SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

KEMAHIRAN BERBAHASA DALAM AL-QUR'AN (مهارة اللغة في القرآن الكريم)



I.             PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah, bahwa hidup di bawah naungan Al Qur’an adalah suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti  kecuali oleh orang yang merasakannya. Nikmat yang mengangkat harkat manusia, menjadikannya sebuah berkah, dan manfaat tersendiri dalam mengabdi kepada Sang Maha Agung.
Manusia diciptakan dengan dibekali berbagai kenikmatan, baik yang bersifat badaniyah maupun yang ruhaniyah, begitu halnya berbagai perbedaan-perbedaan yang ada di dalamnya. Ada banyak orang yang mungkin kurang mengetahui secara jelas bagaimana cara memahami berbagai pesan yang ada dibalik anugerah Tuhan kepada kita dengan berbagai potensi-potensi yang luar biasa dari pada makhluk lain. Salah satu diantaranya adalah potensi berbahasa.
Potensi bahasa yang ada dalam diri manusia merupakan titik awal bagaimana dia mampu mencapai maharah lughoh (kepandaian berbahasa) baik yang berupa maharatul kitabah, qira’ah, sima’, dan kalam. Berbeda dengan potensi bahasa, maharah lughoh adalah sesuatu yang perlu diusahakan dan dibiasakan, kemudian dia akan bisa menyicipi kenikmatannya.
Adapun semua hal tersebut hendaklah bisa difahami dengan utuh, bagaimana memanfaaatkannya? Bagaimana mempergunakannya? Dan bagaimana cara memaknainya?. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan seputar hal-hal tersebut, tentunya menggunakan dasar pemikiran yang bersumber dari Ayat-ayat Al-Qur’an beserta tafsirnya.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Maharah Qira’ah (Al-Alaq: 1-5)
B.     Maharah Kalam (Al-Balad: 8-9)
C.     Maharah Sima’ (Ar-Rum: 22-24) dan (Al-Baqarah: 285)
D.    Maharah Kitabah (Al-Baqarah: 282)
III.      PEMBAHASAN
A.    Maharah Qira’ah (Al-Alaq: 1-5)
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)

