I.
PENDAHULUAN
Hari jum’at
adalah hari pilihan Allah
diantara hari-hari yang lain dalam satu minggu, sebagaimana bulan ramadhan
adalah bulan pilihan Allah diantar bulan-bulan yang lain dalam satu tahun,
makkah adalah tempat pilihan Allah di bumi dan nabi Muhammad adalah kekasih
pilihan-Nya diantara makhluk-makhluk-Nya. Adapun
hari jum’at adalah hari raya umat islam di dunia dan hari dimana
Allah memenuhi hajat mereka. Rosulullah SAW melakukan sholat jum’at pertama
kali di tengah-tengah lembah madinah
yang mana sebelum beliau mendirikan masjid Nabawi.
Sholat jum’at merupakan salah satu
dari kewajiban umat islam, dan termasuk kesempatan berkumpulnya umat islam yang
cukup banyak selain berkumpul pada saat ‘arafah.
Demikian pula sholat jum’at
dilakukan setiap hari jum’at setelah tergelincir matahari (pada waktu dzuhur)
serta harus dilakukan dengan berjama’ah.
Sebagai manusia, dalam menjalani
kehidupan tidaklah luput dari suatu rintangan (udzur). Termasuk juga dalam
menjalankan ibadah, salah satu di antara rintangan (udzur) tersebut yakni
sakit. Namun apakah udzur tersebut bisa mengugurkan kewajiban utama seorang
muslim, yakni shalat?. Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai permasalahan
tersebut.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Pengertian
dan dasar hukum Shalat Jum’at
B.
Syarat
dan Rukun Shalat Jum’at
C.
Khutbah
dalam Shalat Jum’at
D.
Kaifiyah
Shalat Bagi Orang Sakit
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan dasar hukum Shalat Jum’at
Shalat Jum’at adalah satu di antara
seteguh-teguh fardlu islam dan suatu pertemuan kaum muslimin yang besar. Pertemuan
shalat jum’at lebih besar dari segala pertemuan dan lebih besar kefardluannya,
selain dari pertemuan ‘arafah.
Barang siapa meninggalkan karena
bermudah-mudah, Allah SWT mencapkan kenifaqan atas hatinya.
Dekat jauhnya Ahluljannah dan
segera lambatnya mereka kepada menziarahi Allah,adalah menurut dekat jauhnya
mereka kepada imam di hari jum’at dan segera lambatnya datang ke masjid. Maka
dengan demikian, menghadiri sidang jum’at adalah suatu fardlu ‘ain yang tidak
patut sekali-kali timbul perbantahan para ulama tentang kefardluannya.[1]
Shalat jum’at juga bisa diartikan
sebagai shalat dua rakaat yang dilakukan pada hari jum’at, di tengah hari
(waktu dzuhur) secara berjama’ah serta didahului oleh dua khutbah.
Dasar hukum yang menerangkan
tentang shalat jum’at tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Adapun
dalil Al-qur’an adalah :
يآ أيها الّذين آمنوا إذا نودِيَ للصلاةِ مِنْ يوم
الجُمُعةِ فاسعَوْا إلى ذكر الله وذروا البيعَ ذلكم خيرٌ لكم إن كنتم تعلمون
“Wahai
orang-orang yang beriman, apabila telah diseru untuk mengerjakan shalat pada
hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.
Itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
(Q.S Al Jumu’ah : 9)
Dalil
yang berasal dari sunnah antara lain adalah :
عنْ أبي هريرة رضي الله عنه: أنه سمع رسول الله صلى
الله عليه وسلّم يقول: نحن الآخرون السابقون يوم القيامة, بَيْدَ أنّهم أوتوا الكتاب
مِن قبلنا, ثم هذا يومُهم الذي فَرَضَ الله عليهم, فاختلفوا فيه تبعٌ: الهَيودُ غدًا
والنصارى بعد غَدٍ
“Di riwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Aku pernah
mendengar Rosulullah SAW bersabda: “Kita (umat muslim) adalah umat yang
terakhir namun paling yang terkemuka pada hari kiamat meskipun umat-umat telah
diberikan kitab suci sebelum kita. Dan hari ini (jum’at) hari mereka diwajibkan
merayakannya (yaitu dengan ibadah agama, seperti khutbah dan shalat) tetapi
mereka berbeda pendapat tentangnya. Demikian Allah telah memberikan
petunjuk-Nya kepada mereka untuk menerimanya dan orang-orang mengikuti kita
beribadah pada hari itu. Umat Yahudi (merayakan hari sucinya) pada hari
berikutnya (Sabtu) dan umat kristiani (merayakan hari sucinya) pada hari
berikutnya lagi (Minggu).” (HR. Bukhori)
B.
