan wahyu dan risalah-Nya. Oleh karena itu tidak ada alasan bagi kita untuk menghindari kesalahan dan tidak ada daya untuk menjauh dari kekeliruan. Dan hanya kepada Allah lah kita memohon perlindungan dari kesalahan serta kekeliruan.
Dan jika kita telah terlanjur terjerumus kedalam kemaksiatan, maka hendaklah kita segera sadar dan segera menyesali kesalahan kita kemudian bertaubat kepada Sang Pencipta dengan sebenar-benarnya taubat. Serta bertekad tidak akan terjerumus lagi kedalam kesalahan yang sama. Demi mendekatkan diri kepada-Nya serta meraih keridhoan-Nya dengan ketenangan jiwa dalam berjalan memunaikan ajaran-ajaran rasul-Nya.
Dan dalam makalah ini, kita akan membahas tentang dosa-dosa besar yang harus kita tinggalkan dan taubat serta syarat-syarat taubat itu dapat diterima.

II.               RUMUSAN MASALAH
A.    Definisi Dosa Besar
B.     Definisi dan Hukum Taubat
C.     Syarat-syarat dan Waktu Taubah

III.           PEMBAHASAN
A.    Definisi Dosa Besar
Dosa besar adalah setiap dosa yang mengharuskan adanya had didunia atau yang diancam oleh Allah dengan neraka atau laknat atau murka-Nya. Adapula yang berpendapat, dosa besar adalah setiap maksiat yang dilakukan seseorang dengan terang-terangan (berani) serta meremehkan dosanya.[1]

Contoh dosa besar adalah sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah SAW, yaitu:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اجْتَنِبُوْا السَبْعَ المُوْبِقَاتِ قَلُوْا يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَاهُنَّ؟ قَالَ الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِحْرُوَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ إِلَّا بِاالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الغَافِلَاتِ (أخرجه البخاري)                                                         
“Dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW bersabda: “jauhilah tujuh dosa yang sangat berbahaya”. Para sahabat bertanya: apakah tujuh dosa yang sangat berbahaya, Ya Rasululluah? Beliau bersabda: (1). Menyekutukan Allah, (2). Sihir, (3). Membunuh yang diharamkan oleh Allah, kecual;i yang dibenarkan, (4). Makan harta riba, (5). Makan harta anak yatim, (6). Mundur dari peperangan yamng sedang berkecamuk, dan (7). Menuduh zina muhshon kepada seorang perempuan mukmin yang tidak bersalah (perempuan-perempuan mukmin yang sudah bersuami). ” (H.R Bukhori).[2]

Hadis diatas merupakan contoh dari perbuatan dosa yang membahayakan, perbuatan keji yang merendahkan derajat dan yang telah mendapat ancaman keras serta siksa yang pedih.
Tujuh dosa besar yang wajib kita hindari adalah;
1.      Syirik
Syirik adalah lawan dari dari beriman kepada Uluhiyah Allah (keberadaan Allah sebagai satu-satunya sembahan yang haq) semata. Dan jika beriman kepada uluhiyah Allah semata dan mengesakan-NYA dalam beribadah merupakan kewajiban yang ter penting dan yang paling besar, maka syirik adalah perbuatan maksiat yang terbesar disisi Allah SWT. Sebagaimana hadis Rasulullah:
أَنْ تَجْعَلَ اللهِ نِدًا وَهُوَ خَلَقَك                                                      
“Yaitu manakala kamu mengadakan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang menciptakanmu.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).[3]

