SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

Makalah Fiqih Shalat Jum'at



I.                   PENDAHULUAN
Hari  jum’at  adalah hari pilihan  Allah diantara hari-hari yang lain dalam satu minggu, sebagaimana bulan ramadhan adalah bulan pilihan Allah diantar bulan-bulan yang lain dalam satu tahun, makkah adalah tempat pilihan Allah di bumi dan nabi Muhammad adalah kekasih pilihan-Nya diantara makhluk-makhluk-Nya.  Adapun  hari  jum’at adalah  hari raya umat islam di dunia dan hari dimana Allah memenuhi hajat mereka. Rosulullah SAW melakukan sholat jum’at pertama kali di tengah-tengah lembah madinah  yang mana sebelum beliau mendirikan masjid Nabawi.
Sholat jum’at merupakan salah satu dari kewajiban umat islam, dan termasuk kesempatan berkumpulnya umat islam yang cukup banyak selain berkumpul pada saat ‘arafah.
Demikian pula sholat jum’at dilakukan setiap hari jum’at setelah tergelincir matahari (pada waktu dzuhur) serta harus dilakukan dengan berjama’ah.
Sebagai manusia, dalam menjalani kehidupan tidaklah luput dari suatu rintangan (udzur). Termasuk juga dalam menjalankan ibadah, salah satu di antara rintangan (udzur) tersebut yakni sakit. Namun apakah udzur tersebut bisa mengugurkan kewajiban utama seorang muslim, yakni shalat?. Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai permasalahan tersebut.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian dan dasar hukum Shalat Jum’at
B.     Syarat dan Rukun Shalat Jum’at
C.     Khutbah dalam Shalat Jum’at
D.    Kaifiyah Shalat Bagi Orang Sakit
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan dasar hukum Shalat Jum’at
Shalat Jum’at adalah satu di antara seteguh-teguh fardlu islam dan suatu pertemuan kaum muslimin yang besar. Pertemuan shalat jum’at lebih besar dari segala pertemuan dan lebih besar kefardluannya, selain dari  pertemuan ‘arafah.
Barang siapa meninggalkan karena bermudah-mudah, Allah SWT mencapkan kenifaqan atas hatinya.
Dekat jauhnya Ahluljannah dan segera lambatnya mereka kepada menziarahi Allah,adalah menurut dekat jauhnya mereka kepada imam di hari jum’at dan segera lambatnya datang ke masjid. Maka dengan demikian, menghadiri sidang jum’at adalah suatu fardlu ‘ain yang tidak patut sekali-kali timbul perbantahan para ulama tentang kefardluannya.[1]
Shalat jum’at juga bisa diartikan sebagai shalat dua rakaat yang dilakukan pada hari jum’at, di tengah hari (waktu dzuhur) secara berjama’ah serta didahului oleh dua khutbah.
Dasar hukum yang menerangkan tentang shalat jum’at tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Adapun dalil Al-qur’an adalah :
يآ أيها الّذين آمنوا إذا نودِيَ للصلاةِ مِنْ يوم الجُمُعةِ فاسعَوْا إلى ذكر الله وذروا البيعَ ذلكم خيرٌ لكم إن كنتم تعلمون
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila telah diseru untuk mengerjakan shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Q.S Al Jumu’ah : 9)
Dalil yang berasal dari sunnah antara lain adalah :
عنْ أبي هريرة رضي الله عنه: أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلّم يقول: نحن الآخرون السابقون يوم القيامة, بَيْدَ أنّهم أوتوا الكتاب مِن قبلنا, ثم هذا يومُهم الذي فَرَضَ الله عليهم, فاختلفوا فيه تبعٌ: الهَيودُ غدًا والنصارى بعد غَدٍ
“Di riwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Aku pernah mendengar Rosulullah SAW bersabda: “Kita (umat muslim) adalah umat yang terakhir namun paling yang terkemuka pada hari kiamat meskipun umat-umat telah diberikan kitab suci sebelum kita. Dan hari ini (jum’at) hari mereka diwajibkan merayakannya (yaitu dengan ibadah agama, seperti khutbah dan shalat) tetapi mereka berbeda pendapat tentangnya. Demikian Allah telah memberikan petunjuk-Nya kepada mereka untuk menerimanya dan orang-orang mengikuti kita beribadah pada hari itu. Umat Yahudi (merayakan hari sucinya) pada hari berikutnya (Sabtu) dan umat kristiani (merayakan hari sucinya) pada hari berikutnya lagi (Minggu).” (HR. Bukhori)
B.     Syarat-syarat shalat Jum’at
1.      Syarat wajib shalat jum’at
Dalam shalat jum’at terdapat beberapa syarat yang wajib dipenuhi bagi yang hendak menunaikannya, yaitu :
a.       Islam
b.      Mukallaf (orang baligh dan berakal sehat).
c.       Laki-laki yang merdeka.
d.      Mutawattin (bertempat).
Yang dimaksud dengan mutawattin adalah bahwa seseorang yang  akan  menunaikan shalat jum’at hendaknya berada (menetap) pada tempat di mana shalat jum’at itu diselenggarakan, tidak pergi dari tempat itu baik di musim kemarau atau penghujan, selain ada keperluan seperti pergi berdagang atau ziarah.
e.        Tidak sedang berudzur sebagaimana udzur-udzur yang pada saat berjamaah.
Dapat dipahami di sini, bahwa ketika seseorang mempunyai udzur sebagaimana udzur-udzur pada shalat berjama’ah tidak wajib menunaikan shalat jum’at.
f.       Muqim (tinggal)
Misalnya, orang yang muqim di tempat diselenggarakannya shalat jum’at selama empat hari atau lebih, sedangkan ia bermaksud pulang ke tempat sendiri, sekalipun nanti setelah berhari-hari.[2] Jadi, yang dimaksud tinggal di sini, adalah tinggal secara sementara.
Dengan demikian, tidak wajib shalat jum’at bagi :
a.       Orang kafir yang asli
b.      Anak kecil (belum dewasa)
c.       Orang gila
d.      Budak
e.       Orang perempuan
f.       Orang sakit dan yang serupa
g.      Orang yang berpergian.[3]

