I.
PENDAHULUAN
Pidato Pembelaan Bung Karno di muka Hakim Kolonial pada
tahun 1930 menegaskan: “Kalau bangsa Indonesia ingin mentjapai kekuasaan
politik, jakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam
rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas
diri sendiri, berusaha dengan kebiasaan dan tenaga sendiri!” (Soekarno,
1930:92).
Pernyataan Bung Karno di atas menunjukkan bahwa salah
satu karakter warga negara Indonesia yang harus di bangun adalah karakter
kemandirian sebagai sebuah bangsa yang dapat terwujud dengan berusaha dan
pembiasaan. Seorang
Aristoteles menjelaskan bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan kebiasaan
(Habits). Diperjelas oleh Lickona (1992) yang mengatakan bahwa untuk
mendapatkan kararakter yang baik (good character) maka setiap warga
negara harus melakukan kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan dalam
tindakan (habits of mind, habits of heart and habits of action).
Dari
uraian di atas, maka secara sederhana karakter seseorang atau sekumpulan orang
atau bangsa berasal dari kebiasaan atau perilaku yang terbiasa (habits).
Perilaku yang terbiasa berasal dari tindakan pertama (action) yang dikendalikan
oleh cara berpikir (mind seat). Sehingga langkah awal membangun karakter
adalah harus di mulai dari membangun cara berpikir (mind seat) terlebih
dahulu, sehingga bisa tercipta kebiasaan berpikir yang baik, kebiasaan
merasakan hal yang baik, kebiasaan berperilaku baik dan harapannya akhir adalah
terbentuknya karakter yang baik (good character). Tentunya satu-satunya senjata
yang ampuh untuk membentuk kebiasaan itu adalah melalui pendidikan. Dan oleh
karena itu dalam makalah ini penulis akan sedikit memberikan penjelasan
mengenai relasi antara pengembangan model pendidikan karakter di sekolah dengan
teori-teori belajar.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pemahaman Mengenai Pendidikan Karakter
B.
Relasi antara Pendidikan Karakter dengan Beberapa
Teori Belajar
C.
Dalil Al-Qur’an yang Berkenaan dengan
Pendidikan Karakter
III.
PEMBAHASAN
A.
Pemahaman Mengenai Pendidikan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang
ia buat.
Pendidikan
karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek
pengetahuan (knowing),
perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga
aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan knowing the
good anak terbiasa berpikir hanya yang baik-baik saja. Reasoning the
good juga perlu dilakukan supaya anak tahu mengapa dia harus berbuat baik.
Misalnya kenapa anak harus jujur, apa akibatnya kalau anak jujur, dan
sebagainya. Jadi anak tidak hanya menghafal kebaikan tetapi juga tahu
alasannya. Dan juga dengan feeling the good, kita membangun perasaan anak
akan kebaikan. Anak-anak diharapkan mencintai kebaikan. Lalu, dalam acting
the good, anak mempraktekkan kebaikan. Jika anak terbiasa melakukan knowing,
reasoning, feeling, dan acting the good lama kelamaan anak akan
terbentuk karakternya.
Terdapat
sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
1.
Karakter cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya
2.
Kemandirian dan tanggung jawab
3.
Kejujuran atau amanah, diplomatis
4.
Hormat dan santun
5.
Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong
royong atau kerjasama
6.
Percaya diri dan pekerja keras
7.
Kepemimpinan dan keadilan; kedelapan
8.
Baik dan rendah hati
9.
Karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan.
Kesembilan
pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the
good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat
kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling
loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine
yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga
tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta
dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting
the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Fungsi utama pendidikan ialah menumbuhkan daya kreatif,
kecerdasan personal dan kecerdasan sosial serta kesadaran manusia. Disinilah
arti penting pendidikan karakter yang dalam khazanah Islam dikenal
sebagai pendidikan akhlak. Namun, perlu disadari bahwa pendidikan budi pekerti,
kepribadian atau akhlak, bukanlah sebuah indoktrinasi, melainkan penumbuhan
kesadaran dan pengalaman kreatif anak-anak sendiri.[1]
B.
