SUGENG RAWUH SEDEREK-SEDEREK
SELAMAT MENIKMATI

Laman

Search This Blog

Sunday, November 2, 2014

أنواع إعراب الجواب والشرط



MACAM-MACAM I'ROB (KONDISI) JAWAB DAN SYARAT
I.       PENDAHULUAN
Kita sebagai umat muslim tentu tahu, bahwa agama Islam adalah agama yang mencintai keindahan. Tidak jauh dari itu, kita pastinya juga mengetahui tentang keindahan bahasa kitab suci (Al-Qur’an) kita, yang memang tidak bisa dinafikan lagi tentang keindahan bahasanya. Tidak lain disini bahasa arablah yang menjadi titik tolak cerminannya.
Tentu di dalam keindahan bahasa Arab bukanlah sekedar keindahan belaka, melainkan butuh berberapa pengantar untuk bisa memahami dan memakainya secara baik dan benar. Disinilah fungsi Ilmu nahwu yang akan ikut berperan untuk mengantarkan kita kepada pemahaman dan bagaimana kita bisa memakainya dengan baik dan benar.
Pada pembahasan kali ini kita akan membahas seputar i’robus syarti wal jawabi, dan untuk penjelasan yang lebih lanjut akan dipaparkan oleh penulis dibawah, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
II.      RUMUSAN MASALAH
A.    Pemahaman tentang jawab dan syarat
B.     Pemasangan fa’ jawab
C.     I’rob jawab dan syarat
D.    Pembuangan syarat dan jawab
III.    PEMBAHASAN
          A. Pemahaman Tentang Jawab dan Syarat
فعلين يقتضينَ شرطٌ قدم ۝ يتلو الجزاء وجوابا وُسما
Kedua fi’il yang dibutuhkan oleh adawat tersebut, yang didahulukan adalah syarat, lalu di ikuti oleh jaza’ yang juga dikenal dengan nama jawab syarat.”
Pada pembahasan makalah yang bertemakan awamilul jawazim telah dituturkan, bahwa sebagian diantaranya adalah menjazmkan dua fi’il. Yang dimaksud dengan dua fi’il disini, yang pertama dinamakan syarat, dan yang kedua adalah jaza’ yang juga dikenal dengan nama jawab syarat.[1]
Syarat di wajibkan harus berupa jumlah fi’iliyah. Sedangkan  hukum asal jawab itu berupa jumlah fi’liyyah pula, tetapi boleh juga berupa jumlah ismiyyah.[2]
            B. Pemasangan Fa’ Jawab
Dan didalam konteks ini ketika sebuah jawab tidak berupa fi’il maka harus dipasang fa’, yang dinamakan dengan fa’ jawab, atau juga fa’ ar-robthu (penyambung).[3]
واقرُنْ بفا حتماً جوابا لو جُعلْ ۝ شرطاً لإنْ أو غيرها لم ينجعل
“Barengilah dengan fa’ secara wajib seandainya syarat tidak dapat dijadikan sebagai jawab bagi in atau yang lainnya”.[4]
Pemasangan fa’ pada  jawab secara wajib ada pada tujuh keadaan:
إسمية طلبية وبجامد ۞ وبما وقد وبلن وبالتنفيس
1.      Jika berupa jumlah ismiyyah
 وإن يمسسْك بخير فهو على كل شيءٍ قدير
Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha kuasa atas setiap sesuatu”. (Al-an’am: 17).
2.      Jika berupa jumlah tholabiyyah
 قل إن كنتم تحبّون الله فاتبعون
Katakanlah, Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku”. (Ali-imran: 31).
3.      Jika berbentuk jamid.
 إن ترن أنا أقل منك مالا وولدا, فعسى ربي أن يؤتين خيرا
“Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam harta dan keturunan, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberikan kepadaku (kebun) yang lebih baik”. (Al-kahfi: 39-40).
4.      Jika bersamaan dengan ma nafiyah
إن جاء زيد فما أضربه
“jika zaidun datang, niscaya aku tidak akan memukulnya”.
5.      Jika bersamaan dengan qod
  إن يسرقْ فقد سرق أخ له
“Jika ia mencuri,maka sudah pernah mencuri pula saudaranya.” (Yusuf: 77)
6.      Jika bersamaan dengan lan.
  وما يفعلوا من خير فلن يُكفروه