2.      Syarat sah shalat jum’at
Syarat sah shalat jum’at sama seperti halnya syarat sah pada shalat fardhu. Hanya saja terdapat enam syarat tambahan, yakni :
a.       Harus dikerjakan secara berjamaah pada rakaat yang pertama.
Dengan demikian seseorang sah shalat jum’atnya jika pada rakaat pertama imam shalat berjama’ah dengan makmum, kemudian berhadas, dan makmum tetap melanjutkan shalatnya (rakaat ke dua makmum mufaroqoh dengan imam dan melanjutkan halat secara munfarid), maka shalat jum’atnya tetap sah.
b.      Dikerjaan oleh 40 orang termasuk imam.
Apabila 40 orang itu berkurang di tengah-tengah shalat, maka shalat jum’atnya batal, kalau di waktu khutbah, maka rukun khutbah yang dilakukan waktu bilangan sedang berkurang itu dianggap belum dikerjakan, karena rukun tersebut tidak didengar oleh 40 orang, lain halnya jika setelah itu bilangan penuh lagi dalam waktu dekat (menurut ukuran umum), maka boleh meneruskan khutbah mulai dari rukun yang dikerjakan sebelum bilangan kurang tadi.
Pada hal ini menurut imam Abu Hanifah, shalat jum’at sah diselenggarakan hanya oleh 40 orang, sekalipun mereka hamba sahaya atau orang-orang musafir.
c.       Diselenggarakan pada tempat yang masuk pada wilayah tersebut.
Sekalipun dalam hal ini ada sebuah padang yang masuk wilayahnya, dan tempatnya tidak sejauh diperbolehkannya shalat qoshor ( + 86 km).
d.      Diselenggarakan pada waktu zhuhur
Apabila waktu sudah tidak mencukupi untuk shalat jum’at beserta dua khutbahnya, atau yang seperti itu diragukan akan  terjadinya, maka supaya menunaikan shalat zhuhur.
e.       Diselenggarakan setelah dua khutbah.
Khutbah di sini hendaknya dilakukan setelah matahari memasuki langit belahan barat. Sebagaimana hadis Nabi SAW :
عَنْ أَنَسِ ابْنِ مَا ِلكِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : أنَّض النّبِيَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ. (رواه البخاري)                                                                          
“diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.: Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat Jum’at segera setelah tengah hari.” (H.R Bukhari)[4]

