SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

MAKALAH PERNIKAHAN



I.             PENDAHULUAN
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي جعل العلم أرفع الصّفات الكماليّة. وأشهد أنّ محمّدًا عبده ورسوله خصَّةُ الله تعالى بجميع كمالات العبوديّة.
Hidup didunia tidaklah lepas dari bersosialisasi dengan masyarakat. Hal ini membuat kita perlu memahami bagaimanakah kondisi masyarakat yang baik, dan mana yang kurang baik? Tatanan keluarga yang berawal dari sebuah akad pernikahan mungkin menjadi salah satu tolak ukur bagaimanakah tingakat kuwalitas masyarakat tersebut, jika keluarga yang menjadi fondasi kecil dari tatanan suatu masyarakat baik, maka masyarakat itu pun bisa dikatakan berbalik baik pula.
Syari’at islam telah sungguh-sungguh memperhatikan segala permasalahan para pemeluknya, salah satunya adalah nikah, dan agama pun menganjurkannya. Sampai saat ini banyak orang yang terlihat berbondong-bondong melaksanakannya, akan tetapi tidak tahu menahu akan hakikat dari pernikahan tersebut. Oleh karena itu pada pembahasan makalah kali ini, penulis akan berusaha memberikan beberapa uraian mengenai pengertian, tujuan, hikmah, dan hukum nikah beserta hak-hak yang dimiliki antara suami dan istri.
II.          RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian, Tujuan, dan Hikmah-hikmah Nikah
B.     Kategori Pemilihan Jodoh
C.     Anjuran Menikah bagi Umat Islam
D.    Hukum-hukum Nikah
E.     Hak-hak pada Suami dan Istri

III.      PEMBAHASAN
A.    Pengertian, Tujuan, dan Hikmah-hikmah Nikah
1.      Pengertian nikah
Pernikahan berasal dari kata nikah (نكاح) secara bahasa berarti mengumpulkan, saling memasukkan atau bersetubuh (wathi), kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus) atau akad nikah.[1]
Namun definisi pernikahan menurut istilah hukum islam adalah:
عَقْدٌ يُفِيْدُ حَلَّ الْعُشْرَةِ بَيْنَ الرَّجُلِ وَالْمَرْأَةِ وَتَعَاوُنُهُمَا وَيُحَدُّ مَالِكَيْهِمَا مِنْ حُقُوْقٍ وَمَاعَلَيْهِ مِنْ وَاجِبَاتٍ
“Akad yang memberikan faidah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan  mengadakan hubungan tolong menolong, memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Maka dari pengertian diatas bahwa pernikahan mengandung aspek akibat hukum, dengan melangsungkan pernikahan yakni saling mendapatkan hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong menolong. Karena pernikahan termasuk pelaksanaan agama yang di dalamnya terkandung adanya tujuan atau maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT.[2]
Dan dalam Al-qur’an telah disebutkan bahwa hidup berpasang-pasang atau hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah, termasuk manusia, yaitu:
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbr㍩.xs? ÇÍÒÈ
Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.(QS. Adz Zariyat:49)
2.      Tujuan Nikah
Tujuan pernikahan menurut agama islam adalah menjalankan perintah Allah, mengharapkan ridho-Nya dan melaksanakan sunnah Rosulullah, demi membina keturunan yang sah dan terpuji dalam masyarakat serta untuk memenuhi petunjuk agama islam dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia.
Namun dari sisi lain tujuan berkeluarga menurut islam adalah sebagai berikut:
a.       Kemuliaan Keturunan
Memuliakan keturunan merupakan hal pokok dalam suatu pernikahan, yang dimaksud adalah menjaga keturunan dan melestarikan jenis manusia di dunia.
Adanya keturunan merupakan buah hati dan belahan jiwa dalam keluarga, dan dengan perantara anak akan mendekatkan seseorang pada empat macam hal. Keempat macam itu merupakan pokok yang diinginkan ketika merasa aman dari keburukan syahwat, sehingga salah satunya tidak menginginkan berjumpa kepada Allah dalam keadaan membujang. Diantaranya adalah:
1.      Mengikuti kecintaan Allah SWT dengan berusaha memperoleh anak agar jenis manusia terpelihara.
2.      Mengharap cinta rosulullah SAW dalam memperbanyak keturunan sebagai kebanggaan nabi.
3.      Mengharap keberkahan dengan doa anak shaleh setelah kematiannya.
4.      Mencari syafaat dengan meninggalnya anak kecil jika ia meninggal sebelumnya.

