SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

RELASI ANTARA PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DENGAN TEORI-TEORI BELAJAR



I.             PENDAHULUAN
Pidato Pembelaan Bung Karno di muka Hakim Kolonial pada tahun 1930 menegaskan: “Kalau bangsa Indonesia ingin mentjapai kekuasaan politik, jakni ingin merdeka, kalau bangsa kami itu ingin menjadi tuan di dalam rumah sendiri, maka ia harus mendidik diri sendiri, menjalankan perwalian atas diri sendiri, berusaha dengan kebiasaan dan tenaga sendiri!” (Soekarno, 1930:92).
Pernyataan Bung Karno di atas menunjukkan bahwa salah satu karakter warga negara Indonesia yang harus di bangun adalah karakter kemandirian sebagai sebuah bangsa yang dapat terwujud dengan berusaha dan pembiasaan. Seorang Aristoteles menjelaskan bahwa karakter sangat erat hubungannya dengan kebiasaan (Habits). Diperjelas oleh Lickona (1992) yang mengatakan bahwa untuk mendapatkan kararakter yang baik (good character) maka setiap warga negara harus melakukan kebiasaan pikiran, kebiasaan hati dan kebiasaan dalam tindakan (habits of mind, habits of heart and habits of action).
Dari uraian di atas, maka secara sederhana karakter seseorang atau sekumpulan orang atau bangsa berasal dari kebiasaan atau perilaku yang terbiasa (habits). Perilaku yang terbiasa berasal dari tindakan pertama (action) yang dikendalikan oleh cara berpikir (mind seat). Sehingga langkah awal membangun karakter adalah harus di mulai dari membangun cara berpikir (mind seat) terlebih dahulu, sehingga bisa tercipta kebiasaan berpikir yang baik, kebiasaan merasakan hal yang baik, kebiasaan berperilaku baik dan harapannya akhir adalah terbentuknya karakter yang baik (good character). Tentunya satu-satunya senjata yang ampuh untuk membentuk kebiasaan itu adalah melalui pendidikan. Dan oleh karena itu dalam makalah ini penulis akan sedikit memberikan penjelasan mengenai relasi antara pengembangan model pendidikan karakter di sekolah dengan teori-teori belajar.

II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Pemahaman Mengenai Pendidikan Karakter
B.     Relasi antara Pendidikan Karakter dengan Beberapa Teori Belajar
C.     Dalil Al-Qur’an yang Berkenaan dengan Pendidikan Karakter
III.      PEMBAHASAN
A.    Pemahaman Mengenai Pendidikan Karakter
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (knowing), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dengan knowing the good anak terbiasa berpikir hanya yang baik-baik saja. Reasoning the good juga perlu dilakukan supaya anak tahu mengapa dia harus berbuat baik. Misalnya kenapa anak harus jujur, apa akibatnya kalau anak jujur, dan sebagainya. Jadi anak tidak hanya menghafal kebaikan tetapi juga tahu alasannya. Dan juga dengan feeling the good, kita membangun perasaan anak akan kebaikan. Anak-anak diharapkan mencintai kebaikan. Lalu, dalam acting the good, anak mempraktekkan kebaikan. Jika anak terbiasa melakukan knowing, reasoning, feeling, dan acting the good lama kelamaan anak akan terbentuk karakternya.
Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
1.      Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2.      Kemandirian dan tanggung jawab
3.      Kejujuran atau amanah, diplomatis
4.      Hormat dan santun
5.      Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong atau kerjasama
6.      Percaya diri dan pekerja keras
7.      Kepemimpinan dan keadilan; kedelapan
8.      Baik dan rendah hati
9.      Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.
Fungsi utama pendidikan ialah menumbuhkan daya kreatif, kecerdasan personal dan kecerdasan sosial serta kesadaran manusia. Disinilah arti penting pendidikan karakter yang dalam khazanah Islam dikenal sebagai pendidikan akhlak. Namun, perlu disadari bahwa pendidikan budi pekerti, kepribadian atau akhlak, bukanlah sebuah indoktrinasi, melainkan penumbuhan kesadaran dan pengalaman kreatif anak-anak sendiri.[1]

