I.
PENDAHULUAN
Islam itu menyangkut segala aspek yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lainnnya, manusia dengan lingkungan
hidupnya, dan manusia dengan tuhan. Karena itu islam bukan sekedar syariat yang
berkaitan dengan aktivitas lahiriah manusia sehari-hari namun juga aspek yang
halus yang berkaitan dengan hatinya.
Bagaimana mungkin umat islam menjadi bagus akhlaknya kalau akalnya tumpu
dan hatinya menjadi pendengki. Jadi diperlukan juga cara mengolah kondisi
kejiwaan umat islam yang dalam bahasa arab disebut akhlak, kemudian dalam segi
ilmu muncul istilah tasawuf. Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang islam aspek tasawuf dengan rumusan
masalah serta pembahasannya sebagai berikut.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pemahaman Tasawuf
B.
Kedudukan Tasawuf dalam
Syariat Islam
C.
Memaknai Islam dalam Tasawuf
D.
Tasawuf sebagai Inti dan Puncak Agama Islam
III.
PEMBAHASAN
A.
Pemahaman Tasawuf
Dari segi linguistik
(kebahasaan) ini segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental
yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela
berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang
demikian itu pada hakekatnya adalah akhlak mulia.
Adapun
pengertian tasawuf dari segi istilah ataupun para ahli tergantung kepada sudut
pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang
digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu:
1.
Manusia sebagai makhluk yang terbatas.
Jika dilihat dari sudut pandang ini, tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya mensucikian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia,
dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
2.
Manusia sebagai makhluk yang harus berjuang.
Dilihat dari sudut pandang ini, tasawuf dapat didefinisikan sebagai
upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber ajaran agama dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.
Manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan.
Dari sudut pandang ini, tasawuf dapat didefinisikan, sebagai
kesadaran fitrah (Ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa yang dapat tertuju
kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika tiga
definisi diatas dihubungkan, maka akan tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah
upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari
pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak mulia dan dekat dengan
Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan
dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.[1]
Pada hakekatnya
tasawuf adalah pengalaman ruhani yang bersifat individual, intisari tasawuf
adalah kesadaran adanya komunikasi dialog langsung manusia dengan Tuhan.[2]
Tasawuf dapat
diartikan Tashfiyatul qulub (penyucian hati) yang mendatangkan
peningkatan amal baik, hal ini sangat sesuai dalam alquran:
“Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami
tunjukan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-ankabut: 69)
Dari beberapa
pengertian tasawuf diatas dapat dipahami bahwa tujuan terpenting tasawuf adalah
agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan tetapi apabila diperhatikan
karakteristik tasawuf secara umum, tertlihat adanya sasaran dari tasawuf yang bertujuan
untuk pembinaan aspek moral, ma’rifatullah dan membahas bagaimana sistem
pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara filosifis.[3]
B.
Kedudukan Tasawuf dalam
Syari’at Islam
Islam adalah
suatu agama yang mempunyai ajaran yang amat luas. Ajaran-ajaran islam itu
dinamakan Syari’at Islam, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia
dengan sesamanya dan makhluk lain. Dan syari’at itu berfaidah untuk mensucikan
jiwa manusia dan menghiasinya dengan sifat-sifat yang utama.
Tasawuf adalah
satu cabang dari syaria’at islam, seperti halnya dengan tauhid (aqidah) dan
Fiqih yang merupakan cabang-cabang dari syari’at islam. Islam memiliki tiga
unsur dasar syariat yakni islam, iman dan ihsan.[4]
Setiap pemeluk
islam mengetahui dengan pasti bahwa islam (al-islam) tidak sah tanpa iman, dan
iman tidak sempurna tanpa ihsan. Sebaliknya ihsan adalah mustahil tanpa iman
dan iman juga tidak mungkin tanpa adanya inisial islam. Maka kita bisa melihat
bahwa iman, islam dan ihsan merupakan triologi ajaran Illahi. Nampaklah bahwa
ihsan sebagai doktrin sufi yang memegang peranan sangat menentukan dalam
hierarki islam.[5]
Tasawuf atau
sufisme adalah bagian dari syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah
satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh
karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam. Al-Qusyairi
mengatakan: “Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus
(keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur
padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan
larangan menjaga hukum yang ada.” Sebagaimana dikatakan bahwa tasawuf adalah
identik dengan Ihsan. Dalam hadits Nabi SAW dalam Sahih Muslim, arti ihsan
ialah:
أن تعبد الله كأنك تراه فإنك إن لا تراه فإنه يراك
“Beribadah kepada Allah seakan-akan
melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihat-Nya, maka harus diketahui bahwa Dia
melihat kita”.
