I.
PENDAHULUAN
Sekarang
ini kawasan Arab dan dunia islam didera dengan kemunduran secara umum dalam pengusaan bahasa Arab. Semakin
gencarnya penggunaan bahasa pasaran (‘Amiyah)
dalam kehidupan sehari-hari dan rumitnya mempelajari bahasa arab dituding
menjadi alasan kebanyakan orang untuk mempelajari bahasa Arab yang baku dan
resmi.
Masalah
tersebut menjadi penting karena dalam dunia pendidikan khusunya, penggunaan
bahasa Arab yang baku sudah menjadi ketentuan umum. Lebih dari itu bahasa yang baku akan memudahkan untuk memahami
Al-quran dan As-sunah. Kemudian untuk mengetahui, mempelajari dan mendalami isi
Al-qur’an dan As-sunnah adalah mutlak harus mengetahui bahasa Arab yang benar.
Dan kunci untuk mempelajari bahasa Arab tersebut di samping ilmu Nahwu yaitu
ilmu Sharaf.
Pada
pembahasan makalah kali ini kita akan membahas mengenai i’lal. Hal ini
dipandang perlu untuk dipelajari, karena dengan adanya pemahaman mengenai i’lal,
seseorang dapat mengetahui asal bentuk suatu kata dalam bahasa Arab. Ini
dikarenakan pada kosa kata-kosa kata bahasa Arab banyak ditemukan perubahan,
dengan alasan untuk meringankan bacaan atau pelafalannya.[1]
Dengan
demikian pada kesempatan ini pemakalah akan menjelaskan tentang i’lal. Dengan harapan semoga makalah ini
bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan untuk mempelajari bahasa Arab.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa itu I’lal ?
B.
Bagaimana Pembagian I’lal ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian I’ilal
الإعلال هو تغيير حرف العلة للتخفيف سواء أكان التخفيف بالقلب أم
بالإسكان أم بالحذف.
I’lal adalah merubah huruf ‘ilat
untuk meringankan, baik dengan qolb (membalik), iskan (menyukun), hadzf
(membuang).
Sesuai dengan pengertiannya, i’ilal hanya mencakup
aktivitas-aktivitas (qalb, iskan, hadzf) yang berkenaan dengan huruf
‘ilat saja, tidak yang lain. Sedangkan pada pembahasan i’lal ada
satu huruf yang disamakan dengan huruf ‘ilat dalam hal proses peng-i’lal-an,
yaitu huruf hamzah.[2]
B.
Pembagian I’lal
1.
الإعلال
بالحذف
Pada bagian i’lal bil hadzfi ini huruf ‘ilat dibuang pada
tiga tempat, yaitu:
a.
Huruf mad yang setelahnya berupa huruf mati. Maka huruf ‘ilatnya
dibuang karena mencegah bertemunya dua huruf mati.
Contoh: (قُمْ = اُقْوُمْ ← اُقُوْمْ ← اُقُمْ ← قُمْ)
b.
Pada fi’il mu’tal akhir, maka huruf akhir fi’il amr-nya
yang mufrad dibuang.
Contoh: (اخْشَ = اِخْشيْ ← اخْشَ)
c.
Pada fi’il ma’lum bina’ mitsal wawi yang fi’il mudhari’nya mengikuti
wazan يَفْعِلُ,
maka wawu tersebut harus dibuang pada fi’il mudhari’, amar dan mashdarnya. Dengan
catatan pada masdar-nya fa’ fi’il-nya yang dibuang diganti
dengan ta’. [3]Contoh:
(يَعِدُ
= يَوْعِدُ ← يَعِدُ), (عِدَّةً = وِعْدًا ← عِدَّةً) dan (عِدْ = اِوْعِدْ ← اِعِدْ ← عِدْ )
2.
الإعلال باالإسكان
Kata at-taskiin disini mempunyai dua maksud, yaitu; pertama,
membuang harakat huruf ‘ilat. Kedua, memindah harakat huruf ‘ilat
pada huruf sebelumnya yang mati (berharakat sukun).[4]
a.
Ketika wawu atau ya’ bertempat pada akhir kata, dan terletak
setelah huruf yang berharakat, maka harakat wawu atau ya’ tersebut harus
dibuang (disukun), jika memang wawu atau ya’ tersebut berharakat
dhamah atau kasrah. Hal ini bermaksud untuk mencegah beratnya pe-lafazd-an.
