I.
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, bahwa hidup di bawah naungan Al Qur’an adalah
suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti
kecuali oleh orang yang merasakannya. Nikmat yang mengangkat harkat manusia,
menjadikannya sebuah berkah, dan manfaat tersendiri dalam mengabdi kepada Sang
Maha Agung.
Manusia diciptakan dengan dibekali berbagai kenikmatan, baik yang
bersifat badaniyah maupun yang ruhaniyah, begitu halnya berbagai
perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya. Ada banyak orang yang mungkin kurang mengetahui
secara jelas bagaimana cara memahami berbagai pesan yang ada dibalik anugerah
Tuhan kepada kita dengan berbagai potensi-potensi yang luar biasa dari pada
makhluk lain. Salah satu diantaranya adalah potensi berbahasa.
Potensi bahasa yang ada dalam diri manusia merupakan titik awal
bagaimana dia mampu mencapai maharah lughoh (kepandaian berbahasa) baik
yang berupa maharatul kitabah, qira’ah, sima’, dan kalam.
Berbeda dengan potensi bahasa, maharah lughoh adalah sesuatu yang
perlu diusahakan dan dibiasakan, kemudian dia akan bisa menyicipi
kenikmatannya.
Adapun semua hal tersebut hendaklah bisa difahami dengan utuh, bagaimana
memanfaaatkannya? Bagaimana mempergunakannya? Dan bagaimana cara memaknainya?.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan seputar hal-hal tersebut,
tentunya menggunakan dasar pemikiran yang bersumber dari Ayat-ayat Al-Qur’an
beserta tafsirnya.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Maharah Qira’ah (Al-Alaq: 1-5)
B. Maharah Kalam (Al-Balad: 8-9)
C. Maharah Sima’ (Ar-Rum: 22-24) dan
(Al-Baqarah: 285)
D. Maharah Kitabah (Al-Baqarah: 282)
III. PEMBAHASAN
A. Maharah Qira’ah (Al-Alaq: 1-5)
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ
الَّذِي خَلَقَ (١)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ
(٣)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya: (1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
Menciptakan. (2). Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. (4). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. (5). Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5).
Kata اقرأْ iqra’ berasala dari kata kerja قرأَ qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Dengan demikian
realisasi perintah tersebut tidak
mengharuskan adanya suatu teks tertulis
sebagai objek bacaan, tidak pula harus diuucapkan sehingga terdengar oleh orang
lain. Dalam kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang
membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud
bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata
tersebut”. Dan dari sinilah mengapa penggunaan kata iqra’ sebagai fi’il
muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek) tidak disebutkan jenis
objeknya secara teks jelas, hal ini dikarenakan kandungan amr (perintah)
yang diharapkan disini adalah bersifat umum.[1]
Allah
memerintahkan manusia membaca (mempelajari, meneliti, dan sebagainya) apa saja
yang telah Ia ciptakan, baik ayat-ayat-Nya yang tersurat (qauliyah), dan
ayat-ayat-Nya yang tersirat, maksudnya alam semesta (kauniyah). Membaca
itu harus dengan nama-Nya, artinya karena Dia dan mengharapkan pertolongan-Nya[2].
Mengaitkan pekerjaan membaca dengan
nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah,
dan hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal Abadi,
dan hanya aktivitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa
keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan (sia-sia). Dengan demikian tujuan membaca dan
mendalami ayat-ayat Allah itu adalah diperolehnya hasil yang diridai-Nya, yaitu
ilmu atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Pada ayat ketiga terdapat
pengulangan perintah membaca. Para ulama berbeda pendapat tentang tujuan
pengulangan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa perintah yang pertama ditujukan
kepada pribadi Nabi Muhammad SAW, sedang yang kedua kepada umatnya. Atau yang
pertama untuk membaca dalam shalat, sedang yang kedua diluar shalat. Dan ada yang berpendapat yang
pertama adalah perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar
orang lain.
Syeikh Muhammad Abduh mengemukakan
sebab lain, menurutnya adalah kemampuan membaca dengan lancar dan baik tidak
dapat diperoleh tanpa mengulang-ngulangi atau melatih diri secara teratur.[3]
Allah meminta manusia membaca lagi, yang mengandung arti bahwa membaca yang
akan membuahkan ilmu dan iman itu perlu dilakukan berkali-kali, minimal dua
kali. Bila Al-Qur’an atau alam ini dibaca dan dipelajari berkali-kali, maka
manusia akan menemukan bahwa Allah itu pemurah, yaitu bahwa Ia akan mencurahkan
beberapa pengetahuan-Nya kepadanya dan akan memperkokoh imannya.
B. Maharah Kalam (Al-Balad: 8-9)
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ (٨)وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ (٩)
Artinya: (8). Bukankah kami Telah memberikan kepadanya dua buah
mata. (9). Lidah dan dua buah bibir.
