SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

ISLAM ASPEK TASAWUF



I.          PENDAHULUAN
Islam itu menyangkut segala aspek yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnnya, manusia dengan lingkungan hidupnya, dan manusia dengan tuhan. Karena itu islam bukan sekedar syariat yang berkaitan dengan aktivitas lahiriah manusia sehari-hari namun juga aspek yang halus yang berkaitan dengan hatinya.
Bagaimana mungkin umat islam menjadi bagus akhlaknya kalau akalnya tumpu dan hatinya menjadi pendengki. Jadi diperlukan juga cara mengolah kondisi kejiwaan umat islam yang dalam bahasa arab disebut akhlak, kemudian dalam segi ilmu muncul istilah tasawuf. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang islam aspek tasawuf dengan rumusan masalah serta pembahasannya sebagai berikut.

II.       RUMUSAN MASALAH
A.    Pemahaman Tasawuf
B.     Kedudukan Tasawuf  dalam Syariat Islam
C.     Memaknai Islam dalam Tasawuf
D.    Tasawuf sebagai Inti dan Puncak Agama Islam

III.    PEMBAHASAN
A.    Pemahaman Tasawuf
Dari segi linguistik (kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakekatnya adalah akhlak mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah ataupun para ahli tergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu:


1.      Manusia sebagai makhluk yang terbatas.
Jika dilihat dari sudut pandang ini, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
2.      Manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
Dilihat dari sudut pandang ini, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.      Manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Dari sudut pandang ini, tasawuf dapat didefinisikan, sebagai kesadaran fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa yang dapat tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika tiga definisi diatas dihubungkan, maka akan tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.[1]
Pada hakekatnya tasawuf adalah pengalaman ruhani yang bersifat individual, intisari tasawuf adalah kesadaran adanya komunikasi dialog langsung manusia dengan Tuhan.[2]
Tasawuf dapat diartikan Tashfiyatul qulub (penyucian hati) yang mendatangkan peningkatan amal baik, hal ini sangat sesuai dalam alquran: 
 
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-ankabut: 69)
Dari beberapa pengertian tasawuf diatas dapat dipahami bahwa tujuan terpenting tasawuf adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, tertlihat adanya sasaran dari tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral, ma’rifatullah dan membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara filosifis.[3] 

B.     Kedudukan Tasawuf  dalam Syari’at Islam
Islam adalah suatu agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran islam itu dinamakan Syari’at Islam, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan makhluk lain. Dan syari’at itu berfaidah untuk mensucikan jiwa manusia dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang utama. 
Tasawuf adalah satu cabang dari syaria’at islam, seperti halnya dengan tauhid (aqidah) dan Fiqih yang merupakan cabang-cabang dari syari’at islam. Islam memiliki tiga unsur dasar syariat yakni islam, iman dan ihsan.[4]
Setiap pemeluk islam mengetahui dengan pasti bahwa islam (al-islam) tidak sah tanpa iman, dan iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya ihsan adalah mustahil tanpa iman dan iman juga tidak mungkin tanpa adanya inisial islam. Maka kita bisa melihat bahwa iman, islam dan ihsan merupakan triologi ajaran Illahi. Nampaklah bahwa ihsan sebagai doktrin sufi yang memegang peranan sangat menentukan dalam hierarki islam.[5]
Tasawuf atau sufisme adalah bagian dari syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam. Al-Qusyairi mengatakan: “Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada.” Sebagaimana dikatakan bahwa tasawuf adalah identik dengan Ihsan. Dalam hadits Nabi SAW dalam Sahih Muslim, arti ihsan ialah:
أن تعبد الله كأنك تراه فإنك إن لا تراه فإنه يراك  
“Beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihat-Nya, maka harus diketahui bahwa Dia melihat kita”.
Pernyataan ini mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyu’, penuh ketundukan dengan cara yang baik.
Ihsan termasuk amal hati dalam berhubungan dengan Tuhan, soal ini tidak dipelajari dalam ilmu kalam dan fiqih, tetapi dibicarakan dalam tasawuf. Selain dari ihsan, tasawuf juga membahas tentang hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut akhlak. Sebagai contoh ialah tentang penyakit dengki (hasud). Dengki menurut hadis rosul dapat merusak amal seperti api memakan kayu bakar. Dari hal ini dapat dipahami bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesama manusia, juga merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itulah masalah akhlak tercela dan akhlak terpuji yang tumbuh didalam hati dipelajari dalam ilmu tasawuf.[6]
Oleh karena itu, maka kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar rujukan dalam tasawuf adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para ulama terpercaya.