b.      Menjaga diri dari setan
Hubungan seksual yang di perintahkan antara suami dan istri dapat menjaga dirinya dari tipu daya setan, melemahkan keberingasan, mencegah keburukan syahwat, memelihara pandangan dan menjaga kelamin.
c.       Bekerjasama dalam menghadapi kesulitan.
Tujuan pernikahan adalah memperoleh ketenangan dan kelanggengan,  demikian pula tujuan adanya berketurunan tidak tercapai tanpa adanya kelanggengan dan kasih sayang antara suami istri serta untuk menempuh kehidupan esok tidak mungkin tercapai tanpa keteguhan kedua belah pihak.
Oleh karena itu bekerja sama dalam menanggung berbagai beban hidup anatara suami istri termasuk salah satu bentuk tujuan keluarga dalam islam.
d.      Menghibur jiwa dan menenangkannya dengan bersama-sama.
Sesungguhnya dengan kenyamanan dan ketenangan yang dilaksanakan dengan bersama-sama, kemudian memandang dan bermain-main, menyegarkan hati dan menguatkannya untuk beribadah sebagai sesuatu yang diperintahkan.
e.       Pemindahan kewarisan.
Tidak mungkin ada konsep perpindahan kekayaan dari generasi ke generasi dengan tanpa adanya wadah yang memelihara nasab, kerabat dan keturunan. Wadah ini adalah keluarga.[3]
3.      Hikmah Nikah
Menurut Abdul Muhaimin As’ad yang dikutip dalam buku Risalah nikah menyebutkan hikmah-hikmah pernikahan diantaranya sebagai berikut:
a.       Menjadikan manusia hidup berpasang-pasangan dengan cinta kasih dan berbagi rasa dalam suka dan duka.
b.      Membina rumah tangga yang damai, tenang dan sejahtera.
c.       Memperoleh keturunan yang sah dan terhomat dalam masyarakat, sehingga terciptalah masyarakat yang tangguh dan bertanggung jawab.
d.      Menjalin hubungan yang rapat dan saling terkait bagaikan rantai yang sangat kuat.
e.       Membentuk proses regenerasi yang baik, yang mampu memelihara dan menanggung kedua orang tua, sehingga mereka aman dan sejahtera karena diasuh dan dididik oleh orang tuanya dengan baik.[4]                                               
B.     Kategori Pemilihan Jodoh
Sesungguhnya pernikahan tidak hanya bertujuan untuk memenuhi insting semata dan berbagai keinginan yang bersifat materi, lebih dari itu terdapat berbagai tugas yang harus dipenuhi baik dari segi kejiwaan, ruhaniyyah, dan kemasyarakatan yang harus menjadi tanggung jawabnya.
Bagi kaum muslimin yang menginginkan pernikahan hendaknya menempatkan istrinya didepan kedua matanya. Hendaknya ia menyelidiki dan mencari wanita yang memiliki sifat-sifat sebagaimana yang tertera pada sabda Nabi SAW  dalam memilih calon istri:
عن أبي هريرة رضيَ الله تعالى عنه عنِ النبيِّ صلَّى الله عليه و سلَّمَ قال تُنْكَحُ المرأةُ لأربع: لِمالِها ولِحَسَابِها ولِجَمَالِها ولِديْنِها فاظْفُرْ بذَاتِ الِّديْنِ تَرِبَتْ يَدَاك. (متفق عليه مع بقية السبْعَة)
Dari Abu Hurairah ra. Menceritakan, bahwa Nabi SAW bersabda: “Di nikahi seorang wanita itu karena empat hal, yaitu: karena hartanya, keturunannya, kecantikan atau keindahannya dan karena agamanya. Maka rebutlah wanita yang beragama, niscaya senang hatimu”[5]
Walaupun hadis ini hanya diutarakan pengisyaratan pada wanita namun berlaku pula untuk laki-laki.
1.      Dalam pemilihan calon istri maupun suami yang menjadi syarat utama adalah agamanya. Karena agama dapat menjadikan tolak ukur kuat imannya, sesugguhnya lebih menjaga diri tidak melihat pada perempuan-perempuan yang lain dan menjauhi larangan Allah SWT.
2.      Jika memilih pasangan karena hartanya tapi tidak beragama baik maka ia akan kecurian setiap saat. Karena harta atau uang mampu menembus semua halangan.
3.      Jika mendapat pasangan karena kecantikan ruangan tapi tidak beragama islam maka ia tidak akan berhati tenang pula, sebab ia mudah tergoda dan semua mata ingin melihatnya dan menikmatinya.
4.      Jika mendapatkan pasangan karena keturunan atau bangsawan tapi tidak beragama, maka akan dianggap budak belian atau orang sewaannya saja. Sehingga ia tidak akan tau bagaimana rasanya hidup berumah tangga.
Memang mencari calon yang memenuhi keempat kriteria itu sulit diperoleh, namun jadikanlah rasa beragama yang menjadi syarat muthlak ingin berhati tenang dan berdampingan hidup bersama keluarganya nanti.
C.    Anjuran Menikah bagi Umat Islam
Islam mengatur keluarga bukan secara garis besar saja, namun sampai terperinci yang demikian ini menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap kesejahteraan keluarga. Keluarga terbentuk melalui pernikahan, karena pernikahan itu sangat dianjurkan oleh islam bagi yang telah mempunyai kemampuan. Tujuan itu dinyatakan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.[6]
Sesuai dengan sabda Rosulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim:
عن أنَسٍ ابن مالكٍ رضِي اللهُ عنه أنَّ النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّمَ: حَمِدَ اللهُ وأثْنى عليه وقال: "لكِنِّيْ أنَا أُصَلِّي وأنامُ وأَصُوْمُ وأُفْطِرُ وأَتَزَوَّجُ النِّساءَ فمَنْ رَغِبَ عن سُنَّتيْ فليس مِنِّيْ" (متفق عليه)
Dari Anas Bin Malik ra. Bahwasanya Nabi bersabda: “Akan tetapi aku melakukan sholat, tidur, berbuka puasa dan menikahi wanita, barang siapa yang membenci terhadap sunnahku atau tindakanku maka ia bukan termasuk umatku”. (Muttafaqun alaih)[7]