Relasi antara Pendidikan Karakter dengan Beberapa
Teori Belajar
Selama ini dari tiga ranah kepintaran, yaitu: kecerdasan
(kognisi), keterampilan (psikomotor), dan kepribadian (afeksi),
dua yang pertama nampak lebih dipentingkan dalam praktek pendidikan selama ini.
Sementara ranah kepribadian seringkali kurang memperoleh perhatian yang
sewajarnya. Hal ini disebabkan pandangan yang kurang, seolah kecerdasan manusia
hanya berhubungan dengan otaknya, sehingga memuunculkan teori tentang cara
mengukur kecerdasan otak yang dikenal dengan IQ.
Dalam beberapa dekade terakhir pandangan diatas
memperoleh kritik keras dari teori tentang kecerdasan emosional (EQ). Pandangan
ini menyatakan bahwa kemampuan menahan nafsu (diri) sebagai inti EQ adalah akar
kecerdasan yang lebih penting dari IQ. Besamaan dengan munculnya teori ini, berkembang
cukup luas suatu teknik belajar yang dikenal sebagai quantum learning.
Belakangan bahkan muncul pemikiran filosofis tentang kecerdasan spiritual (SQ),
yaitu mengenai kemampuan hati nurani yang lebih hebat dari semua jenis
kecerdasan. SQ dan EQ dipandang sebagai unsur pokok yang menjadikan seseorang
bisa mencapai kesuksesan hidup sejati. Seseorang dengan IQ tinggi tidak
menjamin mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali jika ia juga
memiliki EQ dan atau IQ yang tinggi.
Ironinya, dunia pendidikan selama ini kurang menaruh
perhatian pada pertumbuhan pribadi anak yang sering dibiarkan tumbuh alamiah.
Padahal, hanya memiliki IQ tinggi tanpa EQ dan SQ yang memadai justru membuat
seseorang lebih berbahaya, karena mudah melakukan kejahatan profesional.
Maraknya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) di negeri ini, karena pendidikan
selama ini lebih mementingkan kepandaian matematika daripada kesalehan sosial.
Disinilah arti penting pendidikan karekter.[2]
Sesuai teori belajar dengan pendekatan kognitif, yang
menerangkan bahwa teori ini merupakan bagian terpenting dari sains kognitif
yang telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam dalam pendidikan.
Pendekatan kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental
manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak
tidak dapat diukur dan diterapkan tanpa melibatkan proses mental, seperti:
motivasi, kesengajaan (bukan alamiah), keyakinan, dan sebagainya.
Dalam perspektif teori belajar dengan pendekatan kognitif,
belajar pada dasarnya merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral
(yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak
lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah,
misalnya seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, tentu
menggunakan perangkat yang jasmaniah seperti mulut dan tangan, akan tetapi
perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak
tersebut bukan semata-mata respons atau stimulus yang ada, melaikan yang lebih
penting karena dorongan mental yang telah diatur oleh otaknya.[3]
|
B= Behavior
F= Fungsi
P= Personality
E= Environment
Rumusan diatas dapat di tafsirkan bahwa tingkah laku
seseorang termasuk tingkah laku belajar, tergantung pada kepribadian dan
keadaan lingkungan dimana orang tersebut berada.[4]
Selain menanamkan karakter baik pada anak didik, model pendidikan
karakter mempunyai tujuan yaitu agar para siswa bisa memakai dan memahami
berbagai aspek positif yang telah dia peroleh dari para guru untuk
menyandingkannya dengan keterampilan-keterampilannya dalam berbagai ilmu secara
baik benar dan terarah. Sehingga dirinya dan orang lain akan menjadi senang
atas apa yang dia dilakukan, dan akan menjadi terus teropsesi untuk memperbaiki
dan meningkatkan segala hal yang sekiranya dianggap kurang.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh E.L. Thondike
(1874-19490 dalam teori belajar behavioristik yang ia beri nama “Teori Koneksionisme”.
Disini ia menjelaskan bahwa dalam belajar terdapat 3 hukum pokok, yaitu:[5]
1.