Syarat-syarat
shalat Jum’at
1.
Syarat
wajib shalat jum’at
Dalam shalat jum’at terdapat
beberapa syarat yang wajib dipenuhi bagi yang hendak menunaikannya, yaitu :
a.
Islam
b.
Mukallaf
(orang baligh dan berakal sehat).
c.
Laki-laki
yang merdeka.
d.
Mutawattin
(bertempat).
Yang dimaksud dengan
mutawattin adalah bahwa seseorang yang akan
menunaikan shalat jum’at hendaknya berada (menetap) pada tempat di mana
shalat jum’at itu diselenggarakan, tidak pergi dari tempat itu baik di musim
kemarau atau penghujan, selain ada keperluan seperti pergi berdagang atau
ziarah.
e.
Tidak sedang berudzur sebagaimana udzur-udzur
yang pada saat berjamaah.
Dapat dipahami di sini,
bahwa ketika seseorang mempunyai udzur sebagaimana udzur-udzur pada shalat
berjama’ah tidak wajib menunaikan shalat jum’at.
f.
Muqim
(tinggal)
Misalnya, orang yang
muqim di tempat diselenggarakannya shalat jum’at selama empat hari atau lebih,
sedangkan ia bermaksud pulang ke tempat sendiri, sekalipun nanti setelah
berhari-hari.[2]
Jadi, yang dimaksud tinggal di sini, adalah tinggal secara sementara.
Dengan
demikian, tidak wajib shalat jum’at bagi :
a.
Orang
kafir yang asli
b.
Anak
kecil (belum dewasa)
c.
Orang
gila
d.
Budak
e.
Orang
perempuan
f.
Orang
sakit dan yang serupa
g.
Orang
yang berpergian.[3]
2.
Syarat
sah shalat jum’at
Syarat sah shalat
jum’at sama seperti halnya syarat sah pada shalat fardhu. Hanya saja terdapat
enam syarat tambahan, yakni :
a.
Harus
dikerjakan secara berjamaah pada rakaat yang pertama.
Dengan demikian
seseorang sah shalat jum’atnya jika pada rakaat pertama imam shalat berjama’ah
dengan makmum, kemudian berhadas, dan makmum tetap melanjutkan shalatnya (rakaat
ke dua makmum mufaroqoh dengan imam dan melanjutkan halat secara munfarid),
maka shalat jum’atnya tetap sah.
b.
Dikerjaan
oleh 40 orang termasuk imam.
Apabila 40 orang itu
berkurang di tengah-tengah shalat, maka shalat jum’atnya batal, kalau di waktu
khutbah, maka rukun khutbah yang dilakukan waktu bilangan sedang berkurang itu
dianggap belum dikerjakan, karena rukun tersebut tidak didengar oleh 40 orang,
lain halnya jika setelah itu bilangan penuh lagi dalam waktu dekat (menurut
ukuran umum), maka boleh meneruskan khutbah mulai dari rukun yang dikerjakan
sebelum bilangan kurang tadi.
Pada hal ini menurut
imam Abu Hanifah, shalat jum’at sah diselenggarakan hanya oleh 40 orang,
sekalipun mereka hamba sahaya atau orang-orang musafir.
c.
Diselenggarakan
pada tempat yang masuk pada wilayah tersebut.
Sekalipun dalam hal ini
ada sebuah padang yang masuk wilayahnya, dan tempatnya tidak sejauh
diperbolehkannya shalat qoshor ( + 86 km).
d.
Diselenggarakan
pada waktu zhuhur
Apabila waktu sudah
tidak mencukupi untuk shalat jum’at beserta dua khutbahnya, atau yang seperti
itu diragukan akan terjadinya, maka supaya menunaikan
shalat zhuhur.
e.
Diselenggarakan
setelah dua khutbah.
Khutbah di sini
hendaknya dilakukan setelah matahari memasuki langit belahan barat. Sebagaimana
hadis Nabi SAW :
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَا ِلكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أنَّض
النّبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ.
(رواه البخاري)
“diriwayatkan
dari Anas bin Malik r.a.: Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat Jum’at segera
setelah tengah hari.” (H.R
Bukhari)[4]
C.