2.      Sihir
Mengerjakan sihir merupakan dosa besar. Sihir itu dapat membelokkan kepercayaan manusia, karena ia merupakan pengaburan, menipu pandangan, dan menutup kenyataan, memasang aling-aling atau menutup mata, menyesatkan masyarakat awam, serta menggoncangkan akidah mereka. Dan jika sihir itu disertai oleh pendekatan diri kepada syetan, maka kemadhorotannya semakin bertambah.
3.      Membunuh yang diharamkan oleh Allah, kecuali yang dibenarkan.
Membunuh yang diharamkan, yakni menghilangkan jiwa yang tak bersalah, itulah kejahatan keamanan dan ketentraman. Yang demikian itu dapat merisaukan masyarakat, menimbulkan perasaan takut dan memutuskan hubungan persaudaraan diantara mereka. Perbuatan dosa yang mengakibatkan para wanita menjadi yatim, menanamkan rasa pertengkaran dan permusuhan.
4.      Makan harta riba
Makan harta riba, yaitu: perbuatan yang di nilai suatu penganiayaan terhadap manusia dan dipandang menghabiskan harta (mengambil harta orang lain) dengan jalan tidak benar.
Pemakan riba senantiasa menanti masa kesusahan, dimana manusia jatuh dalam kesempitan, sepatutnya mereka harus diberi pertolongan dan bantuan. Tetapi kesempatan itulah digunakan untuk memperbungakan uangnya.[4]
Allah juga mengancam orang yang kembali memakan riba setelah mengetahui keharamannya bahwa ia akan menjadi penghuni neraka yang kekal.[5]
5.      Memakan harta anak yatim
Makan harta anak yatim termasuk dosa besar yang harus dihindari. Sebagai muslim mempunyai tugas-tugas, antara lain memberi makan dan minum anak yatim. Jika mereka berharta, hendaknya harta itu kita pelihara baik, selama mereka belum dewasa. Akan tetapi tidak sedikit jiwa-jiwa yang busuk dan rakus, yang menggunakan kesempatan dan menggunakan harta benda anak yatim yang masih kecil, yang keadaannya masih lemah.
6.      Mundur dari peperangan yang berkecamuk
Lari dari peperangan yang berkecamuk, tanda pengecut dan ketiadaan berani menghadang umat untuk kepentingan kebenaran. Perbuatan ini sangat dikecam oleh Allah. Dibolehkan mundur dari medan perang kalau hendak mengatur siasat penyerangan yang lebih menguntungkan atau karena menggabungkan diri dengan barisan yang terpisah atau terputus dari kita.
7.      Menuduh zina terhadap perempuan mukmin yang suci
Syara’ memandang keji benar pekerjaan menuduh seorang mukmin zina. Al-qur’an telah menerangkan bahwa seorang yang menuduh itu hendaknya mendatangkan empat orang saksi. Jika tidak dapat membawa empat orang saksi, hendaknya yang menuduh itu di jilid delapan puluh jilid dan ditolak segala rupa persaksiaan yang dilakukan sesudah ia menerima hukuman, yakni orang sudah dihukum karena perbuatan menuduh zina itu, tidak laku lagi jadi saksi.[6]
Dan di anggap dosa besar juga adalah durhaka kepada orang tua dan sumpah palsu, sebagaimana yang telah di terangkan dalam hadis di bawah ini:
عن أنسٍ رضِيَ اللهُ عنه قال سُئِلَ النبيُّ صلّى الله عليه وسلّم عن الكبائرِقال الإِشْراكُ بالله و عُقوقُ الوالدَيْنِ وقَتْلُ الّنفسِ وشَهادةُ الزُّوْرِ (أخرجه البخاري)
“Dari Anas ra berkata; Nabi SAW ditanya tentang apa itu dosa besar, Nabi Berkata: termasuk dosa besar adalah syirik kepada Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.” (H.R. Bukhori).[7]

a.       Durhaka kepada orang tua
Perbuatan durhaka yang mengingkari dan melupakan jasa-jasa baik dari orang tua yang telah bersusah payah mendidik dan mengasuh kita, sejak kita lahir sampai kita dewasa termasuk dosa besar.[8]
b.      Sumpah palsu
Sumpah palsu merupakan salah satu dosa besar, karena sumpah palsu itu memutar balik kenyataan yang benar, membodohi manusia, menyesatkan mereka dari kebenaran, menghilangkan kepercayaan di dalam pergaulan dan pembicaraan. Apalagi sumpah palsu itu merendahkan asma Allah dan sifat-sifatNya.[9]

