SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

KELUWESAN ISLAM MASUK DAN MENYEBAR DI TANAH JAWA


I.             PENDAHULUAN
Islam merupakan agama samawiy yang terakhir diturunkan Allah kepada para manusia. Walaupun demikian agama-agama samawiy sebelumnya pun masih tetap ada saat agama Islam sudah di turunkan oleh Allah, walaupun secara penuh agama-agama tersebut sudah menyimpang dari asalnya. Selain itu Islam juga dihadapkan dengan agama-agama ardli, baik yang kuno maupun yang baru.
Dalam sejarah disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah rosul sekaligus Nabi Terakhir yang diutus Allah untuk menyebarkan agama Islam di seluruh pelosok bumi. Beliau dalam melaksanakan dakwahnya tentunya selalu bersinggungan dengan agama-agama selain Islam tersebut. Dengan segenap kesempurnaan beliau sebagai utusan Allah, agam Islam pun dapat tersebar luas dalam waktu yang relatif singkat dan menarik pengikut yang cukup banyak pula.
Indonesia adalah negara yang mempunyai penduduk mayoritas beragama Islam, dan merupakan negara dengan penduduk yang beragama Islam terbanyak di dunia. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran penting para pendahulu yang tidak banyak berbeda dengan tugas yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dengan melihat Indonesia yang dahulu dengan yang sekarang tentunya sangat berbeda, karena dahulu Indonesia lebih bercorak Hindu-Budha.
Dalam berbagai pendapat dan kajian, tanah Jawa dinilai sebagai bibit utama penyebaran Islam di Indonesia. Dengan melihat kesuksesan para pendahulu Islam jaman dahulu dalam menyebarkan Islam, dari sinilah tentunya kita akan mengacu pada bagaimanakah keluwesan Islam masuk dan berkembang di tanah Jawa? Secara ringkas akan Penulis jelaskan sebagai berikut.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Kapan dan Siapakah Pelopor Berkembangnya Islam di Jawa?
B.     Landasan dan Dasar Apakah Yang Dipakai Dalam Penyebaran Islam Di Jawa?
C.     Strategi Apakah Yang Dipakai Dalam Penyebaran Islam Di Jawa?