C.    Memaknai Islam dalam tasawuf
Dalam sejarah, sekarang ini kata al-islam telah mencapai dan menjadi sebuah nama agama, khususnya agama yang dibawa dan disempurnakan pada masa Nabi Muhammad SAW, yakni agama islam. Tetapi, secara generic (umum), “Islam” bukanlah nama dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Tentu pengertian ini membutuhkan suatu pendalaman melalui wacana-wacana kitab suci.
Perkataan itu sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu, dalam hal ini sikap “pasrah serta menyerahkan diri kepada Tuhan”. Sikap inilah yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar yang diterima Tuhan. 
“Sesungguhnya agama bagi Allah ialah sikap pasrah kepada-Nya (al-islam)”. (QS. Ali Imran: 19)
Maka disamping sebuah nama agama, islam, al-islam bisa berarti umum menurut makna generic-nya “pasrah kepada Tuhan”, suatu semangat ajaran yang menjadikan karekteristik pokok semua agama yang benar. Sama dengan al-islam, perkataan muslimun dapat diartikan sebagai “orang-orang yang pasrah kepada Tuhan”. Jadi, perkataan al-muslimun dalam makna asalnya bisa juga menjadi kualifikasi pada pemeluk agama lain, khususnya penganut ahl kitab.
Pengertian tersebut sejalan dengan analisis para pakar tafsir al-qur’an. Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang mereka yang pasrah (al-muslimun) mengatakan, “mereka dari kalangan ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus, pada semua kitab suci yang diturunkan, mereka tidak mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi yang dibangkitkan Tuhan.
Sedangkan Al-Zamakhsyari memberi makna muslimun sebagai “mereka yang bertauhid dan mengikhlaskan diri kepada-Nya”. Dan mengartikan al-islam sebagai “sikap memaha-Esakan” (bertauhid) dan sikap berpasrah diri kepada Tuhan”.
Dari berbagai penjelasan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa sikap pasrah kepada Tuhan, betapapun seseorang mengaku sebagai muslim atau penganut islam adalah tidak diterima Tuhan berdasarkan pengertian tersebut, harus dipahami tentang penegasan Al-qur’an bahwa agama seluruh Nabi dan Rasul adalah agama islam, yaitu agama yang mengajarkan sikap tunduk patuh, pasrah dan berserah diri secara tulus kepada Allah dengan segala qudroh dan iradah-Nya.
Jelaslah, bahwa islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman. Dengan adanya keharusan untuk tunduk patuh dan berserah diri secara tulus pada Tuhan, mustahil bisa terwujud adanya keyakinan yang kokoh dikedalaman hatinya, sebab al-islam sebagai kunci dari sikap istiqomah dari keimanan tersebut. Tentunya bentuk pengembangan yang muncul dari pribadi tersebut adalah amal-amal sholeh yang menjadikannya sebagai seorang muhsinun. Ungkapan-ungkapan muhlishun, muhsinun, muslimun sebenarnya adalah kunci mendasar pengalaman seorang sufi.[7]