Pernyataan ini
mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyu’, penuh ketundukan
dengan cara yang baik.
Ihsan termasuk
amal hati dalam berhubungan dengan Tuhan, soal ini tidak dipelajari dalam ilmu
kalam dan fiqih, tetapi dibicarakan dalam tasawuf. Selain dari ihsan,
tasawuf juga membahas tentang hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut
akhlak. Sebagai contoh ialah tentang penyakit dengki (hasud). Dengki menurut
hadis rosul dapat merusak amal seperti api memakan kayu bakar. Dari hal ini
dapat dipahami bahwa dengki yang merusak hubungan dengan sesama manusia, juga
merusak hubungan dengan Tuhan. Karena itulah masalah akhlak tercela dan akhlak
terpuji yang tumbuh didalam hati dipelajari dalam ilmu tasawuf.[6]
Oleh karena
itu, maka kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar rujukan
dalam tasawuf adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para ulama
terpercaya.
C.
Memaknai Islam dalam tasawuf
Dalam sejarah,
sekarang ini kata al-islam telah mencapai dan menjadi sebuah nama agama,
khususnya agama yang dibawa dan disempurnakan pada masa Nabi Muhammad SAW,
yakni agama islam. Tetapi, secara generic (umum), “Islam” bukanlah nama
dalam arti kata sebagai nama jenis atau sebuah proper noun. Tentu
pengertian ini membutuhkan suatu pendalaman melalui wacana-wacana kitab suci.
Perkataan itu
sebagai kata benda verbal yang aktif, mengandung pengertian sikap pada sesuatu,
dalam hal ini sikap “pasrah serta menyerahkan diri kepada Tuhan”. Sikap inilah
yang disebutkan sebagai sikap keagamaan yang benar yang diterima Tuhan.
“Sesungguhnya agama bagi Allah ialah
sikap pasrah kepada-Nya (al-islam)”. (QS.
Ali Imran: 19)
Maka disamping
sebuah nama agama, islam, al-islam bisa berarti umum menurut makna generic-nya
“pasrah kepada Tuhan”, suatu semangat ajaran yang menjadikan karekteristik pokok
semua agama yang benar. Sama dengan al-islam, perkataan muslimun
dapat diartikan sebagai “orang-orang yang pasrah kepada Tuhan”. Jadi, perkataan
al-muslimun dalam makna asalnya bisa juga menjadi kualifikasi pada
pemeluk agama lain, khususnya penganut ahl kitab.
Pengertian
tersebut sejalan dengan analisis para pakar tafsir al-qur’an. Ibnu Katsir dalam
tafsirnya tentang mereka yang pasrah (al-muslimun) mengatakan, “mereka dari
kalangan ini yang percaya pada semua Nabi yang diutus, pada semua kitab suci
yang diturunkan, mereka tidak mengingkarinya sedikitpun, melainkan menerima
kebenaran segala sesuatu yang diturunkan dari sisi Tuhan dan dengan semua Nabi
yang dibangkitkan Tuhan.
Sedangkan Al-Zamakhsyari
memberi makna muslimun sebagai “mereka yang bertauhid dan mengikhlaskan diri
kepada-Nya”. Dan mengartikan al-islam sebagai “sikap memaha-Esakan” (bertauhid)
dan sikap berpasrah diri kepada Tuhan”.
Dari berbagai
penjelasan itu dapat ditegaskan bahwa beragama tanpa sikap pasrah kepada Tuhan,
betapapun seseorang mengaku sebagai muslim atau penganut islam adalah tidak
diterima Tuhan berdasarkan pengertian tersebut, harus dipahami tentang
penegasan Al-qur’an bahwa agama seluruh Nabi dan Rasul adalah agama islam,
yaitu agama yang mengajarkan sikap tunduk patuh, pasrah dan berserah diri
secara tulus kepada Allah dengan segala qudroh dan iradah-Nya.
Jelaslah, bahwa
islam dalam pengertian ini mustahil tanpa iman. Dengan adanya keharusan untuk
tunduk patuh dan berserah diri secara tulus pada Tuhan, mustahil bisa terwujud
adanya keyakinan yang kokoh dikedalaman hatinya, sebab al-islam sebagai
kunci dari sikap istiqomah dari keimanan tersebut. Tentunya bentuk
pengembangan yang muncul dari pribadi tersebut adalah amal-amal sholeh yang
menjadikannya sebagai seorang muhsinun. Ungkapan-ungkapan muhlishun,
muhsinun, muslimun sebenarnya adalah kunci mendasar pengalaman seorang
sufi.[7]
E.