Khutbah
dalam Shalat Jum’at
Menurut jumhur ulama
wajib melaksanakan khutbah sebelum shalat jum’at dilakukan, karena khutbah
merupakan syarat sahnya shalat jum’at dan jika tidak didahului dengan khutbah
maka tidak sah shalat jum’at tersebut. Dan hal ini didasarkan kepada perbuatan
Nabi Muhammad SAW dimana beliau selalu berkhutbah sebelum shalat jum’at.[5]
Syarat-syarat sah dalam dua khutbah
sebagai berikut:
1.
Khatib
harus suci dari hadas
2.
Menutup
aurat
3.
Berdiri
tegak
4.
Duduk
antara dua khutbah
5.
Jumlah
jamaah yang sah untuk mendirikan shalat jum’at.
Adapun rukun khutbah adalah sebagai
berikut:
1.
Mengucapkan
pujian (hamdalah) kepada Allah SWT
2.
Mengucapkan
shalawat atas Nabi Muhammad SAW
3.
Berwasiat
agar bertaqwa kepada Allah dalam kedua khutbah tersebut
4.
Membaca
ayat Al-quran didalam khutbah pertama atau yang kedua
5.
Berdoa
untuk kaum mukminin dan mukminat.[6]
Sedangkan tata cara berkhutbah
sebagai berikut:
1.
Bagi
khatib di syariatkan berdiri di atas mimbar
2.
Hendaklah
khatib memberi salam kepada jamaah setelah naik mimbar
3.
Duduk menghadap ke arah jamaah sampai muadzin mengumandangkan
adzan
4.
Setelah
selesai adzan khatib berdiri mengucapkan dua khutbah dengan duduk sejenak
diantara dua khutbah tersebut kemudian muadzin mengumandangkan iqomat.
Sesuai dengan hadis yang menerangkan
bahwa :
كَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَا ئِمًا وَيَجْلِسُ
بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ وَيَقْرَأُ أَيَاتِ الْقُرْأَنِ وَيُذَكِّرُالنَّاسَ. (رواه الجماعة الاّالبخااري والترميذي عن جابر ابن
سمره)
“Dari
Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri dan duduk di antara dua khutbah serta
membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi peringatan kepada orang-orang.”
(HR. Al Jami’ah kecuali Bukhori dan Tirmidzi dan Jabir bin Samiroh)
5.
Khutbah
berisi pujian kepada Allah dan Rasulnya serta peringatan terhadap jamaah dan
bacaan Al-quran
6.
Khatib
memendekkan khutbahnya dan berkhutbah dengan suara yanag keras dan jelas
7.
Hendaklah
khatib menutup khutbahnya dengan berdoa.
Dalam pada itu bagi para
jamaah wajib mendengarkan dan memperhatikan khutbah tidak boleh berbicara
selama khutbah sedang berlangsung. Bila mana terjadi perbincangan maka sama
saja ia tidak melakukan shalat jum’at.[7]
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَكَمَثَلِ الْحِمَارِ
أَسْفَارًاوَالَّذِى يَقُوْلُ لَهُ : أَنْصِتْ لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَةٌ
“Barangsiapa yang berbicara pada hari
jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka ia bagaikan keledai yang membawa
kitab dan seseorang yang mengatakan kepadanya “diamlah”, maka sama halnya ia tidak
melakukan shalat jum’at.”[8]
D.
Kaifiyah
Shalat Bagi Orang Sakit
كَانَتْ بِى
بَوَاسِيْرُفَسَأَلْتُ النَّبِيَّ عَنِ الصَّلاَةِفَقَالَ:صَلِّ قَائِمًافإِنْ
لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًافَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Adalah aku ditimpa penyakit bawasir,
maka aku bertanya kepada Nabi tentang hal bershalat, maka Rasulullah bersabda :
“bershalatlah sambil berdiri, jika
engkau tidak sanggup berdiri, maka sambil duduk, jika tidak sanggup maka sambil
berbaring di atas lambung.” (H.R Bukhari, Subulus
salam 2 : 59)
عَادَالنَّبِيُّ مَرِيْضًافَرَاَهُ
يُصَلِّى عَلَى وِسَادَةٍ فَرمىَ بِهَا وَقَالَ صَلِّ عَلَى الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ فَأَوْمِ
إِيْماءً وَاجْعَلْ سُجُدَكَ اَخْفَضَ مِن رُكُوعِكَ.