Law of Readiness (Hukum Persiapan)
a.
Bila individu belum siap untuk bertindak, tetapi disuruh
untuk melakukan respon terhadap stimulus akan menimbulkan rasa tidak puas dan
tidak senang.
b.
Bila individu sudah siap untuk bertindak, tetapi dicegah
melakukan respon terhadap stimulus akan menimbulkan rasa tidak senang dan tidak
puas.
2.
Law of Exercise (Hukum Latihan)
Koneksi antara Respon dan Stimulus akan semakin kuat jika
sering dilatih. Jika koneksi yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak pernah
lagi di praktekan, maka konesi akan melemah dan akhirnya menghilang.
Didalam Islam pun terdapat juga hal yang serupa (hukum
latihan). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa wahyu yang diterima pertama oleh
Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq: 1-5, dan disinilah terdapat dalil atas
adanya hukum tersebut.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
(١)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya: (1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang menciptakan. (2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. (3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah.
(4). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. (5). Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS.
Al-Alaq: 1-5).
Kata اقرأْ
iqra’ berasala dari kata kerja قرأَ
qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Dengan demikian
realisasi perintah tersebut tidak
mengharuskan adanya suatu teks tertulis
sebagai objek bacaan, tidak pula harus diuucapkan sehingga terdengar oleh orang
lain. Dalam kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang
membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud
bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata
tersebut”. Dan dari sinilah mengapa penggunaan kata iqra’ sebagai fi’il
muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek) tidak disebutkan jenis
objeknya secara teks jelas, hal ini dikarenakan kandungan amr (perintah)
yang diharapkan disini adalah bersifat umum.[6]
Mengaitkan
pekerjaan membaca (قرأَ) dengan nama Allah (باسم ربِّك) yang terdapat dalam ayat ini, mengantarkan pelakunya
untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah. Dalam hal ini akan menghasilkan
ke ikhlasan melakukan sesuatu karena hanya Allah Yang Kekal, dan hanya
aktivitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa
keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan (sia-sia).
Dengan demikian didalam ayat ini
sebagai wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi SAW memberikan
pengertian bahwa umat manusia dituntut untuk membenahi dan belajar lebih
mendalam mengenai keikhlasan disamping arti belajar. Dan kemudian ayat inilah yang menjadi dalil utama
pengembangan model pendidikan karakter.
Dalam ayat ini
juga dijelaskan bahwa ketika seorang individu menjalani sebuah proses latihan
dalam belajar hendaklah dilakukakan secara berulang atau berkala, agar koneksi antara Respon dan Stimulus menjadi
semakin kuat. Hal ini digambarkan dalam pengulangan dua kali kata اقرأْ
pada ayat 1 dan 3.
Dengan
pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan
kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
3.
Law of Effect (Hukum Akibat)
Jika terjadi
koneksi antara Respon dan Stimulus, dan diikuti dengan keadaan yang memuaskan,
maka koneksi itu menjadi lebih kuat dan sebaliknya. Hadiah (reward) dan
hukuman (punishment) mempunyai akibat yang sama kuat terhadap perbuatan
anak.
Dan dari sinilah
sebaiknya penanaman karakter baik pada seorang anak harus dilakukan sejak dini atau
yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age),
karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan
potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.
Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada
pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dan oleh karena itu semua pengajaran karakter yang diperoleh dan diterima
anak sejak dini akan menjadi hal pokok yang pemanen di usia dewasanya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
(٣٩)وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (٤٠)
Artinya: “(39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh
selain apa yang telah diusahakannya, (40) dan bahwasanya usaha itu kelak akan
diperlihat (kepadanya).” (An-Najm: 39-40).
C.