(QS. Al-Balad: 8-9).
Pada kedua ayat ini memberikan
penjelasan pada kita bahwa manusia tidak sepatutnya untuk sombong dan merasa
lebih hebat, karena Yang terhebat hanyalah Allah. Manusia harus mensyukuri
nikmat Allah yang tiada tara yang telah Dia berikan kepada kita, seperti dua
mata, lidah, dan dua bibir.[4]
Dalam artian mengapa pada dua ayat
ini Allah bertanya mengenai sebuah hal?, “Tidakkah Kami beri dua mata, lidah,
dan bibir?” Artinya, dua mata untuk dapat mencari penghidupan dan mempelajari
dengan seksama segala pengetahuan yang telah tersedia di sekitar kita, adapun
lidah dan bibir adalah untuk kita berkomunikasi dengan sesama, dan sebagai alat
untuk merealisasikan buah pikiran yang telah kita dapat baik dengan kedua mata
atau tidak. Semua hal ini tidak lain adalah agar kita bisa berfikir siapa yang
memberinya, dan tidak selayaknya untuk kita persombongkan.
Allah menganugerahkan alat-alat
badaniyyah kepada manusia, yang dengan alat-alat itu manusia dapat mencapai
kesempurnaan.[5]
Dan ayat-ayat ini tujuannya bukan hanya untuk menyampaikan aneka nikmat
badaniyyah yang diberikan oleh Allah,
melaikan untuk mengingatkan bahwa semua yang dianugerahkan Allah adalah dalam
kedaan baik, tentu kita sebagai manusia juga harus bisa memanfaatkan dan
merawatnya dengan baik sebagaimana mestinya.[6]
Sebuah hal yang perlu kita cermati
dari kedua ayat ini, mengapa Allah mendahulukan ‘ainain (dua mata) dari
pada lisan (lidah) dan syafatain (dua bibir)? Hal ini menyimpan
hikmah pesan yang hendaknya bisa kita fahami, yaitu tuntutan kepada kita agar
bisa menggunakan lisan dan bibir kita dengan baik untuk mengungkapkan suatu
hal. Hendaknya setiap apa yang tertuang dalam tutur kata kita sesuai dengan apa
yang kita lihat dengan kedua mata kita, yaitu melihat dengan kedua mata
kemudian mengungkapkannya dengan lidah dan bibir kita.
Kepentingan maharah kalam tentu
bukan sebuah hal yang sepele, akan tetapi sangatlah perlu kita perhatikan.
Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh salah satu ilmuan dari jepang
yaitu Matsaru Emoto, bahwa ternyata air mampu menangkap dan menyimpan
informasi-informasi dari perkataan orang-orang disekelilingnya, jika
dilimpahkan perkataan baik maka dengan begitunya air tersebut akan menangkap
perkataan baik tersebut dan mengikat dalam partikel-partikel di dalamnya,
begitu juga sebaliknya bila perkataan buruk, maka ia akan berubah buruk. Dari
pada itu tubuh manusia 70 persen ternyata berupa zat cair, hal ini
memprihatinkan jika seseorang tidak bisa memfungsikan perkataannya dengan baik,
karena semua nilai perkataan yang keluar dari lidah bibir kita berpengaruh pada
nilai diri kita sendiri.
C. Maharah Sima’ (Ar-Rum: 22-24) dan
(Al-Baqarah: 285)
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (٢٢)وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
(٢٣)
Artinya: (22). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang Mengetahui. (23). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu
di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang mendengarkan. (24). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, dia memperlihatkan
kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan dia menurunkan
hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang mempergunakan akalnya. (QS. Ar-Rum:
22-23).
Ayat ini menerangkan salah satu
tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, yaitu penciptaan langit dan bumi
sebagai peristiwa yang luar biasa, sangat teliti, dan cermat. Setelah menyebut
kebesaran Allah melalui penciptaan langit dan bumi, ayat ini menyatakan adanya
keanekaragaman bahasa dan warna kulit. Disini Allah menyatakan bahwa Dia secara
haq menjadikan manusia terdiri atas banyak ras yang kedudukannya sama
dimata-Nya.
Berbicara mengenai ras, Allah
menjelaskannya melalui lidah atau lisan. Dalam hal ini kata lidah mempunyai dua
arti. Pertama, lidah yang secara fisik berada pada rongga mulut dan
sangat berperan dalam mengeluarkan bunyi. Bunyi inilah yang menjadi dasar
munculnya bahasa untuk keperluan berkomunikasi. Kedua, lidah adalah
bahasa itu sendiri.[7]
Adapun tanda-tanda kekuasaan dan
kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia,
pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya
mencari rizqi di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan
ketenangan dan istirahat. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan
manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan
keadaan yang silih berganti itu, manusia akan mengetahui nikmat Allah serta
kebaikan-Nya.