عن عبد الله بن مسعودٍ قال: قال لَنا رسولُ الله صلَى الله عليه وسلَّم: يا مَعْشَرَ الشَّباب مَنِ اسْتطاع منكم الْباءَةَ فلْيَتَزَوَّجْ فإنّه أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وأحْصَنُ لِلْفَرْجِ، ومَن لم يَسْتَطِعْ فعليه بالصَّوم فإنَّه وِجَاءٌ. (متفق عليه)
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata: Telah bersabda Rosulullah SAW kepada kami: “Hai para golongan anak muda ! siapa diantara kalian yang mampu menikah, hendaklah menikah, karena hal demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa merupakan penawar”. (Muttafaqun ‘Alaih)[8]

حدثنا أحمد بن الأَزْهَرِ حدّثنا آدمُ حدّثنا عيسى بن ميمونٍ عنِ القاسم عن عائشة قالتْ: قال رسولُ الله صلَى الله عليه وسلَّم: النِّكاحُ مِن سُنَّتيْ. فمَنْ لم يَعْمَلْ بسُنَّتيْ فليسَ مِنِّيْ وتَزَوَّجوا فإنِّيْ مُكاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَمَ. ومَنْ كان ذا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ ومَنْ لم يَجِدْ فعليه بالصِّيام. فإنَّ الصَّومَ له وِجَاءٌ. (رواه ابن ماجه)
Nikah termasuk sunnahku, barang siapa yang tidak melaksanakan sunnahku, maka dia bukan termasuk umatku. Dan menikahlah kalian semua, karena aku bangga memiliki banyak umat. Dan barang siapa yang telah mampu maka menikahlah, dan barang siapa yang belum mampu maka berpuasalah. Karena berpuasa menjadi penawar baginya. (HR.Ibnu Majah)[9]