B.     Relasi antara Pendidikan Karakter dengan Beberapa Teori Belajar
Selama ini dari tiga ranah kepintaran, yaitu: kecerdasan (kognisi), keterampilan (psikomotor), dan kepribadian (afeksi), dua yang pertama nampak lebih dipentingkan dalam praktek pendidikan selama ini. Sementara ranah kepribadian seringkali kurang memperoleh perhatian yang sewajarnya. Hal ini disebabkan pandangan yang kurang, seolah kecerdasan manusia hanya berhubungan dengan otaknya, sehingga memuunculkan teori tentang cara mengukur kecerdasan otak yang dikenal dengan IQ.
Dalam beberapa dekade terakhir pandangan diatas memperoleh kritik keras dari teori tentang kecerdasan emosional (EQ). Pandangan ini menyatakan bahwa kemampuan menahan nafsu (diri) sebagai inti EQ adalah akar kecerdasan yang lebih penting dari IQ. Besamaan dengan munculnya teori ini, berkembang cukup luas suatu teknik belajar yang dikenal sebagai quantum learning. Belakangan bahkan muncul pemikiran filosofis tentang kecerdasan spiritual (SQ), yaitu mengenai kemampuan hati nurani yang lebih hebat dari semua jenis kecerdasan. SQ dan EQ dipandang sebagai unsur pokok yang menjadikan seseorang bisa mencapai kesuksesan hidup sejati. Seseorang dengan IQ tinggi tidak menjamin mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, kecuali jika ia juga memiliki EQ dan atau IQ yang tinggi.
Ironinya, dunia pendidikan selama ini kurang menaruh perhatian pada pertumbuhan pribadi anak yang sering dibiarkan tumbuh alamiah. Padahal, hanya memiliki IQ tinggi tanpa EQ dan SQ yang memadai justru membuat seseorang lebih berbahaya, karena mudah melakukan kejahatan profesional. Maraknya KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme) di negeri ini, karena pendidikan selama ini lebih mementingkan kepandaian matematika daripada kesalehan sosial. Disinilah arti penting pendidikan karekter.[2]
Sesuai teori belajar dengan pendekatan kognitif, yang menerangkan bahwa teori ini merupakan bagian terpenting dari sains kognitif yang telah memberikan kontribusi yang sangat berarti dalam dalam pendidikan. Pendekatan kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangan para ahli kognitif, tingkah laku manusia yang tampak tidak dapat diukur dan diterapkan tanpa melibatkan proses mental, seperti: motivasi, kesengajaan (bukan alamiah), keyakinan, dan sebagainya.
Dalam perspektif teori belajar dengan pendekatan kognitif, belajar pada dasarnya merupakan peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, misalnya seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, tentu menggunakan perangkat yang jasmaniah seperti mulut dan tangan, akan tetapi perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atau stimulus yang ada, melaikan yang lebih penting karena dorongan mental yang telah diatur oleh otaknya.[3]
 B = F (P, E)
 
Salah satu dari teori pendekatan kognitif adalah teori medan. Dalam teori ini dijelaskan bahwa tingkah laku individu merupakan fungsi dari pribadi dan lingkungannya. Rumusannya:

B= Behavior
F= Fungsi
P= Personality
E= Environment
Rumusan diatas dapat di tafsirkan bahwa tingkah laku seseorang termasuk tingkah laku belajar, tergantung pada kepribadian dan keadaan lingkungan dimana orang tersebut berada.[4]
Selain menanamkan karakter baik pada anak didik, model pendidikan karakter mempunyai tujuan yaitu agar para siswa bisa memakai dan memahami berbagai aspek positif yang telah dia peroleh dari para guru untuk menyandingkannya dengan keterampilan-keterampilannya dalam berbagai ilmu secara baik benar dan terarah. Sehingga dirinya dan orang lain akan menjadi senang atas apa yang dia dilakukan, dan akan menjadi terus teropsesi untuk memperbaiki dan meningkatkan segala hal yang sekiranya dianggap kurang.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh E.L. Thondike (1874-19490 dalam teori belajar behavioristik yang ia beri nama “Teori Koneksionisme”. Disini ia menjelaskan bahwa dalam belajar terdapat 3 hukum pokok, yaitu:[5]
1.      Law of Readiness (Hukum Persiapan)
a.       Bila individu belum siap untuk bertindak, tetapi disuruh untuk melakukan respon terhadap stimulus akan menimbulkan rasa tidak puas dan tidak senang.
b.      Bila individu sudah siap untuk bertindak, tetapi dicegah melakukan respon terhadap stimulus akan menimbulkan rasa tidak senang dan tidak puas.
2.      Law of Exercise (Hukum Latihan)
Koneksi antara Respon dan Stimulus akan semakin kuat jika sering dilatih. Jika koneksi yang sudah terbentuk itu jarang atau tidak pernah lagi di praktekan, maka konesi akan melemah dan akhirnya menghilang.
Didalam Islam pun terdapat juga hal yang serupa (hukum latihan). Sebagaimana yang kita ketahui bahwa wahyu yang diterima pertama oleh Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq: 1-5, dan disinilah terdapat dalil atas adanya hukum tersebut.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)خَلَقَ الإنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (٢)اقْرَأْ وَرَبُّكَ الأكْرَمُ (٣)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الإنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya: (1). Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. (2). Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. (4). Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. (5). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-Alaq: 1-5).
Kata اقرأْ iqra’ berasala dari kata kerja قرأَ qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Dengan demikian realisasi perintah tersebut  tidak mengharuskan  adanya suatu teks tertulis sebagai objek bacaan, tidak pula harus diuucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Dalam kaidah kebahasaan menyatakan, “Apabila suatu kata kerja yang membutuhkan objek tetapi tidak disebutkan objeknya, maka objek yang dimaksud bersifat umum, mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut”. Dan dari sinilah mengapa penggunaan kata iqra’ sebagai fi’il muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek) tidak disebutkan jenis objeknya secara teks jelas, hal ini dikarenakan kandungan amr (perintah) yang diharapkan disini adalah bersifat umum.[6]
Mengaitkan pekerjaan membaca (قرأَ) dengan nama Allah (باسم ربِّك) yang terdapat dalam ayat ini, mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukannya kecuali karena Allah. Dalam hal ini akan menghasilkan ke ikhlasan melakukan sesuatu karena hanya Allah Yang Kekal, dan hanya aktivitas yang dilakukan secara ikhlas yang akan diterima-Nya. Tanpa keikhlasan, semua aktivitas akan berakhir dengan kegagalan (sia-sia). Dengan demikian didalam ayat ini sebagai wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah kepada Nabi SAW memberikan pengertian bahwa umat manusia dituntut untuk membenahi dan belajar lebih mendalam mengenai keikhlasan disamping arti belajar. Dan kemudian ayat inilah yang menjadi dalil utama pengembangan model pendidikan karakter.
Dalam ayat ini juga dijelaskan bahwa ketika seorang individu menjalani sebuah proses latihan dalam belajar hendaklah dilakukakan secara berulang atau berkala, agar  koneksi antara Respon dan Stimulus menjadi semakin kuat. Hal ini digambarkan dalam pengulangan dua kali kata اقرأْ pada ayat 1 dan 3.
Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
3.      Law of Effect (Hukum Akibat)
Jika terjadi koneksi antara Respon dan Stimulus, dan diikuti dengan keadaan yang memuaskan, maka koneksi itu menjadi lebih kuat dan sebaliknya. Hadiah (reward) dan hukuman (punishment) mempunyai akibat yang sama kuat terhadap perbuatan anak.
Dan dari sinilah sebaiknya penanaman karakter baik pada seorang anak harus dilakukan sejak dini atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dan oleh karena itu semua pengajaran karakter yang diperoleh dan diterima anak sejak dini akan menjadi hal pokok yang pemanen di usia dewasanya. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى (٣٩)وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى (٤٠)
Artinya: “(39) dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, (40) dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).” (An-Najm: 39-40).