Artinya: (1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. (2). Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. (4). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. (5). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5).
Kata اقرأْ iqra’ berasala dari kata kerja قرأَ qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Dengan demikian realisasi perintah tersebut  tidak mengharuskan  adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diuucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Dalam kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut”. Dan dari sinilah mengapa penggunaan kata iqra’ sebagai fi’il muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek) tidak disebutkan jenis objeknya secara teks jelas, hal ini dikarenakan kandungan amr (perintah) yang diharapkan disini adalah bersifat umum.[1]
Allah memerintahkan manusia membaca (mempelajari, meneliti, dan sebagainya) apa saja yang telah Ia ciptakan, baik ayat-ayat-Nya yang tersurat (qauliyah), dan ayat-ayat-Nya yang tersirat, maksudnya alam semesta (kauniyah). Membaca itu harus dengan nama-Nya, artinya karena Dia dan mengharapkan pertolongan-Nya[2].
Mengaitkan pekerjaan membaca dengan nama Allah mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah, dan hal ini akan menghasilkan keabadian karena hanya Allah Yang Kekal Abadi, dan hanya aktivitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan (sia-sia). Dengan demikian tujuan membaca dan mendalami ayat-ayat Allah itu adalah diperolehnya hasil yang diridai-Nya, yaitu ilmu atau sesuatu yang bermanfaat bagi manusia.
Pada ayat ketiga terdapat pengulangan perintah membaca. Para ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan tersebut. Ada yang mengatakan bahwa perintah yang pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad SAW, sedang yang kedua kepada umatnya. Atau yang pertama untuk membaca dalam shalat, sedang yang kedua  diluar shalat. Dan ada yang berpendapat yang pertama adalah perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain.
Syeikh Muhammad Abduh mengemukakan sebab lain, menurutnya adalah kemampuan membaca dengan lancar dan baik tidak dapat diperoleh tanpa mengulang-ngulangi atau melatih diri secara teratur.[3] Allah meminta manusia membaca lagi, yang mengandung arti bahwa membaca yang akan membuahkan ilmu dan iman itu perlu dilakukan berkali-kali, minimal dua kali. Bila Al-Qur’an atau alam ini dibaca dan dipelajari berkali-kali, maka manusia akan menemukan bahwa Allah itu pemurah, yaitu bahwa Ia akan mencurahkan beberapa pengetahuan-Nya kepadanya dan akan memperkokoh imannya.
B.     Maharah Kalam (Al-Balad: 8-9)
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ (٨)وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ (٩)
Artinya: (8). Bukankah kami Telah memberikan kepadanya dua buah mata. (9). Lidah dan dua buah bibir. (QS. Al-Balad: 8-9).
Pada kedua ayat ini memberikan penjelasan pada kita bahwa manusia tidak sepatutnya untuk sombong dan merasa lebih hebat, karena Yang terhebat hanyalah Allah. Manusia harus mensyukuri nikmat Allah yang tiada tara yang telah Dia berikan kepada kita, seperti dua mata, lidah, dan dua bibir.[4]
Dalam artian mengapa pada dua ayat ini Allah bertanya mengenai sebuah hal?, “Tidakkah Kami beri dua mata, lidah, dan bibir?” Artinya, dua mata untuk dapat mencari penghidupan dan mempelajari dengan seksama segala pengetahuan yang telah tersedia di sekitar kita, adapun lidah dan bibir adalah untuk kita berkomunikasi dengan sesama, dan sebagai alat untuk merealisasikan buah pikiran yang telah kita dapat baik dengan kedua mata atau tidak. Semua hal ini tidak lain adalah agar kita bisa berfikir siapa yang memberinya, dan tidak selayaknya untuk kita persombongkan.
Allah menganugerahkan alat-alat badaniyyah kepada manusia, yang dengan alat-alat itu manusia dapat mencapai kesempurnaan.[5] Dan ayat-ayat ini tujuannya bukan hanya untuk menyampaikan aneka nikmat badaniyyah yang diberikan oleh  Allah, melaikan untuk mengingatkan bahwa semua yang dianugerahkan Allah adalah dalam kedaan baik, tentu kita sebagai manusia juga harus bisa memanfaatkan dan merawatnya dengan baik sebagaimana mestinya.[6]
Sebuah hal yang perlu kita cermati dari kedua ayat ini, mengapa Allah mendahulukan ‘ainain (dua mata) dari pada lisan (lidah) dan syafatain (dua bibir)? Hal ini menyimpan hikmah pesan yang hendaknya bisa kita fahami, yaitu tuntutan kepada kita agar bisa menggunakan lisan dan bibir kita dengan baik untuk mengungkapkan suatu hal. Hendaknya setiap apa yang tertuang dalam tutur kata kita sesuai dengan apa yang kita lihat dengan kedua mata kita, yaitu melihat dengan kedua mata kemudian mengungkapkannya dengan lidah dan bibir kita.
Kepentingan maharah kalam tentu bukan sebuah hal yang sepele, akan tetapi sangatlah perlu kita perhatikan. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh salah satu ilmuan dari jepang yaitu Matsaru Emoto, bahwa ternyata air mampu menangkap dan menyimpan informasi-informasi dari perkataan orang-orang disekelilingnya, jika dilimpahkan perkataan baik maka dengan begitunya air tersebut akan menangkap perkataan baik tersebut dan mengikat dalam partikel-partikel di dalamnya, begitu juga sebaliknya bila perkataan buruk, maka ia akan berubah buruk. Dari pada itu tubuh manusia 70 persen ternyata berupa zat cair, hal ini memprihatinkan jika seseorang tidak bisa memfungsikan perkataannya dengan baik, karena semua nilai perkataan yang keluar dari lidah bibir kita berpengaruh pada nilai diri kita sendiri.