“Nabi
SAW meungunjungi seorang yang sedang sakit lalu beliau melihatnya bershalat di
atas bantal, maka Nabipun menarik bantal itu seraya berkata: ”Bershalatlah
engkau atas lantai jika engkau sanggup, jika engkau tak sanggup, maka kerjakanlah
dengan isyarat dan jadikanlah sujudmu itu lebih rendah (isyaratnya)dari rukukmu
.” (H.A. Albaihaqi, Subulus Salam 2 : 59)
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلّم يُصَلِّى مُتَرَبِّعًا
“Aku melihat Nabi SAW. Bershalat seraya
bersila.” (H.R. An Nasa’i, Subulus Salam 2 : 59)
Dari beberapa hadis di
atas, kita dapatkan beberapa alternatif
kaifiyah (cara ) ketika seseorang tidak mampu melakukan shalat dengan
kadaan berdiri, yakni :
1.
Duduk
iftirasy atau boleh juga bersila, jangan duduk semacam duduk anjing.
2.
Jika
tidak kuasa untuk duduk, maka bebaring atas lambungnya dengan kepala menghadap
kiblat.
3.
Jika
tidak sanggup berbaring, maka hendaknya ia tidur terlentang dengan kaki
diarahkan ke kiblat dan mengerjakan ruku’ dan sujud dengan isyarat
kesanggupannya.[9]
Seseorang jika tidak
bisa mengerjakan shalat seperti halnya shalatnya orang yang sehat, maka dia
bisa melakukannya dengan isyarat kesanggupannya. Jika tidak bisa memberi
isyarat dengan kepala, boleh dengan pelupuk matanya, dan kalau masih tidak
mampu juga cukuplah melakukan shalat di dalam hatinya.[10]
Di sini harus diperhatikan, bahwa
merupakan kesalahan besar dari beberapa orang sakit ketika mereka meninggakan
shalat dengan alasan tidak mampu melaksanakannya secara keseluruhan, atau
tidak mampu berwudhu, atau juga
pakaiannya terkena najis atau udzur-udzur lainnya.[11]
Banyak dari mereka yang mengatakan “ jika saya sembuh, saya akan mengqadha
semua shalat yang telah saya tinggalkan”, hal ini merupakan suatu kebodohan
serta sikap mempermudah, karena shalat wajib dilakukan seorang muslim dalam keadaan
seperti apapun dan sebisa mungkin harus
dilaksanakan tepat pada waktunya, tidak boleh mengakhirkan hingga keluar dari
waktunya. Allah SWT. Berfirman :
فالتقوا الله ما استطعْتم
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu.” (Q.S. At-taghabun : 16)
ججج
IV.
ANALISIS
A. Bagaimana jika
dalam satu wilayah dilaksanakan lebih dari satu jama’ah karena beda aliran?
Salah
satu syarat sah dari shalat jum’at adalah dilaksanakan dengan satu jama’ah
dalam satu wilayah. Kecuali jika ada udzur tertentu. Perbedaan pandangan atau aliran termasuk kedalam udzur
tersebut. Jika dikhawatirkan terjadi fitnah atau kemadhorotan dengan adanya
penyatuan sholat antara kelompok yang berbeda aliran tersebut, maka adanya
lebih dari satu sholat jum’at yang dilaksanakan di tempat yang berlainan,
hukumnya tetap sah.
B. Apakah khutbah
harus menggunakan bahasa arab?
Penggunaan
bahasa arab sebagai media penyampaian khutbah, maka menjadi wajib hukumnya
ketika khatib mampu berbahasa arab dan bisa memberi kepahaman pada jama’ah yang
mendengarnya. Jika tidak, maka diisyaratkan ketika membaca ayat saja yang
menggunakan bahasa arab.
Imam
maliki berpendapat, bahwa pemakaian bahasa arab adalah syarat mutlak meskipun
orang-orang tidak menetahui bahasa arab, jika dalam satu wilayah tidak ada
orang yang dapat berbahasa arab dengan baik, maka gugurlah kewajiban sholat
jum’at bagi mereka.
Sementara
menurut imam hanafi, boleh saja khutbah disampaikan dengan selain bahasa arab,
meskipun sang khatib mampu berbahasa arab dan دد
C. Masih wajibkah
sholat jum’at ketika bertepatan dengan hari raya.
Hari
jum’at adalah hari raya mingguan bagi kaum muslimin ketika hari raya (idul fitri dan idul adha) jatuh pada hari jum’at, diperbolehkan
bagi yang bersnagkutan untuk meninggalkan sholat jum’at. Sebab, baik sholat jum’at
maupun hari raya keduanya adalah hari raya dan pertemuan bagi kaum muslimin,
maka jika telah terjadi pertemuan dengan adanya hari raya (idul fitri dan idul
adha) tersebut, tidak wajib mengadakan pertemuan lagi dalam hari yang sama.