C.    Khutbah dalam Shalat Jum’at
Menurut jumhur ulama wajib melaksanakan khutbah sebelum shalat jum’at dilakukan, karena khutbah merupakan syarat sahnya shalat jum’at dan jika tidak didahului dengan khutbah maka tidak sah shalat jum’at tersebut. Dan hal ini didasarkan kepada perbuatan Nabi Muhammad SAW dimana beliau selalu berkhutbah sebelum shalat jum’at.[5]
Syarat-syarat sah dalam dua khutbah sebagai berikut:
1.      Khatib harus suci dari hadas
2.      Menutup aurat
3.      Berdiri tegak
4.      Duduk antara dua khutbah
5.      Jumlah jamaah yang sah untuk mendirikan shalat jum’at.
Adapun rukun khutbah adalah sebagai berikut:
1.      Mengucapkan pujian (hamdalah) kepada Allah SWT
2.      Mengucapkan shalawat atas Nabi Muhammad SAW
3.      Berwasiat agar bertaqwa kepada Allah dalam kedua khutbah tersebut
4.      Membaca ayat Al-quran didalam khutbah pertama atau yang kedua
5.      Berdoa untuk kaum mukminin dan mukminat.[6]
Sedangkan tata cara berkhutbah sebagai berikut:
1.    Bagi khatib di syariatkan berdiri di atas mimbar
2.    Hendaklah khatib memberi salam kepada jamaah setelah naik mimbar
3.    Duduk  menghadap ke arah jamaah sampai muadzin mengumandangkan adzan
4.    Setelah selesai adzan khatib berdiri mengucapkan dua khutbah dengan duduk sejenak diantara dua khutbah tersebut kemudian muadzin mengumandangkan iqomat.
Sesuai dengan hadis yang menerangkan bahwa :
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَا ئِمًا وَيَجْلِسُ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ وَيَقْرَأُ أَيَاتِ الْقُرْأَنِ وَيُذَكِّرُالنَّاسَ. (رواه الجماعة الاّالبخااري والترميذي عن جابر ابن سمره)                                                                                                                                    
“Dari Rasulullah Saw berkhutbah dengan berdiri dan duduk di antara dua khutbah serta membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi peringatan kepada orang-orang.” (HR. Al Jami’ah kecuali Bukhori dan Tirmidzi dan Jabir bin Samiroh)

5.    Khutbah berisi pujian kepada Allah dan Rasulnya serta peringatan terhadap jamaah dan bacaan Al-quran
6.    Khatib memendekkan khutbahnya dan berkhutbah dengan suara yanag keras dan jelas
7.    Hendaklah khatib menutup khutbahnya dengan berdoa.
Dalam pada itu bagi para jamaah wajib mendengarkan dan memperhatikan khutbah tidak boleh berbicara selama khutbah sedang berlangsung. Bila mana terjadi perbincangan maka sama saja ia tidak melakukan shalat jum’at.[7]
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ تَكَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَهُوَكَمَثَلِ الْحِمَارِ أَسْفَارًاوَالَّذِى يَقُوْلُ لَهُ : أَنْصِتْ لَيْسَتْ لَهُ جُمُعَةٌ                                                                           

“Barangsiapa yang berbicara pada hari jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka ia bagaikan keledai yang membawa kitab dan seseorang yang mengatakan kepadanya “diamlah”, maka sama halnya ia tidak melakukan shalat jum’at.”[8]
D.    Kaifiyah Shalat Bagi Orang Sakit
كَانَتْ بِى بَوَاسِيْرُفَسَأَلْتُ النَّبِيَّ عَنِ الصَّلاَةِفَقَالَ:صَلِّ قَائِمًافإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًافَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ                                                         
“Adalah aku ditimpa penyakit bawasir, maka aku bertanya kepada Nabi tentang hal bershalat, maka Rasulullah bersabda : “bershalatlah sambil berdiri,  jika engkau tidak sanggup berdiri, maka sambil duduk, jika tidak sanggup maka sambil berbaring di atas lambung.” (H.R Bukhari, Subulus salam 2 : 59)

عَادَالنَّبِيُّ مَرِيْضًافَرَاَهُ يُصَلِّى عَلَى وِسَادَةٍ فَرمىَ بِهَا وَقَالَ صَلِّ عَلَى  الأَرْضِ إِنِ اسْتَطَعْتَ وَإِلاَّ فَأَوْمِ إِيْماءً وَاجْعَلْ سُجُدَكَ اَخْفَضَ مِن رُكُوعِكَ.                                                                        
“Nabi SAW meungunjungi seorang yang sedang sakit lalu beliau melihatnya bershalat di atas bantal, maka Nabipun menarik bantal itu seraya berkata: ”Bershalatlah engkau atas lantai jika engkau sanggup, jika engkau tak sanggup, maka kerjakanlah dengan isyarat dan jadikanlah sujudmu itu lebih rendah (isyaratnya)dari rukukmu .” (H.A. Albaihaqi, Subulus Salam 2 : 59)

رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم يُصَلِّى مُتَرَبِّعًا                                          
“Aku melihat Nabi SAW. Bershalat seraya bersila.” (H.R. An Nasa’i, Subulus Salam 2 : 59)

Dari beberapa hadis di atas, kita dapatkan beberapa alternatif  kaifiyah (cara ) ketika seseorang tidak mampu melakukan shalat dengan kadaan berdiri, yakni :
1.      Duduk iftirasy atau boleh juga bersila, jangan duduk semacam duduk anjing.
2.      Jika tidak kuasa untuk duduk, maka bebaring atas lambungnya dengan kepala menghadap kiblat.
3.      Jika tidak sanggup berbaring, maka hendaknya ia tidur terlentang dengan kaki diarahkan ke kiblat dan mengerjakan ruku’ dan sujud dengan isyarat kesanggupannya.[9]
Seseorang jika tidak bisa mengerjakan shalat seperti halnya shalatnya orang yang sehat, maka dia bisa melakukannya dengan isyarat kesanggupannya. Jika tidak bisa memberi isyarat dengan kepala, boleh dengan pelupuk matanya, dan kalau masih tidak mampu juga cukuplah melakukan shalat di dalam hatinya.[10]
Di sini harus diperhatikan, bahwa merupakan kesalahan besar dari beberapa orang sakit ketika mereka meninggakan shalat dengan alasan tidak mampu melaksanakannya secara keseluruhan, atau tidak  mampu berwudhu, atau juga pakaiannya terkena najis atau udzur-udzur lainnya.[11] Banyak dari mereka yang mengatakan “ jika saya sembuh, saya akan mengqadha semua shalat yang telah saya tinggalkan”, hal ini merupakan suatu kebodohan serta sikap mempermudah, karena shalat wajib dilakukan seorang muslim dalam keadaan seperti apapun dan  sebisa mungkin harus dilaksanakan tepat pada waktunya, tidak boleh mengakhirkan hingga keluar dari waktunya. Allah SWT. Berfirman :
فالتقوا الله ما استطعْتم
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (Q.S. At-taghabun : 16)
ججج
IV.             ANALISIS
A.    Bagaimana jika dalam satu wilayah dilaksanakan lebih dari satu jama’ah karena beda aliran?
Salah satu syarat sah dari shalat jum’at adalah dilaksanakan dengan satu jama’ah dalam satu wilayah. Kecuali jika ada udzur tertentu. Perbedaan  pandangan atau aliran termasuk kedalam udzur tersebut. Jika dikhawatirkan terjadi fitnah atau kemadhorotan dengan adanya penyatuan sholat antara kelompok yang berbeda aliran tersebut, maka adanya lebih dari satu sholat jum’at yang dilaksanakan di tempat yang berlainan, hukumnya tetap sah.
B.     Apakah khutbah harus menggunakan bahasa arab?
Penggunaan bahasa arab sebagai media penyampaian khutbah, maka menjadi wajib hukumnya ketika khatib mampu berbahasa arab dan bisa memberi kepahaman pada jama’ah yang mendengarnya. Jika tidak, maka diisyaratkan ketika membaca ayat saja yang menggunakan bahasa arab.
Imam maliki berpendapat, bahwa pemakaian bahasa arab adalah syarat mutlak meskipun orang-orang tidak menetahui bahasa arab, jika dalam satu wilayah tidak ada orang yang dapat berbahasa arab dengan baik, maka gugurlah kewajiban sholat jum’at bagi mereka.
Sementara menurut imam hanafi, boleh saja khutbah disampaikan dengan selain bahasa arab, meskipun sang khatib mampu berbahasa arab dan دد
C.     Masih wajibkah sholat jum’at ketika bertepatan dengan hari raya.
Hari jum’at adalah hari raya mingguan bagi kaum muslimin ketika hari raya (idul fitri dan idul adha) jatuh pada hari jum’at, diperbolehkan bagi yang bersnagkutan untuk meninggalkan sholat jum’at. Sebab, baik sholat jum’at maupun hari raya keduanya adalah hari raya dan pertemuan bagi kaum muslimin, maka jika telah terjadi pertemuan dengan adanya hari raya (idul fitri dan idul adha) tersebut, tidak wajib mengadakan pertemuan lagi dalam hari yang sama.
Adapun untuk meninggalkan sholat jum’at pada hari tersebut, tidak diwajibkan. Hal ini hanya bersifat “boleh”, dan jika seseorang melaksanakan sholat jum’at sekaligus sholat ied, itu lebih baik.
Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Abu Hurairah:
قَدِاْجتَمَعَ ِفْي َيْومِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ ا اْلجُمْعَةِ وَإِنَّاَ مُجَمِّعُوْنَ
“Telah terkumpul pada hari ini dua hari raya, maka barang siapa yang akan mencukupkan dirinya dengan sholat jum’at maka kami akan bersholat jum’at bersama-sama.”
D.    Bagaimana kaifiyah shalat bagi orang yang terkena struk?
Struk merupakan penyakit yang menyerang saraf dan mematikan organ tubuh tertentu. Dalam kasus ini, ketika seseorang terkena struk hanya pada sebagian anggota tubuhnya saja, maka orang tersebut melaksanakan shalat menggunakan isyarat atau gerakan  dengan anggota tubuh yang masih bisa digerakkan. Namun jika seluruh tubuhnya terkena struk, bahkan untuk berkedippun ia tak mampu, maka orang yang bersangkutan boleh melakukan shalat dengan isyarat dari hatinya. Dalam hal ini sudah disebutkan dalam kitab fathul mu’in, bahwa seseorang masih tetap terkena kewajiban mengerjakan shalat selama masih memiliki akal.[12]