C.    Maharah Sima’ (Ar-Rum: 22-24) dan (Al-Baqarah: 285)
وَمِنْ آيَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِلْعَالِمِينَ (٢٢)وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَابْتِغَاؤُكُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ (٢٣)
Artinya: (22). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui. (23). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan. (24). Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, dia memperlihatkan kepadamu kilat untuk (menimbulkan) ketakutan dan harapan, dan dia menurunkan hujan dari langit, lalu menghidupkan bumi dengan air itu sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mempergunakan akalnya. (QS. Ar-Rum: 22-23).
Ayat ini menerangkan salah satu tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, yaitu penciptaan langit dan bumi sebagai peristiwa yang luar biasa, sangat teliti, dan cermat. Setelah menyebut kebesaran Allah melalui penciptaan langit dan bumi, ayat ini menyatakan adanya keanekaragaman bahasa dan warna kulit. Disini Allah menyatakan bahwa Dia secara haq menjadikan manusia terdiri atas banyak ras yang kedudukannya sama dimata-Nya.
Berbicara mengenai ras, Allah menjelaskannya melalui lidah atau lisan. Dalam hal ini kata lidah mempunyai dua arti. Pertama, lidah yang secara fisik berada pada rongga mulut dan sangat berperan dalam mengeluarkan bunyi. Bunyi inilah yang menjadi dasar munculnya bahasa untuk keperluan berkomunikasi. Kedua, lidah adalah bahasa itu sendiri.[7]
Adapun tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, alam semesta dan hubungannya dengan keadaan manusia, pergantian siang dan malam, serta tidurnya manusia di malam hari dan bangunnya mencari rizqi di siang hari. Manusia tidur di malam hari agar badannya mendapatkan ketenangan dan istirahat. Tidur dan bangun itu silih berganti dalam kehidupan manusia, seperti silih bergantinya siang dan malam di alam semesta ini. Dengan keadaan yang silih berganti itu, manusia akan mengetahui nikmat Allah serta kebaikan-Nya.
Yang perlu kita cermati lebih lanjut dari ketiga ayat ini adalah kata-kata “العالمين”, “قوم يسمعون”, dan “قوم يعقلون”. Pada ketiga kata kunci ini telah di sebutkan secara berurutan di dalam ketiga ayat ini. Di dalam penyebutan ketiga kata ini terletak seirama dengan penyebutan penciptaan Allah pada manusia dengan keberagaman perbedaan di dalamnya, dan penciptaan alam semesta yang banyak menyimpan pengetahuan bagi manusia. Hal ini membuat kita harus memahami arti dari setiap penciptaan Allah, yaitu bagi orang-orang yang mengetahui, berfikir, dan sanggup untuk mendengar. Kata mendengar disini bisa diartikan menjadi dua artian. Pertama, mendengar dengan alat badaniyah yaitu telinga. Dan yang kedua, mendengar dalam artian kepekaan seseorang akan mencermati setiap hal yang ada disekitarnya, termasuk juga yang paling terpenting adalah kepada peringatan-peringatan Allah dan sedemikian rupa perbedaan yang telah Allah anugerahkan kepada kita manusia.
Tuntutan ayat ini kepada kita adalah untuk senantiasa mempergunakan anugerah pendengaran dengan baik dan yang semestinya. Karena kecakapan seseorang dengan pendengaran dan kepekaannya akan membuatnya lebih berpengetahuan luas.
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (٢٨٥)
Artinya: "Rosul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah: 285).
Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka mengatakan, kami dengar dan kami taat”, yakni kami mendengar firman-Mu, wahai Tuhan kami, kami memahaminya, melaksanakannya, dan menjalankan segala tuntutannya. Disini sangatlah jelas bahwa hal semacam ini merupakan pendorong kuat terhadap jiwa untuk beramal seperti apa yang telah diperintahkan-Nya. Orang-orang yang ikhlas dalam keimanan, mereka akan melakukan introspeksi terhadap diri mereka sendiri apabila terjadi kelalaian walaupun hanya sedikit.
Pada ayat ini kata سمعنا وأطعنا bermakna kami mendengar dengan penuh kesadaran dan pengertian.[8] Sebuah isyarat yang sangat jelas bagi kita untuk senantiasa bisa mempergunakan seluruh daya dan upaya ketika dihadapkan dengan sebuah perintah untuk dikerjakan, dan sebuah larangan untuk ditinggalkan. Terutama menggunakan kepekaan pendengaran kita untuk mencari informasi-informasi yang bersifat baik, dan menyaring hal-hal yang bersifat buruk.
Memperhatikan dengan seksama pada setiap apa yang ada disekeliling kita terkadang sering diabaikan. Banyak informasi-informasi yang Allah sampaikan melalui lantaran ciptaan-ciptaannya, akan tetapi yang seharusnya didengarkan dan diperhatikan dengan seksama itu malah sering terlewatkan oleh kita.
Pendengaran merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh besar bagi kehidupan manusia. Bagaimana tidak mungkin hal ini terjadi, banyak dari bagian kehidupan manusia yang ditentukan dan berpengaruh besar dengan sebuah pendengaran. Contoh kecil adalah ketika kita ingin berkomunikasi dengan sesama, tentu pendengaran sangatlah mendukung akan kelancaran hal tersebut. Karena sebagian besar dari potensi-potensi yang ada dalam diri manusia sangatlah dipengaruhi dengan ketepatan penggunaan pendengaran. Disamping penglihatan, seseorang tidak akan sempurna dalam menangkap informasi-informasi yang ada dengan tanpa pendengaran yang baik.