Dalil Al-Qur’an yang Berkenaan dengan
Pendidikan Karakter
Tumbuh dan
berkembangnya roh moralitas tentunya membutuhkan pengajaran dan pendidikan
akhlak atau karakter untuk mencapai kesadaran kemanusiaan, hikmah, dan prinsip
akhlak. Prinsip ini harus diajarkan agar seseorang mamapu membedakan anatara
jalan yang baik dengan jalan yang buruk; membedakan perbuatan yang berakibat
pada kebaikan dan yang berakibat pada keburukan. Dan untuk itulah Rasulullah
SAW diutus sebagai mu’allim (pengajar), murabbi (pendidik) dan
sekaligus menjadi uswatun hasanah (Cotoh yang baik) yang mengajarkan
prinsip-prinsip dan hikmah-hikmah hidup. Sebagaimana terdapat dalam firman
Allah SWT:[7]
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ
رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (١٥١)
Artinya: “Sebagaimana (Kami Telah
menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul
diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu
dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu
apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 151)
Dalam ayat
diatas sudah sangat jelas diterangkan bahwa tujuan utama di utusnya Nabi
Muhammad SAW di dunia adalah untuk mengajarkan akhlak-akhlak baik bagi para
manusia, dan menyempurnakan akhlak-akhlak manusia menjadi insan kamil
yang berakhlakul karimah baik.
Dan dalil
utama yang menunjukkan model pendidikan karakter sebagai model pendidikan yang
wajib dinomer satukan adalah terdapat pada wahyu pertama yang diterima oleh
Nabi Muhammad SAW, yaitu surat Al-Alaq: 1-5. Dalam hal ini yang menjadi titik
pemahaman, bahwa Allah SWT menurunkan wahyu yang pertama kepada Nabi SAW tidak
lain adalah perintah untuk memberdayakan pendidikan karakter, karena memang
pada hakikatnya pendidikan sangatlah penting bagi manusia.
Dalil lain
yang menunjukkan keutamaan pendidikan karakter yaitu;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ
تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا
فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ
دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
Artinya:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11)
Pada ayat ini
yang perlu kita perhatikan adalah kata الذين آمنوا dan الذين أُوْتوا العلم. Disini Allah menyebutkan kata
orang-orang yang beriman terlebih dahulu daripada kata orang-orang yang berilmu
pengetahuan. Hal ini tidak lain adalah bahwa manusia sangat dituntut lebih
utama untuk membenahi diri terlebih dahulu, yang salah satunya adalah dengan
media pendidikan karakter
IV. KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan,
diantaranya yaitu; Pendidikan ialah penyadaran diri peserta didik kepada
dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat. Dan dalam model pendidikan karakter
ini diajarkan secara sistematis
menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the
good.
Jika kita kaitkan
antara pengembangan model pendidikan karakter di sekolah dengan beberapa teori
belajar, kita dapat mengetahui bahwa pendidikan karakter sangatlah penting
untuk diaplikasikan dalam diri setiap orang mulai sedini mungkin. Hal ini pun
sesuai dengan beberapa teori belajar, yaitu; teori belajar kognitif yang
berupa teori medan, dan juga sesuai dengan teori koneksionisme oleh E.L.
Thondike yang berpendapat bahwa didalam belajar terdapat tiga macam hukum
pokok, yaitu; Law of Readiness (Hukum Persiapan), Law of Exercise (Hukum
Latihan), Law of Effect (Hukum Akibat).
V.
PENUTUP
Demikianlah
beberapa penjelaas penulis mengenai “Kaitan Antara Model Pendidikan Karakter
dengan Teori-teori Belajar”. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas
ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu psikologi pendidikan yang sedang
kita pelajari bersama ini. Dan rasa terima kasih penulis kepada ibu Nikmah Rahmawati, M. Si.
Selaku dosen matakuliyah
psikologi pendidikan yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya dalam belajar.
Tidak kurang dari itu, kelalaian dan kekurangan penulis dalam menyajikan dan
menguraikan makalah ini sangatlah di mungkinkan adanya, oleh karena itu kritik
beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan.
Dan
dari semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan
mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita
dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Mulkhan, Abdul Munir, Cerdas di Kelas Sekolah
Kepribadian Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis
Kelas, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Mustaqim, Ilmu Jiwa Pendidikan, Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2010.
Musthafa, Tulus, Kecerdasan Moral (Aspek Pendidikan
yang terluupakan), Jakarta: Pustaka Fahima, 2003.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Tohirin, Psikologi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
No comments:
Post a Comment