V.                KESIMPULAN

Shalat jum’at adalah shalat dua rakaat yang dilakukan pada hari jum’at, di tengah hari (waktu dzuhur) serta didahului oleh dua khutbah. Seseorang yang hendak melaksanakan shalat jum’at hendaknya memenuhi syarat wajib, syarat sah serta rukun dari shalat jum’at. Khutbah sebagai salah satu syarat sah shalat jum’at, harus dilaksanakan sebelum shalat. Khutbah sendiri mempunyai syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh khatib. Selama khutbah berlangsung, jama’ah wajib mendengarkan, memperhatikan serta dilarang berbicara. apabila terjadi perbincangan, maka orang yang bersangkutan rusak shalatnya (tidak sah) dan  dianggap tidak melaksanakan shalat jum’at.
Shalat merupakan hal yang wajib dilakukan setiap muslim di manapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun, tidak terkecuali bagi orang sakit. Mereka tetap berkewajiban menunaikan shalat meski dengan rukhsoh (keringanan). ketika seseorang tidak mampu melakukan shalat dengan kadaan berdiri,maka ia diperbolehkan :
1.      Duduk iftirasy atau boleh juga bersila, jangan duduk semacam duduk anjing.
2.      Jika tidak kuasa untuk duduk, maka bebaring atas lambungnya dengan kepala menghadap kiblat.
3.      Jika tidak sanggup berbaring, maka hendaknya ia tidur terlentang dengan kaki diarahkan ke kiblat dan mengerjakan ruku’ dan sujud dengan isyarat kesanggupannya.

VI.             PENUTUP
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT  sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini meski masih terdapat berbagai  kekurangan baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Kritik dan saran yang konstruktif senantiasa kami harapkan demi perbaikan makalah-makalah selanjutnya agar lebih sempurna serta bermanfaat bagi yang mempelajarinya.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Jauziyah, Ibnu  Qayyim, Tuntunan Shalat Rasulullah SAW, Jakarta : akbar Media Eka Sarana, 2008.
Al-Kattani,Ibnul Hayyie, dkk, Fiqih Sehari-hari, Jakarta : Gema Insani Press, 2005, Cet. I.
Amar, Imron Abu, Terjemah Fathul Qarib, Kudus : Menara Kudus, 1982.
As’ad, Aliy, Terjemah Fathul Mu’in, Kudus : Menara Kudus, 1980.
Ash Shiddieqhy, Teungku Muhammad Hasbi, Pedoman Shalat, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
Ash Shiddieqy, T.M Hasbi, Hukum-hukum Fiqih Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki, 2001, cet.II.
Az Zabidi, Imam, Ringkasan Shahih Al-Bukhari, Bandung : Mizan Media Utama, 2001.
Darajat, Zakiah, Ilmu Fiqih, Jakarta : DPPTAI, 1993, Cet. II.
M.A, Hafid Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, Semarang : CV. Asy Syifa, 1992, cet.I.


No comments:

Post a Comment