D.    Maharah Kitabah (Al-Baqarah: 282)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٢٨٢)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 282).
Firman Allah Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”, ini merupakan bimbingan Allah SWT bagi para hamba-Nya yang beriman, jika mereka bermuamalah melalui aneka jenis muamalah yang tidak tunai, maka hendaklah ia mencatatnya, agar catatan itu dapat menjaga batas waktu muamalah itu, serta lebih meyakinkan kepada orang yang memberi kesaksian.[9]
Yang dimaksud dengan maharah kitabah disini adalah, seseorang dituntut untuk dapat menulis dengan benar dan tepat. Dalam artian ketika seseorang mempunyai banyak informasi-informasi yang ia peroleh baik melalui penglihatan maupun pendengaran, hendaklah bisa menuangkan buah informasi tersebut dalam wujud tulisan agar terlepas dari kelupaan yang telah menjadi sebagian watak dasar manusia.
Adapun pemaknaan pada ayat ini mengandung banyak perspektif, salah satunya adalah tuntutan bagi manusia agar cakap dalam hal menulis, dengan bentuk tulisan. Beriringan dengan hal tersebut wujud menulis bisa diartikan sebagai sarana bagi seseorang untuk menanamkan pencerahan-pencerahan yang telah ia dapat dalam hidupnya dengan menuangkan tulisan-tulisan dalam hati, atau dalam artian menyimpan dan mengikatnya erat-erat dalam hati.
Tulisan terkadang menjadi sesuatu yang sangatlah penting untuk dijadikan sebagai bukti dan bentuk merealisasikan sebuah informasi. Sebagaimana contoh yang telah diajarkan para sahabat dengan menulis setiap firman-firman Allah yang turun, hal ini dikarenakan sebuah kemuliaan yang sangat besar yang terkandung dalam firman-firman Allah tidaklah cukup hanya dengan sekedar hafalan untuk menjaganya dari lupa. Jadi bentuk implementasi yang terpenting adalah menjaga hal-hal yang dianggap penting melalui sebuah tulisan sebelum hal itu hilang dari jangkauan memori pemikiran kita.
Berbicara mengenai tulisan, tentu tatacara dan keahlian sangatlah perlu diperhatikan. Seperti halnya dalam ayat ini dikatakan bahwa catatan yang ditulis ketika sedang bermuamalah dituntut harus valid dan relefan, karena catatan tersebut akan menjadi sebuah bukti penting yang bisa dipertanggung jawabkan.

IV.      ANALISIS BESERTA KESIMPULAN
Dalam menganalisis pada ayat-ayat tersebut diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan pemikiran, yaitu:
a.       Umat manusia, apalagi umat Islam, harus mengembangkan beberapa kemampuan seperti membaca, mendengarkan, menulis, dan berbica dengan baik dalam hidup didunia, terutama untuk mendalami ayat-ayat Allah, baik qauliyah maupun kauniyah.
b.      Membaca dan mendalami ayat-ayat Allah harus karena Dia dan dengan meminta bantuan-Nya supaya ilmu yang dihasilkan menjadi bermanfaat.
c.       Dalam proses belajar, baik dalam keterampilan membaca, menulis, mendengar, dan berbicara, hendaknya harus dilakukan dengan berulang-ulang dan terus-menerus, agar penguasaan kita akan  ilmu pengetahuan senantiasa meningkat dan menjadi kokoh.
d.      Manusia perlu mensyukuri nikmat Allah yang tiada tara kepadanya, yaitu nikmat badaniyyah seperti, mata, lidah, telinga, tangan, dan sebagainya dengan menggunakannya untuk hal-hal yang diridai-Nya.
e.       Maharah sima’, kalam, qira’ah, dan kitabah juga merupakan sebagian dari nikmat-nikmat Allah kepada kita, oleh karena itu tidak selayaknya kita menjadikannya sebagai sarana untuk membangga-banggakan diri dihadapan-Nya.
V.          PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, mungkin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk kepentingan kita bersama agar bisa menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Oleh karena itu, kami mohon maaf apabila dalam penulisan dan pemaparan makalah ini terdapat beberapa kesalahan-kesalahan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan semoga apa yang kita pelajari kali ini bisa mengantarkan kita kepada keberkahan tholabul ilmi dan tentunya semoga mendapat ridho dari Allah SWT. Amin


DAFTAR PUSTAKA

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
RI, Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Juz X, Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Ashiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi,  Al-Bayan, Juz II, Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2002.
Bakar, Bahrun Abu, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, Juz III, Semarang: CV. Toha Putra, 1986.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Jakarta: Gema Insani,2001.


[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 392-393.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Juz X, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 720.
[3] M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 398.
[4] Departemen Agama RI, Juz X, Op. Cit., hlm. 669-670.
[5] Teungku Muhammad Hasbi Ashiddieqy,  Al-Bayan, Juz II, (Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra, 2002), hlm. 1544.
[6] M. Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 274-275.
[7] Departemen Agama RI, Juz VII, Op. Cit., hlm. 483-484.
[8] Bahrun Abu Bakar, Tarjamah Tafsir Al-Maraghi, Juz III, (Semarang: CV. Toha Putra, 1986), hlm. 147.
[9] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani,2001), hlm. 462.

No comments:

Post a Comment