Contoh: (يَدْعُوْ = يَدْعُوُ ← يَدْعُوْ) (على الْقَاضِيْ = الْقَاضِيِّ ← الْقَاضِيْ)
Dan jika wawu atau ya’ tersebut berharakat fathah, maka harakatnya
tidak dibuang (sukun).
Contoh: (لَنْ أَدْعُوَ إلى غير الحقِّ)
Adapun ketika wawu atau ya’ tersebut terletak setelah huruf yang
berharakat sukun, maka harakatnya ditetapkan (tidak disukun).[5]
Contoh: (شَرِبْتُ مِن دَلْوٍ)
b.
Pemindahan harakat ‘ain fi’il. Contoh: (يَقُوْمُ = يَقْوُمُ ← يَقُوْمُ)
Pada
i’lal pemindahan ‘ain fi’il ini, mempunyai enam syarat:
1)
Huruf sebelumnya harus berupa huruf shahih yang mati. Maka tidak
boleh meng-i’lal lafadz بَايَنَ.
2)
Tidak berbentuk shighat fi’il ta’ajub. Maka tidak boleh meng-i’lal
lafadz مَا
أَقْوَمَ.
3)
Tidak berupa fi’il mu’tal lam. Maka tidak boleh meng-i’lal lafadz
أَهْوَى.
5)
Tidak berupa mashdar yang mengikuti wazan مِفْعَلٌ، مِفْعَلةٌ، مِفْعَالٌ. Contoh:
(مِقْوَلٌ،
مِرْوَحَةٌ، مِكْيالٌ)
6)
Tidak berupa lafadz yang pada bentuk mujaradnya tidak dii’lal.
Contoh: (أَعْوَرَ yang bentuk mujaradnya adalah عَوِرَ)[7]
c.
Pemindahan harakat ‘ain isim yang mempunyai keserupaan dengan fi’il
mudhari’ dalam hal wazan atau tambahannya.
Contoh: (مُجِيْبٌ = مُجْوِبٌ ← مُجِوْبٌ ← مُجِيْبٌ) (تَبِيْعٌ = تَبْيِعٌ ← تَبِيْعٌ)
Pada contoh diatas lafadz مُجِيْبٌ mempunyai
keserupaan dengan fi’il mudhari’ dalam hal wazannya, dan تَبِيْعٌ dalam
hal tambahannya (ziyadah), maka dari itu keduanya dapat di’ilal.
Sedangkan apabila ada isim yang mempunyai keserupaan dengan fi’il
mudhari’ dalam hal wazan dan tambahan, maka tidak diperbolehkan untuk di’ilal,
seperti contoh أَقْوَمٌ.[8]
Contoh: (إِجَابَةٌ = إِجْوَابٌ ← إِجَوْابٌ ← إِجَاابٌ ← إِجَابَةٌ)
e.
Pemindahan harakat ‘ain isim maf’ulnya fi’il tsulasi mujarrad.[10]
Contoh: (مَقُوْلٌ = مَقْوُوْلٌ ← مَقُوْوْلٌ ← مَقُوْلٌ)
3.
الإعلال بالقلب
a.
Merubah wawu atau ya’ menjadi alif
Ketika huruf wawu atau ya’ berharokat (asli) dan
huruf sebelumnya itu berharokat fathah, maka wawu atau ya’
tersebut harus diganti menjadi alif.[11]
Contoh: (دَعَا = دَعَوَ ← دَعَا)
Adapun
syarat-syarat wawu atau ya’ bisa dirubah menjadi alif adalah:
1.
Ketika keduanya berada pada tempat ‘ain fi’il, dan huruf
setelah wawu atau ya’ tersebut
berharokat. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz بَيَانٌ.
2.
Huruf setelahnya tidak berupa alif, atau ya’ yang
ber-tasydid. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz فتيان atau
عَلَوِيٌّ.
3.
Keduanya tidak menjadi ‘ain fi’il dari wazan فَعِلَ yang
mu’tal lam. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz قَوِيَ atau
هَوِيَ.
4.
Tidak berkumpulnya dua proses peng-i’lal-an. Maka tidak
boleh mengi’lal lafadz (هَوَى = هَوَيَ)
5.