III.      PEMBAHASAN
A.    Kapan dan Siapakah Pelopor Berkembangnya Islam di Jawa?
Ada beberapa teori yang membahas masuknya Islam ke Pulau Jawa, sebagian berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Pulau Jawa sekitar abad 9 M, sebagian lain menyebutkan pada abad ke-14, dan ada juga yang berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Pulau Jawa sekitar abad ke-15. Islam masuk pada abad ke-9 berdasarkan inskripsi di Leran Gresik yang berupa batu nisan makam Fatimah binti Maimun, dalam nisan tertulis wafat pada tahun 1082 M. Pendapat ini mendapat sanggahan beberapa sejarawan diantaranya Ricklefs yang meyakini bahwa batu nisan tersebut bukanlah asli dari Pulau Jawa, melainkan dari luar Pulau Jawa. Pendapat kedua mengatakan bahwa agama Islam masuk ke Pulau Jawa sejak abad ke-14, hal ini berdasarkan bukti sejarah berupa batu nisan di Trowulan. Dalam batu nisan tersebut tertera angka tahun 1368 yang mengindikasikan bahwa pada tahun tersebut sudah ada orang Jawa dikalangan kerajaan yang telah memeluk agama Islam. Pendapat ketiga mengatakan bahwa Islam sudah berada di Pulau Jawa sekitar abad ke-15. Hal ini didasarkan pada makam Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M. Sumber lain menyebutkan bahwa beliau ini berasal dari Persia, sebagian menyebutkan berasal dari Arab Mesir, dan ada pula yang menyebutkan berasal dari Cina (Champa). Diantara beberapa pendapat tersebut, yang terakhir lebih diterima dikalangan masyarakat luas.
Maulana Malik Ibrahim merupakan sesepuh Walisongo yang menjadi cikal bakal lahirnya para Walisongo yang lain. mengenai beliau ini, ada perselisihan pendapat tentang asal keturunan beliau. Ada yang berpendapat bahwa beliau berasal dari Arab Mesir, hal ini didasarkan gelar “Al-Malik” yang sesuai dengan nama gelar raja-raja di Mesir saat itu, selain itu bukti yang paling nyata adalah bahwa sebagian besar rakyat Indonesia menganut Madzhab Syafi’i, salah satu Madzhab yang menjadi mayoritas dikalangan rakyat Mesir. Teori ini didukung oleh Hamka. Teori kedua menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat (India). Pandangan ini di kemukakan oleh Snouck Hurgonje. Menurutnya Sumatra dan Jawa  mengenal Islam lewat jalur perdagangan India-Nusantara. Pandangan ini didukung kenyataan bahwa batu nisan Maulana Malik Ibrahim berasal dari Gujarat. John F.Cady mendukung teori ini dalam bukunya yang berjudul “South East Asia, In Historcal Background”.[1] Teori ketiga mengatakan bahwa Islam masuk ke Pulau Jawa melalui Kamboja, hal ini didasarkan pandangan bahwa adanya hubungan antara Kerajaan Nusantara dengan Kerajaan Champa di Kamboja. Beberapa babad yang ada menyebutkan bahwa Maulana Malik Ibrahim sebelum ke Nusantara beliau telah terlebih dahulu mengislamkan Raja Champa, kemudian diikuti oleh seluruh rakyat dikerajaan, bahkan Maulana Malik sendiri menikah dengan salah satu putri raja Champa, yang masih saudara dengan ratu Darawati yang merupakan istri raja Prabu Brawijaya. Teori keempat mengatakan bahwa Islam masuk ke Pulau Jawa berasal dari Cina, hal ini didasarkan pada Babad Tanah Jawi dan Serat Kandha yang mengatakan bahwa Raden Patah merupakan anak dari Putri Cina. Pandangan didasarkan pula cerita rakyat Jawa Timur. Teori ini sesuai dengan Naskah Melayu dan Hikayat Hasanudin yang menjelaskan bahwa penyiar agama Islam diwilayah Nusantara adalah orang Cina. Mengenai pendapat yang ketiga ini, Prof. Dr. Slamet Mulayana mendukungnya, dalam bukunya dikatakan bahwa Bong Swi Hoo merupakan nama lain dari Sunan Ampel[2], ia adalah menantu dari Gang Eng Cu  yang merupakan kapten Cina di Tuban, kapten tersebut diutus untuk melayani kepentingan orang-orang Tionghoa di Jawa, dapat disimpulkan bahwa kapten tersebut merupakan Arya Teja yang mendapat Gelar Arya Damar dari Rani Suhita raja Majapahit pengganti Hyang Wisesa (Wikramawardhana). Sementara putri Gang Eng Cu sendiri yang dinikahkan dengan Sunan Ngampel bernama Ni Gede Manila. Pendapat ini didasarkan pada perbandingan Babad Tanah Jawi/Serat Kanda dengan berita yang ada di Klenteng Sam Po Kong di Semarang. Lebih jauh Slamet Mulyana menyebutkan beberapa nama Wali yang merupakan keturunan Cina peranakan diantaranya, Dja Tik Su (Ja’far Sadik, Gelar Sunan Kudus, Bong-ang (Sunan Bonang), dan Gang Si Cang (Raden Said, gelar Sunan Kalijaga).[3]
Berdasarkan penjelasan uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa asal-usul Islam di Pulau Jawa merupakan para guru sufi yang dalam perjalanannya ke Nusantara melalui jalur perdagangan sutra atau jalur Samudra Hindia. Di kawasan Timur-Tengah mereka menempuh perjalanan menuju Kanton dan dari sinilah mereka menempuh perjalanan menuju Champa yang selanjutnya ke Nusantara.[4] Semua teori yang ada kita anggap benar, mengingat penyebaran Islam pada saat itu melalui jalur perdagangan yang pada beberapa wilayah mereka singgah dibeberapa pelabuhan yang ada di Nusantara.