“Dan kebajikan apa saja yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menerima pahala) nya”. (Ali Imran: 115).
7.      Jika bersamaan dengan tanfis (sin dan saufa).
  إن جاء زيد فسأذهب
“Jika Zaid datang, niscaya aku akan pergi”
وإن خفتم عيلة فسوف يغنيكم الله
“Dan jika kamu khawatirmenjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu”. (At-taubah: 28). [5]
Dan di dalam kitab jami’ud durus karangan As-syekh Musthofa Al-gholayini terdapat tambahan lagi yaitu:
8.      Jika jawabnya berupa fi’il madhi baik secara lafadh maupun makna. Karena jawab hukum asalnya itu hendaknya tidak bermakna madhi.[6]
إن كان قميصه قُدَّ من قبل فصدقتْ
“Jika baju gamisnya koyak di muka, maka  wanita itu benar”.(Yusuf: 26).
9.      Jika bersamaan dengan rubba
إن تجئ فربما أجئُ
“Jika kamu datang, niscaya barangkali aku akan datang pula”.
10.  Jika bersamaan dengan ka’annama.
أنه من قتل نفسا بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعا
“Barangsiapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya”.(At taubah: 32).
11.  Jika bersamaan dengan adat syarat.
وإن كبر عليك إعراضهم فإن استطعتَ أن تبتغي نفقا في الأرض أو سُلَّما في السماء فتأتيهم بآيةٍ
“Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu’jizat kepada mereka, (maka buatlah)”. (Al an’am: 35). [7]
Sedangkan penggunaan fa’ itu dihukumi jawaz (boleh dipasang dan juga boleh tidak) ketika jawab berupa fi’il mudhori’ yang mutsbat (positif), atau yang dinafikan oleh la. Dan yang banyak terlaku adalah tidak memakai fa’. Contoh:
إن تعودوا نعد
 “Jika kamu kembali, niscaya kami akan kembali (pula)”.(Al anfal: 19).
فمن يؤمن بربه فلا يخاف بخسا ولارهقا
“Barangsiapa beriman kepada Tuhannya, maka ia tidak takut akan pengurangan pahala dan tidak (takut pula) penambahan dosa  dan kesalahan”. (Al jin: 13).
Dan fa’ itu bisa digantikan dengan إذا  al-fujaiyyah jika jawabnya berupa jumlah ismiyyah yang tidak bersamaan dengan adat nafi dan inna. [8] Seperti yang telah disebutkan didalam nadzom al-fiyyah ibn Malik:
وتخلف الفاء إذا المفاجأه ۝ كإن تجُد إذا لنا مكافأه
“Fa dapat diganti dengan idzaa fujaiyyah seperti dalam contoh: In tajud idzaa lanaa mukaafaah (apabila engkau akan berderma, tiba-tiba kami mendapat pemberian).”
C. I’rob Syarat dan Jawab
Hukum asal keduanya (syarat dan jawab) jika berupa fi’il mudhori’, maka kedua fi’il tersebut wajib dibaca jazm. Contoh:
إن ينتهوا يُغفرْ لهم ما قد سلف
“Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu”.(Al anfal: 38).
Dan dikecualikan darinya, yaitu:
1.      Jika syarat berupa fi’il madhi, atau fi’il mudhori’ yang bersamaan dengan lam (لم), dan jawabnya berupa fi’il mudhori’, maka jawabnya boleh dibaca jazm ataupun rafa’. Dan membaca rafa’ itu lebih bagus. Contoh:
إن لم تقمْ أقمْ أو أقومُ
“Jika kamu tidak berdiri, niscaya aku akan berdiri”.
من كان يريد زينة الحياة الدنيا وزينتها نُوَفِّ إليهم أعمالهم
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan mereka balasan pekerjaan mereka”.(Hud: 15).
2.      Jika syarat berupa fi’il mudhori’, dan jawabnya berupa fi’il madhi (sedikit terlaku), maka yang awal (syarat) wajib di baca jazm. Contoh:
من يقمْ ليلة القدْرِ إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
3.      Jika keduanya berupa fi’il madhi, maka keduanya dibaca jazm secara mahal. Contoh:
إن أحسنتم أحسنتم لأنفسكم
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri”. (Al isra: 7).[9]