Tidak berupa ‘ain isim yang mengikuti wazan فَعَلَانٌ. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz حَيَوَانٌ.
6.
Tidak berupa ‘ain isim dari isim musyabihat yang berwazan أَفْعَلُ. Maka tidak boleh mengi’lal lafadz أَعْوَرُ.
7.
Tidak berupa wawu yang menjadi ‘ain fi’il dari wazan افْتَعَلَ yang menunjukkan makna musyarokah. Maka tidak
boleh mengi’lal lafadz اِجْتَوَرَ الْقَومُ.[12]
b.
Mengganti wawu atau ya’ menjadi hamzah
Penggantian wawu atau ya’ menjadi hamzah berlaku pada empat
keadaan, yaitu:
1.
Ketika wawu atau ya’ bertempat pada akhir kata, dan terletak
setelah alif tambahan. Contoh: (بِناءٌ = بِنايٌ ← بِناءٌ)
2.
Ketika keduanya (wawu atau ya’) menjadi ‘ain fi’il pada isim fa’il.
Contoh: (قَائِلٌ = قَاوِلٌ ← قَائِلٌ)
3.
Ketika keduaanya terletak setelah alif pada wazan مَفَاعِلُ dan
yang menyerupainya. Dan keduanya merupakan huruf tambahan pada bentuk
mufradnya. Contoh:
(عَجُوْزٌ ج عَجَائِزُ = عَجَاوِزُ ← عَجَائِزُ)
(صَحِيْفَةٌ ج صَحائِفُ = صَحايِفُ ← صَحائِفُ)
4.
Ketika ada dua huruf (dari salah satu wawu atau ya’)
yang ditengah-tengahi oleh alif, yaitu pada wazan مَفَاعِلُ.
c.
Merubah wawu menjadi ya’
I’lal
merubah wawu menjadi ya’ terdapat pada delapan tempat:
1.
Ketika berharakat sukun dan terletak setelah harakat kasroh.
Contoh: (مِيْزَانٌ = مِوْزَانٌ ← مِيْزَانٌ)
2.
Ketika menjadi huruf akhir dan terletak setelah harakat kasroh
Contoh: (رَضِيَ = رَضِوَ ← رَضِيَ).
3.
Ketika berada setelah ya’ tasghir.
Contoh: ("جَرْوٌ" جُرَيٌّ =
جُرَيْوٌ ← جُرَيٌّ)
4.
Ketika bertempat pada tengah kata, dan terletak diantara harakat
kasrah dan huruf Alif, yaitu pada isim mashdar bina’ ajwaf yang ‘ain fi’ilnya
dii’lal. Contoh: (قِيَامٌ = قِوَامٌ ← قِيَامٌ)
5.
Ketika menjadi ‘ain fi’il yang jatuh setelah harokat kasroh, yaitu
pada bentuk jama’ shohihul lam yang mengikuti wazan فِعَالٌ dan فِعَلٌ.
Contoh: (دَارٌ ج دِيَارٌ = دِوَارٌ ← دِيَارٌ) (قِيْمَةٌ ج قِيَمٌ = قِوَمٌ ← قِيَمٌ)
6.
Ketika berkumpulnya wawu dan ya’ dengan syarat huruf yang pertama
(dari wawu atau ya’ tersebut) berharakat sukun dan berupa huruf Asli (tidak
gantian), dan juga harakat sukunnya asli.
Contoh: (مَيِّتٌ = مَيْوِتٌ ← مَيِّتٌ)
Maka tidak
boleh mengi’lal lafadz-lafadz:
a)
Huruf yang pertama (dari wawu atau ya’ tersebut) berupa huruf
gantian (دِيْوَانٌ =
دِوَّانٌ).
b)
Harakan sukun huruf yang pertama tidak asli ("قَوْيَ"
تخفيف "قَوِيَ").
7.
Ketika berupa lam fi’il pada jama’ yang mengikuti wazan فًعُوْلٌ.
Contoh: (دَلْوٌ ج دُلُيٌّ = دُلُوْوٌ ← دُلُوْيٌ ← دُلُيْيٌ ← دُلُيٌّ)
8.
