I.
PENDAHULUAN
الـــــــحمد للّه الّذي قد أخرجــــا نتــــائج الفَكرِ لِأربابِ الـحِجا
و حَطَّ عنهم مِن سماء الـــــعَقْل كلّ حِجابٍ مِن سحاب الجهل
حتّى بَدَتْ لهم شموش الـمعرفة رَاَوْا مُــــــــحَذَّراتها مُنْكَشِفة
Dalam bahasa Arab terdapat beberapa kalimat fi’il, yaitu fi’il
madhi, mudhori’ dan amar. Salah satu diantara fi’il-fi’il tersebut yang hukum
asalnya mu’rab (bisa dii’rabi) adalah fi’il mudhori’.
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa fi’il mudhori’ adakalanya
yang terbaca rafa’, nashab dan jazm. Apabila amil fi’il mudhori’ tersebut
berupa amil nashab, maka fi’il tersebut akan terbaca nashab. Dan hal ini sudah
ada pada makalah sebelumnya, dan kitapun sudah mempelajarinya. Dan apabila amil
fi’il mudhori’ tersebut berupa amil jazm, maka fi’il tersebut akan terbaca
jazm. Sedangkan apabila fi’il mudhori’ tersebut sunyi dari kudua macam amil
tersebut, maka bacalah rafa’.
رَفْعُ الْمُضَارِعِ الَّذِيْ تَجَرَّدَ عَنْ ناصِب وجازِم تَأَبَّدا
“Fi’il mudhori’ yang
terbebas dari ‘amil yang menasabkan dan menjazmkan selamanya harus dibaca
rafa’”
Pada makalah kali ini pemakalah akan menjelaskan seputar awamilul
jawazim (amil-amil yang berfungsi menjazmkan), dan pada pembahasan kali ini
hanya berkisar seputar amil-amil yang menjazmkan satu fi’il mudhori’ saja.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Pemahaman Mengenai Jawazimu Lifi’lin Wahidin Minal Fi’lil
Mudhori’i
B.
Pembagian Jawazimu Lifi’lin Wahidin Minal Fi’lil Mudhori’i
C.
Perbedaan Antara لم dan لمّا
III. PEMBAHASAN
A.
Pemahaman Mengenai Jawazimu Lifi’lin Wahidin Minal Fi’lil
Mudhori’i
Jawazim adalah amil-amil yang berfungsi untuk menjazmkan fi’il
mudhori’. Adapun pada pembahasan kali ini hanya akan diuraikan seputar awamil
jawazim yang menjazmkan satu fi’il mudhori’ saja, bukan yang menjazmkan dua
fi’il.
Didalam ilmu
nahwu fi’il mudhori’ bisa dii’rabi jazm jika memang fi’il tersebut
kemasukan oleh salah satu dari awamil jawazim. Jadi sebuah fi’il
mudhori’ tidak bisa dibaca jazm kecuali hanya disebabkan oleh awamil jawazim
saja, tidak bisa dengan sendirinya terbaca jazm tanpa salah satu dari awamil
jawazim. Begitu juga fi’il mudhori’ bisa dii’rabi nashab tidak lain
jika memang didahului oleh salah satu awamil nawashib. Sebagaimana yang
telah kita ketahui bahwa didalam ilmu nahwu sering kita temukan yang namanya
i’rab. Sebuah lafadz bisa dii’rabi rafa’, nashab, jar, atau jazm tentunya
tidak lepas dengan yang namanya ‘amil, yaitu sesuatu yang mempengaruhi
i’rob suatu lafadz.
B.
Pembagian Jawazimu Lifi’lin Wahidin Minal Fi’lil Mudhori’i
Amil-amil yang men-jazm-kan kepada satu fi’il mudhori’ saja adalah:
1.
"لم"
Lam ini disebut juga huruf نفي, جزم , قلب, dikatakan lam nafi dan qolb
karena lam ini berfungsi menafikan fi’il mudhori’ dan membalikkan makna
fi’il mudhori’, yang semula bermakna hal (sekarang) dan mustaqbal (yang
akan datang) menjadi bermakna madhi (yang sudah lewat).[1]
Contoh: و لم يكن له كفوًا أحدٌ
“Dan
tidak ada seorang pun yang setara dengan Allah”
2.
" لمّا"
Merupakan huruf nafi yang menjazmkan fi’il mudhori’ dan membalikkan
makna fi’il mudhori’, yang semula bermakna hal (sekarang) dan mustaqbal
(yang akan datang) menjadi bermakna madhi (yang sudah lewat).
Contoh: لمّا يدخلْ هذه الدارَ أحدٌ
“Seorang
pun belum ada yang memasuki rumah ini”[2]
3.
"لام الأمر و الدعاء"
Lam amr merupakan lam tholabiyyah yang menunjukkan makna perintah.
Apabila tholabiyyah-nya bersifat dari atas ke bawah (dari yang
derajatnya tinggi kepada yang derajatnya rendah), maka lam-nya di
namakan dengan lam amr.
Contoh:
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهِ
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya” (At Thalaq: 7).
Tapi sebaliknya,
apabila tholabiyyah-nya bersifat dari bawah ke atas (dari
yang derajatnya rendah kepada yang derajatnya), maka lam-nya dinamakan dengan
lam do’a [3]:
Contoh: ليُعطِنا ربُّنا
“Semoga Rabb
kami memberikan (sesuatu) kepada kami”
Lam ini biasanya masuk pada fi’il mudhori’ ghoib, dan terkadang
masuk pada fi’il mudhori’ mukhattab dan mutakallim yang majhul. [4]
Contoh: إِنْ قُلْتَ خَيْرًا فَلْأُجَازُ وَلْتُطَاعُوْا
أَيُّها الْكِرَام
Lam amr ini berharokat kasrah, kecuali jika sebelum lam amr
terdapat salah satu dari huruf ‘athaf واو atau فاء maka banyak yang membaca sukun pada lam tersebut.[5]
4.