Adapun
untuk meninggalkan sholat jum’at pada hari tersebut, tidak diwajibkan. Hal ini
hanya bersifat “boleh”, dan jika seseorang melaksanakan sholat jum’at sekaligus
sholat ied, itu lebih baik.
Hal ini sesuai
dengan hadits riwayat Abu Hurairah:
قَدِاْجتَمَعَ
ِفْي َيْومِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ ا اْلجُمْعَةِ وَإِنَّاَ
مُجَمِّعُوْنَ
“Telah terkumpul
pada hari ini dua hari raya, maka barang siapa yang akan mencukupkan dirinya
dengan sholat jum’at maka kami akan bersholat jum’at bersama-sama.”
D. Bagaimana
kaifiyah shalat bagi orang yang terkena struk?
Struk
merupakan penyakit yang menyerang saraf dan mematikan organ tubuh tertentu.
Dalam kasus ini, ketika seseorang terkena struk hanya pada sebagian anggota
tubuhnya saja, maka orang tersebut melaksanakan shalat menggunakan isyarat atau
gerakan dengan anggota tubuh yang masih
bisa digerakkan. Namun jika seluruh tubuhnya terkena struk, bahkan untuk
berkedippun ia tak mampu, maka orang yang bersangkutan boleh melakukan shalat dengan
isyarat dari hatinya. Dalam hal ini sudah disebutkan dalam kitab fathul
mu’in, bahwa seseorang masih tetap terkena kewajiban
mengerjakan shalat selama masih memiliki akal.[12]
V.
KESIMPULAN
Shalat jum’at adalah
shalat dua rakaat yang dilakukan pada hari jum’at, di tengah hari (waktu
dzuhur) serta didahului oleh dua khutbah. Seseorang yang hendak melaksanakan
shalat jum’at hendaknya memenuhi syarat wajib, syarat sah serta rukun dari
shalat jum’at. Khutbah sebagai salah satu syarat sah shalat jum’at, harus
dilaksanakan sebelum shalat. Khutbah sendiri mempunyai syarat dan rukun yang
harus dipenuhi oleh khatib. Selama khutbah berlangsung, jama’ah wajib
mendengarkan, memperhatikan serta dilarang berbicara. apabila terjadi
perbincangan, maka orang yang bersangkutan rusak shalatnya (tidak sah) dan dianggap tidak melaksanakan shalat jum’at.
Shalat merupakan hal
yang wajib dilakukan setiap muslim di manapun, kapanpun dan dalam keadaan
bagaimanapun, tidak terkecuali bagi orang sakit. Mereka tetap berkewajiban
menunaikan shalat meski dengan rukhsoh (keringanan). ketika seseorang
tidak mampu melakukan shalat dengan kadaan berdiri,maka ia diperbolehkan :
1.
Duduk
iftirasy atau boleh juga bersila, jangan duduk semacam duduk anjing.
2.
Jika
tidak kuasa untuk duduk, maka bebaring atas lambungnya dengan kepala menghadap
kiblat.
3.
Jika
tidak sanggup berbaring, maka hendaknya ia tidur terlentang dengan kaki
diarahkan ke kiblat dan mengerjakan ruku’ dan sujud dengan isyarat
kesanggupannya.
VI.
PENUTUP
Alhamdulillahirabbil
‘alamin, puji syukur kami ucapkan kepada Allah
SWT sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini meski masih terdapat berbagai
kekurangan baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Kritik dan
saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah-makalah
selanjutnya agar lebih sempurna serta bermanfaat bagi yang mempelajarinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jauziyah,
Ibnu Qayyim, Tuntunan
Shalat Rasulullah SAW, Jakarta :
akbar Media Eka Sarana, 2008.
Al-Kattani,Ibnul
Hayyie, dkk, Fiqih Sehari-hari, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, Cet. I.
Amar, Imron Abu,
Terjemah Fathul Qarib, Kudus : Menara Kudus, 1982.
As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in,
Kudus : Menara Kudus, 1980.
Ash Shiddieqhy, Teungku Muhammad
Hasbi, Pedoman Shalat, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Ash Shiddieqy, T.M Hasbi, Hukum-hukum Fiqih Islam,
Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001, cet.II.
Az Zabidi, Imam,
Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung : Mizan Media Utama, 2001.
Darajat, Zakiah,
Ilmu Fiqih,
Jakarta : DPPTAI, 1993, Cet. II.
M.A,
Hafid Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang : CV. Asy Syifa, 1992, cet.I.
No comments:
Post a Comment