Ketika menjadi ‘ain fi’il pada jama’ yang mengikuti wazan فُعَّلٌ yang
shohih lam fi’ilnya. Contoh: (صَائِمٌ ج صُيَّمٌ = صُوَّمٌ ← صُيَّمٌ)
Dan juga boleh
men-tashhih-kannya (tidak dii’lal) menjadi صُوَّمٌ, dan inilah yang banyak dipakai.[14]
d.
Merubah ya’ menjadi wawu
I’lal
merubah ya’ menjadi wawu berada pada dua tempat, yaitu:
1.
Ketika berharokat sukun dan terletak setelah harokat dhamah
pada selain jama’ yang mengikuti wazan فُعْلٌ. Contoh:
(يُوْسِرُ =
يُيْسِرُ ← يُوْسِرُ)
2.
Ketika menjadi lam fi’il yang jatuh setelah harokat dhomah.[15]
Contoh: (نَهُوَ = نَهُيَ ← نَهُوَ)
e.
فَعْلَى dan فُعْلَى yang
mu’tal lam fi’ilnya:
a.
Wazan فَعْلَى
yang lam fi’ilnya berupa wawu, maka tidak di-i’ilal ketika berupa
isim (مَشْوَى)
dan sifat (دَعْوَى).
Sedangkan ketika berupa ya’, maka tidak di-i’ilal pada bentuk sifat (خَزْيَا) dan diganti menjadi wawu pada bentuk isim (تَقْوَى = تَقْيَا ← تَقْوَى).
b.
Wazan فُعْلَى
jika lam fi’ilnya berupa ya’, maka pada bentuk isim (فُتْيَا)dan sifat (وُلْيَا)
tidak di-i’lal. Dan jika berupa wawu, maka pada bentuk isim
(خُزْوَى) tidak di-i’lal,
sedangkan pada bentuk sifat diganti menjadi ya’ [16].(دُنْيَا
= دُنْوَى ← دُنْيَا)
f.
إعلال الألف
1.
Ketika alif jatuh setelah ya’ tasghir, maka diganti dengan ya’ dan
kemudian diidghomkan kepada ya’ tersebut.
Contoh: ("كِتَابٌ" كُتَيِّبٌ =
كُتَيْاِبٌ ← كُتَيْيِبٌ ← كُتَيِّبٌ).
2.
Ketika jatuh setelah kasroh, maka diganti dengan ya’.[17]
Contoh: (مِصْبَاحٌ ج مَصَابِيْحٌ = مَصَابِاحٌ ← مَصَابِيْحٌ).
3.
Dan ketika jatuh setelah dhomah, maka diganti wawu.[18]
Contoh: (شُوْهِدَ = شُاهِدَ ← شُوْهِدَ).
4.
إعلال الهمزة
a. Ketika
berkumpulnya dua hamzah dalam satu kalimah.
Jika
yang hamzah yang pertama berharakat, dan yang kedua mati (sukun), maka hamzah
yang kedua harus diganti dengan huruf mad yang sesuai dengan harkat hamzah yang
pertama.[19]
Contoh:
(آمَنَ
= أَأْمَنَ ← آمَنَ) (أُوْمِنُ = أُأْمِنُ ← أُوْمِنُ) (إِيْمانٌ = إِئْمانٌ ← إِيْمانٌ)
Dan
jika keduanya berharakat fathah, maka yang kedua diganti dengan wawu. Biasanya
terjadi saat pembuatan isim tafdhil. Contoh:
(أَنَّ
- أَوَنُّ = أَأْنَنُ ← أَأَنْنُ ← أَوَنْنُ ← أَوَنُّ)
Jika
yang kedua berharakat dhammah, dan terletak setelah hamzah mudhara’ah, maka
boleh menggantinya (hamzah kedua) dengan wawu. Dan apabila berharakat kasrah,
maka hamzah kedua boleh diganti dengan ya’. Atau boleh juga keduanya (hamzah
dhamah dan kasrah) ditetapkan.
Contoh: (أَؤُمُّ - أَوُمُّ) (أَئِنُّ - أَيِنُّ)
Namun apabila
terletak setelah selain hamzah mudhara’ah, maka hamzah yang kedua harus diganti
dengan huruf mad yang sesuai dengan harakat hamzah pertama. Contoh: (أَؤُبٌّ - أَوُبٌّ)
b. Jika berharakat
sukun dan terletak setelah huruf shahih selain hamzah, maka hamzah tersebut
boleh diganti dengan huruf mad yang sesuai dengan harakat huruf sebelumnya, dan
juga boleh menetapkannya.