Dalam hal ini menikah sangatlah dianjurkan, karena Nabi SAW telah menganjurkan dan melakukannya. Barang siapa belum mampu untuk menikah, maka dianjurkan untuk berpuasa, karena ketika seseorang berpuasa berarti dia berkurang dalam hal makan, dan hal tersebut dapat meredam syahwat dan nafsunya.[10]
Dan ketika seseorang tidak melakukan dengan tanpa adanya alasan yang benar serta beri’tikad menentang atau ingkar akan kesunnahan menikah sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Nabi, maka dia bukan termasuk umat Nabi SAW, karena hal itu bisa menjadikan kufur.[11]
D.    Hukum-hukum Nikah
Kata hukum memiliki dua makna, yaitu taklifi dan wadh’i. Pertama, sifat syara’ pada sesuatu seperti wajib, haram, makruh, sunnah dan mubah. Kedua, buah dan pengaruh yang ditimbulkan sesuatu menurut syara’.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi mukallaf, baik segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, atau akhlak.
Dan secara garis besar hukum nikah dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
1.      Wajib
Hukum nikah wajib, pada kondisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar, dan adanya percaya diri bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istri yakni pergaulan dengan baik. Demikian juga, ia yakin bahwa jika tidak menikah dikhawatirkan akan terjadi perbuatan zina.
Seseorang dihukumi wajib untuk menikah, berdosa meninggalkannya. Meninggalkan zina aadalah fardhu, dan caranya yaitu menikah dengan tidak mengurangi hak seseorang maka ia menjadi wajib. Menurut kaidah ulama’ ushul: “Sesuatu yang tidak mencapai fardhu kecuali dengan mengerjakannya, maka ia hukumnya fardhu juga”.[12]
2.      Haram
Hukum nikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan dalam hal biaya dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah. Sesungguhnya keharaman nikah pada kondisi tersebut, karena nikah disyariatkan dalam islam untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
3.      Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran. Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiayaan terhadap istri jika menikah.
Dan juga orang yang mempunyai dua kondisi yang kontradiksi, yakni antara tuntutan dan larangan, seperti halnya dikhawatirkan akan terjadi maksiat zina jika tidak menikah, dan pada sisi lain ia di yakini atau diduga kuat melakukan penganiayaan atau menyakiti istrinya jika menikah, makapada kondisi seperti ini orang tersebut dimakruhkan menikah agar tidak terjadi penganiayaan dan kenakalan, karena mempergauli istri dengan buruk termasuk maksiat yang berkaitan dengan hak hamba.
4.      Sunnah muakkadah
Menurut jumhur ulama’ seorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan maksiat zina, dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri, maka hukum nikah baginya adalah sunnah muakkadah. Alasan yang dikemukakan mereka, bahwa Nabi SAW melakukan dan menganjurkannya.[13]
E.     Hak-hak pada Suami dan Istri
1.      Hak suami terhadap istri
a.       Taat dan patuh kepada suami
عنْ أبي هريرةَ، قالَ: قِيْلَ لِرسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ، أيُّ النساءِ خَيْرٌ؟، قال: التي تَسُرُّهُ إذَا نَظَرَ وَتُطِيْعُهُ إذَا أَمَرَ ولاتُخَالِفُ في نَفْسِها ومالِها بما يَكْرَهُ. (رواه النَسائ)
Abu Hurairah bercerita bahwa Rosulullah SAW pernah ditanya, “Rosulullah, wanita yang bagaimanakah yang baik?” Rosulullah menjawab, “wanita yang baik adalah yang menyenangkan jika dipandang suami, yang taat apabila diperintah, dan tidak menentangnya dalam dirinya dan tharta yang tidak disenangi suami” (HR. Nasa’i).[14]
Keluarga adalah kelompok kecil, ia sebagai fondasi bagi kelompok besar. Jika fondasi ini baik maka seluruh masyarakat menjadi baik. Oleh karena itu, bagi tatanan sebuah keluarga harus ada pemimpin yang mampu mengatur urusannya dan pendidik yang berjalan bersama untuk mencapai keamanan dan ketenangan.
Sebagaimana Allah telah menjadikan laki-laki dengan tubuh yang kuat dan bentuk kerangka yang lebih kekar karena ia akan melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, memutuskan segala kondisi pekerjaan. Seorang suami dibebani tugas memberikan nafkah kepada istri dan memenuhi segala sebab kenyamanan keluarga. Oleh karena itu, semua hikmah Allah memberikan pemegang kendali rumah tangga ditangan orang yang lebih banyak pengalaman dan lebih jauh pandangan ke depan.
Taat dan patuh pada suami selain perbuatan maksiat kepada Allah menjadikan keluarga tenang. Sedangkan perselisihan dapat melahirkan permusuhan, kebencian, dan dapat merusak kasih sayang suami istri.[15]

b.      Berhias untuk suaminya
Sesuatu yang tidak diragukan lagi bahwa kecantikan bentuk wanita akan menambah kecintaan suami, sedangkan melihat sesuatu apa pun yang menimbulkan kebencian akan mengurangi rasa cinta. Oleh karena itu selalu dianjurkan agar suami tidak melihat istrinya dalam bentuk membencikannya.[16]
c.       Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi suaminya.