4.      Boleh membaca rafa’, nashab (jarang berlaku), ataupun jazm pada fi’il jawab yang berupa fi’il mudhori’ dan disertai dengan fa’ atau wawu. Contoh:
وإن تبدوا ما في أنفسكم أو تخفوه يحاسبكم به اللهُ فيغفر لمن يشاءُ
“Dan jika kalian melahirkan apa yang ada di dalam hati kalian atau kalian menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kalian tentang perbuatan itu. Maka Allah akan mengampuni siapa yang Dia kehendaki”. (Al Baqarah: 284).
Jika diantara keduanya terdapat fi’il mudhori’ yang dibarengi dengan fa’ atau wawu, maka fi’il tersebut boleh dibaca nashab atau jazm (banyak terlaku). Contoh:
إن تستقمْ وتجتهد أكرمْك
“Jika kamu berdiri dan bersungguh-sungguh, niscaya aku akan memulyakanmu”. [10]
Dan dibaca jazm juga fi’il mudhori’ yang menjadi jawabnya syarat, ketika jatuh setelah tholab, yaitu:
a.       Amr (قلْ تعالوا أتلُ ما حرّم ربكم عليكم)
b.      Nahi (لاتكفر تدخل الجنة)
c.       Istifham (هل تأتينا, نحدثك)
d.      ‘Irdh (ألا تأتينا نحدثْك )
e.       Tahdhidh (هلاّ تأتينا نحدثْك)
f.       Tamanni (ليت الشباب يعود يوما)
g.      Tarojji (لعلّك تزورنا نكرمك).[11]
Dalam hal ini terlaku jika memang fi’il mudhori’ tersebut dikehendaki sebagai jawab. Jika fi’il mudhori’ tersebut tidak, maka tidak sah di baca jazm.[12]
D. Pembuangan Syarat dan Jawab
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab al-fiyyah ibnu malik, yaitu:
والشرط يغني عن جواب قد عُلِمْ ۝ والعكس قد يأتي إنِ المعنى فُهِمْ
“Syarat terkadang tidak membutuhkan lagi yang namanya jawab yang sudah dimaklumi (keberadaannya), dan terkadang kebalikannya pun  (jawab tanpa syarat) terjadi pula bilamana maknanya dapat difahami”.
Disini pembuangan jawab syarat hukumnya diperbolehkan, manakala terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jawab dibuang, dan hal seperti ini sangatlah banyak dipakai. Seperti dalam contoh: أنت ظالم إن فعلتَ yang mana asalnya adalah أنت ظالم إن فعلتَ فأنت ظالم. Jawab syarat pada contoh ini dibuang karena keberadaannya dapat ditunjukkan oleh lafaz anta dzaalimun.
Sedangkan didalam pembuangan syarat beserta menetapkan jawab sangat sedikit pemakaiannya, seperti dalam ungkapan penyair:
فطلّقها فلستَ لها بكُفءِ ۩ وإلاّ يَعْلُ مَفْرِقَك الحُسامُ
“Talaklah dia, engkau bukanlah sepadan dengannya, apabila tidak (engkau talak dia) niscaya sebilah pedang tajam akan membelah kepalamu”
Yang mana bentuk lengkapnya adalah:
وإلاّ تَطْلِقَها يَعْلُ مَفْرِقَك الحُسامُ
“Apabila tidak engkau talak dia, niscaya sebilah pedang tajam akan membelah kepalamu.”[13]
As-syekh Musthofa Al-gholayini didalam kitabnya Jami’ud Durus menuturkan, bahwa jawab dan syarat itu adakalanya dibuang secara bersamaan. Akan tetapi hal ini hanya dikhususkan sebatas karena darurat sya’ir. Seperti contoh:
قالتْ بناتُ العمّ: ياسلمى, وإنْ ۞ كان فقيرا مُعْدِما؟ قالتْ: وإنْ
Yang bentuk lengkapnya adalah:
وإنْ كان فقيرا مُعْدِما رضيته
Ternyata pembuangan ini juga diperbolehkan didalam kalam Nasar, akan tetapi sedikit berlakunya. Dan dalam hal ini pun juga harus terdapat dalil yang menunjukkan atas pembuangan tersebut, sebagaimana yang telah disebutkan pada pembahasan masalah pembuangan salah satu dari syarat maupun jawab. Contoh:
الناس مَجزِيونَ بأعمالهم: إنْ خيرا فخيرا, وإن شرّا فشرّا.[14]
Yang bentuk asalnya adalah:
إن عملوا خيرا فيجزَوْن خيرا, وإنْ عملوا شرّا فيجزَونَ شرّا