B.     Definisi dan Hukum Taubat
1.  Definisi Taubat
Kata “at-taubah” dengat fathah pada ta’ dan sukun pada wau diambil dari kata “taub” yang terdiri dari huruf ta’-wau-ba’ memiliki makna “kembali”. Dari keterangan tersebut, taubat dari segi bahasa dapat diartikan kembali kepada Allah dari berbuat dosa.[10]
  Sedangkan menurut istilah taubat adalah meninggalkan dosa-dosa dan bertekad tidak melakukannya lagi, serta menyesali kesalahan yang telah lalu. Rasulullah SAW bersabda, الندم توبة “Penyasalan itu adalah taubat”, karena penyesalan itu muncul setelah mengetahui kesalahan.[11]
                        2.  Hukum Taubat      
Menurut pendapat para ulama, taubat hukumnya wajib.[12] Adapun bukti yang menunjukkan kewajiban taubat banyak sekali, salah satu diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam muslim, yaitu:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمْ أَنَّهُ قَالَ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِىْ بِيْ وَأَنَا مَعَهُ حَيْثُ يَذْكُرُنِىْ، وَ الله،ِ لَلهُ أَفْرَحُ بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ يَجِدُ ضَالَّتَهُ بِالْفَلَاةِ، وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا، وَمَنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا، تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِذَا أَقْبَلَ إِلَيّ يَمْشِيْ أَقْبَلْتُ إِلَيْهِ أَهَرْوِلُ (أخرجه مسلم)
Dari Abi Hurairah ra, dari Rasulullah SAW bersabda: “Allah Yang Maha Mulia dan Maha Besar berfirman: “Aku menurut hambaKu kepadaKu, dan Aku bersamanya ketika ia ingat kepadaKu. Demi Allah, sungguh Allah lebih suka kepada taubat hamba-Nya dari pada salah seorang diantaramu yang menemukan barangnya yang hilang di padang. Barang siapa yang mendekatkan diri kepadaKu sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta. Dan barang siapa mendekatkan diri kepadaKu sehasta, maka Aku mendekatkan diri kepadanya satu depa. Apabila ia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari kecil.” (H.R Muslim)

Dalam riwayat Imam Muslim diatas disebutkan, sesungguhnya Allah sangat gembira dengan taubat hamba-Nya melebihi kegembiraan seseorang yang menemukan barangnya yang hilang. Kemudian maksud dari pendekatan diri kepada-Nya dengan jarak adalah barang siapa yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ta’at maka Allah akan mendekatkan diri kepadanya dengan rahmat, taufiq, dan pertolongan.
Jika kita menambah ketaatan kita, maka Allah juga akan melipat gandakan rahmat dan taufiq-Nya kepada kita, sesuai dengan pendekatan kita kepada Allah. Tetapi Allah mendahului atau melebihi dalam pendekatan tersebut.[13]
Bahkan Rasulullah SAW pun bertaubat dan meminta ampun kepada Allah dengan beristighfar setiap hari walaupun beliau telah di janjikan surga oleh Allah dan ma’sum. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ بُرْدَةَ عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْمُهَاجِرِيْنَ يَقُوْلُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: يَاأَيُّهَا النَّاسُ تُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّيْ أَتُوْبُ إِلَى اللهِ وَأَسْتَغْفِرُهُ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ أَوْ أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ مَرَّةٍ (رواه أحمد).
“Dari Abi Bardah dari soerang lelaki muhajirin berkata: Saya mendengar Nabi SAW bersabda: Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan mohon ampunlah kalian kepada-Nya. Sesungguhnya saya bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya, seratus kali setiap hari atau lebih dari seratus kali” (H.R Ahmad).[14]

Kita sebagai manusia takkan luput dari kesalahan ataupun kekhilafan. Dari itu hendaklah kita mengintropeksi diri setiap hari, dan memohon ampun kepada Allah atas semua kesalahan kita. Dengan beristighfar dan memohon ampun atas dosa-dosa kita, serta berdoa meminta perlindungan kepada Allah dari yang tidak disenangi-Nya. Serta bertekad untuk selalu menjalankan ketaatan kepada-Nya.[15]