Tasawuf sebagai Inti dan Puncak Agama Islam
Maksud terdalam dari tasawuf adalah tashfiyatul qulub, membersihkan atau menggosok hati, sehingga bisa
berganti dari pakaian yang penuh gebyar kemewahan hayawaniyyah menjadi pakaian kesederhanaan, tawadhu', penuh dengan rasa ke-ilahi-an.
Sehingga akhirnya tasawuf dapat diartikan kesucian jiwa yang mendatangkan
peningkatan amal baik.
Bagi seorang sufi, pendalaman dan pengalaman batin merupakan unsur
paling utama dengan motivasi untuk membersihkan jiwa karena itu dilakukan mujahadah tanpa henti, untuk mencari
pencerahan dan pengayaan sains maupun spiritual. Kontrol diri dengan setia dan
senantiasa berada dalam kondisi kehadiran Allah. Hal itulah yang ingin selalu
dirasakan dan dialami oleh penempuh sufi (sufi).
Imam Al-Ghozali dalam
ihya'-nya mengumpamakan jiwa manusia seperti cermin (mir'ah). Cermin yang mengkilat bisa saja menjadi hitam pekat jika
tertutup oleh noda dosa yang diperbuat manusia. Maka jika seseorang selalu
menjaga kebersihan jiwanya, titik-titik noda itu akan hilang, sehingga cermin
(kalbu) tersebut akan kembali bersinar menerima pantulan dan pancaran Nur
Ilahi, bahkan dipantulkan kesekitarnya.
Jadi upaya pembersihan diri itu secara umum dilakukan dengan
melalui tiga jenjang;
1. Takhalli
Takhally
berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan juga dari kotoran-kotan
dan penyakit hati yang merusak.langkah pertama yang harus ditempuh adalah
mengetahui dan menyadari betapa buruknya sifat-sifat tercela dan
kotoran-kotoran hati tersebut sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan
menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses maka
kebahagiaanlah yang akan diperoleh sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu (9), Dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (10).”
2. Tahalli
Maksudnya
adalah menghias diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap yang
baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilaku selalu berjalan diatas
ketentuan agama.
Langkah-langkah
yang diperlukan dalam tahalli adalah membina pribadi, agar memiliki
akhlak karimah, dan senantiasa konsen dengan langkah yang dirintis sebelumnya
(dalam ber-takhalli). Latihan-latihan kejiwaan yang tangguh untuk
membiasakan diri dalam perbuatan baik, yang pada gilirannya, akan menghasilkan
kepribadian dalam terwujudnya manusia sempurna (al insan al kamil).
Langkah ini
perlu ditingkatkan. Dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat
terpuji (mahmudah).
3. Tajalli
Setelah seseorang melalui dua tahap takhalli dan tahalli (mengosongkan
hati nurani dari sifat tercela dan mengisi atau menghiasi diri dengan sifat
yang baik), maka dia akan mencapai tahap yang ketiga, tajalli, yang
berarti lenyap atau hilangnya hijab dari sifat kemanusiaan (basyariyyah)
atau terangnya nur yang selama itu tersembunyi (ghoib) atau fana’
ketika kehadir-Nya.
Dasar tajalli adalah firman Allah dalam surat Al-a’raf:143:
“Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang Telah kami
tentukan dan Tuhan Telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar Aku dapat melihat
kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi Lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:
"Maha Suci Engkau, Aku bertaubat kepada Engkau dan Aku orang yang
pertama-tama beriman".
Ayat tersebut mengisahkan nabi Musa ketika ia memohon kepada Allah
agar Dia mau menampakkan diri-Nya, sehingga dia bisa melihjat-Nya secara jelas.
Permohonan itu disampaikan oleh nabi Musa ketika dalam keadaan biasa dan masih
diliputi sifat basyariyah sehingga Musa tidak bisa melihat Allah. Namun
setelah dia fana’(lenyap sifat basyariyah-nya), maka dia akan tajally.[8]
Tasawuf sebenarnya mengarahkan orang untuk bersifat progresif,
aktif dan produktif. Sebagai akibat pemecahan spiritualnya melalui aplikasi tasawuf
praktis setiap harinya. Sehingga tidak ada istilah tasawuf sebagai anti
kemoderenan, penghambat kreativitas dan penghalang kemajuan. Bahkan menurut Dr.
Hassan Hanafi, tasawuf aplikasi, jika oprasionalisasinya dilaksanakan secara
benar, akan mampu membangkitkan semangat revolusioner, dalam produk pemikiran
maupun aksi seorang muslim.