E.     Tasawuf sebagai Inti dan Puncak Agama Islam
Maksud terdalam dari tasawuf adalah tashfiyatul qulub, membersihkan atau menggosok hati, sehingga bisa berganti dari pakaian yang penuh gebyar kemewahan hayawaniyyah menjadi pakaian kesederhanaan, tawadhu', penuh dengan rasa ke-ilahi-an. Sehingga akhirnya tasawuf dapat diartikan kesucian jiwa yang mendatangkan peningkatan amal baik.
Bagi seorang sufi, pendalaman dan pengalaman batin merupakan unsur paling utama dengan motivasi untuk membersihkan jiwa karena itu dilakukan mujahadah tanpa henti, untuk mencari pencerahan dan pengayaan sains maupun spiritual. Kontrol diri dengan setia dan senantiasa berada dalam kondisi kehadiran Allah. Hal itulah yang ingin selalu dirasakan dan dialami oleh penempuh sufi (sufi).
 Imam Al-Ghozali dalam ihya'-nya mengumpamakan jiwa manusia seperti cermin (mir'ah). Cermin yang mengkilat bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda dosa yang diperbuat manusia. Maka jika seseorang selalu menjaga kebersihan jiwanya, titik-titik noda itu akan hilang, sehingga cermin (kalbu) tersebut akan kembali bersinar menerima pantulan dan pancaran Nur Ilahi, bahkan dipantulkan kesekitarnya.
Jadi upaya pembersihan diri itu secara umum dilakukan dengan melalui tiga jenjang;
1.      Takhalli
Takhally berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotan dan penyakit hati yang merusak.langkah pertama yang harus ditempuh adalah mengetahui dan menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotoran-kotoran hati tersebut sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses maka kebahagiaanlah yang akan diperoleh sebagaimana firman Allah: 
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (9), Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10).”
2.      Tahalli
Maksudnya adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan diatas ketentuan agama.
Langkah-langkah yang diperlukan dalam tahalli adalah membina pribadi, agar memiliki akhlak karimah, dan senantiasa konsen dengan langkah yang dirintis sebelumnya (dalam ber-takhalli). Latihan-latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan diri dalam perbuatan baik, yang pada gilirannya, akan menghasilkan kepribadian dalam terwujudnya manusia sempurna (al insan al kamil).
Langkah ini perlu ditingkatkan. Dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji (mahmudah).
3.      Tajalli
Setelah seseorang melalui dua tahap takhalli dan tahalli (mengosongkan hati nurani dari sifat tercela dan mengisi atau menghiasi diri dengan sifat yang baik), maka dia akan mencapai tahap yang ketiga, tajalli, yang berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyyah) atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi (ghoib) atau fana’ ketika kehadir-Nya.
Dasar tajalli adalah firman Allah dalam surat Al-a’raf:143:
 “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang pertama-tama beriman".
Ayat tersebut mengisahkan nabi Musa ketika ia memohon kepada Allah agar Dia mau menampakkan diri-Nya, sehingga dia bisa melihjat-Nya secara jelas. Permohonan itu disampaikan oleh nabi Musa ketika dalam keadaan biasa dan masih diliputi sifat basyariyah sehingga Musa tidak bisa melihat Allah. Namun setelah dia fana’(lenyap sifat basyariyah-nya), maka dia akan tajally.[8]
Tasawuf sebenarnya mengarahkan orang untuk bersifat progresif, aktif dan produktif. Sebagai akibat pemecahan spiritualnya melalui aplikasi tasawuf praktis setiap harinya. Sehingga tidak ada istilah tasawuf sebagai anti kemoderenan, penghambat kreativitas dan penghalang kemajuan. Bahkan menurut Dr. Hassan Hanafi, tasawuf aplikasi, jika oprasionalisasinya dilaksanakan secara benar, akan mampu membangkitkan semangat revolusioner, dalam produk pemikiran maupun aksi seorang muslim.
Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui ciri khas tasawuf progesif, yang dapat dijawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, bagi siapa pun. Hal ini mencakup tasawuf yang memang harus selalu kita hadirkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Allah sebagai perwujudan jalal dan jaml.
Tema ini menggambarkan bahwa metode tasawuf adalah “metode cinta”. Topik ini menunjukkan bahwa konsep Tuhan dalam islam adalah konsep Tuhan yang mempunyai dua aspek:
Pertama, aspek jalal, aspek keagungan, kehebatan, kedahsyatan yang mencekam yang membuat kita takut, karena itu kita taat. Aspek itu yang menyebabkan islam sering dikaitkan dengan syariat, dalam arti ketaatan dengan hukum.
Kedua, aspek jamal, artinya indah, cantik, mempesona, menimbulkan cinta dan kasih sayang.
Yang tidak kalah pentingnya adalah amal sholeh sebagai bagian dari akhlak sosial. Dalam hal ini tasawuf sering disalah artikan. Ini yang menyebabkan istilah progresif kita gandengkan dengan istilah tasawuf. Sufi sering dianggap sebagai seorang yang anti sosial. Dengan tasawuf progresif dan aktif, maka kehidupan kita tidaklah bercorak isolatif, namun sekaligus kita mampu tegak dalam kesholehan ditengah deru modernitas. Seorang sufi yang benar, menurut faham tasawuf progresif adalah seorang sufi yang bekerja, mencari nafkah. Mungkin dia mempunyai harta dan banyak, teapi hartanya itu digunakan secara proposional, bukan hanya untuk diri dan keluarganya, melainkan memberdayakan manusia-manusia sesamanya yang tidak berdaya, yang lemah.
Seorang sufi adalah juga pejuang sosial yang melakukan reformasi, untuk memperbaiki kualitas masyarakatnya (al-ishlah). Islah artinya melakukan amal-amal sholeh, jadi melakukan amal-amal sholeh itu sama dengan melakukan reformasi. Seorang sufi yang benar itu seorang reformer. Reformasi (ishlah) yang dilakukan itu berangkat dari penghayatan dari sifat jamal, jalal, dan kamal Allah. Sehingga memunculkan kecintaan kepada Rabb Al-‘Izzati. Dari kecintaan itulah ia memanifestasikan sifat-sifat agung Tuhan dalam dirinya meneladani uswatun hasanah sebagai model insan kamil (Muhammad SAW), mengikuti Rosul Tuhan, guna menggapai “kemaafan” Sang Pengampun dan “pertemuan” dengan Sang Penyayang. Allah berfirman: 
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.   
“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”