Yang perlu kita cermati lebih
lanjut dari ketiga ayat ini adalah kata-kata “العالمين”, “قوم
يسمعون”,
dan “قوم يعقلون”. Pada ketiga kata
kunci ini telah di sebutkan secara berurutan di dalam ketiga ayat ini. Di dalam
penyebutan ketiga kata ini terletak seirama dengan penyebutan penciptaan Allah
pada manusia dengan keberagaman perbedaan di dalamnya, dan penciptaan alam
semesta yang banyak menyimpan pengetahuan bagi manusia. Hal ini membuat kita
harus memahami arti dari setiap penciptaan Allah, yaitu bagi orang-orang yang
mengetahui, berfikir, dan sanggup untuk mendengar. Kata mendengar disini bisa
diartikan menjadi dua artian. Pertama, mendengar dengan alat badaniyah
yaitu telinga. Dan yang kedua, mendengar dalam artian kepekaan seseorang
akan mencermati setiap hal yang ada disekitarnya, termasuk juga yang paling
terpenting adalah kepada peringatan-peringatan Allah dan sedemikian rupa
perbedaan yang telah Allah anugerahkan kepada kita manusia.
Tuntutan ayat ini kepada kita
adalah untuk senantiasa mempergunakan anugerah pendengaran dengan baik dan yang
semestinya. Karena kecakapan seseorang dengan pendengaran dan kepekaannya akan
membuatnya lebih berpengetahuan luas.
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا
وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (٢٨٥)
Artinya: "Rosul telah beriman kepada Al Quran yang
diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara
seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka
mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa):
"Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah: 285).
Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka
mengatakan, kami dengar dan kami taat”, yakni kami mendengar firman-Mu, wahai
Tuhan kami, kami memahaminya, melaksanakannya, dan menjalankan segala
tuntutannya. Disini sangatlah jelas bahwa hal semacam ini merupakan pendorong
kuat terhadap jiwa untuk beramal seperti apa yang telah diperintahkan-Nya.
Orang-orang yang ikhlas dalam keimanan, mereka akan melakukan introspeksi
terhadap diri mereka sendiri apabila terjadi kelalaian walaupun hanya sedikit.
Pada ayat ini kata سمعنا
وأطعنا
bermakna kami mendengar dengan penuh kesadaran dan pengertian.[8] Sebuah
isyarat yang sangat jelas bagi kita untuk senantiasa bisa mempergunakan seluruh
daya dan upaya ketika dihadapkan dengan sebuah perintah untuk dikerjakan, dan
sebuah larangan untuk ditinggalkan. Terutama menggunakan kepekaan pendengaran
kita untuk mencari informasi-informasi yang bersifat baik, dan menyaring
hal-hal yang bersifat buruk.
Memperhatikan dengan seksama pada
setiap apa yang ada disekeliling kita terkadang sering diabaikan. Banyak
informasi-informasi yang Allah sampaikan melalui lantaran ciptaan-ciptaannya,
akan tetapi yang seharusnya didengarkan dan diperhatikan dengan seksama itu
malah sering terlewatkan oleh kita.
Pendengaran merupakan salah satu hal
yang sangat berpengaruh besar bagi kehidupan manusia. Bagaimana tidak mungkin
hal ini terjadi, banyak dari bagian kehidupan manusia yang ditentukan dan
berpengaruh besar dengan sebuah pendengaran. Contoh kecil adalah ketika kita
ingin berkomunikasi dengan sesama, tentu pendengaran sangatlah mendukung akan
kelancaran hal tersebut. Karena sebagian besar dari potensi-potensi yang ada
dalam diri manusia sangatlah dipengaruhi dengan ketepatan penggunaan
pendengaran. Disamping penglihatan, seseorang tidak akan sempurna dalam
menangkap informasi-informasi yang ada dengan tanpa pendengaran yang baik.
D. Maharah Kitabah (Al-Baqarah: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ
اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا
أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا
أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا
فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ (٢٨٢)
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya.
janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang
kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka
Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”, ini merupakan bimbingan Allah SWT
bagi para hamba-Nya yang beriman, jika mereka bermuamalah melalui aneka jenis
muamalah yang tidak tunai, maka hendaklah ia mencatatnya, agar catatan itu
dapat menjaga batas waktu muamalah itu, serta lebih meyakinkan kepada orang
yang memberi kesaksian.[9]
Yang dimaksud dengan maharah
kitabah disini adalah, seseorang dituntut untuk dapat menulis dengan benar
dan tepat. Dalam artian ketika seseorang mempunyai banyak informasi-informasi
yang ia peroleh baik melalui penglihatan maupun pendengaran, hendaklah bisa
menuangkan buah informasi tersebut dalam wujud tulisan agar terlepas dari
kelupaan yang telah menjadi sebagian watak dasar manusia.