Untuk itu, sangat penting bagi kita untuk mengetahui ciri khas
tasawuf progesif, yang dapat dijawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, bagi
siapa pun. Hal ini mencakup tasawuf yang memang harus selalu kita hadirkan
dalam kehidupan sehari-hari, yaitu Allah sebagai perwujudan jalal dan jaml.
Tema ini menggambarkan bahwa metode tasawuf adalah “metode cinta”.
Topik ini menunjukkan bahwa konsep Tuhan dalam islam adalah konsep Tuhan yang
mempunyai dua aspek:
Pertama,
aspek jalal, aspek keagungan, kehebatan, kedahsyatan yang mencekam yang
membuat kita takut, karena itu kita taat. Aspek itu yang menyebabkan islam
sering dikaitkan dengan syariat, dalam arti ketaatan dengan hukum.
Kedua, aspek jamal,
artinya indah, cantik, mempesona, menimbulkan cinta dan kasih sayang.
Yang tidak kalah pentingnya adalah amal sholeh sebagai bagian dari
akhlak sosial. Dalam hal ini tasawuf sering disalah artikan. Ini yang
menyebabkan istilah progresif kita gandengkan dengan istilah tasawuf. Sufi
sering dianggap sebagai seorang yang anti sosial. Dengan tasawuf progresif
dan aktif, maka kehidupan kita tidaklah bercorak isolatif, namun
sekaligus kita mampu tegak dalam kesholehan ditengah deru modernitas. Seorang
sufi yang benar, menurut faham tasawuf progresif adalah seorang sufi
yang bekerja, mencari nafkah. Mungkin dia mempunyai harta dan banyak, teapi
hartanya itu digunakan secara proposional, bukan hanya untuk diri dan
keluarganya, melainkan memberdayakan manusia-manusia sesamanya yang tidak
berdaya, yang lemah.
Seorang sufi adalah juga pejuang sosial yang melakukan reformasi,
untuk memperbaiki kualitas masyarakatnya (al-ishlah). Islah artinya
melakukan amal-amal sholeh, jadi melakukan amal-amal sholeh itu sama dengan
melakukan reformasi. Seorang sufi yang benar itu seorang reformer. Reformasi
(ishlah) yang dilakukan itu berangkat dari penghayatan dari sifat jamal,
jalal, dan kamal Allah. Sehingga memunculkan kecintaan kepada Rabb
Al-‘Izzati. Dari kecintaan itulah ia memanifestasikan sifat-sifat agung
Tuhan dalam dirinya meneladani uswatun hasanah sebagai model insan
kamil (Muhammad SAW), mengikuti Rosul Tuhan, guna menggapai “kemaafan” Sang
Pengampun dan “pertemuan” dengan Sang Penyayang. Allah berfirman:
Katakanlah:
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
“Karena
itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di
akhirat. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.”
IV.
KESIMPULAN
Tasawuf pada
intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak
mulia dan dekat dengan Allah SWT. Tasawuf atau sufisme adalah bagian dari
syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah satu dari tiga kerangka
ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku
sufi harus tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam.Maka disamping sebuah
nama agama, islam, al-islam bisa berarti umum menurut makna generic-nya
“pasrah kepada Tuhan”, suatu semangat ajaran yang menjadikan karekteristik
pokok semua agama yang benar. Sama dengan al-islam, perkataan muslimun
dapat diartikan sebagai “orang-orang yang pasrah kepada Tuhan”. Jadi, perkataan
al-muslimun dalam makna asalnya bisa juga menjadi kualifikasi pada
pemeluk agama lain, khususnya penganut ahl kitab.
Upaya
pembersihan diri itu secara umum dilakukan dengan melalui tiga jenjang, yaitu:
takhalliy, tahalliy, tajalliy
V.
PENUTUP
Alhamdulillah
puji syukur atas rahmat dan izin Allah dengan selesainya makalah ini. Sebagai
manusia biasa, kami sadar makalah ini belum sempurna adanya. Maka dari itu,
kritik serta saran kami harapkan untuk pembuatan makalah selanjutnya agar lebih
baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua yang mempelajarinya.
Amin
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Yunasril, Pengantar Ilmu Tasawuf, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1987.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2009.
Sholihin, Muhammad, Tasawuf Aktual, Semarang: Pustaka Nuun,
2004.
Siregar,
Ahmad Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke-Neo Sufisme, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002.
Syukur, Amin, Pengantar
Study Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2010.
No comments:
Post a Comment