C.    Dalil Al-Qur’an yang Berkenaan dengan Pendidikan Karakter
Tumbuh dan berkembangnya roh moralitas tentunya membutuhkan pengajaran dan pendidikan akhlak atau karakter untuk mencapai kesadaran kemanusiaan, hikmah, dan prinsip akhlak. Prinsip ini harus diajarkan agar seseorang mamapu membedakan anatara jalan yang baik dengan jalan yang buruk; membedakan perbuatan yang berakibat pada kebaikan dan yang berakibat pada keburukan. Dan untuk itulah Rasulullah SAW diutus sebagai mu’allim (pengajar), murabbi (pendidik) dan sekaligus menjadi uswatun hasanah (Cotoh yang baik) yang mengajarkan prinsip-prinsip dan hikmah-hikmah hidup. Sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT:[7]
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ (١٥١)
Artinya: Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al-Baqarah: 151)
Dalam ayat diatas sudah sangat jelas diterangkan bahwa tujuan utama di utusnya Nabi Muhammad SAW di dunia adalah untuk mengajarkan akhlak-akhlak baik bagi para manusia, dan menyempurnakan akhlak-akhlak manusia menjadi insan kamil yang berakhlakul karimah baik.
Dan dalil utama yang menunjukkan model pendidikan karakter sebagai model pendidikan yang wajib dinomer satukan adalah terdapat pada wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu surat Al-Alaq: 1-5. Dalam hal ini yang menjadi titik pemahaman, bahwa Allah SWT menurunkan wahyu yang pertama kepada Nabi SAW tidak lain adalah perintah untuk memberdayakan pendidikan karakter, karena memang pada hakikatnya pendidikan sangatlah penting bagi manusia.
Dalil lain yang menunjukkan keutamaan pendidikan karakter yaitu;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (١١)
Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11)
Pada ayat ini yang perlu kita perhatikan adalah kata الذين آمنوا dan الذين أُوْتوا العلم. Disini Allah menyebutkan kata orang-orang yang beriman terlebih dahulu daripada kata orang-orang yang berilmu pengetahuan. Hal ini tidak lain adalah bahwa manusia sangat dituntut lebih utama untuk membenahi diri terlebih dahulu, yang salah satunya adalah dengan media pendidikan karakter
IV.      KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya yaitu; Pendidikan ialah penyadaran diri peserta didik kepada dirinya sendiri, orang lain dan masyarakat. Dan dalam model pendidikan karakter ini diajarkan secara sistematis menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good.
Jika kita kaitkan antara pengembangan model pendidikan karakter di sekolah dengan beberapa teori belajar, kita dapat mengetahui bahwa pendidikan karakter sangatlah penting untuk diaplikasikan dalam diri setiap orang mulai sedini mungkin. Hal ini pun sesuai dengan beberapa teori belajar, yaitu; teori belajar kognitif yang berupa teori medan, dan juga sesuai dengan teori koneksionisme oleh E.L. Thondike yang berpendapat bahwa didalam belajar terdapat tiga macam hukum pokok, yaitu; Law of Readiness (Hukum Persiapan), Law of Exercise (Hukum Latihan), Law of Effect (Hukum Akibat).

V.          PENUTUP
Demikianlah beberapa penjelaas penulis mengenai “Kaitan Antara Model Pendidikan Karakter dengan Teori-teori Belajar”. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu psikologi pendidikan yang sedang kita pelajari bersama ini. Dan rasa terima kasih penulis kepada ibu Nikmah Rahmawati, M. Si. Selaku dosen matakuliyah psikologi pendidikan yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya dalam belajar. Tidak kurang dari itu, kelalaian dan kekurangan penulis dalam menyajikan dan menguraikan makalah ini sangatlah di mungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan.
Dan dari semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin


DAFTAR PUSTAKA

Mulkhan, Abdul Munir, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Mustaqim, Ilmu Jiwa Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2010.
Musthafa, Tulus, Kecerdasan Moral (Aspek Pendidikan yang terluupakan), Jakarta: Pustaka Fahima, 2003.
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah, Vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi dan Kompetensi), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

No comments:

Post a Comment