Contoh: (رَأْسٌ = رَاسٌ) (سُؤْلٌ = سُوْلٌ) (بِئْرٌ = بِيْرٌ)
c. Jika bertempat
pada akhir kata dan terletak setelah wawu atau ya’ tambahan yang berharakat
sukun, maka boleh menetapkannya, atau menggantinya dengan wawu (jika terletak
setelah wawu) dan mengganti dengan ya’ (jika terletak setelah ya’).
Contoh: (وُضُوْءٌ = وُضُوٌّ) (مَرِيْءٌ = مَرِيٌّ)
Namun apabila
wawu atau ya’ tersebut adalah huruf asal, maka yang lebih utama adalah
menetapkannya. Contoh: (شَيْءٌ = شَيٌّ)
d. Jika berharakat
fathah dan berada pada tengah-tengah kata dan terletak setelah harakat dhamah
atau kasrah, maka boleh menetapkannya atau menggantinya dengan huruf mad yang
sesuai dengan harakat sebelumnya.
Contoh: (ذِئَابٌ = ذِيَابٌ) (جُؤَارٌ = جُوَارٌ)
e. Jika berharakat
dan berada pada akhir kata, maka boleh menetapkannya atau menggantinya dengan
huruf mad yang sesuai dengan harakat sebelumnya.[20]
Contoh: (قَرَأَ = قَرَا) (جَرُؤَ = جَرُوَ) (الْقَارِئُ = الْقَارِيُ)
IV.
KESIMPULAN
1.
I’lal adalah penggantian huruf ‘ilat untuk meringankan, baik dengan
qolb (membalik), iskan (menyukun), hadzf (membuang).
2.
I’lal dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a)
الإعلال
بالحذف
b)
الإعلال باالإسكان
c)
الإعلال بالقلب
d)
إعلال الهمزة
V.
PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian dari penulis dalam makalah ini mengenai “Al-i‘ilal”.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya,
sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian
rupa, terutama ilmu Sharaf yang sedang kita pelajari bersama ini. Tidak kurang
dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan penulis dalam menyajikan
makalah ini sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran
yang membangun sangatlah penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Berawal dari semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala
perhatian beserta partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya.
Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini bermanfaat, dan
mendapat ridho beserta berkah dari Allah SWT. Amin
Al-Ghulayaini,
Musthafa, Jami’ud Durus, Bairut: Al-maktabah Al-‘asyriyah, 1993.
Al-hamalawiy,
Ahmad, Syadzaa Al-‘arfi Fi Fanni As-sharfi, Damaskus: Dar Ibnu Katsir,
1991.
Al-jarasyah,
Yusuf Abu Al-‘ala, dan Ibrahim Hasan Ibrahim, Al-muniif Fi Fanni At-tashrif, Kairo: TPn, TT.
Baha’uddin, Syarhu
Ibnu ‘Aqil, Indonesia: Maktabah Dar Ihya’ Al-kutub Al-arabiyah, TT.
Ismail,
Muhammad Bakr, Qawa’idu As-sharfi Bi Al-uslubi Al-‘ashri, Kairo: Dar
Al-manaar, 2000.
Jamaluddin, Audhahu
Al-masalik Ila Al-fiyyah Ibnu Malik, Kairo: Dar At-thola’iu, 2004.
Madrasah
Hidayah Al-mubtadi’in, Taqrirat Mandhumah As-sharfiyah, Kediri: Madrasah
Hidayah Al-mubtadi’in, TT.
Muhammadm,
Abdullah, Ath-thariif Fi ‘Ilmi
At-tashrif, Tripoli: Kuliyah Ad-da’wah Al-islamiyah, TT.
Nadzir,
Mundzir, Qawa’id Al-i’lal Fi As-sharfi, Surabaya: Maktabah Muhammad Bin
Ahmad Nabahan, TT.
Ridha, Ali, Al-marja’
Fi Al-lughah Al-‘arabiyah Nahwuha Wa Sharfuha, TPn, Dar Al-fikr, TT.
No comments:
Post a Comment