B.     Landasan dan Dasar Apakah Yang Dipakai Dalam Penyebaran Islam Di Jawa?
Jika kita lihat ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah, tampak terdapat semangat untuk membuka diri terhadap peradaban luar. Dalam surah Al-Hujurat ayat 13 disebutkan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Kata kunci dari ayat tersebut adalah لِتَعَارَفُوا (saling mengenal atau memahami). Islam sudah memandang dirinya sebagai agama yang membuka dirinya dengan agama-agama lain dan produk-produk kebudayaan manusia yang lain. Karena memang kita diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Oleh karena itu, Islam praktis tidak bisa menutupi diri dari bayang-bayang produk-produk kebudayaan manusia lainnya. Ini kemudian yang membuka problem, apakah Islam menghargai pluralis atau tidak?[5]
Menurut Canadian Commission for Unesco (1993: 83) kebudayaan dinyatakan sebagai: A dynamic value system of learned elements, with asumptions, conventions, beliefs and rules permitting members of a group to relate to each other and to the world, to communicate and to develop their creative potential. Ada beberapa elemen penting di dalam definisi di atas, bahwa kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi-asumsi, kesepakatan, keyakinan dan aturan-aturan yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain.[6]
Kata budaya berasal dari kata Sansekerta, budhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikianlah kebudayaan itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan akal”.  Ada sarjana lain yang mengupas kata budaya dari kebudayaan. Budaya berarti daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan berarti segala hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.[7]
Dari definisi-definisi di atas tampaknya dapat diambil inti sarinya bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dan dari hasil-hasil budaya manusia dapat dibagi menjadi dua macam:
a.       Kebudayaan jasmaniyah (kebudayaan fisik) yang meliputi benda-benda ciptaan manusia, misalnya alat-alat perlengkapan hidup.
b.      Kebudayaan rohaniyah (nonmaterial), yaitu semua hasil ciptaan manusia yang tidak bisa dilihat dan diraba seperti: religi, ilmu pengetahuan, bahasa, seni dan lain sebagainya.[8]
Dengan menyadari perluasan makna kebudayaan tersebut kemudian Islam mulai memilah dan membedakan mana antara kebudayaan dan agama. Dan Islam pun mengakui atas perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya dengan sikap penuh toleransi. Oleh karena itu Islam bukan merupakan bagian dari apa yang disebut oleh Huntington “The Clash of Civilization” atau benturan peradaban. Islam tidak pernah memandang sikap curiga dengan peradaban lain, justru melakukan dialog-dialog, interaksi-interaksi, atau negosiasi sehingga menjadikan  Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, bukan sekedar rahmatan lil muslimin.[9]

C.    Strategi Apakah Yang Dipakai Dalam Penyebaran Islam Di Jawa?
Ahli sejarah menjelaskan bahwa masuknya Islam di Perlak dan pantai utara melalui proses mission scare yaitu proses dakwah bi al-hal yang dibawakan para mubaligh yang sekaligus merangkap tugas menjadi pedagang.
Metode yang digunakan para muballigh dan para wali dalam menyebarkan agama Islam adalah dengan cara berkelana dari dusun ke dusun utnuk memberikan informasi dan ajaran moral keagamaan, yang secara tidak langsung membantu pemeliharaan keamanan. Oleh karena itu mereka selalu dihormati dan dibantu oleh raja beserta murid-muridnya yang tinggal di padepokan. Selain tugas mereka berdakwah juga mereka telah siap menghadapi berbagai ancaman dan tekanan yang mengancam jiwa dan raga mereka.[10]
Disamping metode di atas masih terdapat metode lain yang dilakukan oleh para wali dalam mengislamkan orang Jawa, diantaranya yaitu:
a.       Jalur perkawinan, yakni menjalin hubungan geneologis dengan berbagai tokoh masyarakat ataupun pemerintahan, sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Ampel dalam mengawinkan putra-putrinya.
b.      Jalur pendidikan, yakni dengan mendirikan dan mengembangkan pendidikan pesantren atau madrasah yang pertama kali dirintis oleh syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Gambaran pendidikan pesantren zaman dahulu sebagaimana pengajaran pesantren masa kini, yakni miller pendidikan yang digunakan bergaya sangat personal, di mana guru utama menghimpun sekelompok santri di sekelilingnya selama beberapa tahun. Santri yang dianggap paling cakap, maka dia mendapatkan keistimewaan dengan memperoleh pelajaran khusus di depan guru tersebut dan santri senior berperan sebagai tutor.[11]
c.       Jalur kesenian, yaitu adanya pengembangan kebudayaan jawa yang berperan dalam mengembangkan seni dan kebudayaan Jawa secara Islami. Seperti kesenian dari Sunan Bonang dan adanya kebudayaan perayaan sekaten sebagai peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW.
d.      Jalur politik, yaitu dengan membentuk peraturan-peraturan ketataprajaan dalam bidang kenegaraan yang dibawakan oleh Sunan Giri. Beliau banyak memegang peranan dalam mendirikan kerajaan Islam.[12]
Dari beberapa metode dan cara di atas, secara ringkas penyebaran Islam di Jawa mencakup dua pendekatan. Pendekatan yang pertama disebut Islamisasi kultur Jawa. Melalui pendekatan ini, budaya Jawa diupayakan agar tampak bercorak Islam, baik secara formal maupun secara substansial. Adapun pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai Islam melalui cara penyusupan ke dalam budaya Jawa.[13]