2.      Hak istri terhadap suami
a.       Mahar
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang wanita berupa harta atau yang serupa dengannya ketika dilaksanakan akad. Dan mahar merupakan hak-hak istri yang harus dipenuhi oleh seorang suami.
Syariat islam tidak mengikat jumlah mahar dengan batas terendah dan tinggi. Hal itu sesuai dengan kesepakatan antara kedua belah pihak dan kerelaan wanita yang diberikan mahar serta memperhatikan keadaan suami. Ia merupakan hak wanita, tidak sah menghilangkannya, berapapun nilainya.[17]
b.      Nafkah
Nafkah menjadi hak dari berbagai hak istri atas suaminya sejak mendirikan kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu, syariat islam menetapkan nafkah atas suami terhadap istrinya. Nafkah hanya diwajibkan atas suami, karena tuntutan akad nikah dan karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya[18].
c.       Menggauli dan menjaga istrinya secara baik dan patut
Yang dimaksud disini bukanlah sekedar menggauli secara pemuasan sisi seksual  saja, akan tetapi dalam praktek komunikasi langsung maupun sikap dalam keseharian haruslah baik dan tidak terlalu keras dengan istrinya. Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi istrinya, memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya. Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسولُ الله صلّى الله عليه وسلّم: اسْتَوْصوْا بالنساء خيرًا فإنَّ المرأة خُلِقَتْ مِن ضِلَعٍ وإنَّ أَعْوَجَ شَيءٍ في الضِّلَع أَعْلاَهُ فإنْ ذَهَبْتَ تُقيمُه كَسَرْتَهُ، وإنْ تَرَكْتَه لم يَزَلْ أَعْوَجَ، فاسْتَوْصوْا بالنساء خيرًا. (أخرجه الشيخان والترمذي)
Abu Hurairah r.a. mendengar Rosulullah SAW bersabda, “Berpesanlah yang baik pada para wanita, karena wanita diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau hendak meluruskannya, maka engkau akan memecahkannya. Jika engkau membiarkannya, ia akan tetap bengkok. Sebab itulah berpesanlah hal yang baik pada wanita”. (HR. Bukhori, Muslim, dan Tirmidzi)[19]
Salah satu dari tugas dari seorang suami adalah menjaga istri dan keluarganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada perbuatan dosa atau sesuatu kesulitan dan mara bahaya. Dan pada akhirnya suami wajib mewujudkan kehidupan keluarga yang diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu sakinah, mawaddah, dan rahmah.[20]


IV.      KESIMPULAN
Nikah yaitu akad yang memberikan faidah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antar pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.
Adapun tujuan nikah adalah menjalankan perintah Allah, menjalankan perintah Allah, mengharapkan ridhonya, serta melaksanakan sunnah Rosulullah, untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Kemudian bagi kaum muslimin yang menginginkan pernikahan hendaknya ia menyelidiki dan mencari calon istri yang memiliki kriteria yang ditinjau dari empat hal, yaitu kecantikan, harta, agama, dan keturunan. Namun yang patut dipilih adalah rasa beragamanya, karena dapat menjadikan hidup yang tenang.
Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi mukallaf, baik segi karakter kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruh mukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya yang spesifik pula, baik persyaratan harta, fisik, atau akhlak.

V.          PENUTUP
Demikianlah sedikit uraian dari penulis dalam makalah ini seputar hadis-hadis mengenai “Pernikahan”, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membukakan pintu rahmat-Nya, sehingga kita semua bisa mempelajari dan membahas ilmu-ilmu-Nya sedemikian rupa, terutama yang sedang kita pelajari bersama ini. Tidak kurang dari itu, kelalaian maupun kekurangan-kekurangan penulis dalam menyajikan makalah ini sangatlah di mungkinkan adanya, oleh karena itu kritik beserta saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kebaikan bersama.
Berawal dari semua itu kami ucapkan banyak terima kasih atas segala partisipasinya, dan mohon maaf atas segala kekurangannya. Semoga apa yang kita pelajari dan kita dapatkan kali ini mendapat ridho dan berkah dari Allah SWT. Amin
DAFTAR PUSTAKA

Al-Malibary, Zainuddin Bin Abdil Aziz, Fathul Mu’in, Surabaya: Darul Ilmi, TT.
Anas, A. Idhoh, Risalah Nikah ‘Ala Rifaiyyah, Pekalongan: Al Asri Pekalongan, 2008, Cet. I.
As-Subkhi, Ali Yusuf, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, Jakarta: Amah, 2010, Cet. I.
Daradjat, Zakiah, Usman Said, dkk, Ilmu Fiqih, Jakarta:Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003, Cet. I.
Ismail, Muhammad bin, Subulus Salam, Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1988, Cet. I.
Khan, Muhammad Shidiq Hasan, Ensiklopedia Hadis Sahih Kumpulan Hadis Tentang Wanita, Bandung, PT. Mizan Publika, 2009.
Muhammad, Abi Abdillah, Sunan Ibnu Majjah, Kairo: Dar ibnu Haitsam, 2005, Cet. I.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2009, Cet. II.


No comments:

Post a Comment