C.    Syarat-syarat dan Waktu Taubah
1.  Syarat-syarat Taubat
Taubat yang diterima adalah taubat yang lengkap syaratnya. Taubat memiliki tiga syarat, jika perbuatan dosanya tidak bersangkutan dengan manusia. Syarat-syarat tersebut adalah:
a.       Harus meninggalkan maksiat yang telah dilakukan.
b.      Menyesali perbuatannya.
c.       Bertekad tidak melakukan kembali perbuatan itu selama-lamanya.
Dan apabila dosa atau maksiat itu berhubungan dengan sesama manusia, maka syarat taubatnya ada empat, yaitu tiga syarat yang telah disebutkan, ditambah dengan membebaskan diri dari hak tersebut (orang lain), dengan cara:
a.       apabila berupa harta benda, maka harta itu harus
      dikembalikan kepada pemiliknmya.
b.      apabila berupa had qadzaf (menuduh zina) dan semisalnya,  
      maka kewajibannya menyerahkan diri kepada orang yang     
                                    punya hak atau meminta maafnya.
Apabila salah satu dari syarat itu tidak dipenuhi, maka taubatnya tidak sah. Dan hendaknya orang yang berbuat dosa meminta ampun atas segala dosanya. Jika dia hanya meminta ampun sebagian dosanya, maka menurut ulama taubatnya sah atas dosa tersebut, sedangkan dosa yang lainnya masih belum terampuni.[16]
2.      Waktu Taubat
      Tidak ada batasan waktu untuk bertaubat selama kita masih dapat bernafas, selama nyawa belum kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan, Allah akan menerima taubat kita. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ لَيَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالَم ْيُغَرْغِرْ (أخرجه إبن ماجه)

Dari Abdullah bin Umar, dari Nabi SAW, beliau bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Agung akan menerima taubat seseorang sebelum nyawa sampai ditenggorokan.”                     (H.R Ibnu Majah).[17]


D.   KESIMPULAN
Dari pembahan makalah ini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa yang termasuk dosa-dosa besar adalah syirik, sihir, membunuh yang di haramkan, memakn harta riba, makan harta anak yatim, lari dari medan peperangan yang sedang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita mukmin yang suci, durhaka kepada orang tua, dan sumpah palsu.
Taubat dari segi bahasa dapat diartikan kembali kepada Allah dari berbuat dosa. Sedangkan menurut istilah taubat adalah meninggalkan dosa-dosa dan bertekad tidak melakukannya lagi, serta menyesali kesalahan yang telah lalu.
Taubat wajib hukumnya, adapun syarat-syarat taubat telah dijelaskan sebelumnya. Tidak ada batasan waktu untuk bertaubat, sebelum ajal menjemput kita.

E.   PENUTUP
Syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT Sang Pemberi Kasih Sayang kepada hamba-Nya. Sehingga kita dapat belajar bersama tentang dosa-dosa besar dan taubat. Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran kami harapkan sebagai pelajaran bagi kami serta harapan untuk makalah setelah kami agar menjadi lebih sempurna dari makalah ini. Semoga apa yang kita pelajari bermanfaat bagi kita dihari ini ataupun mendatang. Amin.


















DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul, Tauhid Untuk Tingkat Pemula dan Lanjutan, Saudi Arabia: Departemen Agama, 2000.
Aziz, Muhammad Abdul, Al Adabun Nabawi, Semarang: CV. Wicaksana, 1989.
Bashori, Agus Hasan, Al Aqo’id, Jakarta: Yayasan Al Shofwa, 2001.
Fauzan, Saleh Al, Fiqih Sehari-hari, Jakarta:  Gema Insani, 2006.
Ghozali, Imam, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta: Pustaka Amani, 1995.
Haqiqi, Musthafa Syaikh Ibrahim, Tak Ada Kata Terlambat Untuk Bertobat, Solo: Abyan, 2007.
Majid,  Najahy dkk, Bidang Studi Syari’at Islam, Semarang: CV. Toha Putra, 1980.
Zakaria, Imam Abu, Terjemahan Riyadhus Sholihin, Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Zuhri, Muhammad, Kelengkapan Hadis Qudsi, Semarang: CV. Toha Putra, 1982.

No comments:

Post a Comment