Adapun pemaknaan pada ayat ini
mengandung banyak perspektif, salah satunya adalah tuntutan bagi manusia agar
cakap dalam hal menulis, dengan bentuk tulisan. Beriringan dengan hal tersebut
wujud menulis bisa diartikan sebagai sarana bagi seseorang untuk menanamkan
pencerahan-pencerahan yang telah ia dapat dalam hidupnya dengan menuangkan
tulisan-tulisan dalam hati, atau dalam artian menyimpan dan mengikatnya
erat-erat dalam hati.
Tulisan terkadang menjadi sesuatu
yang sangatlah penting untuk dijadikan sebagai bukti dan bentuk merealisasikan
sebuah informasi. Sebagaimana contoh yang telah diajarkan para sahabat dengan
menulis setiap firman-firman Allah yang turun, hal ini dikarenakan sebuah
kemuliaan yang sangat besar yang terkandung dalam firman-firman Allah tidaklah
cukup hanya dengan sekedar hafalan untuk menjaganya dari lupa. Jadi bentuk
implementasi yang terpenting adalah menjaga hal-hal yang dianggap penting
melalui sebuah tulisan sebelum hal itu hilang dari jangkauan memori pemikiran
kita.
Berbicara mengenai tulisan, tentu
tatacara dan keahlian sangatlah perlu diperhatikan. Seperti halnya dalam ayat
ini dikatakan bahwa catatan yang ditulis ketika sedang bermuamalah dituntut
harus valid dan relefan, karena catatan tersebut akan menjadi sebuah bukti
penting yang bisa dipertanggung jawabkan.
IV. ANALISIS BESERTA KESIMPULAN
Dalam menganalisis pada
ayat-ayat tersebut diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan pemikiran, yaitu:
a. Umat manusia, apalagi umat Islam, harus
mengembangkan beberapa kemampuan seperti membaca, mendengarkan, menulis, dan
berbica dengan baik dalam hidup didunia, terutama untuk mendalami ayat-ayat
Allah, baik qauliyah maupun kauniyah.
b. Membaca dan mendalami ayat-ayat Allah harus
karena Dia dan dengan meminta bantuan-Nya supaya ilmu yang dihasilkan menjadi
bermanfaat.
c. Dalam proses belajar, baik dalam
keterampilan membaca, menulis, mendengar, dan berbicara, hendaknya harus
dilakukan dengan berulang-ulang dan terus-menerus, agar penguasaan kita
akan ilmu pengetahuan senantiasa
meningkat dan menjadi kokoh.
d. Manusia perlu mensyukuri nikmat Allah
yang tiada tara kepadanya, yaitu nikmat badaniyyah seperti, mata, lidah,
telinga, tangan, dan sebagainya dengan menggunakannya untuk hal-hal yang
diridai-Nya.
e. Maharah sima’, kalam, qira’ah, dan
kitabah juga merupakan sebagian dari nikmat-nikmat Allah kepada kita,
oleh karena itu tidak selayaknya kita menjadikannya sebagai sarana untuk
membangga-banggakan diri dihadapan-Nya.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami buat, mungkin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk
kepentingan kita bersama agar bisa menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Oleh
karena itu, kami mohon maaf apabila dalam penulisan dan pemaparan makalah ini
terdapat beberapa kesalahan-kesalahan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua, dan semoga apa yang kita pelajari kali ini bisa mengantarkan kita kepada
keberkahan tholabul ilmi dan tentunya semoga mendapat ridho dari Allah
SWT. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
RI, Departemen
Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Juz X, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Ashiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi, Al-Bayan, Juz
II, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2002.
Bakar,
Bahrun Abu, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, Juz III, Semarang: CV. Toha
Putra, 1986.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari
Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Jakarta: Gema Insani,2001.
[1] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
hlm. 392-393.
[2] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Juz X, (Jakarta: Lentera Abadi,
2010), hlm. 720.
[3] M. Quraish
Shihab, Op. Cit., hlm. 398.
[4] Departemen
Agama RI, Juz X, Op. Cit., hlm. 669-670.
[5] Teungku
Muhammad Hasbi Ashiddieqy, Al-Bayan, Juz
II, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2002), hlm. 1544.
[6] M. Quraish
Shihab, Op. Cit., hlm. 274-275.
[7] Departemen
Agama RI, Juz VII, Op. Cit., hlm. 483-484.
[8] Bahrun Abu
Bakar, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, Juz III, (Semarang: CV. Toha Putra,
1986), hlm. 147.
[9] Muhammad Nasib
Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1,
(Jakarta: Gema Insani,2001), hlm. 462.
No comments:
Post a Comment