IV.    KESIMPULAN
Dari penjelasan yang telah dituturkan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya:
1.       Syarat di wajibkan harus berupa jumlah fi’iliyah. Sedangkan  hukum asal jawab itu berupa jumlah fi’liyyah.
2.       Ketika jawab tidak berupa fi’il maka harus dipasang fa’ jawab.
3.       Pemasangan fa’ pada jawab secara wajib ada pada 11 keadaan:
a.       Jika berupa jumlah ismiyyah
b.      Jika berupa jumlah tholabiyyah
c.       Jika berbentuk jamid.
d.      Jika bersamaan dengan ma nafiyah
e.       Jika bersamaan dengan qod
f.       Jika bersamaan dengan lan.
g.      Jika bersamaan dengan tanfis (sin dan saufa)
h.      Jika jawabnya berupa fi’il madhi baik secara lafadh maupun makna
i.        Jika bersamaan dengan rubba
j.        Jika bersamaan dengan ka’annama
k.      Jika bersamaan dengan adat syarat
4.       Sedangkan pemasangan fa’ secara jawaz diberlakukan ketika jawab berupa fi’il mudhori’ yang mutsbat (positif), atau yang dinafikan oleh la.
5.       Pemasangan fa’  bisa digantikan dengan إذا  al-fujaiyyah jika jawabnya berupa jumlah ismiyyah yang tidak bersamaan dengan adat nafi dan inna.
6.       Hukum asal keduanya (syarat dan jawab) jika berupa fi’il mudhori’, maka kedua fi’il tersebut wajib dibaca jazm.
7.       Jawab atau syarat itu boleh dibuang bilamana sudah dimaklumi (keberadaannya) dan jika sudah bisa difaham tanpanya.
وحذف ما يعلم جائز كما ۞ تقول زيد بعد من عندكما[15]
V.      PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, mungkin makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk kepentingan bersama, agar bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan semoga apa yang kita bahas kali ini bisa mengantarkan kita kepada keberkahan Tholabul ‘Ilmi yang di ridhoi oleh Allah SWT. Amin













DAFTAR PUSTAKA
Al-Baijuriy, Syekh Ibrahim, Fathu rubbul Bariyah, Semarang: Maktabah Al-Alawiyyah, tt.
Al-Ghulayini, Syekh Musthafa, Jami’ud Durus, Bairut: Al-Maktabah Al-Asriyyah, 1973.
Ismail, Muhammad Bakar, Qowa’idun Nahwi Biuslubil ‘Ashri, Kairo: Darul Manar, 2000.
Muhammad, Syekh Jamaluddin, Syarhu Ibnu ‘Aqil, Indonesia: Daru Ihyal Qutub Al-arabiyyah, tt.
Yahya, Syekh Syarofuddin, Taqrirotu Nadhmul ‘Imrithi, Kediri: Madrasah Hidayatul Mubtadi’in, tt.


No comments:

Post a Comment