IV.    KESIMPULAN
Tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak mulia dan dekat dengan Allah SWT. Tasawuf atau sufisme adalah bagian dari syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam.Maka disamping sebuah nama agama, islam, al-islam bisa berarti umum menurut makna generic-nya “pasrah kepada Tuhan”, suatu semangat ajaran yang menjadikan karekteristik pokok semua agama yang benar. Sama dengan al-islam, perkataan muslimun dapat diartikan sebagai “orang-orang yang pasrah kepada Tuhan”. Jadi, perkataan al-muslimun dalam makna asalnya bisa juga menjadi kualifikasi pada pemeluk agama lain, khususnya penganut ahl kitab.
Upaya pembersihan diri itu secara umum dilakukan dengan melalui tiga jenjang, yaitu: takhalliy, tahalliy, tajalliy


V.       PENUTUP
Alhamdulillah puji syukur atas rahmat dan izin Allah dengan selesainya makalah ini. Sebagai manusia biasa, kami sadar makalah ini belum sempurna adanya. Maka dari itu, kritik serta saran kami harapkan untuk pembuatan makalah selanjutnya agar lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua yang mempelajarinya. Amin  







DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Sholihin, Muhammad, Tasawuf Aktual, Semarang: Pustaka Nuun, 2004.
Siregar, Ahmad Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke-Neo Sufisme, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Syukur, Amin, Pengantar Study Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.

No comments:

Post a Comment