" لا النّا هيّة والدعاء"
Laa nahi merupakan laa tholabiyyah
yang menunjukkan arti larangan. Apabila
laa tholabiyyah dari atas ke bawah (dari yang derajatnya tinggi
kepada yang derajatnya rendah) dinamakan dengan laa nahi.
Contoh:
لا تفعلْ ذنْباً
Tapi
sebaliknya, apabila laa tholabiyyah dari bawah ke atas (dari yang
derajatnya rendah kepada yang derajatnya tinggi) maka dinamakan dengan laa
do’a.
Contoh: ربّنا لا تؤاخذنا
“Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau siksa kami”[7]
C.
Perbedaan Antara لم dan لمّا
Terdapat beberapa perbedaan dalam penggunaan لم dan لمّا
, perbedaan antara keduanya yaitu:
1.
لم merupakan huruf nafi yang bersifat mutlaq,
maksudnya adalah masa ke-nafi-an لم tidak
diharuskan cukup sampai pada masa hal (sekarang) saja, akan tetapi bisa
juga berlangsung sampai masa mustaqbal (masa yang akan datang), bahkan
bisa juga berlangsung untuk selamanya. Contoh: لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ (Dia tiada beranak dan tiada pula
diperanakkan).
Sedangkan لمّا berfungsi menafikan seluruh zaman madhi (lampau),
sehingga sampai pada zaman hal (sekarang). Oleh karena itu tidak boleh
mengucapkan لَمَّا
أجلسْ ثّمّ جلسْتُ (saya belum duduk, kemudian saya telah
duduk).[8]
2.
لم boleh berdampingan atau diletakkan setelah ادوات الشرطية, sedangkan لمّا tidak boleh berdampingan atau diletakkan setelah ادوات الشرطية.[9]
Contoh: إن لم
تجتهدْ تندمْ
“ Jika kamu tidak
berusaha niscaya kamu akan menyesal.”
3.
Fi’il yang yang dijamzkan dengan لمّا boleh dibuang, akan tetapi fi’il yang dijamzkan dengan لم tidak boleh dihilangkan.[10]
Contoh: قاربْتُ المدينةَ و لمّا
Yang bentuk kalimat lengkapnya adalah:
قاربْتُ المدينةَ و لمّا أدخلْها
“Aku hampir dekat dengan kota dan aku belum memasukinya”
4.
Nafi yang menggunakan لم mengandung sedikit harapan untuk terputus
(hilangnya ke-nafi-an). Sedangkan apabila menggunakan لمّا lebih banyak harapan dan kemungkinan untuk
terputus (hilangnya ke-nafi-an).[11]
IV.
KESIMPULAN
Didalam awamil
jawazim terbagi menjadi dua bagian berdasarkan fungsinya didalam i’rab,
adakalanya yang menjazmkan satu fi’il, dan adakalanya yang menjazmkan dua
fi’il.
Awamil jawazim yang berfungsi menjazmkan satu fi’il mudhori’ terdapat empat, yaitu لم، لمّا، لام الأمر والدعاء، لا الناهي
والدعاء.
a. لم, لمّا berfaidah menafikan, menjazmkan, dan
membalik dari zaman fi’il mudhori’ (haal dan mustaqbal) menjadi
zaman madhi.
b. لام الأمر والدعاء berfaidah tholab yang berupa
perintah ataupun do’a.
c. لا الناهي والدعاء berfaidah tholab yang berupa
larangan ataupun do’a.
d. Ke-nafi-an لم bersifat muthlaq. Harapan akan terputusnya
ke-nafi-an sangat kecil.
e. لمّا me-nafi-kan seluruh zaman madhi.
Harapan akan terputusnya ke-nafi-an sangat besar.
V.
PENUTUP
Demikianlah
sedikit uraian dari penulis dalam makalah ini mengenai awamil jawazim yang
menjazmkan satu fi’il, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan
pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas
ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama ilmu nahwu yang sedang kita pelajari
bersama ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan
penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah dimungkinkan adanya, oleh karena
itu kritik beserta saran yang membangun sangatlah penulis harapkan demi
kebaikan bersama.
Berawal dari
semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan
mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita
dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al
Ghalayiniy, Musthafa, Jami’u Ad Durusi Al Arabiyyah, Kairo: Dar El
Hadith, 2005.
Al
Hasyimiy,
Sayyid Ahmad, Al Qawa’idu Al Asasiyyah, Libanon: Maktabah At
Taufiqiyyah, 2001.
Anwar,
Moch, Ilmu Nahwu Terjemahan Matan Al Jurumiyah dan Imrithi
Berikut Penjelasannya,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.
Ismail
, Muhammad
Bakar, Qowa’idun Nahwi Biuslubil ‘Ashri, Kairo: Darul Mana, 2000.
Khaironi, A. Shohib, Audlohul
Manahij, Kairo: Al-azhar, 2008.
Yusuf,
Thohir, Al Mu’jamul Mufashshal
Fil I’rab, Libanon: Darul Kutub Al-ilmiyyah, 2000.
No comments:
Post a Comment