IV.      ANALISIS
Islam masuk dan menyebar ke tanah Jawa melalui beberapa teori yang berbeda satu sama lain. Namun dari beberapa teori tersebut, para Wali dan mubaligh dalam misi keagamaannya pada dasarnya memiliki banyak kendala dan masalah yang dihadapi saat berdakwah menyebarkan agama Islam di Jawa. Hal ini dikarenakan Islam dipandang sangat asing oleh masyarakat Jawa pada saat itu.
Para Wali dan mubaligh yang menyerukan agama Islam di pelosok-pelosok Jawa dalam menghadapi gejala dan masalah yang ada tidak menggunakan cara-cara yang diniali negatif. Mereka selalu menanamkan nilai-nilai pluralitas dan sosial yang sangat tinggi di kalangan masyarakat yang ada di sekitar mereka. Sehingga masyarakat yang semula menganggap Islam sebagai keanehan yang dapat meresahkan mulai memberikan respon positif terhadap agama Islam yang dibawa oleh para Wali dan mubaligh.
Dalam dakwah mereka tidak begitu mengedepankan egoisme agar masyarakat hendaknya secara berbondong-bondong memeluk agama Islam yang mereka bawa dengan waktu yang relatif singkat. Namun berkat adanya bekal keilmuaan agama dan kesalehan di dalam kepribadian mereka, Islam diserukan dengan cara sabar, cermat dan bersahaja. Mereka sedikit demi sedikit mulai membaur dengan kehidupan dan norma-norma masyarakat setempat hingga tak ada pembatas baik dalam bentuk agama, kepercayaan dan kebudaya diantara mereka. Dengan demikianlah Islam mudah dimasukkan ke dalam hati masyarakat Jawa, kemudian kebudayaan, kepercayaan, adat-istiadat, norma-norma sosial dan akhirnya mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat.

V.          PENUTUP
Demikianlah Penulis memberikan penjelasan mengenai “Keluwesan Islam Masuk dan Menyebar Di Tanah Jawa”. Di dalam makalah ini tentunya terdapat kelalaian maupun kekurangan penulisan sangatlah dimungkinkan adanya, baik yang sengaja maupun tidak disengaja, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah Penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Pada bagian akhir makalah ini Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas segala perhatiannya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang telah dipelajari dan didapatkan kali ini menjadi bermanfaat, dan mendapat ridho beserta berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR KEPUSTAKAAN
 Karim, M. Abdul, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007.
Mulyana, Slamet, Runtuhnya kerajaan Hindu- Jawa dan Timbulnya Negara Negara Islam di Nusantara, Cet. 3, Yogyakarta: LKiS, 2006.
Notowidagdo, Rohiman, Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Rahmat, M. Imdadun, dkk, Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca Realita, Jakarta: Erlangga, 2003.
Sofwan, Ridin, dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.
Sutrisno, Budiono Hadi, Sejarah Walisongo: Misi Pengislaman Di Tanah Jawa, Cet. 9, Yogyakarta: Graha Pustaka, 2010.
Syam, Nur, Islam Pesisir, Yogyakarta: LKiS, 2005.
Woodward, Mark. R., Islam Jawa Kesalehan Normative Versus Kebatinan, Yogyakarta: LKiS, 1999.

No comments:

Post a Comment